Perusakan Hutan dan Sanksi Korporasi
A
A
A
RIBUT LUPIYANTO
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
Di tengah pesimisme keadilan penegakan hukum, masih ada secercah optimisme yang muncul. Catatan sejarah penegakan hukum baru saja dibukukan. Vonis pertama di Indonesia telah dijatuhkan atas kasus kejahatan korporasi. Vonis Pengadilan Negeri Palembang diberikan kepada PD Industri Penggergajian Kayu Ratu Cantik, dengan dihukum denda Rp5 miliar dalam kasus kehutanan. Selain itu, truk dan kayu dalam kasus itu dirampas untuk negara.
Amar putusan menyebutkan bahwa apabila denda tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap maka harta benda korporasi dapat disita jaksa dan dilelang untuk membayar denda. Putusan tersebut menggunakan dasar UU Kehutanan dan Perma Nomor 13/2016. Pemilik PD Ratu Cantik dalam kasus yang sama juga dihukum 2,5 tahun penjara.
Sanksi yang menyasar korporasi merupakan kemajuan besar yang diimpikan sejak lama. Hal ini akan menjadi angin segar bagi penegakan hukum serta perbaikan kondisi, khususnya terkait konservasi ekologi dan pencegahan deforestasi. Harapannya terjadi efek jera dan berpengaruh secara nasional. Sektor lain juga penting memiliki keberanian membidik korporasi dalam tindak kejahatan.
Alarm Deforestasi
Hingga kini, Indonesia menduduki urutan ke-9 dalam peringkat negara dengan hutan terbesar di dunia yaitu sekitar 884.950 km persegi. Namun demikian, luas ini kian menyusut melalui deforestasi. Penurunan luasan hutan atau deforestasi khususnya hutan konservasi sudah memberi alarm.
Indonesia pernah tercatat dalam Guinness Book of World Records awal 2000 sebagai negara tropis dengan laju deforestasi tertinggi di dunia, yaitu dua juta hektar per tahun. Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan deforestasi dua juta hektare per tahun dalam kurun waktu 1980-1990-an, sekitar 1,5 juta per tahun selama 2000-2009 dan sekitar 1,1 juta hektare pada periode 2009-2013. Sementara itu, deforestasi terbaru yaitu 2016-2017 tercatat 479.000 hektare (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018). Angka penurunan laju ini disebabkan kawasan hutan semakin berkurang.
Kalimantan menjadi pulau tempat deforestasi terbesar terjadi pada periode 2016-2017 dengan 229.800 hektare. Selanjutnya disusul Sumatera 127.000 hektare, Sulawesi 70.800 hektare, Papua 48.600 hektare, dan Kepulauan Maluku 23.000 hektare. Sementara di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara, justru terjadi reforestasi masing-masing dengan 5.500 hektare dan 14.500 hektare.
Data Global Forest Watch dan analisis Wijaya, dkk (2017) menunjukkan bahwa 55% kehilangan hutan terjadi di dalam area konsesi, di mana penebangan pohon diperbolehkan hingga batas tertentu. Sedangkan 45% kehilangan hutan terjadi di luar area konsesi yang legal. Perkebunan kelapa sawit dan serat kayu, terutama untuk industri pulp dan kertas juga disebutkan sebagai dua kontributor utama terhadap hilangnya hutan di Indonesia. Hampir 1,6 juta hektare dan 1,5 juta hektare hutan primer telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan serat kayu.
Kehilangan hutan di luar area konsesi juga menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Seluas 3,6 juta hektare hutan hilang sejak 2000. Kehilangan hutan ini diindikasikan berasal dari pemegang izin konsesi yang melakukan penanaman di luar area konsesi mereka, atau dari penebangan kayu yang berlebihan sehingga berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Berdasarkan laporan The Brown to Green Report 2017, emisi dari deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G-20. Negara-negara G-20 meliputi Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Britania Raya, RRC, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, dan Turki . Kinerja emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia dilaporkan masuk dalam kategori menengah. Namun, pemakaian energi per kapita Indonesia masuk dalam kategori sangat tinggi atau terendah kedua dalam peringkat negara G-20. Climate Transparency (2017) menyarankan Indonesia untuk memperbaiki kebijakan perlindungan hutan, karena emisi terkait deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G-20.
Efek deforestasi adalah hilangnya ekosistem yang ada di dalamnya, termasuk spesies tumbuhan dan hewan langka. Sekitar 80% keanekaragaman hayati berdiam di hutan. Selanjutnya, deforestasi memperburuk perubahan iklim karena 12-18% emisi karbon dunia tidak terserap.
Membidik Korporasi
Vonis terhadap PD Ratu Cantik dan bosnya, Rapik menjadi langkah awal positif bagi pemberantasan pelaku illegal logging yang melibatkan korporasi. Efeknya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan terdorong untuk mengajukan lagi enam perkara serupa yang saat ini sedang ditangani. Implikasi positif lainnya adalah efek jera atau ketakutan dari korporasi. Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera (2018) menyebutkan bahwa sejak 2016 telah dilakukan pengejaran atau proses hukum terhadap pelaku dan industri kayu ilegal serta bahan bakunya dari kawasan hutan yang dilarang. Hasilnya, dari awalnya 60 perusahaan ilegal yang beroperasi, kini hanya tersisa sekitar 6 perusahaan.
Capaian ini mesti digaungkan masif se-Nusantara. Daerah lain khususnya yang memiliki deforestasi tinggi seperti Kalimantan penting didorong mengikuti jejak membidik korporasi perusak hutan. Reward penting diberikan kepada aparat penegak hukum di Sumsel atas capaian ini. Hal serupa juga penting dilakukan bagi daerah lain yang mengikutinya. Harapannya hal ini dapat menjadi pelecut untuk mengikutinya.
Perluasan upaya di atas dapat disinergikan dengan terobosan KPK. KPK untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara. Terobosan tersebut diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam (NA). Jaksa KPK dalam tuntutannya menilai, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Kerugian ekologis ini juga dapat dibidikkan kepada korporasi.
Bidikan sanksi terhadap korporasi penting dicoba dalam kasus-kasus lain, misalnya yang paling besar adalah korupsi dan segala variannya. Selama ini kasus-kasus korupsi sering bersinggungan dengan perusahaan swasta, lembaga berbadan hukum, hingga partai politik. Wacana membidik korporasi dalam korupsi sudah digaungkan hanya belum menemukan momentum keberhasilan. Capaian sektor kehutanan ini dapat menjadi pembelajaran positif. Bahkan sampai pada vonis terberat dapat dikaji kemungkinan tuntutan pembubaran korporasi.
Upaya membidik korporasi membutuhkan energi besar, sedangkan penegakan hukum masih menyisakan permasalahan. Salah satunya potensi turut bermainnya oknum penegak hukum. Konsekuensinya, persekongkolan atau perselingkuhan antara korporasi dan penegak hukum menjadi tantangan pemberantasan juga. Jaminan aspek keadilan penting diberikan penegak hukum. Penegak hukum juga mesti siap menghadapi gugatan balik atau banding yang dilakukan korporasi.
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
Di tengah pesimisme keadilan penegakan hukum, masih ada secercah optimisme yang muncul. Catatan sejarah penegakan hukum baru saja dibukukan. Vonis pertama di Indonesia telah dijatuhkan atas kasus kejahatan korporasi. Vonis Pengadilan Negeri Palembang diberikan kepada PD Industri Penggergajian Kayu Ratu Cantik, dengan dihukum denda Rp5 miliar dalam kasus kehutanan. Selain itu, truk dan kayu dalam kasus itu dirampas untuk negara.
Amar putusan menyebutkan bahwa apabila denda tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap maka harta benda korporasi dapat disita jaksa dan dilelang untuk membayar denda. Putusan tersebut menggunakan dasar UU Kehutanan dan Perma Nomor 13/2016. Pemilik PD Ratu Cantik dalam kasus yang sama juga dihukum 2,5 tahun penjara.
Sanksi yang menyasar korporasi merupakan kemajuan besar yang diimpikan sejak lama. Hal ini akan menjadi angin segar bagi penegakan hukum serta perbaikan kondisi, khususnya terkait konservasi ekologi dan pencegahan deforestasi. Harapannya terjadi efek jera dan berpengaruh secara nasional. Sektor lain juga penting memiliki keberanian membidik korporasi dalam tindak kejahatan.
Alarm Deforestasi
Hingga kini, Indonesia menduduki urutan ke-9 dalam peringkat negara dengan hutan terbesar di dunia yaitu sekitar 884.950 km persegi. Namun demikian, luas ini kian menyusut melalui deforestasi. Penurunan luasan hutan atau deforestasi khususnya hutan konservasi sudah memberi alarm.
Indonesia pernah tercatat dalam Guinness Book of World Records awal 2000 sebagai negara tropis dengan laju deforestasi tertinggi di dunia, yaitu dua juta hektar per tahun. Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan deforestasi dua juta hektare per tahun dalam kurun waktu 1980-1990-an, sekitar 1,5 juta per tahun selama 2000-2009 dan sekitar 1,1 juta hektare pada periode 2009-2013. Sementara itu, deforestasi terbaru yaitu 2016-2017 tercatat 479.000 hektare (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018). Angka penurunan laju ini disebabkan kawasan hutan semakin berkurang.
Kalimantan menjadi pulau tempat deforestasi terbesar terjadi pada periode 2016-2017 dengan 229.800 hektare. Selanjutnya disusul Sumatera 127.000 hektare, Sulawesi 70.800 hektare, Papua 48.600 hektare, dan Kepulauan Maluku 23.000 hektare. Sementara di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara, justru terjadi reforestasi masing-masing dengan 5.500 hektare dan 14.500 hektare.
Data Global Forest Watch dan analisis Wijaya, dkk (2017) menunjukkan bahwa 55% kehilangan hutan terjadi di dalam area konsesi, di mana penebangan pohon diperbolehkan hingga batas tertentu. Sedangkan 45% kehilangan hutan terjadi di luar area konsesi yang legal. Perkebunan kelapa sawit dan serat kayu, terutama untuk industri pulp dan kertas juga disebutkan sebagai dua kontributor utama terhadap hilangnya hutan di Indonesia. Hampir 1,6 juta hektare dan 1,5 juta hektare hutan primer telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan serat kayu.
Kehilangan hutan di luar area konsesi juga menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Seluas 3,6 juta hektare hutan hilang sejak 2000. Kehilangan hutan ini diindikasikan berasal dari pemegang izin konsesi yang melakukan penanaman di luar area konsesi mereka, atau dari penebangan kayu yang berlebihan sehingga berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Berdasarkan laporan The Brown to Green Report 2017, emisi dari deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G-20. Negara-negara G-20 meliputi Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Britania Raya, RRC, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, dan Turki . Kinerja emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia dilaporkan masuk dalam kategori menengah. Namun, pemakaian energi per kapita Indonesia masuk dalam kategori sangat tinggi atau terendah kedua dalam peringkat negara G-20. Climate Transparency (2017) menyarankan Indonesia untuk memperbaiki kebijakan perlindungan hutan, karena emisi terkait deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G-20.
Efek deforestasi adalah hilangnya ekosistem yang ada di dalamnya, termasuk spesies tumbuhan dan hewan langka. Sekitar 80% keanekaragaman hayati berdiam di hutan. Selanjutnya, deforestasi memperburuk perubahan iklim karena 12-18% emisi karbon dunia tidak terserap.
Membidik Korporasi
Vonis terhadap PD Ratu Cantik dan bosnya, Rapik menjadi langkah awal positif bagi pemberantasan pelaku illegal logging yang melibatkan korporasi. Efeknya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan terdorong untuk mengajukan lagi enam perkara serupa yang saat ini sedang ditangani. Implikasi positif lainnya adalah efek jera atau ketakutan dari korporasi. Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera (2018) menyebutkan bahwa sejak 2016 telah dilakukan pengejaran atau proses hukum terhadap pelaku dan industri kayu ilegal serta bahan bakunya dari kawasan hutan yang dilarang. Hasilnya, dari awalnya 60 perusahaan ilegal yang beroperasi, kini hanya tersisa sekitar 6 perusahaan.
Capaian ini mesti digaungkan masif se-Nusantara. Daerah lain khususnya yang memiliki deforestasi tinggi seperti Kalimantan penting didorong mengikuti jejak membidik korporasi perusak hutan. Reward penting diberikan kepada aparat penegak hukum di Sumsel atas capaian ini. Hal serupa juga penting dilakukan bagi daerah lain yang mengikutinya. Harapannya hal ini dapat menjadi pelecut untuk mengikutinya.
Perluasan upaya di atas dapat disinergikan dengan terobosan KPK. KPK untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara. Terobosan tersebut diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam (NA). Jaksa KPK dalam tuntutannya menilai, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Kerugian ekologis ini juga dapat dibidikkan kepada korporasi.
Bidikan sanksi terhadap korporasi penting dicoba dalam kasus-kasus lain, misalnya yang paling besar adalah korupsi dan segala variannya. Selama ini kasus-kasus korupsi sering bersinggungan dengan perusahaan swasta, lembaga berbadan hukum, hingga partai politik. Wacana membidik korporasi dalam korupsi sudah digaungkan hanya belum menemukan momentum keberhasilan. Capaian sektor kehutanan ini dapat menjadi pembelajaran positif. Bahkan sampai pada vonis terberat dapat dikaji kemungkinan tuntutan pembubaran korporasi.
Upaya membidik korporasi membutuhkan energi besar, sedangkan penegakan hukum masih menyisakan permasalahan. Salah satunya potensi turut bermainnya oknum penegak hukum. Konsekuensinya, persekongkolan atau perselingkuhan antara korporasi dan penegak hukum menjadi tantangan pemberantasan juga. Jaminan aspek keadilan penting diberikan penegak hukum. Penegak hukum juga mesti siap menghadapi gugatan balik atau banding yang dilakukan korporasi.
(zik)