Definisi Presisi Terorisme

Kamis, 26 April 2018 - 08:09 WIB
Definisi Presisi Terorisme
Definisi Presisi Terorisme
A A A
Aboe Bakar Alhabsyi
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

TERORISME. Kata ini ki­ni mengalami per­debatan def­i­ni­si yang imbasnya pa­­da pemaknaan beragam. Ujung­nya, pemberantasan te­ro­ris­me pun membuka lahirnya k­e­tidakadilan hanya karena de­fi­nisinya yang tak tunggal. Me­nga­pa sebuah definisi menjadi pen­ting? Karena di situlah b­a­tas­an tentang makna, arti se­buah kata atau frase dijalankan.

Betapa tidak, makna te­ro­ris­me yang beragam ini men­cuat­kan sejumlah catatan pe­nyik­sa­an dan salah tangkap dalam dra­ma pemberantasan tindak pi­da­­na terorisme. Hal ini m­e­nam­bah hangat pembahasan ran­cang­an perubahan Undang-Undang Nomor 15/2003 ten­tang Pemberantasan Tindak Pi­dana Terorisme (UU PTPT).

Ke­tia­daan definisi terorisme da­lam UU PTPT dianggap salah sa­tu penyebab kisruhnya ­pe­nang­kap­an umat atas nama ter­o­ris­me. Akibatnya, target pe­nin­dak­an terorisme cenderung bias dan upaya pemberantasan te­ro­risme tak kunjung tuntas.

Absennya definisi terorisme da­lam UU PTPT telah men­ca­cat­kan penegakan hukum tin­dak pidana terorisme. Negara di­anggap gagal melindungi ma­sya­rakat sipil terhadap aksi t­e­ro­risme.

Gagasan melakukan per­ubahan terhadap UU ter­o­rism­e adalah wujud transf­or­masi regulasi menuju peng­atur­an UU yang lebih komprehensif. Tak berlebihan, jika publik ber­ha­rap perubahan UU yang saat ini masih digodok DPR dan pe­me­rintah mampu menjawab ke­gelisahan umat yang menjadi kor­ban akibat hegemoni ke­kua­sa­an dan tindakan brutal aparat atas nama isu teroris.

Bukan hal mudah men­de­fi­ni­sikan terminologi terorisme da­lam suatu negara. Hal ini meng­ingat penggunaan ter­mi­no­logi yang meluas mengenai te­rorisme dapat membawa potensi penyalahgunaan ke­kua­sa­an dan kewenangan. Itu­lah mengapa sampai saat ini ma­sih ada perbedaan di berbagai ne­gara dalam menentukan def­i­ni­si terorisme secara universal.

Absennya suatu pengertian apa itu terorisme bisa men­ca­cat­­kan penegakan hukum ter­ha­­dap tindak pidana ter­o­ris­me dan perlindungan mas­ya­ra­kat si­pil terhadap per­buat­an te­­ro­ris­me. K­e­tia­daan de­finisi pada da­­­s­arnya me­nun­juk­kan adanya ke­­te­r­ba­­tas­­an kem­am­pu­an ne­ga­­ra me­me­rangi dan me­ncegah te­ro­­risme. Bahkan untuk de­­fi­ni­si yang memadai dan da­pat di­t­e­rima se­ca­ra uni­versal, Per­se­ri­kat­an Bangsa-Bangsa (PBB) me­­­nunjuk pelapor khu­sus me­nge­nai per­la­wan­an terorisme de­ngan man­­dat resolusi 2005/ 80 dan diperkuat oleh re­so­­lusi 60/251 dari de­wan HAM PBB.

Berdasarkan la­por­an­nya, pe­­lapor PBB tersebut me­­­ne­gas­kan, pengaturan tin­­dak pidana te­­rorisme harus di­­atur dengan undang-undang dan bahasa yang pre­si­si, ter­ma­suk meng­hin­­dari ter­mi­nologi yang kabur ser­ta me­nyediakan penerapan pem­­b­e­la­an hukum memadai.
Secara garis besar, In­do­ne­sia me­mang telah terikat standar-stan­dar hukum in­ter­nasional yang digunakan un­tuk mem­be­ran­tas terorisme.

Na­mun, ke­bi­jak­an global yang ti­dak diikuti de­­ngan ter­mi­no­logi dan de­fi­ni­si yang ketat m­e­nye­babkan apa­rat seolah di­be­rikan otoritas un­tuk secara sub­jektif me­naf­sir­kan apa itu te­r­orisme dan siapa itu teroris. Aki­bat­nya, negara ber­potensi m­e­lang­gar hak-hak asa­si ma­nu­sia. Te­n­tu ini patut di­was­pa­dai, ka­re­na terminologi aksi te­ror yang meluas dapat mem­be­ri­kan celah justifikasi ba­gi pe­ngua­sa untuk menekan tin­dak­an masyarakat sipil atau mem­­ber­angus lawan-lawan pol­­­i­tik­nya dengan dalih men­ce­gah terorisme.

Perlindungan Warga
Tentu kita tidak ingin per­ubah­­­an UU PTPT ini justru mem­­­per­besar kewenangan ne­ga­­ra tan­pa dibarengi de­ngan ke­sia­­p­­an me­kanisme dan ins­­tru­men yang men­jamin per­­lin­dung­an hak-hak war­ga ne­gara da­lam­ tatanan ne­ga­ra d­e­m­o­kra­tik. Keberadaan UU No­­mor 15/ 2003 terbukti lang­kah mun­dur ba­gi per­kem­bang­an hu­kum dan meng­­an­cam keb­e­bas­­an si­pil ser­ta hak asasi.

Hal pa­ling men­d­asar ada­­lah akibat pen­de­­fi­nisian te­ro­risme dalam UU saat ini ber­si­fat luas dan elastis. Hal ini sa­ngat ber­potensi mem­bu­ka ruang bagi pe­n­afsiran yang se­­wenang-we­nang oleh negara.

Sikap pemerintah yang tak meng­inginkan adanya definisi se­jak awal pembahasan RUU PTPT ini layak dipertanyakan. Per­­lu ada gagasan baru untuk mem­benahi kekacauan p­o­le­mik isu terorisme.

Karena te­r­o­ris­­me tidak bisa di­­lihat sebagai se­buah ke­ja­hat­an mur­ni saja, te­tapi juga ber­im­­pli­ka­si dan la­hir dari ma­sa­lah lain­nya, seperti ko­rupsi kian me­raj­a­le­la, ke­sen­jang­an so­sial, dan per­tum­­buh­an eko­no­mi yang stag­nan.

Para pe­nye­leng­gara negara se­­­mes­ti­nya me­nya­dari pe­nye­bab ka­rut ma­rut per­soal­an te­ro­risme yang mem­bo­san­kan ini. Fak­ta­nya, aturan pem­b­e­ran­tasan te­ro­ris­me yang p­e­mer­­intah buat se­la­ma ini te­lah ber­dampak bu­ruk ka­rena te­lah men­jerat umat mus­lim yang tak bersalah.

Dari 61 negara yang me­mi­liki con­­cern terkait persoalan te­­ro­ris­­me, ha­­­n­ya 16 di­an­ta­ra­nya ti­dak mem­pu­­­nyai de­fi­ni­si spe­­si­fik te­ro­risme d­a­­­lam per­­atur­­an per­undang-un­dang­­­­an­nya. Ab­sen­nya de­fi­ni­si “te­­ro­­risme” yang uni­versal dan kom­­pre­hensif ti­dak me­ning­­gal­kan negara-negara ber­tanggung jaw­­­ab un­­tuk me­rumuskan defi­ni­si­­nya sen­­diri se­suai dengan ke­bu­tuh­­an po­li­tik dan situasi ke­aman­an ne­ga­­ranya tersebut.
Perumusan definisi te­r­o­ris­­me harus mencakup mo­ti­va­si tin­dakan dan dapat men­je­­rat sia­pa pun pelakunya ser­ta di­­ang­gap sebagai ancaman se­­rius ba­gi keamanan negara.

Pe­­ru­­mus­an definisi te­ro­ris­me ha­rus meng­gunakan ba­ha­sa yang je­las dan tidak mem­beri ruang pe­nya­lah­gu­na­an istilah te­­ro­ris­me. Dalam kon­teks in­ter­­­na­s­i­onal, pen­de­fi­nisian is­ti­lah te­ro­ris­me di da­lam ran­cang­an per­atur­an per­undang-undangan ha­rus di­batasi dan di­artikan se­ba­gai upaya coun­t­er measure atau upaya mel­a­wan per­bua­t­an yang dianggap ber­sifat te­ror yang ka­rak­te­ris­tiknya se­pe­r­ti di­paparkan di da­l­am Re­so­lusi De­wan Ke­aman­an 1566 (tahun 2004).

Kelompok kerja Dewan Ke­­amanan PBB bahkan ­me­nya­­ta­kan, negara dengan le­gis­lasi yang memiliki definisi te­­ro­ris­me luas dan kabur, sa­ma saja mem­beri posisi orang yang ti­dak bersalah di dalam ting­kat se­jajar dengan ter­sang­­ka te­ro­ris­­me. Akibat­nya, bisa me­ning­­­kat­kan ri­siko pe­n­­ahanan se­­­cara se­wenang-wenang.

Un­­tuk itu, ke­­ga­gal­an negara mem­­batasi atur­an dan upa­ya pem­­be­ran­tas­an serta pen­­ce­gah­an te­ro­ris­me da­pat me­ngu­rangi pe­­nik­mat­an hak asasi dan ke­bebasan da­sar ser­­ta meng­abaikan prin­sip ke­b­u­­tuhan dan pr­o­por­sio­na­­litas (ne­ces­sity and pro­por­­tionality) yang meng­atur pembatasan hak asa­si manusia.

Pada akhirnya, kom­plek­­­si­­tas perdebatan de­­f­inisi se­per­ti apa yang pa­l­ing efektif da­­lam meng­­gambarkan de­fi­ni­si te­ro­­ris­me harus di­ke­sam­­­p­ing­kan, den­gan men­da­­­hu­lukan ke­­aman­an na­sio­nal. De­ngan b­e­­gitu, ke­bi­jak­an ne­gara me­nang­­gu­langi per­­s­oal­an te­ro­ris­me b­u­kan ha­­nya per­lu, te­ta­pi harus.

Ba­­­gai­ma­na­pun t­e­ro­ris­me ha­­­nya bisa di­cegah, di­tang­gu­­langi, dan di­persempit ruang ge­rak­nya oleh keb­i­jak­an ne­gara yang kom­­pr­e­hen­sif ba­gi tata ke­hi­dup­­an po­li­tik de­mo­­kratik, ke­s­e­jah­te­ra­an so­sial, dan t­e­gak­nya ke­adil­an. Ja­di, de­fi­nisi yang pre­­sisi atas te­ro­ris­me men­ja­di­ se­buah keniscayaan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6766 seconds (0.1#10.140)