Demokrasi Perwakilan vs Demokrasi Langsung
A
A
A
Bambang Istianto
Wakil Ketua Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara,
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies
Institut STIAMI Jakarta
JAGAT perpolitikan Indonesia dewasa ini terus mengalami distorsi dan bahkan semakin suram. Hampir seluruh mata publik tertuju pada model demokrasi yang sudah diterapkan namun semakin jauh dari harapan dan cita-cita masyarakat. Dengan model demokrasi yang selama berjalan diharapkan mampu membawa kedamaian dan kesejahteraaan rakyat di bawah pemimpin pemerintahan yang negarawan. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, suasana gaduh terus berlangsung dan ketimpangan sosial ekonomi semakin tajam.
Seluruh negara di dunia telah menerapkan sistem politik demokratis karena sistem tersebut merupakan pilihan yang dianggap terbaik dibandingkan dengan sistem lain, seperti monarki, totaliter, atau junta militer. Meski demikian, para ilmuwan politik memberikan beragam pendapat terhadap konsep demokrasi. Adapun yang menjustifikasikan pandangan positif mengatakan bahwa dengan sistem demokrasi, maka dapat mencegah antara negara yang satu dengan negara yang lain saling berperang satu sama lain (Robert Dahl, 2001). Sedangkan Anthony Giddens (1994) menyatakan konsep demokrasi dapat menjadi jalan tengah yang mampu menciptakan keadilan sosial.
Metode Memilih Pemimpin
Secara empiristik sistem politik di Indonesia lebih memilih model demokrasi untuk memilih “pemimpin”. Walaupun Indonesia sudah berpengalaman menerapkan demokrasi selama 70 tahun lebih, tapi jarang terjadi diskursus tentang implikasi memilih dan menetapkan model demokrasi untuk memilih pemimpin. Selama ini terjadi tren mendikotomi antara model demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan.
Studi perbandingan tentang dua model demokrasi ini kurang intensif dilakukan. Ketika pasca era reformasi (1998) tiba tiba para elite politik yang duduk di parlemen lebih suka memilih demokrasi langsung (2004) dalam memilih pemimpin tanpa didukung argumentasi jelas. Para elite politik pada saat itu memiliki pemikiran bahwa demokrasi perwakilan produk dari sebuah sistem politik yang hegemonik selama rezim Orde Baru. Pemimpin pemerintahan yang terpilih pada waktu dinilai kurang kapabel dan sarat dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Apabila dicermati dengan saksama para founding fathers telah meletakkan fondasi sebagai landasan dalam membangun sistem politik yang demokratis sesuai falsafah dan ideologi negara, yaitu “demokrasi Pancasila”. Esensi nilai demokrasi memiliki karakter sesuai sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sesungguhnya konsep demokrasi perwakilan termasuk konsep model demokrasi kontemporer yang disebut “poliarki” (Robert Dahl, 1963). Kemudian Dahl mendefinisikan poliarki sebagai sistem kekuasaan minoritas yang terbuka, kompetitif, pluralistis (dalam Krouse, 1982).
Lebih jauh dijelaskan bahwa poliarki memberikan kesetaraan politik lebih besar dan kedaulatan populer serta sebagai model demokratis terbaik dalam merefleksikan partisipasi di era modern atau masyarakat pluralistis. Poliarki dipandang sebagai produk dari kebebasan dan umumnya baik bagi manusia (Dahl, 1990). Untuk itu, Dahl mendeskripsikan poliarki sebagai produk dari demokratisasi negara bangsa dan bukan seperti “demokrasi langsung” seperti di masa Athena Kuno.
Dengan demikian, Dahl menyimpulkan bahwa poliarki mirip dengan republikanisme atau bentuk demokrasi perwakilan. Berdasarkan pendapat ilmuwan politik di atas, sesungguhnya atau dengan kata lain, pada hakikatnya penerapan demokrasi perwakilan sebagai ciri dari demokrasi Pancasila. Dengan demikian, secara empiristik telah dibenarkan dan didukung secara teoritis oleh Robert Dahl dalam teorinya yang disebut “model demokrasi kontemporer poliarki”. Teori Dahl tersebut juga diamini oleh Krouse (1982), Bayle dan Braybrooke ( 2003).
Menganalisis lebih mendalam model demokrasi yang telah diterapkan dalam sistem politik di Indonesia menjadi menarik untuk dibuka kembali diskursus tentang dikotomi demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Pada akhir-akhir ini para elite politik dan bahkan Ketua DPR Bambang Soesatyo telah mendorong dan membuka kembali kotak Pandora terhadap fenomena implikasi kerusakan model demokrasi langsung yang telah berjalan satu dasawarsa ini. Indikasi kerusakan model demokrasi langsung, hampir 60% kepala daerah yang terpilih terlibat korupsi dan ironisnya sebagian besar tertangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun elite politik terkesima dan shock melihat demikian parahnya implikasi yang terjadi tersebut, tapi masih gamang apakah model demokrasi langsung dalam memilih pemimpin akan tetap dilanjutkan.
Menguji Model Demokrasi
Berdasarkan catatan sejarah pada masa 1945-1959, dalam memilih pemimpin pemerintahan (perdana menteri) yang diangkat dan diberhentikan oleh parlemen (legislatif/ DPR), pada periode sistem demokrasi yang berlaku masih dikategorikan sebagai model demokrasi perwakilan karena kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh parlemen atau DPR.
Demikian pula pada masa Orde Baru 1967-1998, demokrasi perwakilan diberlakukan kembali dalam memilih gubernur dan bupati/wali kota, yaitu oleh DPRD. Setelah Reformasi, pemilihan kepala daerah dilanjutkan lagi dipilih oleh DPRD sampai 2003. Artinya, demokrasi perwakilan masih berlangsung. Pada masa itu, jika dicermati dengan saksama sebenarnya secara empiristik penerapan model demokrasi perwakilan berjalan kondusif. Demikian pula stabilitas politik juga relatif terkendali.
Era Reformasi merupakan masa melakukan evaluasi terhadap sistem politik pada masa Orde Baru sehingga perlu dilakukan perubahan tatanan sistem dan struktur politik dan sekaligus sistem demokrasinya. Oleh sebab itu, sejak 2004 dilakukan perubahan model demokrasi, yaitu menerapkan demokrasi langsung untuk memilih presiden, gubernur, dan bupati/ wali kota. Seperti telah dijelaskan di atas, banyak kalangan terkesima dan shock justru penerapan demokrasi langsung membawa implikasi yang luas, yaitu munculnya politik uang secara masif, mahar politik, dan bahkan tumbuh subur dinasti politik.
Diskursus demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung harus tetap terus dilakukan sampai menemukan desain model demokrasi yang tepat sesuai dengan keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Setiap model dan sistem sudah dipastikan memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tetapi, suatu pilihan sudah barang tentu harus diambil yang bisa memastikan risiko paling minimal.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua model demokrasi tersebut mengalami kegagalan diimplementasikan dalam sistem politik di Indonesia. Akan tetapi, model demokrasi perwakilan secara empiris lebih kondusif, efisien, dan mampu meminimalisasi kegaduhan politik. Selain itu, demokrasi perwakilan memiliki landasan teori yang kuat, seperti dinyatakan Robert Dahl (1963) dan didukung Krouse (1982) serta Brayle & Braybrooke (2003). Demikian pula, demokrasi perwakilan sesuai dengan falsafah dan ideologi serta hakikat demokrasi Pancasila.
Wakil Ketua Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara,
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies
Institut STIAMI Jakarta
JAGAT perpolitikan Indonesia dewasa ini terus mengalami distorsi dan bahkan semakin suram. Hampir seluruh mata publik tertuju pada model demokrasi yang sudah diterapkan namun semakin jauh dari harapan dan cita-cita masyarakat. Dengan model demokrasi yang selama berjalan diharapkan mampu membawa kedamaian dan kesejahteraaan rakyat di bawah pemimpin pemerintahan yang negarawan. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, suasana gaduh terus berlangsung dan ketimpangan sosial ekonomi semakin tajam.
Seluruh negara di dunia telah menerapkan sistem politik demokratis karena sistem tersebut merupakan pilihan yang dianggap terbaik dibandingkan dengan sistem lain, seperti monarki, totaliter, atau junta militer. Meski demikian, para ilmuwan politik memberikan beragam pendapat terhadap konsep demokrasi. Adapun yang menjustifikasikan pandangan positif mengatakan bahwa dengan sistem demokrasi, maka dapat mencegah antara negara yang satu dengan negara yang lain saling berperang satu sama lain (Robert Dahl, 2001). Sedangkan Anthony Giddens (1994) menyatakan konsep demokrasi dapat menjadi jalan tengah yang mampu menciptakan keadilan sosial.
Metode Memilih Pemimpin
Secara empiristik sistem politik di Indonesia lebih memilih model demokrasi untuk memilih “pemimpin”. Walaupun Indonesia sudah berpengalaman menerapkan demokrasi selama 70 tahun lebih, tapi jarang terjadi diskursus tentang implikasi memilih dan menetapkan model demokrasi untuk memilih pemimpin. Selama ini terjadi tren mendikotomi antara model demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan.
Studi perbandingan tentang dua model demokrasi ini kurang intensif dilakukan. Ketika pasca era reformasi (1998) tiba tiba para elite politik yang duduk di parlemen lebih suka memilih demokrasi langsung (2004) dalam memilih pemimpin tanpa didukung argumentasi jelas. Para elite politik pada saat itu memiliki pemikiran bahwa demokrasi perwakilan produk dari sebuah sistem politik yang hegemonik selama rezim Orde Baru. Pemimpin pemerintahan yang terpilih pada waktu dinilai kurang kapabel dan sarat dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Apabila dicermati dengan saksama para founding fathers telah meletakkan fondasi sebagai landasan dalam membangun sistem politik yang demokratis sesuai falsafah dan ideologi negara, yaitu “demokrasi Pancasila”. Esensi nilai demokrasi memiliki karakter sesuai sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sesungguhnya konsep demokrasi perwakilan termasuk konsep model demokrasi kontemporer yang disebut “poliarki” (Robert Dahl, 1963). Kemudian Dahl mendefinisikan poliarki sebagai sistem kekuasaan minoritas yang terbuka, kompetitif, pluralistis (dalam Krouse, 1982).
Lebih jauh dijelaskan bahwa poliarki memberikan kesetaraan politik lebih besar dan kedaulatan populer serta sebagai model demokratis terbaik dalam merefleksikan partisipasi di era modern atau masyarakat pluralistis. Poliarki dipandang sebagai produk dari kebebasan dan umumnya baik bagi manusia (Dahl, 1990). Untuk itu, Dahl mendeskripsikan poliarki sebagai produk dari demokratisasi negara bangsa dan bukan seperti “demokrasi langsung” seperti di masa Athena Kuno.
Dengan demikian, Dahl menyimpulkan bahwa poliarki mirip dengan republikanisme atau bentuk demokrasi perwakilan. Berdasarkan pendapat ilmuwan politik di atas, sesungguhnya atau dengan kata lain, pada hakikatnya penerapan demokrasi perwakilan sebagai ciri dari demokrasi Pancasila. Dengan demikian, secara empiristik telah dibenarkan dan didukung secara teoritis oleh Robert Dahl dalam teorinya yang disebut “model demokrasi kontemporer poliarki”. Teori Dahl tersebut juga diamini oleh Krouse (1982), Bayle dan Braybrooke ( 2003).
Menganalisis lebih mendalam model demokrasi yang telah diterapkan dalam sistem politik di Indonesia menjadi menarik untuk dibuka kembali diskursus tentang dikotomi demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Pada akhir-akhir ini para elite politik dan bahkan Ketua DPR Bambang Soesatyo telah mendorong dan membuka kembali kotak Pandora terhadap fenomena implikasi kerusakan model demokrasi langsung yang telah berjalan satu dasawarsa ini. Indikasi kerusakan model demokrasi langsung, hampir 60% kepala daerah yang terpilih terlibat korupsi dan ironisnya sebagian besar tertangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun elite politik terkesima dan shock melihat demikian parahnya implikasi yang terjadi tersebut, tapi masih gamang apakah model demokrasi langsung dalam memilih pemimpin akan tetap dilanjutkan.
Menguji Model Demokrasi
Berdasarkan catatan sejarah pada masa 1945-1959, dalam memilih pemimpin pemerintahan (perdana menteri) yang diangkat dan diberhentikan oleh parlemen (legislatif/ DPR), pada periode sistem demokrasi yang berlaku masih dikategorikan sebagai model demokrasi perwakilan karena kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh parlemen atau DPR.
Demikian pula pada masa Orde Baru 1967-1998, demokrasi perwakilan diberlakukan kembali dalam memilih gubernur dan bupati/wali kota, yaitu oleh DPRD. Setelah Reformasi, pemilihan kepala daerah dilanjutkan lagi dipilih oleh DPRD sampai 2003. Artinya, demokrasi perwakilan masih berlangsung. Pada masa itu, jika dicermati dengan saksama sebenarnya secara empiristik penerapan model demokrasi perwakilan berjalan kondusif. Demikian pula stabilitas politik juga relatif terkendali.
Era Reformasi merupakan masa melakukan evaluasi terhadap sistem politik pada masa Orde Baru sehingga perlu dilakukan perubahan tatanan sistem dan struktur politik dan sekaligus sistem demokrasinya. Oleh sebab itu, sejak 2004 dilakukan perubahan model demokrasi, yaitu menerapkan demokrasi langsung untuk memilih presiden, gubernur, dan bupati/ wali kota. Seperti telah dijelaskan di atas, banyak kalangan terkesima dan shock justru penerapan demokrasi langsung membawa implikasi yang luas, yaitu munculnya politik uang secara masif, mahar politik, dan bahkan tumbuh subur dinasti politik.
Diskursus demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung harus tetap terus dilakukan sampai menemukan desain model demokrasi yang tepat sesuai dengan keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Setiap model dan sistem sudah dipastikan memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tetapi, suatu pilihan sudah barang tentu harus diambil yang bisa memastikan risiko paling minimal.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua model demokrasi tersebut mengalami kegagalan diimplementasikan dalam sistem politik di Indonesia. Akan tetapi, model demokrasi perwakilan secara empiris lebih kondusif, efisien, dan mampu meminimalisasi kegaduhan politik. Selain itu, demokrasi perwakilan memiliki landasan teori yang kuat, seperti dinyatakan Robert Dahl (1963) dan didukung Krouse (1982) serta Brayle & Braybrooke (2003). Demikian pula, demokrasi perwakilan sesuai dengan falsafah dan ideologi serta hakikat demokrasi Pancasila.
(kri)