Larangan Senjata Kimia

Rabu, 18 April 2018 - 07:49 WIB
Larangan Senjata Kimia
Larangan Senjata Kimia
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

SENJATA kimia menjadi alasan Trio Koalisi serangan satu malam ke Suriah––Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, menyerang Suriah. Penggunaan senjata kimia dianggap tidak berperikemanusiaan karena menyebabkan penderitaan yang amat sangat dibandingkan dengan penggunaan senjata konvensional.

Senjata kimia juga menimbulkan dampak kematian yang tak terukur karena racun yang dilepaskan menyasar ke semua orang terutama warga sipil yang tidak bersalah. Meski demikian, kita juga perlu bertanya sejauh mana larangan ini efektif dijalankan dan apakah larangan itu berlaku hanya kepada negara-negara tertentu dan tidak kepada yang lain?

Larangan penggunaan senjata kimia bukanlah alasan yang baru. Presiden Barack Obama yang memerintah Amerika Serikat (AS) sebelum Donald Trump pernah mengatakan pada 2012 bahwa ada garis batas atau red line, yang membatasi keterlibatan militer AS turun ke lapangan di Suriah. Garis itu adalah ada atau tidaknya penggunaan senjata kimia dalam perang di Suriah. Apabila pemerintah Suriah melanggar batas itu, Obama akan menurunkan pasukan militernya.

Pemerintah Prancis di bawah Emmanuel Macron juga menegaskan batas itu kepada Rusia ketika Vladimir Putin berkunjung ke Paris pada 2017. Ia berkata langsung kepada media saat berdiri bersama Putin bahwa setiap penggunaan senjata kimia akan menghasilkan pembalasan dan balasan langsung, setidaknya di mana Prancis prihatin. Pernyataan yang diucapkan langsung di depan Putin dapat dimaknai sebagai tekanan terbuka kepada Rusia.

Inggris juga menyuarakan hal yang sama ketika PM David Cameron berkuasa. Ia menegaskan akan berdiri bersama AS dalam hal penolakan penggunaan senjata kimia. Apabila mereka menemukan Suriah menggunakan senjata tersebut maka Suriah akan berhadapan dengan konsekuensinya.

Sejarah Pelarangan
Negara yang memproduksi massal kimia yang mematikan sebagai senjata adalah negara-negara yang sudah sangat maju teknologi dan pengetahuan tentang kimia. Memproduksi senjata kimia tidak hanya mengoplos beberapa bahan kimia menjadi satu, tetapi juga menghitung daya kerusakannya, efisiensi, dan efektivitas termasuk murah atau mahalnya produksi senjata tersebut.

Negara-negara yang belum maju ilmu kedokteran dan kimianya tentu tidak dapat memproduksi senjata kimia. Oleh sebab itu, pembatasan senjata kimia dalam sejarah dilakukan pertama kali bersama antara Inggris dan Jerman, 343 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 1675.

Pada masa itu, kedua negara sama-sama menggunakan peluru beracun untuk saling membunuh. Pembatasan itu tidak menghentikan penggunaan senjata kimia hingga negara-negara maju pada masa itu harus mengadakan kesepakatan lagi untuk pelarangan senjata kimia.
Beberapa kesepakatan antara lain the Brussels Convention on the Law and Customs of War (1874) dan The Hague Convention (1899).

Ambisi untuk menjadi pemenang dalam perang menyebabkan larangan itu tidak berarti lagi, terutama dalam Perang Dunia I. Serangan senjata kimia dalam skala besar terjadi di Belgia, 22 April 1915. Angkatan Darat Jerman melepaskan 168 ton gas klorin sepanjang 6,5 km.

Penggunaan senjata terus dilakukan hingga usai Perang Dunia II seperti ketika Spanyol dan Prancis menggunakan bom mustard terhadap rakyat Maroko (1921–1927), Italia terhadap rakyat Libya (1928) dan rakyat Etiopia (1935), dan Jepang terhadap rakyat China (1938). Beberapa kejadian seperti ledakan fasilitas riset senjata kimia Inggris di Porto Down, juga mengakibatkan racun tersebut menyebar dan menimbulkan korban.

Uni Soviet juga menggunakan kimia dalam perang di Afganistan, dan Amerika Serikat menggunakan Agen Oranye yaitu bahan kimia herbisida dan defoliant dalam operasi Rainbow Herbicides selama Perang Vietnam 1961–1971. Zat kimia ini walau tidak ditujukan untuk membunuh, tetapi memiliki efek lingkungan yang merusak dan menyebabkan masalah kesehatan utama bagi 4 juta orang yang terkena, di mana akhirnya 1 juta menjadi cacat.

Beberapa kali penggunaan senjata kimia juga terjadi dalam konflik seperti di Yaman Utara (1963), Rhodesian Bush War (1970), Perang Irak-Iran, perang perbatasan Kambodia-Thailand-Vietnam (1984–1985), Halabya Irak (1988), Angola (1985), dan Suriah.

Penghancuran Senjata Kimia
Mempertimbangkan dampak merusak dari penggunaan senjata kimia, PBB mulai merancang konvensi pelarangan pada 1992, yang kemudian disepakati pada 1993 dan berlaku efektif pada 1997. Negara yang ikut menandatangani konvensi ini berjumlah 192 negara pada 2016, termasuk Suriah yang mengikuti konvensi ini pada 2013 sebagai bagian dari hasil kesepakatan Rusia dan AS.

Israel ikut menandatangani, tetapi tidak meratifikasinya ke dalam hukum nasional sehingga belum berjalan secara efektif; dan negara-negara yang tidak menandatangani dan tidak meratifikasi adalah Korea Utara, Mesir, dan Sudan Selatan.

Organisasi Pemantau Senjata Kimia (OPCW) menyatakan hampir 96% dari senjata kimia yang pernah dideklarasikan telah dimusnahkan pada 2018. Delapan negara yang mengakui memiliki senjata kimia (Albania, India, Irak, Libya, Rusia, Suriah, Amerika Serikat, dan kelompok/negara lain) telah menyelesaikan target untuk menghancurkan atau mengubah senjata kimia untuk tujuan yang lebih damai.

Suriah yang mengakui memiliki senjata kimia pada Juli 2012, menandatangani konvensi pada 12 September 2013. OPCW segera melakukan penghancuran keseluruhan persediaan Suriah sebanyak 1.308 metrik ton zat mustard belerang dan bahan kimia pada Januari 2016. Proses penghancuran dilakukan di atas kapal AS Merchant Marine, Cape Ray dan di empat negara, yakni Finlandia, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.

Rusia adalah pemilik senjata kimia terbesar dunia di urutan pertama dan AS di urutan kedua. Target penghancuran untuk Rusia dan AS sebetulnya ditetapkan pada 2012, namun keduanya gagal memenuhi dan meminta perpanjangan.

Rusia meminta perpanjangan hingga 2020, sementara AS pada 2023. Pada 2010, posisi senjata kimia yang belum dimusnahkan oleh Rusia adalah 52% dan AS 15%. Secara mengejutkan, meski dengan ekonomi yang morat-marit, Rusia ternyata berhasil memenuhi targetnya tiga tahun lebih cepat yaitu 2017, sementara AS masih menyimpan 15% senjata kimianya. Masih belum jelas apakah AS akan memenuhi targetnya atau tidak pada 2023.

Larangan sebagai Senjata
Mempertimbangkan bahwa AS adalah pemilik senjata kimia terbesar saat ini di dunia, maka timbul pertanyaan apakah serangan satu malam ke Suriah yang dipimpin oleh AS pekan lalu memiliki landasan etik dan moral yang kuat. Dunia tidak pernah akan tahu secara pasti apakah Suriah memang memiliki senjata kimia yang dituduhkan, karena tim investigasi OPWC baru akan tiba di Suriah malam ketika serangan itu terjadi.

Secara teknis, wilayah yang akan diinvestigasi oleh OPWC telah terkontaminasi oleh bom-bom koalisi dan kesimpulannya menjadi akan bias. Mengapa AS, Prancis, dan Inggris tidak menunda 1–2 hari penyerangan agar tim itu dapat bekerja dan memberikan kesimpulan?

Beberapa tuduhan yang pernah dilontarkan dan kemudian ditindaklanjuti oleh investigasi, juga tidak pernah dapat menyimpulkan siapa secara pasti dan bagaimana senjata kimia itu digunakan.

Laporan PBB untuk menyelidiki kasus penggunaan senjata kimia di wilayah Ghouta di sekitar Damaskus (wilayah yang dikuasai pemberontak) memang menemukan bukti, sampel, dan amunisi terkait senjata kimia, namun tidak menjelaskan siapa yang melakukan. PBB hanya menyatakan bahwa senjata kimia digunakan di medan pertempuran di Suriah. Oleh sebab itu, sangat penting investigasi dilakukan pihak netral sebelum keputusan menyerang diperintahkan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0789 seconds (0.1#10.140)