Aksi Bank Sistemik Hadapi Krisis Keuangan
A
A
A
Imansyah
Senior Advisor di Otoritas Jasa Keuangan
Ada lontaran pertanyaan yang sangat menarik dari Bapak Kartika Wirjoatmodjo, direktur utama Bank Mandiri, sebagai salah seorang pembicara dalam Seminar Internasional “20 Years of Asian Financial Crisis: Strengthening Infrastructures for Financial Resolution” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya, apakah sebuah bank yang telah memiliki modal (capital adequacy ratio/ CAR) di atas 20% masih perlu menerbitkan obligasi konversi (convertible bond ) sebagai bagian dari penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan ) oleh bank sistemik sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)?
Hemat penulis, pertanyaan ini sangat wajar karena dengan CAR di atas 20%, terlebih dengan komponen modal yang dominan berbentuk modal inti (Tier 1), maka boleh jadi bank sangat siap menghadapi semua potensi risiko sekaligus menjaga kelangsungan (sustainability) bisnis yang dijalankan. Bila pandangan ini sahih, bank sistemik dengan CAR tinggi tentu tidak perlu bersusah payah menerbitkan obligasi konversi yang beberapa waktu yang lalu juga sudah diwacanakan akan mencapai Rp5,5 triliun.
Menjawab pertanyaan di atas, tentu tidaklah mudah terlebih bagi kalangan yang masih awam dengan terminologi khas dalam UU PPKSK. Ulasan berikut ini berangkat dari berbagai perspektif yang relevan agar kewajiban penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan), termasuk juga penerbitan obligasi konversi oleh bank sistemik dalam menghadapi krisis keuangan.
Krisis Keuangan
Banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya dari rangkaian krisis keuangan yang terjadi sejak Krisis Keuangan Asia (Asian Financial Crisis 1997/1998) hingga Global Financial Crisis (GCF) pada 2008. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah kebijakan penggunaan uang publik (public money) untuk penyelamatan bank (bail-out) yang tidak lagi bisa diterima karena muatan moral hazard-nya acap mendorong bank mengambil risiko yang berlebihan (excessive risk).
Bank, khususnya bank sistemik, diharapkan mulai berinisiatif agar proses penyelamatan bisnisnya dilakukan dengan mengutilisasi secara maksimal sumber daya sendiri (bail-in). Untuk ini, bank sistemik diminta untuk menyiapkan rencana “wasiat” yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP).
Secara kontekstual, Recovery Plan akan dipersiapkan oleh bank dan direviu oleh pengawas, sementara Resolution Plan sepenuhnya menjadi area otoritas resolusi untuk menyiapkan. Untuk di Indonesia, UU PPKSK telah memberikan mandat beberapa opsi kebijakan kepada LPS untuk menyiapkan dan melaksanakan Resolution Plan.
Sejalan dengan namanya, Recovery Plan akan memuat semua tindakan (skenario) yang perlu dilakukan oleh bank untuk menghadapi berbagai kondisi tekanan (stresses), baik berupa pendanaan darurat (contingency funding) untuk membantu likuiditas, utilisasi instrumen modal, dan bila perlu melakukan penjualan aset atau bisnisnya agar terhindar dari tindak resolusi formal saat gagal usaha terjadi. Seperti halnya pendapat Andrew Bailey (2009) bahwa fire-prevention is better than fire-fighting, jelas skenario-skenario yang dibangun akan sangat membantu bank bersiap sejak dini menghadapi krisis.
Rencana Aksi
Dalam konteks Indonesia, adopsi perspektif ini jelas terangkum dalam UU PPKSK. Pasal 18, semisal mewajibkan bank sistemik untuk memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas, dan menyusun Rencana Aksi untuk disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rencana Aksi sendiri dimaknai paling sedikit memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank.
Menindaklanjuti mandat UU PPKSK tersebut, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/POJK. 03/17 telah mengatur kewajiban bank sistemik untuk menyusun dan menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan ) kepada OJK, termasuk opsi-opsi pemulihan (Recovery Options ) yang dapat dilakukan paling lambat akhir Desember 2017.
Selanjutnya, bank sistemik diberikan tenggat paling lambat akhir 2018 untuk memenuhi kewajiban memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik sebagai modal. Terkini, OJK sedang mereviu seluruh Rencana Aksi oleh bank sistemik dan finalisasinya akan sangat bergantung pada diskusi dan pemahaman yang komprehensif atas semua skenario dan opsi-opsi pemulihan yang tersedia.
Dari paparan di atas, penulis mencoba menjawab pertanyaan di awal tadi dengan beberapa poin. Pertama, belajar dari krisis keuangan sebelumnya, boleh dikatakan ungkapan Andrew Bailey sangat sahih dan UU PPKSK juga memuat semangat yang sama, bahwa upaya preventif dalam mengawasi bisnis bank akan lebih baik dibandingkan resolusi bank. Beberapa kebijakan OJK yang dimaksudkan untuk menyempurnakan kualitas pengawasan, sepatutnya diapresiasi termasuk juga pelaksanaan simulasi krisis yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar permasalahan “who does what ?” dalam situasi krisis menjadi jelas. Kedua, bila demikian maka justifikasi penyusunan Rencana Aksi oleh bank sistemik tidak perlu lagi diperdebatkan.
Substansi Rencana Aksi yang di antaranya memuat opsi pemulihan tentu juga terkait utilisasi instrumen modal berupa obligasi konvertibel sesuai dengan mandat UU PPKSK. Ketiga, besaran nominal obligasi konvertibel yang diterbitkan tentu ditentukan dari skenario-skenario yang disusun, dibahas, dan ditetapkan bersama pengawas dan bank sistemik. Oleh karena itu, finalisasi Rencana Aksi akan sangat dinamis dan terus disempurnakan.
Keempat, penyempurnaan Rencana Aksi oleh bank sistemik perlu dilengkapi dengan koordinasi dengan anggota KSSK, khususnya LPS dalam menyiapkan Resolution Plan agar diyakini dapat diimplementasikan. Bila dipandang perlu, bahkan penyusunan RRP dapat dijadikan tematik simulasi krisis oleh KSSK.
Pada akhirnya, semua pemangku kepentingan perlu memahami bahwa krisis dapat timbul setiap saat dan langkah-langkah terukur untuk memitigasi dampak buruknya terhadap stabilitas sistem keuangan perlu dipersiapkan secara dini. Penyusunan dan adopsi Rencana Aksi oleh bank sistemik secara komprehensif, termasuk penerbitan obligasi konvertibel, tentu agar harapan tersebut terpenuhi sambil berikhtiar semoga krisis sistem keuangan tidak berulang.
Senior Advisor di Otoritas Jasa Keuangan
Ada lontaran pertanyaan yang sangat menarik dari Bapak Kartika Wirjoatmodjo, direktur utama Bank Mandiri, sebagai salah seorang pembicara dalam Seminar Internasional “20 Years of Asian Financial Crisis: Strengthening Infrastructures for Financial Resolution” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya, apakah sebuah bank yang telah memiliki modal (capital adequacy ratio/ CAR) di atas 20% masih perlu menerbitkan obligasi konversi (convertible bond ) sebagai bagian dari penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan ) oleh bank sistemik sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)?
Hemat penulis, pertanyaan ini sangat wajar karena dengan CAR di atas 20%, terlebih dengan komponen modal yang dominan berbentuk modal inti (Tier 1), maka boleh jadi bank sangat siap menghadapi semua potensi risiko sekaligus menjaga kelangsungan (sustainability) bisnis yang dijalankan. Bila pandangan ini sahih, bank sistemik dengan CAR tinggi tentu tidak perlu bersusah payah menerbitkan obligasi konversi yang beberapa waktu yang lalu juga sudah diwacanakan akan mencapai Rp5,5 triliun.
Menjawab pertanyaan di atas, tentu tidaklah mudah terlebih bagi kalangan yang masih awam dengan terminologi khas dalam UU PPKSK. Ulasan berikut ini berangkat dari berbagai perspektif yang relevan agar kewajiban penyusunan Rencana Aksi (Recovery Plan), termasuk juga penerbitan obligasi konversi oleh bank sistemik dalam menghadapi krisis keuangan.
Krisis Keuangan
Banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya dari rangkaian krisis keuangan yang terjadi sejak Krisis Keuangan Asia (Asian Financial Crisis 1997/1998) hingga Global Financial Crisis (GCF) pada 2008. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah kebijakan penggunaan uang publik (public money) untuk penyelamatan bank (bail-out) yang tidak lagi bisa diterima karena muatan moral hazard-nya acap mendorong bank mengambil risiko yang berlebihan (excessive risk).
Bank, khususnya bank sistemik, diharapkan mulai berinisiatif agar proses penyelamatan bisnisnya dilakukan dengan mengutilisasi secara maksimal sumber daya sendiri (bail-in). Untuk ini, bank sistemik diminta untuk menyiapkan rencana “wasiat” yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP).
Secara kontekstual, Recovery Plan akan dipersiapkan oleh bank dan direviu oleh pengawas, sementara Resolution Plan sepenuhnya menjadi area otoritas resolusi untuk menyiapkan. Untuk di Indonesia, UU PPKSK telah memberikan mandat beberapa opsi kebijakan kepada LPS untuk menyiapkan dan melaksanakan Resolution Plan.
Sejalan dengan namanya, Recovery Plan akan memuat semua tindakan (skenario) yang perlu dilakukan oleh bank untuk menghadapi berbagai kondisi tekanan (stresses), baik berupa pendanaan darurat (contingency funding) untuk membantu likuiditas, utilisasi instrumen modal, dan bila perlu melakukan penjualan aset atau bisnisnya agar terhindar dari tindak resolusi formal saat gagal usaha terjadi. Seperti halnya pendapat Andrew Bailey (2009) bahwa fire-prevention is better than fire-fighting, jelas skenario-skenario yang dibangun akan sangat membantu bank bersiap sejak dini menghadapi krisis.
Rencana Aksi
Dalam konteks Indonesia, adopsi perspektif ini jelas terangkum dalam UU PPKSK. Pasal 18, semisal mewajibkan bank sistemik untuk memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas, dan menyusun Rencana Aksi untuk disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rencana Aksi sendiri dimaknai paling sedikit memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank.
Menindaklanjuti mandat UU PPKSK tersebut, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/POJK. 03/17 telah mengatur kewajiban bank sistemik untuk menyusun dan menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan ) kepada OJK, termasuk opsi-opsi pemulihan (Recovery Options ) yang dapat dilakukan paling lambat akhir Desember 2017.
Selanjutnya, bank sistemik diberikan tenggat paling lambat akhir 2018 untuk memenuhi kewajiban memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik sebagai modal. Terkini, OJK sedang mereviu seluruh Rencana Aksi oleh bank sistemik dan finalisasinya akan sangat bergantung pada diskusi dan pemahaman yang komprehensif atas semua skenario dan opsi-opsi pemulihan yang tersedia.
Dari paparan di atas, penulis mencoba menjawab pertanyaan di awal tadi dengan beberapa poin. Pertama, belajar dari krisis keuangan sebelumnya, boleh dikatakan ungkapan Andrew Bailey sangat sahih dan UU PPKSK juga memuat semangat yang sama, bahwa upaya preventif dalam mengawasi bisnis bank akan lebih baik dibandingkan resolusi bank. Beberapa kebijakan OJK yang dimaksudkan untuk menyempurnakan kualitas pengawasan, sepatutnya diapresiasi termasuk juga pelaksanaan simulasi krisis yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar permasalahan “who does what ?” dalam situasi krisis menjadi jelas. Kedua, bila demikian maka justifikasi penyusunan Rencana Aksi oleh bank sistemik tidak perlu lagi diperdebatkan.
Substansi Rencana Aksi yang di antaranya memuat opsi pemulihan tentu juga terkait utilisasi instrumen modal berupa obligasi konvertibel sesuai dengan mandat UU PPKSK. Ketiga, besaran nominal obligasi konvertibel yang diterbitkan tentu ditentukan dari skenario-skenario yang disusun, dibahas, dan ditetapkan bersama pengawas dan bank sistemik. Oleh karena itu, finalisasi Rencana Aksi akan sangat dinamis dan terus disempurnakan.
Keempat, penyempurnaan Rencana Aksi oleh bank sistemik perlu dilengkapi dengan koordinasi dengan anggota KSSK, khususnya LPS dalam menyiapkan Resolution Plan agar diyakini dapat diimplementasikan. Bila dipandang perlu, bahkan penyusunan RRP dapat dijadikan tematik simulasi krisis oleh KSSK.
Pada akhirnya, semua pemangku kepentingan perlu memahami bahwa krisis dapat timbul setiap saat dan langkah-langkah terukur untuk memitigasi dampak buruknya terhadap stabilitas sistem keuangan perlu dipersiapkan secara dini. Penyusunan dan adopsi Rencana Aksi oleh bank sistemik secara komprehensif, termasuk penerbitan obligasi konvertibel, tentu agar harapan tersebut terpenuhi sambil berikhtiar semoga krisis sistem keuangan tidak berulang.
(pur)