Menghadirkan Surga bagi Sesama dan Bangsa
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog
SETIAP agama memiliki ajaran tentang surga. Kebanyakan menafsirkan surga masih belum terjadi saat ini. Surga baru akan dialami nanti, misalnya sesudah meninggal dunia.
Namun Yesus telah menunjukkan bahwa surga sebenarnya bukan hanya merupakan persoalan eskatologisatau terjadi kelak. Yesus justru mengajarkan agar surgadihayatihic et nunc (sekarang dan di sini, di dunia ini). Dalamdoa Bapa Kamiyang sangat terkenal, Yesus mengajak para muridNya berdoa “datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Jadi selama hidup di dunia, diharapkan surga dirintis dan dimulai hingga mencapai puncak atau finalnya pada suatu saat nanti.
Yesus sudah merintis dan memulai surga di dunia inidengan berbagai mukjizat. Orang buta dibuat melihat. Orang lapar diberi makan. Orang lumpuh bisa dibuat berjalan. Bahkan orang mati dibangkitkanNya. Setiap orang yang berjumpa Yesus menjadi gembira. Ajaran-ajaranNya menjadi kabar baik bagi yang mendengarnya, sebagaimana bisa dibaca dalam keempat Injil.
Apa yang dilakukan Yesus kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengupayakan terwujudnya surga di dunia sekarang dan di sini. Sayang dalam kenyataan, surga itu tidak terwujud dengan mudah. Yang hadir justru neraka kepedihan dan penuh penderitaan. Kebencian, konflik sosial bahkan perang adalah indikasi adanya neraka di dunia.
Neraka terjadi ketika orang takut untuk hidup, sehingga memilih mati selagi masih diberi hidup. Bunuh diri akibatdepresi sudah menjadi pandemi global. Setiap 40 detik ada 1 orang yang melakukan bunuh diri. Ini adalah angka yang sangat besar. Konyolnya, bunuh diri justru dijadikan “gaya hidup”. Ada panduannya pula di internet.Bunuh diri pun menular ke mana-mana.
Dalam dunia psikologi, hal itu disebut dengan Werther Effect.Dalam novelnya The Sorrows of Young Werther, Goethe penulis Jerman abad 18 berkisah tentang tokoh protagonis, Werther, yang sengaja bunuh diri setelah cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat setelah novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru oleh banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yang serupa dengan yang dilakukan Werther.
Dampak lain dari depresi adalah alienasi atau keterasingan sehingga orang kehilangan arti hidup. Hidup menjadi tak bermakna atau hampa.Orang pun tergoda melakukan kekerasan, bertindak brutal dan biadab pada sesamanya demi memberi arti pada hidupnya. Bahkan hal ini sampaimenular kedunia pendikan kita.
Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan untuk menghargai hidup, malah jatuh menjadi “ring tinju” dengan taruhan nyawa. Kita tentu masih ingatkasusguru kesenian di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ahmad Budi Cahyonoyang meninggal justrusetelah dianiaya muridnyasendiri, pada Kamis (1/2/2018).
Sebaliknya, baru-baru ini beredar video seorang guru sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, menampar siswanya di depan siswa lainnya. Kejadian ini justru direkam salah satu siswanya atas perintah si guru tersebut. Peristiwa kekerasan yang terjadi Kamis (19/4/2018) tersebut dalam hitungan jam sudah menjadi viral di media sosial.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, konon merupakan cermin kekerasan dalam kehidupan sosial, politik dan agamaakhir-akhir ini. Kita tentu masih ingat berbagai kasus penyerangan pada beberapa tokoh agama mulai dari ustad, biksu hingga pastor. Ini jelasmenunjukkanbahwasesungguhnya telah terjadikrisis multidimensional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Padahal dulu negeri kitadikenal sebagai negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini orang seolah gampang sekali untuk meletupkan kemarahan, mencaci maki dan mengumbar dan menyebar ujaran kebencian, khususnya di media sosial.
Tidak heran, Cameron Diaz dalam film The Sweetest Thing (2002), yang jengkel apartemennya berantakan karena ulah temannya bilang: “This place is a mess like Indonesia.” (Tempat ini berantakan seperti Indonesia).
Kondisi berantakan itu jelas menjadi indikasi Indonesia telah menjadi “neraka”. Filosof eksistensialisme Prancis Jean Paul Sartre pernah menulis bahwa “orang lain adalah neraka” (other is hell). Keberadaan orang lain menjadi ancaman atau neraka, karena mengancam eksistensi “diriku”.
Dalam bukunya Civilization and its Discontents, Sigmund Freud (1856-1939) menulis: “manusia bukanlah makhluk yang lemah lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri bila diserang… Tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif harus diakui sebagai watak manusia yang asli”.
Semua penjelasan para pakar di atas menjadi otokritik bagi kita, khususnya yang mengaku beragama. Karena dalam kenyataan, tidak serta merta penganut suatu agamamenjadi pribadi lemah lembut dan menjauhi kekerasan. Dalam sejarah berbagai agama, ada ratusan ribu orang mati justru karena merasa membela agama. Apalagi ketika dijadikan senjata politik untuk menghabisi para lawan politik, pasti akan terjadi neraka di dunia.
Umat kristiani pada Kamis, 10Mei 2018 merayakan Yesus naik ke surga. Sebenarnya lebih tepat disebut Yesus kembali ke surga. Dalam perspektif iman Kristiani, Yesus memang berasal darisurga. Dia berasal. Dia datang ke dunia untuk memperlihatkan kasih Allah dan bagaimana nilai-nilai surgawi harus dihayati dalam kehidupan di dunia ini.
Perayaan ini bisa kita jadikan momentum agar selama hidup di dunia ini, kita yang mengklaim sebagai pengikut Yesustetap mampu menjadi agen surga yang mengupayakan dan menghadirkan nilai-nilai surgawi justru di tengah situasi yangseolah sudah tidak memberi harapan lagi, sebagaimana dipaparkan di atas.
Krisis multidimensi yang tengah mendera umat manusia, termasuk yang terjadi di negeri inisebenarnya akan menemukan solusinya jika para pemimpin, baik di eksekutif, legislatif atau yudikatif serta kita semua mau menjadi sosok altruistis yang lebih suka mengedepankan kepentingan bangsa dan sesama di atas kepentingan pribadi dan kelompok kita. Mari kita putus asa untuk terus mengupayakan surga bagi sesama dan bangsa ini, bukan sosok egois yang justru menciptakan neraka akibat ambisi dan nafsu untuk meraih kekuasaan.
Kini pilihan ada di tangan kita sendiri. Kita mau memilih menjadi sosok yang menghadirkan surga atau neraka. Kita mau menjadi pribadi yang bermanfaat atau pribadi jahat. Indonesia, negeri berlimpah kekayaan alam dan beraneka suka bangsa ini, mau kita jadikan surga dan rumah yang ramah bagi semua ataukita jadikan neraka karena kita suka memaksakan kehendak dan egoisme kita?
Mari meneladani Yesus yangtanpa lelah terus menebar kasih, kebaikandan nilai-nilai surgawiselama di dunia. Mari kita hentikanmenebar kebencian, berita bohong (hoaks)serta segala praksis kehidupan yang menjerumuskan sesama dan bangsa ke neraka jahanam. Mari memohon Tuhan mengganti hati kita yang penuh kebencian atau hati yang bervisi ke neraka, menjadi hati yang mampu berbelas kasih, hati yang bervisi ke surga.
Teolog
SETIAP agama memiliki ajaran tentang surga. Kebanyakan menafsirkan surga masih belum terjadi saat ini. Surga baru akan dialami nanti, misalnya sesudah meninggal dunia.
Namun Yesus telah menunjukkan bahwa surga sebenarnya bukan hanya merupakan persoalan eskatologisatau terjadi kelak. Yesus justru mengajarkan agar surgadihayatihic et nunc (sekarang dan di sini, di dunia ini). Dalamdoa Bapa Kamiyang sangat terkenal, Yesus mengajak para muridNya berdoa “datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Jadi selama hidup di dunia, diharapkan surga dirintis dan dimulai hingga mencapai puncak atau finalnya pada suatu saat nanti.
Yesus sudah merintis dan memulai surga di dunia inidengan berbagai mukjizat. Orang buta dibuat melihat. Orang lapar diberi makan. Orang lumpuh bisa dibuat berjalan. Bahkan orang mati dibangkitkanNya. Setiap orang yang berjumpa Yesus menjadi gembira. Ajaran-ajaranNya menjadi kabar baik bagi yang mendengarnya, sebagaimana bisa dibaca dalam keempat Injil.
Apa yang dilakukan Yesus kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengupayakan terwujudnya surga di dunia sekarang dan di sini. Sayang dalam kenyataan, surga itu tidak terwujud dengan mudah. Yang hadir justru neraka kepedihan dan penuh penderitaan. Kebencian, konflik sosial bahkan perang adalah indikasi adanya neraka di dunia.
Neraka terjadi ketika orang takut untuk hidup, sehingga memilih mati selagi masih diberi hidup. Bunuh diri akibatdepresi sudah menjadi pandemi global. Setiap 40 detik ada 1 orang yang melakukan bunuh diri. Ini adalah angka yang sangat besar. Konyolnya, bunuh diri justru dijadikan “gaya hidup”. Ada panduannya pula di internet.Bunuh diri pun menular ke mana-mana.
Dalam dunia psikologi, hal itu disebut dengan Werther Effect.Dalam novelnya The Sorrows of Young Werther, Goethe penulis Jerman abad 18 berkisah tentang tokoh protagonis, Werther, yang sengaja bunuh diri setelah cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat setelah novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru oleh banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yang serupa dengan yang dilakukan Werther.
Dampak lain dari depresi adalah alienasi atau keterasingan sehingga orang kehilangan arti hidup. Hidup menjadi tak bermakna atau hampa.Orang pun tergoda melakukan kekerasan, bertindak brutal dan biadab pada sesamanya demi memberi arti pada hidupnya. Bahkan hal ini sampaimenular kedunia pendikan kita.
Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan untuk menghargai hidup, malah jatuh menjadi “ring tinju” dengan taruhan nyawa. Kita tentu masih ingatkasusguru kesenian di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ahmad Budi Cahyonoyang meninggal justrusetelah dianiaya muridnyasendiri, pada Kamis (1/2/2018).
Sebaliknya, baru-baru ini beredar video seorang guru sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, menampar siswanya di depan siswa lainnya. Kejadian ini justru direkam salah satu siswanya atas perintah si guru tersebut. Peristiwa kekerasan yang terjadi Kamis (19/4/2018) tersebut dalam hitungan jam sudah menjadi viral di media sosial.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, konon merupakan cermin kekerasan dalam kehidupan sosial, politik dan agamaakhir-akhir ini. Kita tentu masih ingat berbagai kasus penyerangan pada beberapa tokoh agama mulai dari ustad, biksu hingga pastor. Ini jelasmenunjukkanbahwasesungguhnya telah terjadikrisis multidimensional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Padahal dulu negeri kitadikenal sebagai negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini orang seolah gampang sekali untuk meletupkan kemarahan, mencaci maki dan mengumbar dan menyebar ujaran kebencian, khususnya di media sosial.
Tidak heran, Cameron Diaz dalam film The Sweetest Thing (2002), yang jengkel apartemennya berantakan karena ulah temannya bilang: “This place is a mess like Indonesia.” (Tempat ini berantakan seperti Indonesia).
Kondisi berantakan itu jelas menjadi indikasi Indonesia telah menjadi “neraka”. Filosof eksistensialisme Prancis Jean Paul Sartre pernah menulis bahwa “orang lain adalah neraka” (other is hell). Keberadaan orang lain menjadi ancaman atau neraka, karena mengancam eksistensi “diriku”.
Dalam bukunya Civilization and its Discontents, Sigmund Freud (1856-1939) menulis: “manusia bukanlah makhluk yang lemah lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri bila diserang… Tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif harus diakui sebagai watak manusia yang asli”.
Semua penjelasan para pakar di atas menjadi otokritik bagi kita, khususnya yang mengaku beragama. Karena dalam kenyataan, tidak serta merta penganut suatu agamamenjadi pribadi lemah lembut dan menjauhi kekerasan. Dalam sejarah berbagai agama, ada ratusan ribu orang mati justru karena merasa membela agama. Apalagi ketika dijadikan senjata politik untuk menghabisi para lawan politik, pasti akan terjadi neraka di dunia.
Umat kristiani pada Kamis, 10Mei 2018 merayakan Yesus naik ke surga. Sebenarnya lebih tepat disebut Yesus kembali ke surga. Dalam perspektif iman Kristiani, Yesus memang berasal darisurga. Dia berasal. Dia datang ke dunia untuk memperlihatkan kasih Allah dan bagaimana nilai-nilai surgawi harus dihayati dalam kehidupan di dunia ini.
Perayaan ini bisa kita jadikan momentum agar selama hidup di dunia ini, kita yang mengklaim sebagai pengikut Yesustetap mampu menjadi agen surga yang mengupayakan dan menghadirkan nilai-nilai surgawi justru di tengah situasi yangseolah sudah tidak memberi harapan lagi, sebagaimana dipaparkan di atas.
Krisis multidimensi yang tengah mendera umat manusia, termasuk yang terjadi di negeri inisebenarnya akan menemukan solusinya jika para pemimpin, baik di eksekutif, legislatif atau yudikatif serta kita semua mau menjadi sosok altruistis yang lebih suka mengedepankan kepentingan bangsa dan sesama di atas kepentingan pribadi dan kelompok kita. Mari kita putus asa untuk terus mengupayakan surga bagi sesama dan bangsa ini, bukan sosok egois yang justru menciptakan neraka akibat ambisi dan nafsu untuk meraih kekuasaan.
Kini pilihan ada di tangan kita sendiri. Kita mau memilih menjadi sosok yang menghadirkan surga atau neraka. Kita mau menjadi pribadi yang bermanfaat atau pribadi jahat. Indonesia, negeri berlimpah kekayaan alam dan beraneka suka bangsa ini, mau kita jadikan surga dan rumah yang ramah bagi semua ataukita jadikan neraka karena kita suka memaksakan kehendak dan egoisme kita?
Mari meneladani Yesus yangtanpa lelah terus menebar kasih, kebaikandan nilai-nilai surgawiselama di dunia. Mari kita hentikanmenebar kebencian, berita bohong (hoaks)serta segala praksis kehidupan yang menjerumuskan sesama dan bangsa ke neraka jahanam. Mari memohon Tuhan mengganti hati kita yang penuh kebencian atau hati yang bervisi ke neraka, menjadi hati yang mampu berbelas kasih, hati yang bervisi ke surga.
(thm)