Merebut Palu Keadilan dalam Penetapan Tersangka
A
A
A
Nurul Ghufron Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember
PENGADILAN harus dikembalikan sebagai ruang mencari keadilan. Mungkin itu yang bergejolak di hati hakim Effendi Mukhtar ketika memutus gugatan praperadilan Masyarakat Anti-Indonesia (MAKI) terkait penyidikan dugaanBank Century, Selasa (10/4).
Keadilan bukan saja memberi hukuman setimpal bagi pelanggarnya, tetapi termasuk juga memberi perlakuan yang sama di hadapan hukum antarwarga negara yang melanggar hukum. Ketidakadilan dalam penegak hukum lebih menyesakkan hati dan memupus harapan rakyat akan keadilan. Lebih baik melepas semua yang bersalah dibandingkan menghukum orang tertentu saja sementara yang lain dilepaskan. Atas dasar itu, pengadilan tidak saja pasif menerima pelimpahan berkas pemeriksaan dengan tersangkanya. Pengadilan selama ini seakan tergantung dan terkunci mati untuk hanya memeriksa dan mengadili siapa pun yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapannya. Kini hakim pidana kembali merebut mahkota keadilan; bahwa kini keadilan itu di tangannya dan hakim dapat memerintahkan seseorang untuk ditersangkakan kala ada seseorang yang selayaknya ditersangkakan pula, tetapi tidak dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum. Ini adalah titik kembalinya keadilan di tangan hakim.
Putusan ini mengejutkan bukan hanya karena ada nama Boediono yang merupakan mantan wakil presiden diperintahkan untuk ditetapkan sebagai tersangka, namun putusan ini juga fenomenal karena baru pertama kali pengadilan memerintahkan penetapan tersangka kepada aparat penyidik. Amarnya, “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”
Praperadilan dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Pasal 77 KUHAP setelah mengalami beberapa kali pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Nomor 21/PUU-XII/2014, objek praperadilan menjadi: a. sah atau tidaknya penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Hakim Effendi Mukhtar, dalam putusan praperadilan ini, memberikan arti konkret pemaknaan dari Pasal 77 huruf a: Sah atau tidaknya “penghentian penyidikan”. Sebagaimana diketahui putusan atas kasus bailout Bank Century dalam kasasi atas terdakwa Budi Mulya telah diputus 15 tahun. Sementara atas para pihak yang memiliki peran sama dalam kasus tersebut, proses penyidikannya belum beranjak. Jangankan disidangkan, ditersangkakan saja tidak oleh KPK. Putusan praperadilan ini merupakan “penemuan hukum” (rechtvinding) atas kata“ penghentian penyidikan”, tidak saja diukur yang secara formil dengan diterbitkan SP3. Penghentian cukup diartikan telah terjadi ketika ada satu pihak yang telah diproses bahkan sampai putusan kasasi, sementara ada pihak lain yang tidak ditingkatkan proses penyidikannya adalah bentuk dari “penghentian penyidikan”. Penundaan proses di kala yang lain berlanjut adalah bentuk ketidakadilan dan ini tidak boleh lagi terjadi.
Selama ini KPK banyak berlindung dalam dalih tidak cukup bukti, tidak sadar bahwa ini telah menimbulkan kesan tebang pilihnya dalam penegakan hukum. Budi Mulya telah diproses, bahkan kini mendapatkan vonis kasasi, sementara yang lain tidak. Padahal, kapasitasnya sama atau bahkan lebih dari Budi Mulya.
Penetapan Tersangka Terkontrol
Suatu kewenangan itu bias untuk disalahgunakan. Dan, penyalahgunaan dalam proses pidana di hadapan negara hukum sesungguhnya lebih berbahaya dari kejahatan itu sendiri. Ajaran negara konstitusi yang melandasi negara Indonesia memilih bernegara dengan dasar konstitusi agar setiap penyelenggaraan bernegara didasarkan dan tidak boleh melanggar hak-hak rakyat sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi, didasari atas kesadaran bahwa berbahayanya kejahatan yang dilakukan negara jauh lebih berbahaya dari kejahatan antarrakyat. Salah satu sisi remang yang sejauh ini memang tidak ada regulasi yang mampu mengontrol proses peradilan pidana adalah pada fase penetapan tersangka.
Selama ini ada dua kegelapan dalam penetapan tersangka. Pertama, mengenai dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Hal ini sudah dijawab dengan putusan MK baik prosedural maupun syarat substansi. Kedua, mengapa seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan mengapa yang lain tidak. Pertanyaan yang kedua ini terjawab dengan praperadilan ini. Sudah terlalu lama kita menahan sesak dada seraya bergumam: “Saya berbuat dengan dia, tapi kok saya saja tersangkanya”. “Kenapa dia saja tersangkanya, padahal berbuatnya dengan mereka, ada apa ini? Ungkapan ketidakpercayaan pada penetapan tersangka lama sekali tersimpan dalam alam bawah sadar keadilan rakyat. Sang penyidik pun merasa itu merupakan otoritasnya untuk menersangkakan siapa bersama siapa dan cukup sampai siapa saja. Pengadilan pun tidak dapat berbuat apa-apa ketika yang didakwa hanya tertentu, sementara yang lain tidak.
Putusan praperadilan ini pintu membongkar ketertutupan mekanisme kontrol dalam penetapan tersangka, tidak saja mengenai bagaimana penetapan tersangka, tetapi juga mengenai, mengapa yang ditersangkakan si A, sementara si B tidak, karena ketidakadilan juga menyangkut perlakuan tidak sama antarwarga negara.
Rakyat Indonesia saat ini memiliki pintu untuk mengontrol penetapan tersangka baru, dan hakim pun tidak saja pasif menerima tersangka dari penuntut umum. Kalau dirasa tersangkanya kurang, hakim seharusnya secara aktif memerintahkan untuk menersangkakan pihak lain yang diabaikan.
Siapa “yang Berkepentingan”?
Pertanyaan lebih lanjut, siapa pihak yang diberi legal standing untuk memohon praperadilan pengujian penetapan tersangka ini sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b yang menyatakan “atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan”. Memaknai “yang berkepentingan” dalam praperadilan ini selama ini adalah diberikan kepada pelapor, dengan asumsi pihak yang berkepentingan biasanya adalah pelapor atas kerugian yang dideritanya. Kebetulan dalam putusan praperadilan ini adalah pihak MAKI. Hal ini didasari bahwa MAKI adalah NGO yang concern atas penegakan hukum antikorupsi. Sehingga, sejauh ini pemohon praperadilan dalam menguji penghentian penyidikan ini adalah pelapor maupun masyarakat yang merasa berkepentingannya terugikan atas penghentian tersebut.
Namun, ke depan guna memberikan keadilan kepada setiap rakyat Indonesia, praperadilan ini perlu diberikan haknya kepada seseorang yang diperlakukan tidak adil karena ditetapkan sebagai tersangka, sementara kepada yang lain tidak. Bahkan jika tersangka tersebut telah menjalani proses pidana atau telah meninggal dunia, perlu juga pintu permohonan praperadilan tersebut diberikan kepada keluarganya si terpidana yang meninggal tersebut. Ini memberikan hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum bagi rakyat.
Tidak Banyak Hakim yang Berani
Terobosan hukum oleh Efendi Mukhtar ini adalah keberanian memecah gunung kebuntuan keadilan yang tak semua hakim mampu dan berani melakukannya. Termasuk juga untuk menirunya dalam perkara lebih lanjut. Mengingat anutan hukum civil law yang kita anut tidak menempatkan preseden sebagai dasar hukum yang mengikat, melainkan hukum tunduk pada regulasi dalam peraturan perundangan. Karena itu, agar terobosan hukum ini semakin kokoh dalam sistem hukum nasional perlu dipositifkan dalam bentuk peraturan oleh presiden dan DPR untuk mengakomodasi terbitnya keadilan dalam penetapan tersangka ini, atau dengan pengujian ke MK tentang makna penghentian penyidikan atau penuntutan.
PENGADILAN harus dikembalikan sebagai ruang mencari keadilan. Mungkin itu yang bergejolak di hati hakim Effendi Mukhtar ketika memutus gugatan praperadilan Masyarakat Anti-Indonesia (MAKI) terkait penyidikan dugaanBank Century, Selasa (10/4).
Keadilan bukan saja memberi hukuman setimpal bagi pelanggarnya, tetapi termasuk juga memberi perlakuan yang sama di hadapan hukum antarwarga negara yang melanggar hukum. Ketidakadilan dalam penegak hukum lebih menyesakkan hati dan memupus harapan rakyat akan keadilan. Lebih baik melepas semua yang bersalah dibandingkan menghukum orang tertentu saja sementara yang lain dilepaskan. Atas dasar itu, pengadilan tidak saja pasif menerima pelimpahan berkas pemeriksaan dengan tersangkanya. Pengadilan selama ini seakan tergantung dan terkunci mati untuk hanya memeriksa dan mengadili siapa pun yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapannya. Kini hakim pidana kembali merebut mahkota keadilan; bahwa kini keadilan itu di tangannya dan hakim dapat memerintahkan seseorang untuk ditersangkakan kala ada seseorang yang selayaknya ditersangkakan pula, tetapi tidak dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum. Ini adalah titik kembalinya keadilan di tangan hakim.
Putusan ini mengejutkan bukan hanya karena ada nama Boediono yang merupakan mantan wakil presiden diperintahkan untuk ditetapkan sebagai tersangka, namun putusan ini juga fenomenal karena baru pertama kali pengadilan memerintahkan penetapan tersangka kepada aparat penyidik. Amarnya, “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”
Praperadilan dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Pasal 77 KUHAP setelah mengalami beberapa kali pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Nomor 21/PUU-XII/2014, objek praperadilan menjadi: a. sah atau tidaknya penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Hakim Effendi Mukhtar, dalam putusan praperadilan ini, memberikan arti konkret pemaknaan dari Pasal 77 huruf a: Sah atau tidaknya “penghentian penyidikan”. Sebagaimana diketahui putusan atas kasus bailout Bank Century dalam kasasi atas terdakwa Budi Mulya telah diputus 15 tahun. Sementara atas para pihak yang memiliki peran sama dalam kasus tersebut, proses penyidikannya belum beranjak. Jangankan disidangkan, ditersangkakan saja tidak oleh KPK. Putusan praperadilan ini merupakan “penemuan hukum” (rechtvinding) atas kata“ penghentian penyidikan”, tidak saja diukur yang secara formil dengan diterbitkan SP3. Penghentian cukup diartikan telah terjadi ketika ada satu pihak yang telah diproses bahkan sampai putusan kasasi, sementara ada pihak lain yang tidak ditingkatkan proses penyidikannya adalah bentuk dari “penghentian penyidikan”. Penundaan proses di kala yang lain berlanjut adalah bentuk ketidakadilan dan ini tidak boleh lagi terjadi.
Selama ini KPK banyak berlindung dalam dalih tidak cukup bukti, tidak sadar bahwa ini telah menimbulkan kesan tebang pilihnya dalam penegakan hukum. Budi Mulya telah diproses, bahkan kini mendapatkan vonis kasasi, sementara yang lain tidak. Padahal, kapasitasnya sama atau bahkan lebih dari Budi Mulya.
Penetapan Tersangka Terkontrol
Suatu kewenangan itu bias untuk disalahgunakan. Dan, penyalahgunaan dalam proses pidana di hadapan negara hukum sesungguhnya lebih berbahaya dari kejahatan itu sendiri. Ajaran negara konstitusi yang melandasi negara Indonesia memilih bernegara dengan dasar konstitusi agar setiap penyelenggaraan bernegara didasarkan dan tidak boleh melanggar hak-hak rakyat sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi, didasari atas kesadaran bahwa berbahayanya kejahatan yang dilakukan negara jauh lebih berbahaya dari kejahatan antarrakyat. Salah satu sisi remang yang sejauh ini memang tidak ada regulasi yang mampu mengontrol proses peradilan pidana adalah pada fase penetapan tersangka.
Selama ini ada dua kegelapan dalam penetapan tersangka. Pertama, mengenai dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Hal ini sudah dijawab dengan putusan MK baik prosedural maupun syarat substansi. Kedua, mengapa seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan mengapa yang lain tidak. Pertanyaan yang kedua ini terjawab dengan praperadilan ini. Sudah terlalu lama kita menahan sesak dada seraya bergumam: “Saya berbuat dengan dia, tapi kok saya saja tersangkanya”. “Kenapa dia saja tersangkanya, padahal berbuatnya dengan mereka, ada apa ini? Ungkapan ketidakpercayaan pada penetapan tersangka lama sekali tersimpan dalam alam bawah sadar keadilan rakyat. Sang penyidik pun merasa itu merupakan otoritasnya untuk menersangkakan siapa bersama siapa dan cukup sampai siapa saja. Pengadilan pun tidak dapat berbuat apa-apa ketika yang didakwa hanya tertentu, sementara yang lain tidak.
Putusan praperadilan ini pintu membongkar ketertutupan mekanisme kontrol dalam penetapan tersangka, tidak saja mengenai bagaimana penetapan tersangka, tetapi juga mengenai, mengapa yang ditersangkakan si A, sementara si B tidak, karena ketidakadilan juga menyangkut perlakuan tidak sama antarwarga negara.
Rakyat Indonesia saat ini memiliki pintu untuk mengontrol penetapan tersangka baru, dan hakim pun tidak saja pasif menerima tersangka dari penuntut umum. Kalau dirasa tersangkanya kurang, hakim seharusnya secara aktif memerintahkan untuk menersangkakan pihak lain yang diabaikan.
Siapa “yang Berkepentingan”?
Pertanyaan lebih lanjut, siapa pihak yang diberi legal standing untuk memohon praperadilan pengujian penetapan tersangka ini sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b yang menyatakan “atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan”. Memaknai “yang berkepentingan” dalam praperadilan ini selama ini adalah diberikan kepada pelapor, dengan asumsi pihak yang berkepentingan biasanya adalah pelapor atas kerugian yang dideritanya. Kebetulan dalam putusan praperadilan ini adalah pihak MAKI. Hal ini didasari bahwa MAKI adalah NGO yang concern atas penegakan hukum antikorupsi. Sehingga, sejauh ini pemohon praperadilan dalam menguji penghentian penyidikan ini adalah pelapor maupun masyarakat yang merasa berkepentingannya terugikan atas penghentian tersebut.
Namun, ke depan guna memberikan keadilan kepada setiap rakyat Indonesia, praperadilan ini perlu diberikan haknya kepada seseorang yang diperlakukan tidak adil karena ditetapkan sebagai tersangka, sementara kepada yang lain tidak. Bahkan jika tersangka tersebut telah menjalani proses pidana atau telah meninggal dunia, perlu juga pintu permohonan praperadilan tersebut diberikan kepada keluarganya si terpidana yang meninggal tersebut. Ini memberikan hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum bagi rakyat.
Tidak Banyak Hakim yang Berani
Terobosan hukum oleh Efendi Mukhtar ini adalah keberanian memecah gunung kebuntuan keadilan yang tak semua hakim mampu dan berani melakukannya. Termasuk juga untuk menirunya dalam perkara lebih lanjut. Mengingat anutan hukum civil law yang kita anut tidak menempatkan preseden sebagai dasar hukum yang mengikat, melainkan hukum tunduk pada regulasi dalam peraturan perundangan. Karena itu, agar terobosan hukum ini semakin kokoh dalam sistem hukum nasional perlu dipositifkan dalam bentuk peraturan oleh presiden dan DPR untuk mengakomodasi terbitnya keadilan dalam penetapan tersangka ini, atau dengan pengujian ke MK tentang makna penghentian penyidikan atau penuntutan.
(mhd)