Kartini dan Konservatisme Politik
A
A
A
Gagasan Kartini yang dikumpulkan dan dibukukan JH Abendanon pada 1911, Door Duisternis Tot Licht, yang diterjemahkan Armijn Pane pada 1938 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, kental dengan pesan emansipasi perempuan dalam pembebasan diri melawan adat, kekolotan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Dalam suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, Stella, Kartini menginginkan kebebasan. Menurutnya hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka. Namun jalan kebebasan perempuan bumiputra berbatu-batu dan terjal.
Di era kemajuan seperti sekarang ini, pesan emansipasi dan pembebasan melawan kekolotan dan kebodohan masih mendapatkan tantangan dengan munculnya konservatisme politik dan produk politik yang justru membelenggu kegiatan publik perempuan. Bahkan ada yang mengatur tingkah laku dan perilaku perempuan yang menjadi hak asasi perempuan sebagai individu. Kelahiran berbagai peraturan daerah (perda) yang mengekang perempuan dan penolakan pemimpin perempuan dalam politik elektoral adalah salah satu indikasinya.
Keterwakilan Perempuan
Emansipasi perempuan sebagaimana cita-cita Kartini sudah mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Berbagai jabatan publik di lembaga legislatif dan eksekutif sudah diisi perempuan.
Dalam Undang-Undang tentang Pemilu, sejak 2004 telah diatur affirmative action keterwakilan 30% perempuan dalam susunan daftar calon legislator (caleg) dan keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan partai politik. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi dan peran politik perempuan di lembaga-lembaga politik seperti DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Di Indonesia perempuan punya peran strategis dalam sistem demokrasi elektoral karena jumlahnya yang besar dan relatif berimbang dengan pemilih laki-laki. Data di Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Ppemilu legislatif (Pileg) 2014 pemilih perempuan berjumlah 93.172.645 orang dan pemilih laki-laki 93.439.610 orang. Sementara dalam Pemilu Presiden 2014 jumlah pemilih laki-laki 95.220.799 dan pemilih perempuan 95.086.335.
Namun hasil Pileg 2014 menghasilkan berkurangnya perolehan kursi caleg perempuan yang memperoleh 96 kursi dari 560 kursi di DPR atau 17,32%. Hasil ini lebih rendah dari Pileg 2009 yang mencapai 102 kursi atau 18,39%. Sementara di tingkat DPRD provinsi persentase perempuan 16,14% dari total anggota DPRD. Di tingkat kabupaten/ kota jumlahnya lebih rendah lagi, yaitu 14%.
Jumlah keterwakilan perempuan di DPR 2014 lebih rendah daripada data UN-Women 2015 yang mencatat 22% keterwakilan perempuan dari seluruh anggota parlemen di tingkat nasional di seluruh dunia.
Negara Rwanda mencatatkan jumlah anggota parlemen terbanyak perempuan, yaitu 63,8%. Rata-rata jumlah anggota parlemen perempuan di negara Skandinavia adalah 41,5%. Di Amerika Serikat angkanya 26,3% dan di Asia 18,5%.
Ani Soetjipto dalam bukunya, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi (2011), menyatakan bahwa keterwakilan perempuan bukanlah identitas tunggal karena juga melekat identitas lain seperti suku, agama, kelas, dan sebagainya. Karena itu menurutnya kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan baru sampai pada tingkat mendorong peningkatan jumlah perempuan.
Belum sampai pada upaya bagaimana keberadaan perempuan itu bermakna untuk membuat proses politik transformatif di parlemen.
Di sinilah peran partai politik sangat penting agar politik afirmatif jangan hanya dimaknai sebatas membawa jenis kelamin perempuan ke
lembaga perwakilan, tapi juga harus dilihat identitas dan kepentingan kelompok mana yang dibawa ke dalam lembaga perwakilan. Keterwakilan tersebut akan bermakna jika perempuan itu mewakili kaum marginal dan terpinggirkan agar suara mereka didengar.
Merebaknya Konservatisme Politik
Jeffrey Winters (2014) dan Marcus Meitzner (2014), peneliti Indonesianis, menyatakan bahwa meskipun Indonesia telah mengalami reformasi pada 1998, oligarki politik tetap menguasai lembaga politik formal, hukum, media, bahkan lembaga keagamaan. Oligarki politik ini juga mengarah pada konservatisme politik, khususnya dalam kebijakan dan wacana politik perempuan.
Konservatisme politik, menurut kamus pemikiran politik Roger Scruton (2007) dan Frank Bealey (1999), adalah sebuah pandangan politik yang menginginkan dipertahankannya tatanan dan kelembagaan yang telah ada. Konservatisme politik dapat muncul dengan berbagai kombinasi ideologi dan praktik politik. Atas nama stabilitas, konservatisme menolak kemunculan kebaruan kultural, sosial, ekonomi, dan politik.
Mereka mengagungkan kepemimpinan yang hierarkis dan keteraturan (order) sebagai kebutuhan dasar manusia dalam bermasyarakat. Karena itu sering kali kelompok konservatif berupaya menjustifikasi ketimpangan dan ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang sudah ada secara alamiah (state of nature).
Produk politik konservatif telah menjadikan perempuan dan tubuh perempuan sebagai korban seperti tampak dalam perda di berbagai daerah. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, pada 2014 ditemukan 154 perda yang diskriminatif terhadap perempuan dengan 19 perda di tingkat provinsi, 134 peraturan di tingkat kabupaten/kota, dan 1 peraturan daerah di tingkat desa. Jawa Barat, Sumatera Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur tercatat sebagai provinsi yang kabupatennya paling sering
menerbitkan kebijakan diskriminatif atas perempuan.
Sebanyak 64 perda secara diskriminatif ditujukan kepada perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi seperti cara berpakaian, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan, dan pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.
Komnas Perempuan juga menolak usulan tentang tes keperawanan yang berulang kali diangkat oleh aparat pemerintahan dan anggota lembaga legislatif daerah seperti di Jambi, Jawa Timur, dan Prabumulih di Sumatera Selatan.
Kecenderungan ini, menurut Solidaritas Perempuan (2017), menandai menguatnya sistem politik patriarki yang didukung fundamentalisme yang melahirkan praktik intoleransi, pengelolaan kekuasaan patriarki, diskriminatif, membatasi hak-hak, dan mengeksploitasi tubuh perempuan.
Sebab hal itu adalah sebuah kebutuhan untuk memperjuangkan penguatan posisi politik perempuan dengan penguatan akses dan kontrol perempuan atas keputusan politik agar berdaulat atas tubuh, pikiran, ruang gerak, dan hasil kerja perempuan, kehidupan keluarga, komunitas, dan bangsanya.
Meski pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri telah membatalkan sebagian dari perda-perda tersebut, pada peringatan Hari Kartini ini ada hal strategis yang harus dipikirkan di tahun politik 2018-2019, yaitu bagaimana menjadikan pemilih perempuan dan keterwakilan perempuan tidak terjebak dalam rayuan manis partai politik yang melahirkan kebijakan diskriminatif atas perempuan.
Kaum perempuan dengan jumlahnya yang besar sebagai pemilih, bila digunakan dengan cerdas dan bijak, akan menjadi kekuatan yang dapat mencegah konservatisme politik makin berkembang. Pada perempuan yang cerdas politik, nasib bangsa ini juga akan ditentukan.
Dalam suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, Stella, Kartini menginginkan kebebasan. Menurutnya hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka. Namun jalan kebebasan perempuan bumiputra berbatu-batu dan terjal.
Di era kemajuan seperti sekarang ini, pesan emansipasi dan pembebasan melawan kekolotan dan kebodohan masih mendapatkan tantangan dengan munculnya konservatisme politik dan produk politik yang justru membelenggu kegiatan publik perempuan. Bahkan ada yang mengatur tingkah laku dan perilaku perempuan yang menjadi hak asasi perempuan sebagai individu. Kelahiran berbagai peraturan daerah (perda) yang mengekang perempuan dan penolakan pemimpin perempuan dalam politik elektoral adalah salah satu indikasinya.
Keterwakilan Perempuan
Emansipasi perempuan sebagaimana cita-cita Kartini sudah mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Berbagai jabatan publik di lembaga legislatif dan eksekutif sudah diisi perempuan.
Dalam Undang-Undang tentang Pemilu, sejak 2004 telah diatur affirmative action keterwakilan 30% perempuan dalam susunan daftar calon legislator (caleg) dan keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan partai politik. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi dan peran politik perempuan di lembaga-lembaga politik seperti DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Di Indonesia perempuan punya peran strategis dalam sistem demokrasi elektoral karena jumlahnya yang besar dan relatif berimbang dengan pemilih laki-laki. Data di Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Ppemilu legislatif (Pileg) 2014 pemilih perempuan berjumlah 93.172.645 orang dan pemilih laki-laki 93.439.610 orang. Sementara dalam Pemilu Presiden 2014 jumlah pemilih laki-laki 95.220.799 dan pemilih perempuan 95.086.335.
Namun hasil Pileg 2014 menghasilkan berkurangnya perolehan kursi caleg perempuan yang memperoleh 96 kursi dari 560 kursi di DPR atau 17,32%. Hasil ini lebih rendah dari Pileg 2009 yang mencapai 102 kursi atau 18,39%. Sementara di tingkat DPRD provinsi persentase perempuan 16,14% dari total anggota DPRD. Di tingkat kabupaten/ kota jumlahnya lebih rendah lagi, yaitu 14%.
Jumlah keterwakilan perempuan di DPR 2014 lebih rendah daripada data UN-Women 2015 yang mencatat 22% keterwakilan perempuan dari seluruh anggota parlemen di tingkat nasional di seluruh dunia.
Negara Rwanda mencatatkan jumlah anggota parlemen terbanyak perempuan, yaitu 63,8%. Rata-rata jumlah anggota parlemen perempuan di negara Skandinavia adalah 41,5%. Di Amerika Serikat angkanya 26,3% dan di Asia 18,5%.
Ani Soetjipto dalam bukunya, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi (2011), menyatakan bahwa keterwakilan perempuan bukanlah identitas tunggal karena juga melekat identitas lain seperti suku, agama, kelas, dan sebagainya. Karena itu menurutnya kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan baru sampai pada tingkat mendorong peningkatan jumlah perempuan.
Belum sampai pada upaya bagaimana keberadaan perempuan itu bermakna untuk membuat proses politik transformatif di parlemen.
Di sinilah peran partai politik sangat penting agar politik afirmatif jangan hanya dimaknai sebatas membawa jenis kelamin perempuan ke
lembaga perwakilan, tapi juga harus dilihat identitas dan kepentingan kelompok mana yang dibawa ke dalam lembaga perwakilan. Keterwakilan tersebut akan bermakna jika perempuan itu mewakili kaum marginal dan terpinggirkan agar suara mereka didengar.
Merebaknya Konservatisme Politik
Jeffrey Winters (2014) dan Marcus Meitzner (2014), peneliti Indonesianis, menyatakan bahwa meskipun Indonesia telah mengalami reformasi pada 1998, oligarki politik tetap menguasai lembaga politik formal, hukum, media, bahkan lembaga keagamaan. Oligarki politik ini juga mengarah pada konservatisme politik, khususnya dalam kebijakan dan wacana politik perempuan.
Konservatisme politik, menurut kamus pemikiran politik Roger Scruton (2007) dan Frank Bealey (1999), adalah sebuah pandangan politik yang menginginkan dipertahankannya tatanan dan kelembagaan yang telah ada. Konservatisme politik dapat muncul dengan berbagai kombinasi ideologi dan praktik politik. Atas nama stabilitas, konservatisme menolak kemunculan kebaruan kultural, sosial, ekonomi, dan politik.
Mereka mengagungkan kepemimpinan yang hierarkis dan keteraturan (order) sebagai kebutuhan dasar manusia dalam bermasyarakat. Karena itu sering kali kelompok konservatif berupaya menjustifikasi ketimpangan dan ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang sudah ada secara alamiah (state of nature).
Produk politik konservatif telah menjadikan perempuan dan tubuh perempuan sebagai korban seperti tampak dalam perda di berbagai daerah. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, pada 2014 ditemukan 154 perda yang diskriminatif terhadap perempuan dengan 19 perda di tingkat provinsi, 134 peraturan di tingkat kabupaten/kota, dan 1 peraturan daerah di tingkat desa. Jawa Barat, Sumatera Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur tercatat sebagai provinsi yang kabupatennya paling sering
menerbitkan kebijakan diskriminatif atas perempuan.
Sebanyak 64 perda secara diskriminatif ditujukan kepada perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi seperti cara berpakaian, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan, dan pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.
Komnas Perempuan juga menolak usulan tentang tes keperawanan yang berulang kali diangkat oleh aparat pemerintahan dan anggota lembaga legislatif daerah seperti di Jambi, Jawa Timur, dan Prabumulih di Sumatera Selatan.
Kecenderungan ini, menurut Solidaritas Perempuan (2017), menandai menguatnya sistem politik patriarki yang didukung fundamentalisme yang melahirkan praktik intoleransi, pengelolaan kekuasaan patriarki, diskriminatif, membatasi hak-hak, dan mengeksploitasi tubuh perempuan.
Sebab hal itu adalah sebuah kebutuhan untuk memperjuangkan penguatan posisi politik perempuan dengan penguatan akses dan kontrol perempuan atas keputusan politik agar berdaulat atas tubuh, pikiran, ruang gerak, dan hasil kerja perempuan, kehidupan keluarga, komunitas, dan bangsanya.
Meski pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri telah membatalkan sebagian dari perda-perda tersebut, pada peringatan Hari Kartini ini ada hal strategis yang harus dipikirkan di tahun politik 2018-2019, yaitu bagaimana menjadikan pemilih perempuan dan keterwakilan perempuan tidak terjebak dalam rayuan manis partai politik yang melahirkan kebijakan diskriminatif atas perempuan.
Kaum perempuan dengan jumlahnya yang besar sebagai pemilih, bila digunakan dengan cerdas dan bijak, akan menjadi kekuatan yang dapat mencegah konservatisme politik makin berkembang. Pada perempuan yang cerdas politik, nasib bangsa ini juga akan ditentukan.
(nag)