Kementerian PPPA Tolak Perkawinan Usia Anak
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu bertemu dengan Pelaksana tugas Bupati Kabupaten Bantaeng, Muhammad Yasin untuk berkoordinasi terkait kasus perkawinan usia anak di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Koordinasi ditekankan pada upaya-upaya pendampingan dan pemantauan terhadap anak dan mendorong komitmen daerah untuk mencegah perkawinan usia anak terjadi kembali.
Pribudiarta juga secara tegas menyampaikan Kementerian PPPA tidak menoleransi perkawinan usia anak.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menoleransi dan menolak perkawinan usia anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak. Pada kasus F (14) dan S (16) yang telah mengajukan permohonan perkawinan secara negara, Dinas PPPA di daerah perlu melakukan upaya pendampingan dan pemantauan terhadap kedua anak," tuturnya dalam siaran pers Kementerian PPPA kepada SINDOnews, Kamis (19/4/2018).
Selain itu, Kementerian PPPA juga ingin memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan perkawinan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan undang-undang yang berlaku
Dia menegaskan, pemantauan harus terus dilakukan mengingat perkawinan secara agama sudah dilakukan. "Dikarenakan secara psikologis anak belum matang untuk membangun keluarga. Kami mengapresiasi kedatangan Plt Bupati Bantaeng yang langsung berkoordinasi dengan Kemen PPPA dan berkomitmen melindungi perempuan dan anak di daerahnya,” ujar Pribudiarta.
Plt Bupati Kabupaten Bantaeng, Muhammad Yasin menyampaikan saat ini pendampingan terhadap kedua anak dan keluarganya telah dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDPPPA) Kabupaten Bantaeng melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), sejak pertama kali kasus mencuat.
Dia menegaskan Pemkab Bantaeng juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas kesehatan untuk memastikan hak anak tersebut terpenuhi.
Dinas Pendidikan dan pemerintah desa pun dikatakannya telah sepakat untuk memfasilitasi dalam hal pendidikan.
Sebagai kepala daerah, dia mengaku resah dengan adanya perkawinan usia anak. Ketika pertama kali mendengar ada kasus tersebut pada 16 April 2018, seketika itu pula dia menghubungi dan memanggil seluruh pejabat dan instansi terkait seperti Pengadilan Agama dan Kepala Kantor Urusan Agama, untuk berkonsolidasi terkait langkah yang perlu segera dilakukan.
"KUA dan camat yang bertanggung jawab pun sadar, jika perkawinan anak tetap dilakukan akan melanggar Undang-Undang, sehingga mereka menolak. Solusinya, melalui Puspaga di Kabupaten Bantaeng akan dilakukan pendampingan dan penanganan terhadap anak dan keluarganya,” tutur Yasin.
Dia menegaskan dengan adanya pertemuan seperti ini, komitmen Pemkab Bantaeng semakin kuat untuk menghentikan perkawinan usia anak. Bahkan, kata dia, Pemkab Bantaeng akan melakukan MOU dengan Kementerian PPPA dan melakukan upaya pencegahan dan sosialisasi di daerahnya.
"Di Kabupaten Bantaeng masyarakatnya masih memegang teguh budaya. Oleh karena itu kami akan merangkul masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Selain itu, bertepatan dengan momentum Ramadhan, rencana pendekatan akan kami lakukan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan,” tambah Yasin.
Kemen PPPA terus mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak. Saat ini, usulan tersebut sedang dikoordinasikan bersama Kementerian Agama.
Koordinasi ditekankan pada upaya-upaya pendampingan dan pemantauan terhadap anak dan mendorong komitmen daerah untuk mencegah perkawinan usia anak terjadi kembali.
Pribudiarta juga secara tegas menyampaikan Kementerian PPPA tidak menoleransi perkawinan usia anak.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menoleransi dan menolak perkawinan usia anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak. Pada kasus F (14) dan S (16) yang telah mengajukan permohonan perkawinan secara negara, Dinas PPPA di daerah perlu melakukan upaya pendampingan dan pemantauan terhadap kedua anak," tuturnya dalam siaran pers Kementerian PPPA kepada SINDOnews, Kamis (19/4/2018).
Selain itu, Kementerian PPPA juga ingin memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan perkawinan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan undang-undang yang berlaku
Dia menegaskan, pemantauan harus terus dilakukan mengingat perkawinan secara agama sudah dilakukan. "Dikarenakan secara psikologis anak belum matang untuk membangun keluarga. Kami mengapresiasi kedatangan Plt Bupati Bantaeng yang langsung berkoordinasi dengan Kemen PPPA dan berkomitmen melindungi perempuan dan anak di daerahnya,” ujar Pribudiarta.
Plt Bupati Kabupaten Bantaeng, Muhammad Yasin menyampaikan saat ini pendampingan terhadap kedua anak dan keluarganya telah dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDPPPA) Kabupaten Bantaeng melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), sejak pertama kali kasus mencuat.
Dia menegaskan Pemkab Bantaeng juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas kesehatan untuk memastikan hak anak tersebut terpenuhi.
Dinas Pendidikan dan pemerintah desa pun dikatakannya telah sepakat untuk memfasilitasi dalam hal pendidikan.
Sebagai kepala daerah, dia mengaku resah dengan adanya perkawinan usia anak. Ketika pertama kali mendengar ada kasus tersebut pada 16 April 2018, seketika itu pula dia menghubungi dan memanggil seluruh pejabat dan instansi terkait seperti Pengadilan Agama dan Kepala Kantor Urusan Agama, untuk berkonsolidasi terkait langkah yang perlu segera dilakukan.
"KUA dan camat yang bertanggung jawab pun sadar, jika perkawinan anak tetap dilakukan akan melanggar Undang-Undang, sehingga mereka menolak. Solusinya, melalui Puspaga di Kabupaten Bantaeng akan dilakukan pendampingan dan penanganan terhadap anak dan keluarganya,” tutur Yasin.
Dia menegaskan dengan adanya pertemuan seperti ini, komitmen Pemkab Bantaeng semakin kuat untuk menghentikan perkawinan usia anak. Bahkan, kata dia, Pemkab Bantaeng akan melakukan MOU dengan Kementerian PPPA dan melakukan upaya pencegahan dan sosialisasi di daerahnya.
"Di Kabupaten Bantaeng masyarakatnya masih memegang teguh budaya. Oleh karena itu kami akan merangkul masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Selain itu, bertepatan dengan momentum Ramadhan, rencana pendekatan akan kami lakukan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan,” tambah Yasin.
Kemen PPPA terus mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak. Saat ini, usulan tersebut sedang dikoordinasikan bersama Kementerian Agama.
(dam)