Hoaks dan Tantangan Kedaulatan Pemilu

Rabu, 02 Mei 2018 - 08:30 WIB
Hoaks dan Tantangan Kedaulatan Pemilu
Hoaks dan Tantangan Kedaulatan Pemilu
A A A
Nur Elya Anggraini
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur

TANTANGAN yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilu kian kompleks. Setelah pada pemilu sebelumnya, baik pilkada maupun pilpres, masalah berputar pada kecurangan antarpasangan calon ditambah menguatnya politik uang, pada 2018 dan 2019 mendatang, varian pelanggaran tampaknya akan kian bertambah.

Hoaks atau berita bohong adalah varian baru menjadi tantangan penting dalam menegakkan kedaulatan pemilu. Pasalnya, hoaks telah terbukti dengan cukup ampuh digunakan dalam pelaksanaan Pilkada Jakarta 2017. Jakarta adalah salah satu barometer penting dalam demokrasi Indonesia. Tingkat rasionalitas pemilih di ibu kota tentu lebih tinggi dibandingkan daerah atau kota-kota lain di Indonesia. Hanya saja, rasionalitas tersebut tak mampu menolong untuk tidak percaya pada hoaks yang bertebaran.

Pada Pilkada Serentak 2018 sempat menguat wacana untuk mengloning apa yang telah dilakukan di Jakarta. Tentu hal ini menjadi tantangan serius dan jika terjadi akan kian melukai demokrasi kita. Bukan saja untuk kepentingan kelompok, tetapi juga berkaitan dengan kedaulatan pemilu. Jika pemilu yang berjalan menjadi kotor, maka tentu sulit berharap demokrasi kita berjalan benar.

Membaca Hoaks dengan Teori
Pertanyaan tentang bagaimana hoaks bekerja dalam narasi demokrasi adalah suatu awal untuk mendedah tentang akar hoaks yang bekerja dan melumpuhkan rasionalitas. Kerja hoaks memiliki korelasi dengan media massa. Hanya yang patut dicatat bahwa hoaks menyebar di media sosial dan berita-berita online serta tak jelas kabarnya. Hoaks menjelma sebagai fenomena sosial yang layak dikaji.

Sebagai suatu fenomena hoaks dapat didekati sebagai suatu teori dan metodologi sekaligus. Sebagai teori, fenomenologi pada awalnya dimulai dari Husserl. Karena dia menyimpulkan suatu hal tidak bisa selesai dengan sudut pandang orang pertama, melainkan juga membutuhkan waktu dengan caramengamati realitas sosial yang terjadi secara terus menerus untuk ditemukan inti menjadi lakon dalam keseharian yang terjadi secara alami.

Pada sisi lain, Criswell menggunakan fenomenologi sebagai metodologi penting dari penelitian. Karena peristiwa sehari-hari dilakukan berulang-ulang terdapat inti yang ada di baliknya. Terdapat makna kuasa yang ada di dalamnya. Makna penting inilah layak diketahui.

Dengan menggunakan kerangka sebagaimana Criswell, makna penting dari hoaks adalah kepentingan politik yang mendasarinya. Kepentingan ini menjadikan segala cara untuk bisa memenangkan kontenstasi demokrasi. Pada sisi yang lain, hoaks menjadi mencuat bersamaan dengan kian meningkatnya pengguna media sosial. Informasi sementara dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 130 juta lebih adalah pengguna media sosial. Sekitar 80% adalah pengguna Facebook.

Besarnya pengguna media sosial ini juga berdampak pada mudahnya mengonsumsi berita. Jika dulu masih menunggu media cetak untuk dapat berita utuh, tetapi kini dengan menggunakan ponsel saja, kita sudah bisa mengonsumsi berita. Tentu berita dari media online yang bertebaran dan tumbuh tak terkendali.

Selain menggunakan fenomenologi, hoaks juga bisa dibaca dengan teori konstruksi sosial. Bahwa penyebaran hoaks dalam kerangka Peter L Berger dan Lukman bisa dilihat dari tiga proses dialektika, yakni eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.

Konteks hoaks dalam setiap pemilu adalah bagian dari ekspresi sebenarnya sudah mengendap dalam kelompok tertentu yang diimplementasikan dalam bentuk serangan menggunakan SARA terhadap lawan politiknya. Tahap selanjutnya dikenal dengan objektivikasi, yaitu hasil telah dicapai dari hasil pikir dari dalam yang berbentuk konkret bisa dirasakan oleh realitas. Bentuk nyata dari objektivikasi berupa hoaks yang tersebar di dalam media sosial. Hoaks dicipta dan memang ada aktor terlibat di dalamnya. Produk berita bohong disebarkan secara masif dan terencana.

Hoaks juga dapat dibaca dengan menggunakan framing. Bahwa ada penggalan kata dalam setiap ucapan salah satu pasangan calon yang disebarkan berulang-ulang untuk dapat menciptakan kebencian. Sebagaimana dalam Pilkada Jakarta, saat Ahok melontarkan tentang QS Al Maidah yang lalu diberitakan dan direproduksi untuk kepentingan kekuasaan.
Sebagaimana Joseph Gobbels menyatakan, kebohongan satu kali hanya akan menjadi kebohongan. Kebohongan berkali-kali akan menjadi suatu kebenaran. Hoaks adalah suatu kejahatan struktural yang terorganisasi. Dalam bahasa Alquran dikenal dengan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Dalam penyebaran hoaks yang dibunuh adalah identitas dan karakter dari korban yang menjadi sasarannya. Dengan lakon dalam politik, menempatkan hoaks dengan sistematis dan memang dikerjakan oleh tim tertentu dengan maksud tertentu pula, maka kategorisasinya bisa disamakan dengan fitnah sistematis dan terstruktur. Hoaks yang menyebarluaskan itu disebabkan oleh adanya framing.

Kedaulatan dan Keadilan Pemilu
Tegaknya kedaulatan dan keadilan pemilu adalah suatu yang harus dilakukan. Hoaks adalah tantangan menjadi ancaman bagi demokrasi. Untuk itu, maka berbagai pihak harus menyatakan perlawanan. Bahwa keadilan pemilu akan bisa dirasakan saat semua masyarakat mengalami kepuasan terhadap hasil pemilu. Tidak ada yang merasa dicurangi dan tidak ada yang menggunakan cara-cara kotor untuk menjatuhkan lawan politik.

Demokrasi yang sehat adalah saat antarsesama pasangan calon saling bertarung program dan agenda untuk kerakyatan. Kemenangan pemilu yang sejati adalah saat rakyat merasa kian sejahtera dan mampu menjadi tuan di negaranya sendiri.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4253 seconds (0.1#10.140)