Sinergi Gerakan Literasi
A
A
A
Setyadi Sulaiman
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SINERGI menjadi kata kunci keberhasilan gerakan literasi. Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan Pemberantasan Buta Huruf pada 1948, menyusul kemudian gerakan serupa pada 1960, sinergi dilakukan berbagai pihak. Disokong utamanya oleh kelompok masyarakat sipil dan kaum cerdik pandai, gerakan literasi berjalan masif satu di antaranya melalui kegiatan mengajar secara sukarela. Demi kesuksesan program, Presiden Soekarno bersama para relawan pemberantas buta huruf turut serta mengajar ke berbagai wilayah. Satu di antara yang didatangi adalah Desa Sarangan, Magetan, Jawa Timur, sebuah desa yang hanya memiliki 5% penduduk berkemampuan membaca (Santoso, 2017).
Budaya Membaca
Berjalan hampir tujuh dekade, gerakan literasi masih minim dampak. Beragam hambatan dihadapi satu di antaranya terkait budaya membaca masyarakat yang masih rendah. Sebagai sebuah aktivitas, kegiatan membaca belum membudaya, terlebih menjadi kebutuhan hidup.
Data Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP) 2015 mencatat, 88% masyarakat (kelompok usia sekolah, baik pada usia jenjang pendidikan dasar, menengah, ataupun tinggi) tidak membaca, baik surat kabar, koran, maupun majalah cetak. Sementara 71% masyarakat tidak membaca buku cetak selain kitab suci. Kemudahan akses masyarakat perkotaan terhadap buku dan media cetak tidak berdampak pada peningkatan minat baca.
Kondisi serupa juga dapat dilihat pada rendahnya minat baca masyarakat terhadap artikel atau berita. Kemajuan teknologi yang telah memberikan beragam kemudahan bagi masyarakat ternyata tidak berkorelasi positif terhadap minat baca mereka pada berbagai artikel atau berita yang bersumber dari media elektronik. Hanya sekitar 10-15% dari penduduk usia sekolah jenjang SMP hingga pendidikan tinggi yang membaca artikel atau berita dari media elektronik setiap hari (Susenas MSBP 2015).
Ada beragam sebab yang membuat minat baca masyarakat Indonesia rendah. Pertama, membaca belum menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Budaya membaca sejauh ini masih kalah pamor jika dibandingkan dengan budaya lisan. Pengetahuan masyarakat seringkali diperoleh bukan melalui aktivitas membaca, melainkan hasil dari perbincangan antara satu dan lainnya. Ini yang mendasari mengapa hoaks tumbuh subur di keseharian masyarakat. Segala informasi diterima tanpa dipastikan kebenarannya.
Kedua, relasi antara pengelola perpustakaan dan masyarakat masih lemah. Membangun budaya dan minat baca perlu dimulai dari jalinan relasi yang kuat antarpengelola perpustakaan di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Pengelola perpustakaan, utamanya yang berada di bawah koordinasi pemerintah daerah, tampak kehilangan kreativitas dalam membangun relasi dengan masyarakat, terlebih untuk bersama-sama melancarkan “gerakan revolusi baca”.
Ketiga, keterlibatan dunia usaha dalam penguatan agenda peningkatan minat baca masih minim. Belajar dari kasus pengelolaan perpustakaan di banyak daerah, dunia usaha enggan menjadikan perpustakaan sebagai mitra strategis. Hal itu dapat dilihat misalnya dari penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) yang jarang diperuntukkan bagi program peningkatan budaya dan minat baca masyarakat. Belakangan beberapa perusahaan melalui dana CSR memberikan bantuan kepada perpustakaan di daerah, baik dalam bentuk penguatan jaringan ataupun penyediaan koleksi buku, namun inisiatif ini baru dilakukan oleh segelintir perusahaan.
Sinergi Gerakan
Merespons hal tersebut, sinergi gerakan mendesak dilakukan. Memperkuat literasi informasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga dunia usaha maupun masyarakat. Bagi pemerintah, penguatan program perlu dilancarkan melalui skema kebijakan yang inovatif sekaligus partisipatif. Pemerintah misalnya tidak perlu sungkan belajar dari para penggiat literasi di berbagai daerah yang dengan inovasinya berhasil meningkatkan budaya dan minat baca masyarakat. Begitu juga pemerintah daerah, termasuk kepala desa. Mereka perlu lebih intensif mengawal pengelolaan perpustakaan satu di antaranya dengan merancang program prioritas terkait literasi yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Jika masalah yang dihadapi adalah minim dana perpustakaan, menjalin kerja sama dengan dunia usaha dapat menjadi strategi yang dikedepankan. Selain itu, memanfaatkan dana desa dapat juga dijadikan pilihan strategi. Buku Saku Dana Desa (2017) menyebutkan penggunaan dana desa pada 2018 satu di antaranya diprioritaskan untuk perpustakaan desa. Namun, masih banyak kepala desa yang belum berani memanfaatkan dana desa untuk perpustakaan.
Dalam konteks ini, penggiat literasi dapat dilibatkan sebagai pendamping pemerintah daerah dalam pemanfaatan dana desa untuk perpustakaan yang umumnya ditentukan dalam Musrenbang Desa. Pada skala yang lebih besar, Kemendes PDTT, Perpusnas, Kemendagri, termasuk Bappenas perlu duduk bersama membahas hal ini dan sesegera mungkin merumuskan solusi.
Strategi lain adalah penguatan kapasitas sumber daya perpustakaan. Bergabung dalam kegiatan bimbingan teknis, pelatihan, atau workshop yang diperkuat dengan membaca ragam informasi terbaru seputar dunia literasi perlu dilakukan para pengelola perpustakaan guna menambah amunisi pengetahuan sehingga mampu menciptakan gagasan kreatif dan inovatif.
Bagi dunia usaha, memaksimalkan potensi dana CSR untuk peningkatan literasi masyarakat perlu secara serius dipikirkan. CSR, seperti dinyatakan dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, diharapkan dapat memberikan implikasi positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain untuk memperkuat jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Atas dasar itu, mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui jalur penguatan literasi informasi dapat menjadi satu di antara program kerja pihak industri.
Adapun bagi masyarakat, menjadikan aktivitas membaca sebagai kebutuhan dasar mutlak dilakukan. Christine Bruce (2003) menjelaskan, dengan memperkuat literasi informasi, masyarakat akan memperoleh beragam informasi dan pengetahuan yang berguna untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dalam pekerjaan maupun pendidikan. Terlebih pengalaman di banyak negara mengajarkan, peningkatan literasi berkontribusi positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Emile Yeoh dan Kah-Mun Chu (2012) menegaskan, seseorang dengan kemampuan membaca yang baik akan menikmati standar kehidupan lebih tinggi, memiliki kesempatan mencari pekerjaan lebih baik, dan dapat terus mempelajari keterampilan baru yang akan membantu mereka di tempat kerja. Kedua peneliti dari Universiti Malaya tersebut juga meyakinkan bahwa sebuah negara dengan tingkat melek huruf tinggi akan lebih cepat mencapai kemajuan ekonomi seiring kedatangan pengusaha asing untuk berinvestasi.
Melihat urgensi literasi, semua pihak perlu bergerak bersama sesuai kapasitas masing-masing. Keberhasilan melakukan sinergi gerakan literasi akan mengakhiri darurat literasi informasi yang masih terjadi hingga saat ini.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SINERGI menjadi kata kunci keberhasilan gerakan literasi. Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan Pemberantasan Buta Huruf pada 1948, menyusul kemudian gerakan serupa pada 1960, sinergi dilakukan berbagai pihak. Disokong utamanya oleh kelompok masyarakat sipil dan kaum cerdik pandai, gerakan literasi berjalan masif satu di antaranya melalui kegiatan mengajar secara sukarela. Demi kesuksesan program, Presiden Soekarno bersama para relawan pemberantas buta huruf turut serta mengajar ke berbagai wilayah. Satu di antara yang didatangi adalah Desa Sarangan, Magetan, Jawa Timur, sebuah desa yang hanya memiliki 5% penduduk berkemampuan membaca (Santoso, 2017).
Budaya Membaca
Berjalan hampir tujuh dekade, gerakan literasi masih minim dampak. Beragam hambatan dihadapi satu di antaranya terkait budaya membaca masyarakat yang masih rendah. Sebagai sebuah aktivitas, kegiatan membaca belum membudaya, terlebih menjadi kebutuhan hidup.
Data Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP) 2015 mencatat, 88% masyarakat (kelompok usia sekolah, baik pada usia jenjang pendidikan dasar, menengah, ataupun tinggi) tidak membaca, baik surat kabar, koran, maupun majalah cetak. Sementara 71% masyarakat tidak membaca buku cetak selain kitab suci. Kemudahan akses masyarakat perkotaan terhadap buku dan media cetak tidak berdampak pada peningkatan minat baca.
Kondisi serupa juga dapat dilihat pada rendahnya minat baca masyarakat terhadap artikel atau berita. Kemajuan teknologi yang telah memberikan beragam kemudahan bagi masyarakat ternyata tidak berkorelasi positif terhadap minat baca mereka pada berbagai artikel atau berita yang bersumber dari media elektronik. Hanya sekitar 10-15% dari penduduk usia sekolah jenjang SMP hingga pendidikan tinggi yang membaca artikel atau berita dari media elektronik setiap hari (Susenas MSBP 2015).
Ada beragam sebab yang membuat minat baca masyarakat Indonesia rendah. Pertama, membaca belum menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Budaya membaca sejauh ini masih kalah pamor jika dibandingkan dengan budaya lisan. Pengetahuan masyarakat seringkali diperoleh bukan melalui aktivitas membaca, melainkan hasil dari perbincangan antara satu dan lainnya. Ini yang mendasari mengapa hoaks tumbuh subur di keseharian masyarakat. Segala informasi diterima tanpa dipastikan kebenarannya.
Kedua, relasi antara pengelola perpustakaan dan masyarakat masih lemah. Membangun budaya dan minat baca perlu dimulai dari jalinan relasi yang kuat antarpengelola perpustakaan di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Pengelola perpustakaan, utamanya yang berada di bawah koordinasi pemerintah daerah, tampak kehilangan kreativitas dalam membangun relasi dengan masyarakat, terlebih untuk bersama-sama melancarkan “gerakan revolusi baca”.
Ketiga, keterlibatan dunia usaha dalam penguatan agenda peningkatan minat baca masih minim. Belajar dari kasus pengelolaan perpustakaan di banyak daerah, dunia usaha enggan menjadikan perpustakaan sebagai mitra strategis. Hal itu dapat dilihat misalnya dari penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) yang jarang diperuntukkan bagi program peningkatan budaya dan minat baca masyarakat. Belakangan beberapa perusahaan melalui dana CSR memberikan bantuan kepada perpustakaan di daerah, baik dalam bentuk penguatan jaringan ataupun penyediaan koleksi buku, namun inisiatif ini baru dilakukan oleh segelintir perusahaan.
Sinergi Gerakan
Merespons hal tersebut, sinergi gerakan mendesak dilakukan. Memperkuat literasi informasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga dunia usaha maupun masyarakat. Bagi pemerintah, penguatan program perlu dilancarkan melalui skema kebijakan yang inovatif sekaligus partisipatif. Pemerintah misalnya tidak perlu sungkan belajar dari para penggiat literasi di berbagai daerah yang dengan inovasinya berhasil meningkatkan budaya dan minat baca masyarakat. Begitu juga pemerintah daerah, termasuk kepala desa. Mereka perlu lebih intensif mengawal pengelolaan perpustakaan satu di antaranya dengan merancang program prioritas terkait literasi yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Jika masalah yang dihadapi adalah minim dana perpustakaan, menjalin kerja sama dengan dunia usaha dapat menjadi strategi yang dikedepankan. Selain itu, memanfaatkan dana desa dapat juga dijadikan pilihan strategi. Buku Saku Dana Desa (2017) menyebutkan penggunaan dana desa pada 2018 satu di antaranya diprioritaskan untuk perpustakaan desa. Namun, masih banyak kepala desa yang belum berani memanfaatkan dana desa untuk perpustakaan.
Dalam konteks ini, penggiat literasi dapat dilibatkan sebagai pendamping pemerintah daerah dalam pemanfaatan dana desa untuk perpustakaan yang umumnya ditentukan dalam Musrenbang Desa. Pada skala yang lebih besar, Kemendes PDTT, Perpusnas, Kemendagri, termasuk Bappenas perlu duduk bersama membahas hal ini dan sesegera mungkin merumuskan solusi.
Strategi lain adalah penguatan kapasitas sumber daya perpustakaan. Bergabung dalam kegiatan bimbingan teknis, pelatihan, atau workshop yang diperkuat dengan membaca ragam informasi terbaru seputar dunia literasi perlu dilakukan para pengelola perpustakaan guna menambah amunisi pengetahuan sehingga mampu menciptakan gagasan kreatif dan inovatif.
Bagi dunia usaha, memaksimalkan potensi dana CSR untuk peningkatan literasi masyarakat perlu secara serius dipikirkan. CSR, seperti dinyatakan dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, diharapkan dapat memberikan implikasi positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain untuk memperkuat jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Atas dasar itu, mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui jalur penguatan literasi informasi dapat menjadi satu di antara program kerja pihak industri.
Adapun bagi masyarakat, menjadikan aktivitas membaca sebagai kebutuhan dasar mutlak dilakukan. Christine Bruce (2003) menjelaskan, dengan memperkuat literasi informasi, masyarakat akan memperoleh beragam informasi dan pengetahuan yang berguna untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dalam pekerjaan maupun pendidikan. Terlebih pengalaman di banyak negara mengajarkan, peningkatan literasi berkontribusi positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Emile Yeoh dan Kah-Mun Chu (2012) menegaskan, seseorang dengan kemampuan membaca yang baik akan menikmati standar kehidupan lebih tinggi, memiliki kesempatan mencari pekerjaan lebih baik, dan dapat terus mempelajari keterampilan baru yang akan membantu mereka di tempat kerja. Kedua peneliti dari Universiti Malaya tersebut juga meyakinkan bahwa sebuah negara dengan tingkat melek huruf tinggi akan lebih cepat mencapai kemajuan ekonomi seiring kedatangan pengusaha asing untuk berinvestasi.
Melihat urgensi literasi, semua pihak perlu bergerak bersama sesuai kapasitas masing-masing. Keberhasilan melakukan sinergi gerakan literasi akan mengakhiri darurat literasi informasi yang masih terjadi hingga saat ini.
(wib)