Definisi Presisi Terorisme
A
A
A
Aboe Bakar Alhabsyi
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
TERORISME. Kata ini kini mengalami perdebatan definisi yang imbasnya pada pemaknaan beragam. Ujungnya, pemberantasan terorisme pun membuka lahirnya ketidakadilan hanya karena definisinya yang tak tunggal. Mengapa sebuah definisi menjadi penting? Karena di situlah batasan tentang makna, arti sebuah kata atau frase dijalankan.
Betapa tidak, makna terorisme yang beragam ini mencuatkan sejumlah catatan penyiksaan dan salah tangkap dalam drama pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini menambah hangat pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT).
Ketiadaan definisi terorisme dalam UU PTPT dianggap salah satu penyebab kisruhnya penangkapan umat atas nama terorisme. Akibatnya, target penindakan terorisme cenderung bias dan upaya pemberantasan terorisme tak kunjung tuntas.
Absennya definisi terorisme dalam UU PTPT telah mencacatkan penegakan hukum tindak pidana terorisme. Negara dianggap gagal melindungi masyarakat sipil terhadap aksi terorisme.
Gagasan melakukan perubahan terhadap UU terorisme adalah wujud transformasi regulasi menuju pengaturan UU yang lebih komprehensif. Tak berlebihan, jika publik berharap perubahan UU yang saat ini masih digodok DPR dan pemerintah mampu menjawab kegelisahan umat yang menjadi korban akibat hegemoni kekuasaan dan tindakan brutal aparat atas nama isu teroris.
Bukan hal mudah mendefinisikan terminologi terorisme dalam suatu negara. Hal ini mengingat penggunaan terminologi yang meluas mengenai terorisme dapat membawa potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Itulah mengapa sampai saat ini masih ada perbedaan di berbagai negara dalam menentukan definisi terorisme secara universal.
Absennya suatu pengertian apa itu terorisme bisa mencacatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dan perlindungan masyarakat sipil terhadap perbuatan terorisme. Ketiadaan definisi pada dasarnya menunjukkan adanya keterbatasan kemampuan negara memerangi dan mencegah terorisme. Bahkan untuk definisi yang memadai dan dapat diterima secara universal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjuk pelapor khusus mengenai perlawanan terorisme dengan mandat resolusi 2005/ 80 dan diperkuat oleh resolusi 60/251 dari dewan HAM PBB.
Berdasarkan laporannya, pelapor PBB tersebut menegaskan, pengaturan tindak pidana terorisme harus diatur dengan undang-undang dan bahasa yang presisi, termasuk menghindari terminologi yang kabur serta menyediakan penerapan pembelaan hukum memadai.
Secara garis besar, Indonesia memang telah terikat standar-standar hukum internasional yang digunakan untuk memberantas terorisme.
Namun, kebijakan global yang tidak diikuti dengan terminologi dan definisi yang ketat menyebabkan aparat seolah diberikan otoritas untuk secara subjektif menafsirkan apa itu terorisme dan siapa itu teroris. Akibatnya, negara berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia. Tentu ini patut diwaspadai, karena terminologi aksi teror yang meluas dapat memberikan celah justifikasi bagi penguasa untuk menekan tindakan masyarakat sipil atau memberangus lawan-lawan politiknya dengan dalih mencegah terorisme.
Perlindungan Warga
Tentu kita tidak ingin perubahan UU PTPT ini justru memperbesar kewenangan negara tanpa dibarengi dengan kesiapan mekanisme dan instrumen yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara dalam tatanan negara demokratik. Keberadaan UU Nomor 15/ 2003 terbukti langkah mundur bagi perkembangan hukum dan mengancam kebebasan sipil serta hak asasi.
Hal paling mendasar adalah akibat pendefinisian terorisme dalam UU saat ini bersifat luas dan elastis. Hal ini sangat berpotensi membuka ruang bagi penafsiran yang sewenang-wenang oleh negara.
Sikap pemerintah yang tak menginginkan adanya definisi sejak awal pembahasan RUU PTPT ini layak dipertanyakan. Perlu ada gagasan baru untuk membenahi kekacauan polemik isu terorisme.
Karena terorisme tidak bisa dilihat sebagai sebuah kejahatan murni saja, tetapi juga berimplikasi dan lahir dari masalah lainnya, seperti korupsi kian merajalela, kesenjangan sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Para penyelenggara negara semestinya menyadari penyebab karut marut persoalan terorisme yang membosankan ini. Faktanya, aturan pemberantasan terorisme yang pemerintah buat selama ini telah berdampak buruk karena telah menjerat umat muslim yang tak bersalah.
Dari 61 negara yang memiliki concern terkait persoalan terorisme, hanya 16 diantaranya tidak mempunyai definisi spesifik terorisme dalam peraturan perundang-undangannya. Absennya definisi “terorisme” yang universal dan komprehensif tidak meninggalkan negara-negara bertanggung jawab untuk merumuskan definisinya sendiri sesuai dengan kebutuhan politik dan situasi keamanan negaranya tersebut.
Perumusan definisi terorisme harus mencakup motivasi tindakan dan dapat menjerat siapa pun pelakunya serta dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan negara.
Perumusan definisi terorisme harus menggunakan bahasa yang jelas dan tidak memberi ruang penyalahgunaan istilah terorisme. Dalam konteks internasional, pendefinisian istilah terorisme di dalam rancangan peraturan perundang-undangan harus dibatasi dan diartikan sebagai upaya counter measure atau upaya melawan perbuatan yang dianggap bersifat teror yang karakteristiknya seperti dipaparkan di dalam Resolusi Dewan Keamanan 1566 (tahun 2004).
Kelompok kerja Dewan Keamanan PBB bahkan menyatakan, negara dengan legislasi yang memiliki definisi terorisme luas dan kabur, sama saja memberi posisi orang yang tidak bersalah di dalam tingkat sejajar dengan tersangka terorisme. Akibatnya, bisa meningkatkan risiko penahanan secara sewenang-wenang.
Untuk itu, kegagalan negara membatasi aturan dan upaya pemberantasan serta pencegahan terorisme dapat mengurangi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar serta mengabaikan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas (necessity and proportionality) yang mengatur pembatasan hak asasi manusia.
Pada akhirnya, kompleksitas perdebatan definisi seperti apa yang paling efektif dalam menggambarkan definisi terorisme harus dikesampingkan, dengan mendahulukan keamanan nasional. Dengan begitu, kebijakan negara menanggulangi persoalan terorisme bukan hanya perlu, tetapi harus.
Bagaimanapun terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi, dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial, dan tegaknya keadilan. Jadi, definisi yang presisi atas terorisme menjadi sebuah keniscayaan.
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
TERORISME. Kata ini kini mengalami perdebatan definisi yang imbasnya pada pemaknaan beragam. Ujungnya, pemberantasan terorisme pun membuka lahirnya ketidakadilan hanya karena definisinya yang tak tunggal. Mengapa sebuah definisi menjadi penting? Karena di situlah batasan tentang makna, arti sebuah kata atau frase dijalankan.
Betapa tidak, makna terorisme yang beragam ini mencuatkan sejumlah catatan penyiksaan dan salah tangkap dalam drama pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini menambah hangat pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT).
Ketiadaan definisi terorisme dalam UU PTPT dianggap salah satu penyebab kisruhnya penangkapan umat atas nama terorisme. Akibatnya, target penindakan terorisme cenderung bias dan upaya pemberantasan terorisme tak kunjung tuntas.
Absennya definisi terorisme dalam UU PTPT telah mencacatkan penegakan hukum tindak pidana terorisme. Negara dianggap gagal melindungi masyarakat sipil terhadap aksi terorisme.
Gagasan melakukan perubahan terhadap UU terorisme adalah wujud transformasi regulasi menuju pengaturan UU yang lebih komprehensif. Tak berlebihan, jika publik berharap perubahan UU yang saat ini masih digodok DPR dan pemerintah mampu menjawab kegelisahan umat yang menjadi korban akibat hegemoni kekuasaan dan tindakan brutal aparat atas nama isu teroris.
Bukan hal mudah mendefinisikan terminologi terorisme dalam suatu negara. Hal ini mengingat penggunaan terminologi yang meluas mengenai terorisme dapat membawa potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Itulah mengapa sampai saat ini masih ada perbedaan di berbagai negara dalam menentukan definisi terorisme secara universal.
Absennya suatu pengertian apa itu terorisme bisa mencacatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dan perlindungan masyarakat sipil terhadap perbuatan terorisme. Ketiadaan definisi pada dasarnya menunjukkan adanya keterbatasan kemampuan negara memerangi dan mencegah terorisme. Bahkan untuk definisi yang memadai dan dapat diterima secara universal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjuk pelapor khusus mengenai perlawanan terorisme dengan mandat resolusi 2005/ 80 dan diperkuat oleh resolusi 60/251 dari dewan HAM PBB.
Berdasarkan laporannya, pelapor PBB tersebut menegaskan, pengaturan tindak pidana terorisme harus diatur dengan undang-undang dan bahasa yang presisi, termasuk menghindari terminologi yang kabur serta menyediakan penerapan pembelaan hukum memadai.
Secara garis besar, Indonesia memang telah terikat standar-standar hukum internasional yang digunakan untuk memberantas terorisme.
Namun, kebijakan global yang tidak diikuti dengan terminologi dan definisi yang ketat menyebabkan aparat seolah diberikan otoritas untuk secara subjektif menafsirkan apa itu terorisme dan siapa itu teroris. Akibatnya, negara berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia. Tentu ini patut diwaspadai, karena terminologi aksi teror yang meluas dapat memberikan celah justifikasi bagi penguasa untuk menekan tindakan masyarakat sipil atau memberangus lawan-lawan politiknya dengan dalih mencegah terorisme.
Perlindungan Warga
Tentu kita tidak ingin perubahan UU PTPT ini justru memperbesar kewenangan negara tanpa dibarengi dengan kesiapan mekanisme dan instrumen yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara dalam tatanan negara demokratik. Keberadaan UU Nomor 15/ 2003 terbukti langkah mundur bagi perkembangan hukum dan mengancam kebebasan sipil serta hak asasi.
Hal paling mendasar adalah akibat pendefinisian terorisme dalam UU saat ini bersifat luas dan elastis. Hal ini sangat berpotensi membuka ruang bagi penafsiran yang sewenang-wenang oleh negara.
Sikap pemerintah yang tak menginginkan adanya definisi sejak awal pembahasan RUU PTPT ini layak dipertanyakan. Perlu ada gagasan baru untuk membenahi kekacauan polemik isu terorisme.
Karena terorisme tidak bisa dilihat sebagai sebuah kejahatan murni saja, tetapi juga berimplikasi dan lahir dari masalah lainnya, seperti korupsi kian merajalela, kesenjangan sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Para penyelenggara negara semestinya menyadari penyebab karut marut persoalan terorisme yang membosankan ini. Faktanya, aturan pemberantasan terorisme yang pemerintah buat selama ini telah berdampak buruk karena telah menjerat umat muslim yang tak bersalah.
Dari 61 negara yang memiliki concern terkait persoalan terorisme, hanya 16 diantaranya tidak mempunyai definisi spesifik terorisme dalam peraturan perundang-undangannya. Absennya definisi “terorisme” yang universal dan komprehensif tidak meninggalkan negara-negara bertanggung jawab untuk merumuskan definisinya sendiri sesuai dengan kebutuhan politik dan situasi keamanan negaranya tersebut.
Perumusan definisi terorisme harus mencakup motivasi tindakan dan dapat menjerat siapa pun pelakunya serta dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan negara.
Perumusan definisi terorisme harus menggunakan bahasa yang jelas dan tidak memberi ruang penyalahgunaan istilah terorisme. Dalam konteks internasional, pendefinisian istilah terorisme di dalam rancangan peraturan perundang-undangan harus dibatasi dan diartikan sebagai upaya counter measure atau upaya melawan perbuatan yang dianggap bersifat teror yang karakteristiknya seperti dipaparkan di dalam Resolusi Dewan Keamanan 1566 (tahun 2004).
Kelompok kerja Dewan Keamanan PBB bahkan menyatakan, negara dengan legislasi yang memiliki definisi terorisme luas dan kabur, sama saja memberi posisi orang yang tidak bersalah di dalam tingkat sejajar dengan tersangka terorisme. Akibatnya, bisa meningkatkan risiko penahanan secara sewenang-wenang.
Untuk itu, kegagalan negara membatasi aturan dan upaya pemberantasan serta pencegahan terorisme dapat mengurangi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar serta mengabaikan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas (necessity and proportionality) yang mengatur pembatasan hak asasi manusia.
Pada akhirnya, kompleksitas perdebatan definisi seperti apa yang paling efektif dalam menggambarkan definisi terorisme harus dikesampingkan, dengan mendahulukan keamanan nasional. Dengan begitu, kebijakan negara menanggulangi persoalan terorisme bukan hanya perlu, tetapi harus.
Bagaimanapun terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi, dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial, dan tegaknya keadilan. Jadi, definisi yang presisi atas terorisme menjadi sebuah keniscayaan.
(kri)