Li Keqiang dan Politik Mendayung Dua Karang Indonesia
A
A
A
Rafli Zulfikar
Peneliti Center for International Studies and Trade
LAWATAN Perdana Menteri China Li Keqiang ke Indonesia tidak hanya dibaca sebagai “mempererat tali silaturahmi” antara Indonesia dan China akan tetapi jauh lebih dari itu sebagai kepentingan China terhadap Indonesia maupun regional.
Kunjungan Li Keqiang menunjukkan bahwa hubungan bilateral dengan Indonesia sangat sentral bagi politik luar negeri China. Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Pertama, hubungan bilateral China dan Indonesia terus membaik bahkan sangat erat tiga tahun belakangan, semenjak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini tercermin dari peningkatan peringkat investasi China tiga tahun belakangan dari urutan lima pada 2015 merangkak naik ke posisi tiga pada 2016.
Kedua, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski kinerja ekonomi Indonesia lebih lambat dibanding negara seperti Filipina dan Vietnam, namun ekonomi Indonesia cukup besar yaitu setara 40 ekonomi ASEAN merupakan pasar yang besar bagi China.
Ketiga, posisi Indonesia di ASEAN dan Asia Pasifik. Sebagai negara besar, Indonesia dinilai memiliki pengaruh yang besar terhadap ASEAN. Tidak hanya itu, sikap netral Indonesia melalui politik bebas aktif sangat dibutuhkan China dalam memperebutkan pengaruh di Asia Pasifik karena selain berkepentingan dalam ekonomi, kepentingan geopolitik dan keamanan menjadi isu sentral China di ASEAN dan Asia Pasifik.
Konflik laut China Selatan akan menjadi pertaruhan bagi China sebagai negara rising power yang berpotensi menggantikan dominasi AS di dunia, terutama Asia Pasifik. Bagaimanapun juga, kegagalan dalam memanejemen konflik di laut China Selatan akan berpotensi menghambat dominasi China di kawasan.
Keinginan China untuk meningkatkan pengaruh (sphere of influence) ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia berhadapan dengan Jepang yang sejak lama memiliki kerja sama yang cukup erat dengan negara-negara ASEAN. Mengacu pada riset BMI Research–Blomberg misalnya, Jepang masih sangat dominan dalam investasi di negara-negara ASEAN.
Riset BMI Research–Blomberg menunjukkan bahwa Jepang masih sangat dominan dengan 237 proyek yang didanai sedangkan China hanya 191 proyek. Tidak hanya itu, China hanya unggul dalam pembiayaan di tiga negara, yakni Kamboja, Malaysia, dan Laos.
Pembiayaan proyek di Kamboja, China memiliki Kamboja 20 poyek sedangkan Jepang hanya 2. Begitupun di Malaysia, China (30) sedangkan Jepang (16) dan di Laos, China (31) sedangkan Jepang (6).
Komposisi pembiayaan proyek yang relatif berimbang terdapat di Indonesia di mana China (46) Jepang (47) proyek. Maka tidak ada cara lain bagi China untuk menigkatkan pengaruhnya di Indonesia selain melalui peningkatan derajat kerja sama bilateral terutama ekonomi, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dengan mengalahkan Jepang.
Indonesia juga sangat penting tidak hanya dalam aspek ekonomi internasional, akan tetapi juga secara politik dan keamanan. Politik luar negeri bebas aktif yang diperagakan Indonesia akan dimaknai dalam posisi netral dalam konflik laut China Selatan oleh China. Artinya, ketika hubungan China dengan Indonesia sangat baik maka akan menguntungkan China dalam konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut China Selatan.
Agresivitas perluasan pengaruh China di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik akan terus diperagakan ke depannya, terutama melalui Asian Infrastructur Invesment Banking (AIIB) dan grand design geopolitik one belt one road (OBOR) terutama maritime silk road.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dari sisi Indonesia, kebutuhan yang besar akan pembiayaan pembangunan menjadikan China mitra yang strategis, apalagi China memiliki modal yang cukup besar. Paranoid adanya “China Trap” seperti yang terjadi di negara-negara Afrika jelas merugikan kepentingan nasional karena China memiliki resource dan capital yang dibutuhkan dalam percepatan pembangunan nasional.
Begitu juga hubungan dengan Jepang yang sudah sejak lama menjadi mitra strategis bagi Indonesia. Polemik penunjukan China dalam proyek kereta api Jakarta Bandung yang membuat Tokyo bergeming menjadi pelajaran bagi Indonesia. Memainkan politik luar negeri bebas aktif seperti sekarang dengan merangkul kedua negara besar Jepang dan China sebenarnya sudah sesuai dengan prinsip bebas aktif.
Sikap netral tidak hanya menguntungkan secara ekonomi akan tetapi juga secara politik internasional karena akan menjadi penyeimbang, tentu dengan kalkulasi yang tujuan akhirnya adalah kepentingan nasional. Seperti kata Teoritikus HI each state pursues its own interest's, however defined, in ways it judges best. Force is a means of achieving the external ends of states because there exists no consistent, reliable process of reconciling the conflicts of interest that inevitably arise among similar units in a condition of anarchy.
(thm)
Peneliti Center for International Studies and Trade
LAWATAN Perdana Menteri China Li Keqiang ke Indonesia tidak hanya dibaca sebagai “mempererat tali silaturahmi” antara Indonesia dan China akan tetapi jauh lebih dari itu sebagai kepentingan China terhadap Indonesia maupun regional.
Kunjungan Li Keqiang menunjukkan bahwa hubungan bilateral dengan Indonesia sangat sentral bagi politik luar negeri China. Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Pertama, hubungan bilateral China dan Indonesia terus membaik bahkan sangat erat tiga tahun belakangan, semenjak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini tercermin dari peningkatan peringkat investasi China tiga tahun belakangan dari urutan lima pada 2015 merangkak naik ke posisi tiga pada 2016.
Kedua, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski kinerja ekonomi Indonesia lebih lambat dibanding negara seperti Filipina dan Vietnam, namun ekonomi Indonesia cukup besar yaitu setara 40 ekonomi ASEAN merupakan pasar yang besar bagi China.
Ketiga, posisi Indonesia di ASEAN dan Asia Pasifik. Sebagai negara besar, Indonesia dinilai memiliki pengaruh yang besar terhadap ASEAN. Tidak hanya itu, sikap netral Indonesia melalui politik bebas aktif sangat dibutuhkan China dalam memperebutkan pengaruh di Asia Pasifik karena selain berkepentingan dalam ekonomi, kepentingan geopolitik dan keamanan menjadi isu sentral China di ASEAN dan Asia Pasifik.
Konflik laut China Selatan akan menjadi pertaruhan bagi China sebagai negara rising power yang berpotensi menggantikan dominasi AS di dunia, terutama Asia Pasifik. Bagaimanapun juga, kegagalan dalam memanejemen konflik di laut China Selatan akan berpotensi menghambat dominasi China di kawasan.
Keinginan China untuk meningkatkan pengaruh (sphere of influence) ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia berhadapan dengan Jepang yang sejak lama memiliki kerja sama yang cukup erat dengan negara-negara ASEAN. Mengacu pada riset BMI Research–Blomberg misalnya, Jepang masih sangat dominan dalam investasi di negara-negara ASEAN.
Riset BMI Research–Blomberg menunjukkan bahwa Jepang masih sangat dominan dengan 237 proyek yang didanai sedangkan China hanya 191 proyek. Tidak hanya itu, China hanya unggul dalam pembiayaan di tiga negara, yakni Kamboja, Malaysia, dan Laos.
Pembiayaan proyek di Kamboja, China memiliki Kamboja 20 poyek sedangkan Jepang hanya 2. Begitupun di Malaysia, China (30) sedangkan Jepang (16) dan di Laos, China (31) sedangkan Jepang (6).
Komposisi pembiayaan proyek yang relatif berimbang terdapat di Indonesia di mana China (46) Jepang (47) proyek. Maka tidak ada cara lain bagi China untuk menigkatkan pengaruhnya di Indonesia selain melalui peningkatan derajat kerja sama bilateral terutama ekonomi, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dengan mengalahkan Jepang.
Indonesia juga sangat penting tidak hanya dalam aspek ekonomi internasional, akan tetapi juga secara politik dan keamanan. Politik luar negeri bebas aktif yang diperagakan Indonesia akan dimaknai dalam posisi netral dalam konflik laut China Selatan oleh China. Artinya, ketika hubungan China dengan Indonesia sangat baik maka akan menguntungkan China dalam konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut China Selatan.
Agresivitas perluasan pengaruh China di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik akan terus diperagakan ke depannya, terutama melalui Asian Infrastructur Invesment Banking (AIIB) dan grand design geopolitik one belt one road (OBOR) terutama maritime silk road.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dari sisi Indonesia, kebutuhan yang besar akan pembiayaan pembangunan menjadikan China mitra yang strategis, apalagi China memiliki modal yang cukup besar. Paranoid adanya “China Trap” seperti yang terjadi di negara-negara Afrika jelas merugikan kepentingan nasional karena China memiliki resource dan capital yang dibutuhkan dalam percepatan pembangunan nasional.
Begitu juga hubungan dengan Jepang yang sudah sejak lama menjadi mitra strategis bagi Indonesia. Polemik penunjukan China dalam proyek kereta api Jakarta Bandung yang membuat Tokyo bergeming menjadi pelajaran bagi Indonesia. Memainkan politik luar negeri bebas aktif seperti sekarang dengan merangkul kedua negara besar Jepang dan China sebenarnya sudah sesuai dengan prinsip bebas aktif.
Sikap netral tidak hanya menguntungkan secara ekonomi akan tetapi juga secara politik internasional karena akan menjadi penyeimbang, tentu dengan kalkulasi yang tujuan akhirnya adalah kepentingan nasional. Seperti kata Teoritikus HI each state pursues its own interest's, however defined, in ways it judges best. Force is a means of achieving the external ends of states because there exists no consistent, reliable process of reconciling the conflicts of interest that inevitably arise among similar units in a condition of anarchy.
(thm)