Kementerian PPPA Libatkan Pegiat Perempuan Cegah Pernikahan di Bawah Umur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkawinan anak yang masih terjadi di sejumlah desa memantik simpati para pegiat perempuan. Mirisnya lagi, perkawinan itu justru mendapat dukungan dari tokoh adat, masyarakat, dan tokoh agama, serta pihak keluarga.
(Baca juga: Alasan Menikah Gak Perlu Mahal, Apalagi saat Pandemi Covid-19)
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny N Rosalin, mengatakan pegiat perempuan di tingkat desa memiliki peran strategis untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak sekaligus dalam penanganan kasus perkawinan anak.
Menurutnya, kelompok perempuan yang berjuang dalam isu anak dapat mudah diterima dalam mengadvokasi dan membantu pemerintah untuk mencegah perkawinan anak. (Baca juga: Hak Suami Harus Dipenuhi, Hak Istri Wajib Ditunaikan)
"Kami yakin perempuan-perempuan champions atau pegiat perempuan andalan di desanya masing-masing mampu bergerak untuk mencegah perkawinan anak. Terutama memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga di wilayahnya agar tidak mengawinkan anak-anak mereka di usia anak," kata Lenny dalam keterangan resminya, Rabu (26/8/2020).
Lantaran itu, pihaknya terus berupaya membekali kelompok perempuan di tingkat desa melalui pendidikan kesadaran hukum. Menurut dia, nantinya mereka bisa berperan sebagai paralegal dan pegiat perempuan andalan untuk mencegah dan menangani setiap kasus perkawinan anak di lingkungan sekitar.
Saat ini Kementerian PPPA bersama sejumlah lembaga pemerhati lainnya juga tengah melakukan pemetaan permasalahan perkawinan anak. Termasuk juga melakukan sosialisasi, mediasi, dan membuat regulasi, seperti peraturan desa, bupati, atau gubernur terkait kasus tersebut.
Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan) Misiyah mengungkapkan, selama ini para kelompok perempuan juga telah berupaya dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak, melaporkan kasus perkawinan anak dan berkoordinasi dengan keluarga, kepala desa, dan dinas terkait.
Mereka juga memberikan edukasi mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan melibatkan tokoh adat, masyarakat, dan agama dan Dinas PPPA.
"Banyak perempuan yang berasal dari desa-desa terpencil yang sudah terorganisir dan terbangun kesadaran kritisnya. Dengan bekal itu, mereka secara sukarela melakukan advokasi mendorong peraturan di tingkat lokal dan menangani kasus-kasus perkawinan anak," ujarnya.
Meski begitu, tidak dimungkiri bahwa kelompok perempuan juga mengalami tantangan dalam upaya menekan angka perkawinan anak. Misiyah berharap kelompok perempuan terus memperkuat kapasitas mereka dalam strategi menghadapi tantangan yang dihadapi, terutama dalam menegakkan hukum paska revisi UU Perkawinan.
Selain itu, ia juga berharap meningkatnya instrumen hukum untuk menangani kasus perkawinan anak akan dapat mendukung kerja mereka yang selama ini masih terbatas pada upaya mediasi kasus.
(Baca juga: Alasan Menikah Gak Perlu Mahal, Apalagi saat Pandemi Covid-19)
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny N Rosalin, mengatakan pegiat perempuan di tingkat desa memiliki peran strategis untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak sekaligus dalam penanganan kasus perkawinan anak.
Menurutnya, kelompok perempuan yang berjuang dalam isu anak dapat mudah diterima dalam mengadvokasi dan membantu pemerintah untuk mencegah perkawinan anak. (Baca juga: Hak Suami Harus Dipenuhi, Hak Istri Wajib Ditunaikan)
"Kami yakin perempuan-perempuan champions atau pegiat perempuan andalan di desanya masing-masing mampu bergerak untuk mencegah perkawinan anak. Terutama memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga di wilayahnya agar tidak mengawinkan anak-anak mereka di usia anak," kata Lenny dalam keterangan resminya, Rabu (26/8/2020).
Lantaran itu, pihaknya terus berupaya membekali kelompok perempuan di tingkat desa melalui pendidikan kesadaran hukum. Menurut dia, nantinya mereka bisa berperan sebagai paralegal dan pegiat perempuan andalan untuk mencegah dan menangani setiap kasus perkawinan anak di lingkungan sekitar.
Saat ini Kementerian PPPA bersama sejumlah lembaga pemerhati lainnya juga tengah melakukan pemetaan permasalahan perkawinan anak. Termasuk juga melakukan sosialisasi, mediasi, dan membuat regulasi, seperti peraturan desa, bupati, atau gubernur terkait kasus tersebut.
Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan) Misiyah mengungkapkan, selama ini para kelompok perempuan juga telah berupaya dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak, melaporkan kasus perkawinan anak dan berkoordinasi dengan keluarga, kepala desa, dan dinas terkait.
Mereka juga memberikan edukasi mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan melibatkan tokoh adat, masyarakat, dan agama dan Dinas PPPA.
"Banyak perempuan yang berasal dari desa-desa terpencil yang sudah terorganisir dan terbangun kesadaran kritisnya. Dengan bekal itu, mereka secara sukarela melakukan advokasi mendorong peraturan di tingkat lokal dan menangani kasus-kasus perkawinan anak," ujarnya.
Meski begitu, tidak dimungkiri bahwa kelompok perempuan juga mengalami tantangan dalam upaya menekan angka perkawinan anak. Misiyah berharap kelompok perempuan terus memperkuat kapasitas mereka dalam strategi menghadapi tantangan yang dihadapi, terutama dalam menegakkan hukum paska revisi UU Perkawinan.
Selain itu, ia juga berharap meningkatnya instrumen hukum untuk menangani kasus perkawinan anak akan dapat mendukung kerja mereka yang selama ini masih terbatas pada upaya mediasi kasus.
(maf)