Demokrasi Perwakilan vs Demokrasi Langsung

Kamis, 26 April 2018 - 07:10 WIB
Demokrasi Perwakilan vs Demokrasi Langsung
Demokrasi Perwakilan vs Demokrasi Langsung
A A A
Bambang Istianto
Wakil Ketua Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara,
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies
Institut STIAMI Jakarta

JAGAT perpolitikan In­­­donesia dewasa ini terus men­g­ala­mi distorsi dan bah­­­kan semakin suram. Ham­pir seluruh mata publik tertuju pa­­­da model demokrasi yang su­dah diterapkan namun se­ma­kin jauh dari harapan dan cita-cita ma­­syarakat. Dengan mo­del de­mo­­krasi yang selama ber­ja­lan di­­harapkan mampu mem­ba­wa k­e­­damaian dan ke­sejahteraaan rak­­yat di bawah pe­mimpin p­e­me­­rintahan yang ne­garawan. Akan tetapi, yang ter­jadi s­e­ba­lik­­n­ya, suasana ga­duh terus ber­lang­­sung dan ke­tim­pangan so­sial ekonomi se­ma­kin tajam.

Seluruh negara di dunia te­lah me­nerapkan sistem politik de­­mo­kratis karena sistem te­r­se­b­ut me­rupakan pilihan yang di­­ang­gap terbaik di­ban­ding­kan d­­e­ngan sistem lain, seperti mo­­nar­ki, totaliter, atau junta mi­­li­ter. Mes­­ki demikian, para il­­mu­wan po­­l­itik memberikan be­­ra­gam pen­­dapat terhadap kon­sep de­mo­­­krasi. Adapun yang men­jus­ti­­fi­kasikan pan­dang­an po­si­tif me­nga­takan bah­wa dengan sis­tem de­­mo­kra­si, maka dapat men­­ce­gah an­tara negara yang sa­­tu de­ngan negara yang lain sa­ling ber­pe­rang satu sama lain (Ro­­bert Dahl, 2001). Se­dang­kan An­­tho­ny Giddens (1994) me­nya­­takan kon­sep demokrasi da­­pat men­ja­di jalan tengah yang mampu men­ciptakan ke­adi­­l­an sosial.

Metode Memilih Pemimpin
Secara empiristik sistem po­­­li­­tik di Indonesia lebih me­mi­lih mo­del demokrasi untuk me­­mi­lih “pemimpin”. W­a­lau­pun In­do­ne­sia sudah ber­pe­nga­laman me­nerapkan de­m­o­kra­si selama 70 tahun lebih, ta­pi jarang ter­ja­di diskursus te­n­tang implikasi me­milih dan me­netapkan mo­del demokrasi un­tuk memilih pe­­­mimpin. Se­la­ma ini terjadi tren men­dik­o­to­mi antara mo­del demokrasi lang­sung dengan de­mokrasi per­wakilan.

Studi per­ban­ding­an tentang dua mo­del de­mo­kra­si ini kurang in­ten­sif di­la­ku­kan. Ketika pasca era re­­formasi (1998) tiba tiba para elite po­li­tik yang duduk di par­­­le­men le­bih suka me­mi­­lih de­mo­kra­si lang­s­ung (2004) dalam me­mi­lih pe­mimpin tanpa di­du­kung ar­­­gumentasi jelas. Para elite po­li­tik pada saat itu me­­­mi­liki pe­mi­kiran bah­wa ­de­­mo­kra­si pe­r­wa­kilan pro­duk dari se­buah sis­tem p­o­litik yang he­ge­mo­nik se­­la­ma rezim Orde Baru. P­e­­mim­­pin pemerintahan yang ter­pi­lih pada waktu di­n­­ilai ku­rang ka­pabel dan sa­­rat dengan k­o­lusi, ko­rup­si, dan nepotisme (KKN).

Apabila dicermati de­ngan sak­­sama para found­ing fathers te­­lah me­le­tak­­kan fondasi se­ba­­gai landasan da­lam mem­ba­ngun sis­tem politik yang de­­mo­kra­­tis sesuai fal­safah dan ideo­lo­gi negara, ya­itu “de­mokrasi Pan­­casila”. Esen­si nilai de­­mo­kra­si m­e­mi­liki karakter se­­suai si­la k­e­em­pat Pancasila, ya­itu ke­ra­k­yat­an yang di­pim­pin oleh hik­mat ke­bijaksanaan da­lam per­mu­sya­warat­an/per­wa­kil­an. Se­sung­guhnya konsep ­d­e­m­­o­kra­­si perwakilan termasuk kon­­­sep model demokrasi kon­tem­­­po­rer yang disebut “po­li­ar­­ki” (Ro­bert Dahl, 1963). Ke­mu­­di­an Dahl mendefinisikan po­­li­ar­ki se­bagai sistem ke­kua­saan mi­­no­­ritas yang terbuka, kom­pe­­ti­tif, pluralistis (dalam Krouse, 1982).

Lebih jauh dijelaskan bahwa po­­l­iarki memberikan ke­se­ta­ra­an politik lebih besar dan ke­dau­­lat­an populer serta sebagai ­mo­­del demokratis terbaik da­lam me­refleksikan partisipasi di era mo­dern atau masyarakat plu­­ra­lis­tis. Poliarki dipandang se­­ba­gai produk dari kebebasan dan umum­nya baik bagi ma­nu­sia (Dahl, 1990). Untuk itu, Dahl men­deskripsikan poliarki se­­ba­gai produk dari de­mo­kra­ti­sasi ne­gara bangsa dan bukan se­­per­ti “demokrasi langsung” se­perti di masa Athena Kuno.

De­ngan de­mikian, Dahl me­­­nyim­pulkan bah­wa p­o­­l­i­arki mi­­rip dengan r­e­pub­li­k­a­nis­me atau bentuk de­mo­­­kra­si perwakilan. Berdasarkan pendapat il­­muwan politik di atas, se­sun­g­guh­­nya atau dengan kata lain, pa­­da hakikatnya penerapan de­­mo­krasi perwakilan sebagai ciri da­ri demokrasi Pancasila. De­­ngan demikian, secara em­pi­­ris­tik telah dibenarkan dan di­­du­kung secara teoritis oleh Ro­bert Dahl dalam teorinya yang di­se­but “model de­mo­kra­si kon­tem­po­rer poliarki”. Teori Dahl ter­se­but juga diamini oleh Krouse (1982), Bayle dan Bray­brooke ( 2003).

Menganalisis lebih men­da­lam model demokrasi yang te­lah diterapkan dalam sistem po­­li­tik di Indonesia menjadi me­­na­rik untuk dibuka kembali dis­­ku­r­sus tentang dikotomi ­de­­mo­kra­si langsung dan de­mo­krasi per­wakilan. Pada akhir-akhir ini para elite politik dan bahkan Ke­tua DPR Bam­bang Soesatyo te­lah men­do­rong dan mem­bu­ka kembali ko­­tak Pandora ter­ha­dap fen­o­m­­e­na implikasi ke­ru­sakan m­o­del demokrasi lang­sung yang te­lah berjalan satu da­­sawarsa ini. Indikasi ke­­ru­sak­an model de­mo­krasi langsung, ham­pir 60% kepala daerah yang ter­­p­i­lih terlibat korupsi dan iro­nis­nya sebagian be­s­ar ter­tan­g­kap ta­ngan (OTT) oleh Komisi Pem­­be­rantasan Korupsi (KPK). Mes­kipun elite po­li­tik ter­­ke­si­ma dan shock me­lihat de­mikian pa­rah­nya implikasi yang terjadi ter­­sebut, tapi ma­sih ga­mang apa­kah model de­mo­­krasi lang­sung dalam me­­mi­lih pemimpin akan te­tap dilanjutkan.

Menguji Model Demokrasi
Berdasarkan catatan seja­rah pa­da masa 1945-1959, da­lam me­­milih pemimpin pe­me­­rin­tah­­an (perdana men­te­ri) yang di­­ang­kat dan diber­hen­­ti­kan oleh par­le­men (le­gis­latif/ DPR), pada pe­rio­de sis­tem de­mo­­krasi yang ber­la­ku masih di­­ka­­te­go­ri­kan se­ba­gai model de­­mo­krasi per­wa­kil­an karena ke­­pa­la pe­me­rin­tah­an d­i­ang­kat dan di­ber­hen­tikan oleh pa­­r­le­men atau DPR.

Demikian pula pada masa Orde Baru 1967-1998, demo­kra­si perwakilan diberlakukan kem­bali dalam memilih gu­ber­nur dan bupati/wali kota, yaitu oleh DPRD. Setelah Reformasi, pe­milihan kepala daerah di­lan­jut­kan lagi dipilih oleh DPRD sam­pai 2003. Artinya, de­mo­kra­­si perwakilan masih ber­lang­­­sung. Pada masa itu, jika di­cer­­mati dengan saksama se­b­e­nar­nya secara empiristik pe­ne­rap­an model demokrasi per­wa­kil­an berjalan kondusif. De­mi­ki­­an pula stabilitas politik juga re­latif terkendali.

Era Reformasi merupakan ma­sa melakukan evaluasi ter­ha­­d­­ap sistem politik pada masa Or­­de Baru sehingga perlu di­la­ku­kan perubahan tatanan sis­tem dan struktur politik dan se­ka­ligus sistem demokrasinya. Oleh sebab itu, sejak 2004 dil­a­ku­­kan perubahan model de­mo­­kra­si, yaitu menerapkan de­mo­­krasi langsung untuk me­mi­lih pre­siden, gubernur, dan bu­­pa­ti/ wali kota. Seperti telah di­­je­las­kan di atas, banyak ka­lang­an ter­kesima dan shock jus­t­ru pe­ne­rapan demokrasi langsung mem­bawa implikasi yang luas, ya­itu munculnya po­li­tik uang se­cara masif, mahar po­l­itik, dan bah­kan tumbuh su­bur dinasti po­litik.

Diskursus demokrasi per­wa­­kilan dan demokrasi lang­sung harus tetap terus dilak­u­kan sampai menemukan de­sain mo­del demokrasi yang te­pat se­suai dengan keadaan ma­sya­­ra­kat dan bangsa In­do­ne­sia. Se­tiap model dan sistem su­dah di­pas­tikan memiliki ke­le­bih­an dan kekurangannya. Te­ta­pi, sua­­tu pilihan sudah ba­rang ten­tu harus diambil yang bi­sa m­e­mas­tikan risiko paling mi­nimal.

Pe­n­­jelasan di atas da­pat di­sim­pul­­kan bahwa kedua mo­del de­mo­­­krasi tersebut meng­alami ke­­gagalan di­im­ple­men­tasikan da­­lam sistem po­li­tik di In­do­ne­sia. Akan tetapi, m­o­del de­mo­kra­­si perwakilan se­cara empiris le­­bih kondusif, efi­sien, dan mam­­pu me­mi­ni­ma­li­sasi keg­a­duh­­an politik. Se­lain itu, de­mo­krasi perwakilan me­miliki la­n­das­an teori yang kuat, seperti di­nyatakan Ro­bert Dahl (1963) dan didukung Krouse (1982) ser­­ta Brayle & Bray­brooke (2003). Demikian pu­la, de­mo­kra­­si perwakilan se­suai dengan fal­­safah dan ideo­logi serta ha­ki­kat demokrasi Pancasila.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0538 seconds (0.1#10.140)