Perusakan Hutan dan Sanksi Korporasi

Selasa, 17 April 2018 - 08:15 WIB
Perusakan Hutan dan...
Perusakan Hutan dan Sanksi Korporasi
A A A
RIBUT LUPIYANTO
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Di tengah pesimisme keadilan pe­ne­gak­an hukum, masih ada secercah opti­mis­me yang muncul. Catatan sejarah penegakan hukum baru saja dibukukan. Vonis pertama di Indonesia telah dijatuhkan atas kasus kejahatan korporasi. Vonis Pengadilan Negeri Pa­lem­bang diberikan kepada PD Industri Penggergajian Kayu Ratu Cantik, dengan dihukum denda Rp5 miliar dalam kasus kehutanan. Selain itu, truk dan kayu dalam kasus itu dirampas untuk negara.

Amar putusan me­nye­but­kan bahwa apabila denda tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap maka harta benda korporasi dapat disita jaksa dan dilelang untuk membayar den­da. Putusan tersebut menggu­na­kan dasar UU Kehutanan dan Perma Nomor 13/2016. Pe­mi­lik PD Ratu Cantik dalam kasus yang sama juga dihukum 2,5 tahun penjara.

Sanksi yang menyasar kor­porasi merupakan kemajuan be­sar yang diimpikan sejak la­ma. Hal ini akan menjadi angin segar bagi penegakan hukum serta perbaikan kondisi, khu­sus­nya terkait konservasi eko­logi dan pencegahan de­for­es­tasi. Harapannya terjadi efek jera dan berpengaruh secara na­sional. Sektor lain juga penting memiliki keberanian membidik korporasi dalam tindak keja­hat­an.

Alarm Deforestasi
Hingga kini, Indonesia men­duduki urutan ke-9 dalam pe­ringkat negara dengan hutan ter­besar di dunia yaitu sekitar 884.950 km persegi. Namun de­mikian, luas ini kian menyusut melalui deforestasi. Penurunan luasan hutan atau deforestasi khususnya hutan konservasi sudah memberi alarm.

Indonesia pernah tercatat dalam Guinness Book of World Re­cords awal 2000 sebagai ne­ga­ra tropis dengan laju deforestasi tertinggi di dunia, yaitu dua juta hektar per tahun. Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan deforestasi dua juta hektare per tahun dalam kurun waktu 1980-1990-an, sekitar 1,5 juta per tahun selama 2000-2009 dan sekitar 1,1 juta hektare pa­da periode 2009-2013. Se­men­tara itu, defo­restasi terbaru yai­tu 2016-2017 tercatat 479.000 hek­tare (Kementerian Ling­ku­ng­an Hidup dan Kehutanan, 2018). Angka penurunan laju ini disebabkan kawasan hutan semakin berkurang.

Kalimantan menjadi pu­lau tempat deforestasi ter­­besar terjadi pada pe­riode 2016-2017 dengan 229.800 hektare. Selanjutnya disusul Sumatera 127.000 hektare, Sulawesi 70.800 hektare, Papua 48.600 hek­tare, dan Kepulauan Ma­lu­ku 23.000 hektare. Sementara di Jawa dan Bali-Nusa Teng­gara, jus­tru terjadi reforestasi ma­sing-masing dengan 5.500 hektare dan 14.500 hektare.

Data Global Forest Watch dan analisis Wijaya, dkk (2017) menunjukkan bahwa 55% ke­hilangan hutan terjadi di dalam area konsesi, di mana pe­ne­ba­ngan pohon diperbolehkan hing­ga batas tertentu. Sed­angkan 45% kehilangan hutan terjadi di luar area konsesi yang legal. Perkebunan kelapa sawit dan serat kayu, terutama untuk industri pulp dan kertas juga disebutkan sebagai dua ko­n­tri­butor utama terhadap hilang­nya hutan di Indonesia. Hampir 1,6 juta hektare dan 1,5 juta hektare hutan primer telah ber­ubah menjadi perkebunan ke­lapa sawit dan serat kayu.

Kehilangan hutan di luar area konsesi juga menunjukkan kon­disi yang meng­kha­wa­tir­kan. Seluas 3,6 juta hektare hu­tan hilang sejak 2000. Kehi­la­ngan hutan ini diindikasikan ber­asal dari pemegang izin konsesi yang melakukan pe­na­nam­an di luar area konsesi me­reka, atau dari penebangan kayu yang berlebihan sehingga berpengaruh terhadap terja­di­nya deforestasi.

Berdasarkan laporan The Brown to Green Report 2017, emisi dari deforestasi Indo­nesia tertinggi di antara ne­ga­ra-negara G-20. Negara-negara G-20 meliputi Afrika Se­la­tan, Ame­rika Serikat, Arab Saudi, Ar­gentina, Australia, Brasil, Bri­tania Raya, RRC, India, In­donesia, Italia, Jepang, Jer­man, Kanada, Ko­rea Selatan, Mek­si­ko, Pran­cis, Rusia, dan Tur­ki . Kinerja emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia dilaporkan masuk dalam ka­tegori me­ne­ngah. Na­mun, pe­makaian ener­gi per ka­pita Indonesia masuk dalam ka­te­gori sangat tinggi atau teren­dah kedua dalam peringkat ne­gara G-20. Climate Trans­pa­rency (2017) me­nya­rankan In­do­­nesia untuk mem­per­baiki kebijakan perlin­du­ngan hutan, karena emisi ter­kait deforestasi Indonesia ter­tinggi di antara negara-negara G-20.

Efek deforestasi adalah hi­langnya ekosistem yang ada di da­lamnya, termasuk spesies tum­buhan dan hewan langka. Sekitar 80% keanekaragaman hayati berdiam di hutan. Se­lanjutnya, deforestasi mem­per­buruk perubahan iklim karena 12-18% emisi karbon dunia tidak terserap.

Membidik Korporasi
Vonis terhadap PD Ratu Can­tik dan bosnya, Rapik men­jadi langkah awal positif bagi pemberantasan pelaku illegal logging yang melibatkan kor­po­rasi. Efeknya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan terdorong untuk mengajukan lagi enam per­kara serupa yang saat ini se­dang ditangani. Implikasi po­si­tif lainnya adalah efek jera atau ketakutan dari korporasi. Balai Gakkum KLHK Wilayah Su­ma­tera (2018) menyebutkan bah­wa sejak 2016 telah dilakukan pengejaran atau proses hukum terhadap pelaku dan industri kayu ilegal serta bahan bakunya dari kawasan hutan yang dila­rang. Hasilnya, dari awalnya 60 perusahaan ilegal yang ber­ope­rasi, kini hanya tersisa sekitar 6 perusahaan.

Capaian ini mesti di­gaung­kan masif se-Nusantara. Da­e­rah lain khususnya yang me­miliki deforestasi tinggi seperti Ka­limantan penting didorong meng­ikuti jejak membidik kor­porasi perusak hutan. Reward penting diberikan kepada apa­rat penegak hukum di Sumsel atas capaian ini. Hal serupa juga penting dilakukan bagi daerah lain yang mengikutinya. Ha­ra­pannya hal ini dapat menjadi pe­lecut untuk mengikutinya.

Perluasan upaya di atas da­pat disinergikan dengan tero­bos­an KPK. KPK untuk pertama kali­nya menggunakan keru­sa­kan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara. Terobosan tersebut diterapkan da­lam penuntutan bagi ter­dak­wa gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam (NA). Jaksa KPK dalam tuntutannya m­e­nilai, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tam­bang di Pulau Kabaena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Kerugian eko­lo­gis ini juga dapat dibidikkan kepada korporasi.

Bidikan sanksi terhadap korporasi penting dicoba dalam kasus-kasus lain, misalnya yang paling besar adalah korupsi dan segala variannya. Selama ini kasus-kasus korupsi sering ber­singgungan dengan per­usa­ha­an swasta, lembaga berbadan hu­kum, hingga partai politik. Wacana membidik korporasi dalam korupsi sudah digaung­kan hanya belum menemukan momentum keberhasilan. Ca­paian sektor kehutanan ini da­pat menjadi pembelajaran po­si­tif. Bahkan sampai pada vonis ter­berat dapat dikaji kemung­kinan tuntutan pembubaran korporasi.

Upaya membidik korporasi membutuhkan energi besar, se­dangkan penegakan hukum ma­sih menyisakan per­ma­sa­lahan. Salah satunya potensi tu­rut bermainnya oknum pe­ne­gak hukum. Kon­se­kuen­si­nya, per­se­kongkolan atau per­­se­ling­kuh­an antara kor­porasi dan pe­ne­gak hukum men­jadi tan­ta­ngan pem­be­ran­tasan juga. Ja­min­an as­pek ke­adilan pen­ting di­be­ri­kan pe­ne­gak hukum. Pe­ne­gak hu­kum juga mesti siap meng­ha­dapi gu­gatan balik atau banding yang dilakukan kor­porasi.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8268 seconds (0.1#10.140)