Tragedi Mako Brimob
A
A
A
Tragedi kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Salemba di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, yang dilakukan oleh narapidana teroris telah berakhir. Namun, insiden yang telah merenggut enam jiwa (lima anggota Polri dan satu napi teroris) tersebut menyisakan duka mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kejadian ini harus dijadikan warning bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Karena itu, kita semua harus bersatu untuk ikut mengenyahkan terorisme dari Bumi Pertiwi. Drama penyanderaan di Mako Brimob yang terjadi pada Selasa (8/5) malam sampai Kamis (10/5) pagi menjadi catatan serius bagi Polri. Banyak kalangan menilai polisi terkesan lamban dalam menangani kondisi darurat yang justru terjadi di markasnya sendiri.
Padahal, Polri dengan Densus 88-nya dikenal dunia sebagai pasukan yang sangat tangkas dalam mengungkap berbagai jaringan teror di Indonesia. Tak mengherankan jika sejumlah kalangan menyatakan tragedi di Mako Brimob ini merupakan tamparan keras bagi aparat berbaju cokelat tersebut. Peristiwa ini seperti menghapus beragam prestasi Polri dalam penanganan terorisme yang selama ini diklaim gemilang. Terlepas dari pro dan kontra terhadap penanganan tragedi di Mako Brimob itu, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa tersebut.
Pertama, kelambanan penanganan penyanderaan di Mako Brimob tersebut bisa menimbulkan dampak kurang baik bagi wibawa pemerintah, khususnya Polri, baik di masyarakat maupun dunia internasional. Hal ini sekaligus juga telah membuka celah bagi pelaku teror dalam meningkatkan eksistensi mereka. Mereka bisa saja semakin dibuat percaya diri dengan keberhasilannya dalam “menguasai” Mako Brimob.
Kedua, keberhasilan para napi teroris dalam menguasai Mako Brimob menandakan betapa rendahnya tingkat pengamanan di penjara tersebut. Patut dicurigai ada yang kurang dengan sistem pengamanan di sana yang tidak seharusnya mampu dijebol oleh para napi. Apalagi, para napi sampai bisa mendapatkan senjata yang disimpan di markas tersebut.
Ketiga, tragedi di Mako Brimob bisa dimaknai lebih luas terkait bagaimana aparat Polri dalam menangani kasus terorisme, baik dalam memperlakukan para napi di tahanan maupun dalam upaya penangkapan di lapangan. Dalam arti, sejumlah kejadian mengesankan Polri terlalu mengedepankan kebijakan represif dalam memberantas terorisme.
Ada beberapa kejadian yang bisa dijadikan rujukan seperti kasus kematian terduga teroris Siyono (2016) dan terduga teroris Muhammad Jefri (Februari 2018) yang masih misterius. Penanganan yang cenderung represif sejauh ini tidak pernah bisa mengatasi masalah secara komprehensif. Yang justru muncul adalah timbulnya rasa dendam berkepanjangan dari keluarga maupun orang-orang yang bersimpati terhadap kejadian tersebut.
Kita sudah sepantasnya bersedih dan berduka sedalam-dalamnya atas tragedi ini, terutama atas jatuhnya korban aparat Polri yang meninggal. Dan, kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Peristiwa Mako Brimob harus benar-benar dijadikan bahan renungan bagi penanganan kasus terorisme secara lebih baik dan komprehensif. Sudah waktunya Polri mengubah pendekatannya menjadi lebih persuasif. Pembinaan harus lebih diutamakan dibandingkan tindakan hukum yang represif, termasuk jika nantinya TNI akan ikut dilibatkan dalam penanganan terorisme.
Terkait kejadiannya, harus ada evaluasi yang menyeluruh mulai sistem pengamanan hingga pemberian sanksi bagi pejabat yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi tersebut. Akan lebih baik jika pejabat yang bersangkutan secara sukarela mengundurkan diri sebagai bukti kegagalan atas amanah yang diberikan kepadanya. Sayangnya, pejabat mundur karena gagal mengemban tugas belum membudaya di negara kita.
Hal yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum atas terbunuhnya lima anggota Polri tersebut. Siapa pun yang terlibat atas pembunuhan sadis yang menimpa lima anggota Polri tersebut harus dihukum berat sesuai hukum yang berlaku. Sudah saatnya pemerintah tidak menjadikan para napi teroris itu satu penjara. Karena yang terjadi mereka justru saling berbagi ilmu dan jaringan yang tentu kontraproduktif. Marilah kita bersama-sama untuk ikut membantu pemerintah dalam menanggulangi terorisme di lingkungan masing-masing.
Kejadian ini harus dijadikan warning bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Karena itu, kita semua harus bersatu untuk ikut mengenyahkan terorisme dari Bumi Pertiwi. Drama penyanderaan di Mako Brimob yang terjadi pada Selasa (8/5) malam sampai Kamis (10/5) pagi menjadi catatan serius bagi Polri. Banyak kalangan menilai polisi terkesan lamban dalam menangani kondisi darurat yang justru terjadi di markasnya sendiri.
Padahal, Polri dengan Densus 88-nya dikenal dunia sebagai pasukan yang sangat tangkas dalam mengungkap berbagai jaringan teror di Indonesia. Tak mengherankan jika sejumlah kalangan menyatakan tragedi di Mako Brimob ini merupakan tamparan keras bagi aparat berbaju cokelat tersebut. Peristiwa ini seperti menghapus beragam prestasi Polri dalam penanganan terorisme yang selama ini diklaim gemilang. Terlepas dari pro dan kontra terhadap penanganan tragedi di Mako Brimob itu, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa tersebut.
Pertama, kelambanan penanganan penyanderaan di Mako Brimob tersebut bisa menimbulkan dampak kurang baik bagi wibawa pemerintah, khususnya Polri, baik di masyarakat maupun dunia internasional. Hal ini sekaligus juga telah membuka celah bagi pelaku teror dalam meningkatkan eksistensi mereka. Mereka bisa saja semakin dibuat percaya diri dengan keberhasilannya dalam “menguasai” Mako Brimob.
Kedua, keberhasilan para napi teroris dalam menguasai Mako Brimob menandakan betapa rendahnya tingkat pengamanan di penjara tersebut. Patut dicurigai ada yang kurang dengan sistem pengamanan di sana yang tidak seharusnya mampu dijebol oleh para napi. Apalagi, para napi sampai bisa mendapatkan senjata yang disimpan di markas tersebut.
Ketiga, tragedi di Mako Brimob bisa dimaknai lebih luas terkait bagaimana aparat Polri dalam menangani kasus terorisme, baik dalam memperlakukan para napi di tahanan maupun dalam upaya penangkapan di lapangan. Dalam arti, sejumlah kejadian mengesankan Polri terlalu mengedepankan kebijakan represif dalam memberantas terorisme.
Ada beberapa kejadian yang bisa dijadikan rujukan seperti kasus kematian terduga teroris Siyono (2016) dan terduga teroris Muhammad Jefri (Februari 2018) yang masih misterius. Penanganan yang cenderung represif sejauh ini tidak pernah bisa mengatasi masalah secara komprehensif. Yang justru muncul adalah timbulnya rasa dendam berkepanjangan dari keluarga maupun orang-orang yang bersimpati terhadap kejadian tersebut.
Kita sudah sepantasnya bersedih dan berduka sedalam-dalamnya atas tragedi ini, terutama atas jatuhnya korban aparat Polri yang meninggal. Dan, kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Peristiwa Mako Brimob harus benar-benar dijadikan bahan renungan bagi penanganan kasus terorisme secara lebih baik dan komprehensif. Sudah waktunya Polri mengubah pendekatannya menjadi lebih persuasif. Pembinaan harus lebih diutamakan dibandingkan tindakan hukum yang represif, termasuk jika nantinya TNI akan ikut dilibatkan dalam penanganan terorisme.
Terkait kejadiannya, harus ada evaluasi yang menyeluruh mulai sistem pengamanan hingga pemberian sanksi bagi pejabat yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi tersebut. Akan lebih baik jika pejabat yang bersangkutan secara sukarela mengundurkan diri sebagai bukti kegagalan atas amanah yang diberikan kepadanya. Sayangnya, pejabat mundur karena gagal mengemban tugas belum membudaya di negara kita.
Hal yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum atas terbunuhnya lima anggota Polri tersebut. Siapa pun yang terlibat atas pembunuhan sadis yang menimpa lima anggota Polri tersebut harus dihukum berat sesuai hukum yang berlaku. Sudah saatnya pemerintah tidak menjadikan para napi teroris itu satu penjara. Karena yang terjadi mereka justru saling berbagi ilmu dan jaringan yang tentu kontraproduktif. Marilah kita bersama-sama untuk ikut membantu pemerintah dalam menanggulangi terorisme di lingkungan masing-masing.
(pur)