Merebut Palu Keadilan dalam Penetapan Tersangka

Kamis, 12 April 2018 - 08:45 WIB
Merebut Palu Keadilan...
Merebut Palu Keadilan dalam Penetapan Tersangka
A A A
Nurul Ghufron Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember

PENGADILAN harus di­kembalikan seba­gai ruang mencari keadilan. Mungkin itu yang bergejolak di hati hakim Effendi Mukhtar ketika me­mu­tus gugatan praperadilan Ma­sya­rakat Anti-Indonesia (MAKI) terkait penyidikan dugaanBank Century, Selasa (10/4).

Keadilan bukan saja mem­beri hukuman setimpal bagi pelang­gar­nya, tetapi termasuk juga mem­b­eri perlakuan yang sama di hadapan hukum antar­warga negara yang melanggar hu­kum. Ketidakadilan dalam pe­negak hukum lebih me­nye­sak­kan hati dan memupus harapan rakyat akan keadilan. Lebih baik melepas semua yang bersalah dibandingkan meng­hukum orang tertentu saja se­mentara yang lain dilepaskan. Atas dasar itu, pengadilan tidak saja pasif menerima pelim­pah­an berkas pemeriksaan dengan tersangka­nya. Pengadilan se­lama ini seakan tergantung dan terkunci mati untuk hanya memeriksa dan mengadili siapa pun yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapannya. Kini hakim pidana kembali merebut mahkota keadilan; bahwa kini keadilan itu di tangannya dan hakim dapat memerintahkan seseorang untuk ditersang­ka­kan kala ada seseorang yang selayaknya ditersangkakan pula, tetapi tidak dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum. Ini adalah titik kembalinya keadilan di tangan hakim.

Putusan ini mengejutkan bukan hanya karena ada nama Boediono yang merupakan man­tan wakil presiden diperin­t­ahkan untuk ditetapkan se­bagai tersangka, namun putus­an ini juga fenomenal karena baru pertama kali pengadilan memerintahkan penetapan tersangka kepada aparat pe­nyidik. Amarnya, “Memerin­tah­kan termohon untuk me­laku­kan proses hukum selanjutnya se­suai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka ter­hadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama ter­dakwa Budi Mulya) atau me­limpahkannya kepada ke­polisi­an dan atau kejaksaan untuk di­lanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”

Praperadilan dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Pasal 77 KUHAP setelah meng­alami beberapa kali pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Nomor 21/PUU-XII/2014, objek praperadilan menjadi: a. sah atau tidaknya penangkapan, pene­tap­an ter­sangka, penyitaan, pena­han­an, penghentian penyidikan atau penghentian penun­tut­an; dan b.ganti kerugian dan atau reha­bilitasi bagi se­orang yang perkara pidananya dihenti­k­an pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Hakim Effendi Mukhtar, dalam putusan praperadilan ini, memberikan arti konkret pe­maknaan dari Pasal 77 huruf a: Sah atau tidaknya “peng­henti­an penyidikan”. Sebagaimana di­ketahui putusan atas kasus bailout Bank Century dalam kasasi atas terdakwa Budi Mulya telah diputus 15 tahun. Sementara atas para pihak yang memiliki peran sama dalam kasus tersebut, proses penyi­dik­annya belum beranjak. Jangankan disidangkan, diter­sang­kakan saja tidak oleh KPK. Putusan praperadilan ini me­rupakan “penemuan hukum” (rechtvinding) atas kata“ peng­hentian penyidikan”, tidak saja diukur yang secara formil de­ngan diterbitkan SP3. Peng­henti­an cukup diartikan telah terjadi ketika ada satu pihak yang telah diproses bahkan sam­pai putusan kasasi, semen­tara ada pihak lain yang tidak ditingkatkan proses penyi­dik­ann­ya adalah bentuk dari “peng­hentian penyidikan”. Pe­nundaan proses di kala yang lain berlanjut adalah bentuk ke­tidakadilan dan ini tidak boleh lagi terjadi.

Selama ini KPK banyak ber­lindung dalam dalih tidak cukup buk­ti, tidak sadar bah­w­a ini telah me­nim­bul­kan ke­san tebang pilih­nya dalam pe­ne­gak­an hu­kum. Budi Mul­ya te­lah di­proses, bah­kan kini men­­da­pat­­kan vonis ka­sa­si, se­men­tara yang lain tidak. Pada­­hal, kapa­sitas­­nya sama atau bah­kan lebih dari Budi Mulya.

Penetap­an Ter­sangka Terkontrol
Suatu kewenangan itu bias untuk disalahgunakan. Dan, penyalahgunaan dalam proses pidana di hadapan negara hu­kum sesungguhnya lebih ber­bahaya dari kejahatan itu sen­diri. Ajaran negara konstitusi yang melandasi negara Indo­nesia memilih bernegara de­ngan dasar konstitusi agar se­tiap pe­nyelenggaraan ber­negara di­dasar­kan dan tidak boleh me­lang­gar hak-hak rakyat se­bagai­mana ditegaskan dalam kon­stitusi, didasari atas kesadaran bahwa berbahayanya kejahatan yang dilakukan negara jauh lebih berbahaya dari kejahatan antarrakyat. Salah satu sisi re­mang yang sejauh ini memang tidak ada regulasi yang mampu mengontrol proses peradilan pidana adalah pada fase pene­tap­an ter­sangka.

Selama ini ada dua kege­lap­an dalam penetapan tersangka. Pertama, mengenai dasar sese­orang ditetapkan sebagai ter­sangka.

Hal ini sudah dijawab dengan putusan MK baik pro­sedural maupun syarat subs­tansi. Kedua, mengapa sese­orang ditetapkan sebagai ter­sangka dan mengapa yang lain tidak. Pertanyaan yang kedua ini terjawab dengan praper­adilan ini. Sudah terlalu lama kita menahan sesak dada seraya bergumam: “Saya berbuat de­ngan dia, tapi kok saya saja ter­sangkanya”. “Kenapa dia saja ter­sangkanya, padahal ber­buat­nya dengan mereka, ada apa ini? Ungkapan ketidak­per­ca­ya­an pada penetapan ter­sangka lama sekali tersimpan dalam alam bawah sadar ke­adilan rakyat. Sang penyidik pun merasa itu merupakan otoritasnya untuk mener­sang­kakan siapa bersama siapa dan cukup sampai siapa saja. Peng­adilan pun tidak dapat berbuat apa-apa ketika yang di­dakwa ha­nya tertentu, semen­tara yang lain tidak.

Putusan pra­per­adilan ini pintu membongkar ke­ter­tu­tup­an mekanisme kontrol dalam pene­tap­an tersangka, tidak saja mengenai bagai­mana pene­tap­an ter­sangka, tetapi juga me­ngenai, me­ngapa yang dite­r­­sang­ka­kan si A, se­mentara si B tidak, kare­na ketidakadilan juga me­nyangkut perlakuan tidak sama antar­warga negara.

Rakyat Indo­nesia saat ini me­­miliki pintu un­tuk me­ngon­­trol penetapan ter­sang­ka baru, dan hakim pun tidak saja pasif me­nerima tersangka dari penun­tut umum. Kalau di­rasa ter­sang­kanya ku­rang, ha­kim se­harus­nya secara aktif me­me­rin­tahkan untuk mener­sang­kakan pihak lain yang diabaikan.

Siapa “yang Berkepentingan”?
Pertanyaan lebih lanjut, siapa pihak yang diberi legal standing untuk memohon pra­peradilan pengujian penetapan tersangka ini sebagai­mana dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b yang menyatakan “atas permintaan yang ber­ke­pen­tingan demi tegaknya hu­kum dan keadilan”. Memaknai “yang ber­kepe­n­tingan” dalam pra­peradilan ini selama ini ada­lah diberikan kepada pelapor, de­ngan asumsi pihak yang ber­ke­pen­tingan biasanya adalah pe­lapor atas kerugian yang dide­rita­nya. Kebetulan dalam putus­an praperadilan ini adalah pihak MAKI. Hal ini didasari bahwa MAKI adalah NGO yang concern atas penegakan hukum anti­korupsi. Sehingga, sejauh ini pemohon praperadilan dalam menguji penghentian penyi­dik­an ini adalah pelapor maupun masyarakat yang merasa ber­kepentingannya terugikan atas penghentian tersebut.

Namun, ke depan guna mem­­berikan keadilan kepada setiap rakyat Indonesia, praperadilan ini perlu diberikan haknya ke­pada seseorang yang diper­laku­kan tidak adil karena ditetapkan sebagai tersangka, sementara kepada yang lain tidak. Bahkan jika tersangka tersebut telah menjalani pro­ses pidana atau telah me­ninggal dunia, perlu juga pintu permohonan pra­per­adilan ter­sebut diberikan ke­pada keluarganya si terpidana yang meninggal tersebut. Ini mem­berikan hak untuk diper­laku­kan sama di hadapan hu­kum bagi rakyat.

Tidak Banyak Hakim yang Berani
Terobosan hukum oleh Efendi Mukhtar ini adalah ke­beranian memecah gunung ke­buntuan keadilan yang tak se­mua hakim mampu dan berani melakukannya. Termasuk juga untuk menirunya dalam per­kara lebih lanjut. Meng­ingat anutan hukum civil law yang kita anut tidak menem­patkan preseden sebagai dasar hukum yang mengikat, me­lainkan hu­kum tunduk pada regulasi da­lam peraturan per­undangan. Karena itu, agar terobosan hu­kum ini semakin kokoh dalam sistem hukum nasional perlu dipositifkan dalam bentuk per­aturan oleh presiden dan DPR untuk meng­akomo­dasi terbit­nya ke­adilan dalam penetapan ter­sangka ini, atau dengan peng­­ujian ke MK ten­tang mak­na penghentian pe­nyi­dikan atau penuntutan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6281 seconds (0.1#10.140)