Lika-liku Perjalanan Kasus Setya Novanto
A
A
A
JAKARTA - Hari ini akan menjadi momentum penting bagi mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto.
Mantan orang nomor satu di Partai Golkar ini akan menghadapi vonis yang akan dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Perjalanan kasus ini penuh liku. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Banyak peristiwa mengejutkan, bahkan dramatis dalam pengusutan kasus ini.
Seperti yang pernah diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang tuntutan, perkara ini penuh liku dan diselimuti banyak peristiwa yang tidak mengenakkan. "Dari seorang saksi di luar negeri yang bunuh diri, peristiwa menabrak tiang listrik, hingga drama penundaan pembacaan dakwaan hingga tujuh jam," kata Jaksa Irene Putri, 29 Maret 2018. (Baca juga: Jaksa: Kasus E-KTP Diselimuti Kejadian Tak Mengenakkan dan Berliku )
Sejak awal pengusutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Selain nilai kerugian negara yang besar, kasus ini juga diduga melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat, anggota DPR, hingga pengusaha.
Dalam kasus ini, KPK telah menjerat berbagai pihak, di antaranya mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong. Ketiganya telah telah dijatuhi hukuman penjara oleh hakim.
Kasus ini kian menjadi sorotan publik ketika KPK menyatakan Setnov terlibat kasus ini. Sebagai seorang nomor satu di lembaga politik, Setnov yang ketika itu menjabat Ketua DPR tidak begitu saja menerima tuduhan KPK. Setnov pun melakukan perlawanan.
Untuk menjerat Setnov, KPK harus melakukan penetapan tersangka sebanyak dua kali. Penetapan tersangka Setnov pada 17 Juli 2017 hanya seumur jagung.
Melalui putusan sidang praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), status tersangka Setnov akhirnya dibatalkan pada 29 September 2017.
Tidak terima dengan putusan PN Jaksel, KPK kembali kembali membidik Setnov. Tanggal 10 November 2017, KPK menetapkan Setnov menjadi tersangka untuk kedua kalinya.
Lima hari kemudian, tepatnya 15 November 2017, penyidik KPK mendatangi rumah Setnov. Kehadiran mereka untuk menjemput Setnov yang beberapa kali tidak memenuhi panggilan penyidik.
Setnov menghilang. KPK pun berencana memasukkannya dalam daftar pencarian orang (DPO). Esok harinya muncul kabar Setnov mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik di Jalan Permata Berlian, Jakarta Selatan.
Setnov pun dirawat di RS Medika Permata Hijau. Belakangan terungkap ada drama di balik dirawatnya Setnov di rumah sakit tersebut. KPK menetapkan kuasa hukum Setnov saat itu, Fredrich Yunadi dan dr Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan kasus Setnov. Dalam sidang perkara tersebut, terungkap ada rekayasa dalam rekam medis Setnov. (Baca juga: Bimanesh Ungkap Permintaan Frederich Ubah Skenario Medis Setnov )
Setnov sempat dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, hingga akhirnya dijemput oleh KPK dan ditahan di Rumah Tahanan KPK.
Meski sudah ditahan, bukan berarti penanganan kasus Setnov berjalan mulus. Setnov kembali mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Upaya Setnov gagal. Hakim menolak gugatan karena KPK telah melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Drama kasus ini pun berlanjut pada awal persidangan Setnov. Meski sudah duduk di kursi pesakitan, Setnov tidak kunjung membuka mulut. Dia pun bungkam seribu bahasan dengan alasan sakit. Alhasil sidang pembacaan dakwaan ditunda selama tujuh jam.
Jaksa mendakwa Setnov mengintervensi proyek e-KTP dan merugikan negara Rp2,3 triliuan. Sidang pun bergulir. Jaksa menuntut Setnov dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta wajib membayar uang pengganti USD7,43 juta.
Jaksa juga meminta agar hak politik Setnov dicabut.Tidak hanya itu, keinginan Setnov menjadi justice collaborator juga ditolak.
Dalam sidang pleidoi, Setnov membantah mengintervensi perkara e-KTP. Menurut dia, penganggaran proyek e-KTP dirancang oleh Kementerian Dalam Negeri, bukan DPR. Sementara DPR hanya memberikan persetujuan.
Dia pun mengungkap sejumlah nama anggota DPR yang dikatakanya menerima dana proyek e-KTP. Kendati pengajuannya sebagai justice collaborator ditolak, dia mengaku tetap akan membantu penyidik KPK memberikan keterangan yang signifikan mengenai kasus yang membelitnya.
"Saya tetap akan bantu penyidik dengan keterangan-keterangan yang signifikan sepanjang yang saya ketahui untuk menuntaskan kasus e-KTP," ucap Setnov saat membacakan pleidoinya, 13 April 2018. (Baca juga: Ceritakan Perjalanan Hidupnya, Setnov Tak Ingin Terus Dicaci Maki )
Lalu bagaimana putusan pengadilan atas perkara Setnov, tunggu saja putusan Majelis Hakim yang akan dibacakan pada hari ini.
Mantan orang nomor satu di Partai Golkar ini akan menghadapi vonis yang akan dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Perjalanan kasus ini penuh liku. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Banyak peristiwa mengejutkan, bahkan dramatis dalam pengusutan kasus ini.
Seperti yang pernah diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang tuntutan, perkara ini penuh liku dan diselimuti banyak peristiwa yang tidak mengenakkan. "Dari seorang saksi di luar negeri yang bunuh diri, peristiwa menabrak tiang listrik, hingga drama penundaan pembacaan dakwaan hingga tujuh jam," kata Jaksa Irene Putri, 29 Maret 2018. (Baca juga: Jaksa: Kasus E-KTP Diselimuti Kejadian Tak Mengenakkan dan Berliku )
Sejak awal pengusutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Selain nilai kerugian negara yang besar, kasus ini juga diduga melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat, anggota DPR, hingga pengusaha.
Dalam kasus ini, KPK telah menjerat berbagai pihak, di antaranya mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong. Ketiganya telah telah dijatuhi hukuman penjara oleh hakim.
Kasus ini kian menjadi sorotan publik ketika KPK menyatakan Setnov terlibat kasus ini. Sebagai seorang nomor satu di lembaga politik, Setnov yang ketika itu menjabat Ketua DPR tidak begitu saja menerima tuduhan KPK. Setnov pun melakukan perlawanan.
Untuk menjerat Setnov, KPK harus melakukan penetapan tersangka sebanyak dua kali. Penetapan tersangka Setnov pada 17 Juli 2017 hanya seumur jagung.
Melalui putusan sidang praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), status tersangka Setnov akhirnya dibatalkan pada 29 September 2017.
Tidak terima dengan putusan PN Jaksel, KPK kembali kembali membidik Setnov. Tanggal 10 November 2017, KPK menetapkan Setnov menjadi tersangka untuk kedua kalinya.
Lima hari kemudian, tepatnya 15 November 2017, penyidik KPK mendatangi rumah Setnov. Kehadiran mereka untuk menjemput Setnov yang beberapa kali tidak memenuhi panggilan penyidik.
Setnov menghilang. KPK pun berencana memasukkannya dalam daftar pencarian orang (DPO). Esok harinya muncul kabar Setnov mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik di Jalan Permata Berlian, Jakarta Selatan.
Setnov pun dirawat di RS Medika Permata Hijau. Belakangan terungkap ada drama di balik dirawatnya Setnov di rumah sakit tersebut. KPK menetapkan kuasa hukum Setnov saat itu, Fredrich Yunadi dan dr Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan kasus Setnov. Dalam sidang perkara tersebut, terungkap ada rekayasa dalam rekam medis Setnov. (Baca juga: Bimanesh Ungkap Permintaan Frederich Ubah Skenario Medis Setnov )
Setnov sempat dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, hingga akhirnya dijemput oleh KPK dan ditahan di Rumah Tahanan KPK.
Meski sudah ditahan, bukan berarti penanganan kasus Setnov berjalan mulus. Setnov kembali mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Upaya Setnov gagal. Hakim menolak gugatan karena KPK telah melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Drama kasus ini pun berlanjut pada awal persidangan Setnov. Meski sudah duduk di kursi pesakitan, Setnov tidak kunjung membuka mulut. Dia pun bungkam seribu bahasan dengan alasan sakit. Alhasil sidang pembacaan dakwaan ditunda selama tujuh jam.
Jaksa mendakwa Setnov mengintervensi proyek e-KTP dan merugikan negara Rp2,3 triliuan. Sidang pun bergulir. Jaksa menuntut Setnov dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta wajib membayar uang pengganti USD7,43 juta.
Jaksa juga meminta agar hak politik Setnov dicabut.Tidak hanya itu, keinginan Setnov menjadi justice collaborator juga ditolak.
Dalam sidang pleidoi, Setnov membantah mengintervensi perkara e-KTP. Menurut dia, penganggaran proyek e-KTP dirancang oleh Kementerian Dalam Negeri, bukan DPR. Sementara DPR hanya memberikan persetujuan.
Dia pun mengungkap sejumlah nama anggota DPR yang dikatakanya menerima dana proyek e-KTP. Kendati pengajuannya sebagai justice collaborator ditolak, dia mengaku tetap akan membantu penyidik KPK memberikan keterangan yang signifikan mengenai kasus yang membelitnya.
"Saya tetap akan bantu penyidik dengan keterangan-keterangan yang signifikan sepanjang yang saya ketahui untuk menuntaskan kasus e-KTP," ucap Setnov saat membacakan pleidoinya, 13 April 2018. (Baca juga: Ceritakan Perjalanan Hidupnya, Setnov Tak Ingin Terus Dicaci Maki )
Lalu bagaimana putusan pengadilan atas perkara Setnov, tunggu saja putusan Majelis Hakim yang akan dibacakan pada hari ini.
(dam)