Tragedi Mako Brimob

Jum'at, 11 Mei 2018 - 04:58 WIB
Tragedi Mako Brimob
Tragedi Mako Brimob
A A A
Tragedi kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Salemba di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, yang dilakukan oleh narapidana teroris telah berakhir. Namun, insiden yang telah merenggut enam jiwa (lima anggota Polri dan satu napi teroris) tersebut menyisakan duka mendalam bagi se­lu­ruh masyarakat Indonesia.

Kejadian ini harus dijadikan warning bahwa terorisme masih men­jadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Karena itu, kita semua harus bersatu untuk ikut mengenyahkan terorisme dari Bumi Pertiwi. Drama penyanderaan di Mako Brimob yang terjadi pada Selasa (8/5) malam sampai Kamis (10/5) pagi menjadi catatan serius ba­gi Pol­ri. Banyak kalangan menilai polisi terkesan lamban dalam me­­na­ngani kondisi darurat yang justru terjadi di markasnya sen­diri. ­

Pa­da­hal, Polri dengan Densus 88-nya dikenal dunia sebagai pa­sukan yang sa­ngat tangkas dalam mengungkap berbagai ja­ring­an teror di In­do­ne­sia. Tak mengherankan jika sejumlah k­a­lang­an menyatakan tra­ge­di di Mako Brimob ini merupakan tam­par­an keras bagi aparat ber­ba­ju cokelat tersebut. Peristiwa ini se­per­ti menghapus beragam pres­tasi Polri dalam penanganan ter­o­r­is­me yang selama ini diklaim gemilang. Terlepas dari pro dan kontra terhadap penanganan tragedi di Ma­ko Brimob itu, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ter­s­ebut.

Pertama, kelambanan penanganan penyanderaan di Ma­ko Brimob tersebut bisa menimbulkan dampak kurang baik bagi wi­ba­wa pemerintah, khususnya Polri, baik di masyarakat maupun du­nia internasional. Hal ini sekaligus juga telah membuka celah bagi pe­la­ku teror dalam meningkatkan eksistensi mereka. Mereka bisa sa­ja semakin dibuat percaya diri dengan keberhasilannya dalam “me­nguasai” Mako Brimob.

Kedua, keberhasilan para napi teroris dalam menguasai Mako Bri­mob menandakan betapa rendahnya tingkat pengamanan di pen­jara tersebut. Patut dicurigai ada yang kurang dengan sistem peng­amanan di sana yang tidak seharusnya mampu dijebol oleh para na­pi. Apalagi, para napi sampai bisa mendapatkan senjata yang di­sim­pan di markas tersebut.

Ketiga, tragedi di Mako Brimob bisa dimaknai lebih luas terkait ba­­gaimana aparat Polri dalam menangani kasus terorisme, baik da­­lam memperlakukan para napi di tahanan maupun dalam upa­ya ­pe­nang­kapan di lapangan. Dalam arti, sejumlah kejadian me­nge­­san­kan Polri terlalu mengedepankan kebijakan represif da­lam mem­be­ran­tas terorisme.

Ada beberapa kejadian yang bisa di­ja­di­kan rujukan se­perti kasus kematian terduga teroris Siyono (2016) dan terduga teroris Muhammad Jefri (Februari 2018) yang masih misterius. Pe­na­nganan yang cenderung represif se­jauh ini tidak pernah bisa meng­atasi masalah secara kom­pre­hen­sif. Yang justru muncul ada­lah timbulnya rasa dendam ber­ke­pan­jang­an dari keluarga maupun orang-orang yang bersimpati ter­ha­dap kejadian tersebut.

Kita sudah sepantasnya bersedih dan berduka sedalam-da­lam­nya atas tragedi ini, terutama atas jatuhnya korban aparat Polri yang me­ninggal. Dan, kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Peristiwa Ma­ko Brimob harus benar-benar dijadikan bahan renungan bagi pe­na­nga­n­an kasus terorisme secara lebih baik dan komprehensif. Sudah wak­tunya Polri mengubah pendekatannya menjadi lebih persuasif. Pem­binaan harus lebih diutamakan dibandingkan tindakan hukum yang represif, termasuk jika nantinya TNI akan ikut dilibatkan da­lam penanganan terorisme.

Terkait kejadiannya, harus ada evaluasi yang menyeluruh mulai sis­tem pengamanan hingga pemberian sanksi bagi pejabat yang ha­rus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi tersebut. Akan lebih baik jika pejabat yang bersangkutan secara sukarela mengundurkan di­ri sebagai bukti kegagalan atas amanah yang diberikan kepadanya. Sa­yangnya, pejabat mundur karena gagal mengemban tugas belum mem­budaya di negara kita.

Hal yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum atas ter­­bunuhnya lima anggota Polri tersebut. Siapa pun yang terlibat atas pem­bunuhan sadis yang menimpa lima anggota Polri ter­se­but harus di­hukum berat sesuai hukum yang berlaku. Sudah saat­nya pe­me­rin­tah tidak menjadikan para napi teroris itu satu pe­n­ja­ra. Karena yang ter­jadi mereka justru saling berbagi ilmu dan ja­ring­an yang tentu kon­traproduktif. Marilah kita bersama-sama un­tuk ikut membantu pe­merintah dalam menanggulangi te­ro­ris­me di lingkungan masing-masing.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2781 seconds (0.1#10.140)