Aksi Bank Sistemik Hadapi Krisis Keuangan

Rabu, 11 April 2018 - 07:42 WIB
Aksi Bank Sistemik Hadapi...
Aksi Bank Sistemik Hadapi Krisis Keuangan
A A A
Imansyah
Senior Advisor di Otoritas Jasa Keuangan

Ada lontaran per­ta­nya­an yang sangat me­narik dari Ba­pak Kartika Wir­joat­­modjo, direktur utama Bank Mandiri, sebagai salah se­orang pembicara dalam Se­minar Internasional “20 Years of Asian Financial Crisis: Strengt­he­ning Infrastructures for Finan­cial Resolution” yang dise­leng­ga­ra­kan oleh Lembaga Pen­ja­min Sim­panan (LPS) beberapa wak­tu lalu.

Pertanyaannya, apakah se­buah bank yang telah memiliki modal (capital adequacy ratio/ CAR) di atas 20% masih perlu menerbitkan obligasi konversi (convertible bond ) sebagai ba­gian dari penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan ) oleh bank sistemik sesuai dengan UU No­mor 9 Tahun 2016 tentang Pen­cegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)?

Hemat penulis, pertanyaan ini sangat wajar karena dengan CAR di atas 20%, terlebih de­ngan komponen modal yang do­minan berbentuk modal inti (Tier 1), maka boleh jadi bank sangat siap menghadapi semua potensi risiko sekaligus men­ja­ga kelangsungan (sustaina­bi­lity) bisnis yang dijalankan. Bila pandangan ini sahih, bank sis­temik dengan CAR tinggi tentu tidak perlu bersusah payah me­nerbitkan obligasi konversi yang beberapa waktu yang lalu juga sudah diwacanakan akan mencapai Rp5,5 triliun.

Menjawab pertanyaan di atas, tentu tidaklah mudah ter­lebih bagi kalangan yang masih awam dengan terminologi khas dalam UU PPKSK. Ulasan be­ri­kut ini berangkat dari berbagai per­spektif yang relevan agar ke­wajiban penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan), termasuk juga penerbitan obligasi kon­versi oleh bank sistemik dalam menghadapi krisis keuangan.

Krisis Keuangan
Banyak pelajaran yang da­pat diambil hikmahnya dari rang­­kaian krisis keuangan yang ter­jadi sejak Krisis Keuangan Asia (Asian Financial Crisis 1997/1998) hingga Global Fi­nan­cial Crisis (GCF) pada 2008. Salah satu pemikiran yang me­nge­mu­ka adalah kebijakan peng­­­gu­na­an uang publik (public money) untuk penyelamatan bank (bail-out) yang tidak lagi bisa diterima karena muatan moral hazard-nya acap men­do­rong bank me­ng­ambil risiko yang berlebihan (excessive risk).

Bank, khususnya bank sis­te­mik, diharapkan mulai ber­ini­siatif agar proses penye­la­mat­an bisnisnya dilakukan dengan mengutilisasi secara maksimal sumber daya sendiri (bail-in). Untuk ini, bank sistemik di­min­ta untuk menyiapkan rencana “wasiat” yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP).

Secara kontekstual, Re­co­ve­ry Plan akan dipersiapkan oleh bank dan direviu oleh peng­awas, sementara Resolution Plan sepenuhnya menjadi area oto­ritas resolusi untuk me­nyiap­kan. Un­tuk di In­do­nesia, UU PPKSK te­lah mem­be­rikan mandat be­berapa opsi kebi­ja­kan kepada LPS untuk me­nyiapkan dan melak­sa­n­a­kan Resolution Plan.

Sejalan dengan namanya, Recovery Plan akan memuat se­mua tindakan (skenario) yang perlu dilakukan oleh bank un­tuk menghadapi berbagai kon­disi tekanan (stresses), baik be­ru­pa pendanaan da­ru­rat (conti­ngency funding) un­tuk mem­bantu likui­di­tas, utilisasi ins­tru­men mo­dal, dan bila perlu me­la­ku­kan penjualan aset atau bis­nisnya agar terhindar dari tindak resolusi formal saat gagal usaha terjadi. Se­perti halnya pen­dapat Andrew Bailey (2009) bah­wa fire-prevention is better than fire-figh­t­ing, jelas skenario-ske­nario yang di­ba­ngun akan sangat membantu bank ber­siap sejak dini meng­ha­dapi krisis.

Rencana Aksi
Dalam kon­teks Indonesia, adop­si perspektif ini jelas te­rangkum da­lam UU PPKSK. Pasal 18, semisal me­wajibkan bank sis­temik untuk me­me­nuhi ketentuan khusus me­nge­nai rasio kecukupan mo­dal dan rasio kecukupan likui­ditas, dan menyusun Rencana Aksi untuk disetujui oleh Otoritas Jasa Ke­uangan (OJK).

Rencana Aksi sendiri di­mak­­nai paling sedikit memuat ke­wa­jiban pemegang saham pe­ngen­dali dan/atau pihak lain untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang ter­tentu menjadi modal bank.

Menindaklanjuti mandat UU PPKSK tersebut, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/POJK. 03/17 telah meng­atur ke­wa­jiban bank sistemik untuk me­nyusun dan menyampaikan Ren­­cana Aksi (Recovery Plan ) kepada OJK, termasuk opsi-opsi pemulihan (Recovery Op­tions ) yang dapat dilakukan pa­ling lambat akhir Desember 2017.

Selanjutnya, bank sistemik di­berikan tenggat paling lam­bat akhir 2018 untuk me­me­nu­hi kewajiban memiliki ins­tru­men utang atau investasi yang memiliki ka­rak­teristik sebagai modal. Terkini, OJK sedang me­reviu seluruh Rencana Aksi oleh bank sistemik dan fina­li­sasinya akan sangat ber­gantung pada diskusi dan pemahaman yang kom­pre­hen­sif atas semua skenario dan opsi-opsi pemu­lih­an yang tersedia.

Dari paparan di atas, penulis mencoba men­ja­wab per­ta­nya­an di awal tadi dengan beberapa poin. Pertama, belajar dari krisis ke­uangan sebelumnya, bo­leh di­katakan ung­ka­pan An­drew Bailey sangat sa­hih dan UU PPKSK juga me­muat semangat yang sama, bahwa upaya pre­ven­tif da­lam mengawasi bisnis bank akan lebih baik di­ban­ding­kan resolusi bank. Beberapa k­e­bi­ja­kan OJK yang di­mak­sud­kan untuk menyem­pur­na­kan kualitas pengawasan, se­pa­tut­nya diapresiasi termasuk juga pe­laksanaan simulasi krisis yang dilakukan oleh Komite Sta­bilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar permasalahan “who does what ?” dalam situasi krisis men­jadi jelas. Kedua, bila de­mikian maka justifikasi pe­nyusunan Renca­na Aksi oleh bank sistemik tidak perlu lagi diperdebatkan.

Substansi Rencana Aksi yang di antaranya memuat opsi pemulihan tentu juga terkait utilisasi instrumen modal be­ru­pa obligasi konvertibel sesuai de­ngan mandat UU PPKSK. Ke­tiga, besaran nominal obligasi konvertibel yang diterbitkan tentu ditentukan dari ske­na­rio-skenario yang disusun, dibahas, dan ditetapkan ber­sama pe­ng­awas dan bank sis­temik. Oleh ka­rena itu, fi­na­lisasi Rencana Aksi akan sangat dinamis dan terus disempur­nakan.

Keempat, penyempurnaan Rencana Aksi oleh bank sis­te­mik perlu dilengkapi dengan koor­dinasi dengan anggota KSSK, khususnya LPS dalam me­nyiapkan Resolution Plan agar diyakini dapat diim­ple­men­tasikan. Bila dipandang perlu, bahkan penyusunan RRP dapat dijadikan tematik simu­lasi krisis oleh KSSK.

Pada akhirnya, semua pe­mangku kepentingan perlu me­ma­hami bahwa krisis dapat timbul setiap saat dan langkah-lang­kah terukur untuk memi­ti­gasi dampak buruknya ter­ha­dap stabilitas sistem keuangan perlu dipersiapkan secara dini. Penyusunan dan adopsi Ren­ca­na Aksi oleh bank sistemik se­cara komprehensif, termasuk pe­nerbitan obligasi konver­ti­bel, tentu agar harapan ter­se­but terpenuhi sambil ber­ikh­tiar semoga krisis sistem ke­uangan tidak berulang.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0595 seconds (0.1#10.140)