Kemendagri Diminta Bikin Aturan Penetapan Provinsi Kepulauan
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diminta untuk melakukan identifikasi dan penetapan terhadap provinsi berdasarkan atas kondisi geografis.
Misalnya, provinsi yang memiliki banyak pulau ditetapkan dengan provinsi kepulauan. Begitun juga dengan provinsi pantai, provinsi yang setengah kelautan dan provinsi kelautan.
Hal itu diungkapkan Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Unhan Laksda TNI Amarulla Octavian saat berbicara dalam seminar nasional bertajuk Keamanan dan Keselamatan Laut Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang diselenggarakan Koalisi Bersama Rakyat (Kibar) di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis, 5 April 2018.
“Kepulauan Riau sudah mendeklarasikan diri sebagai provinsi kepulauan. Penjabaran dari konsep pemerintahan maritim ini adalah membagi semua provinsi sesuai dengan karakteristik tersebut, sehingga nantinya tidak ada konflik-konflik antarnelayan,” tutur Octavian.
Menurut dia, kapal-kapal Indonesia juga harus diberi warna serta nomor registrasi. Langkah itu dinilai akan memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi dan mengatur lalu lintas kapal di wilayah hukum laut Indonesia.
"Banyak negara di dunia sudah mempraktikkan. Hal ini sangat efektif. Kita bisa mengetahui misalnya ada kapal warna kuning, oh itu ternyata dari Bangka Belitung, sehingga tidak boleh diklaim sebagai kapal yang tidak diketahui identitasnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, sesuai hukum internasional bila ada kapal kontainer atau kapal laut milik nelayan yang melintas dan memotong jalur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan dan laporan itu diterima International Maritiem Bureau (IMB).
Meski nelayan hanya sekadar melintasi kapal lain, namun hal tersebut dianggap sebagai percobaan untuk menyerang.
“Kalau kita semua tertib dan ada kapal yang tidak diketahui melintas, kita semua tentunya alert dan nelayan-nelayan akan menjadi kepanjangan tangan aparat keamanan bahwa ada kapal yang melintas tidak sesuai warnanya. Begitu pula dengan kapal-kapal aparat keamanan yang dicat dengan warna yang sama,” tutur Octavian.
Selain itu, lanjut dia, peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai coast guard juga harus ditingkatkan untuk mendukung implementasi visi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Peran itu harus didukung dengan kemampuan operasional hingga ke perairan dan ruang udara di ZEE (Zona Ekonomi Eklusif) bahkan di landas kontinen guna menjamin keamanan dan keselamatan laut," ujarnya.
Octavian menilai, potensi laut Indonesia dalam perspektif blue economy terdiri atas potensi sumber daya alam hayati yang berupa perikanan laut dan budidaya, serta potensi sumber daya alam non hayati seperti minyak, gas dan mineral di dasar laut. Termasuk potensi pariwisata pantai dan bahari, jasa logistik dan perhubungan, serta bio teknologi dan bio farmakologi kelautan.
“Seluruh potensi laut dari blue economy tersebut harus dijaga kelestariannya agar dapat diwariskan pada generasi mendatang,” ujar Octavian.
Selain blue economy, lanjut Octavian, potensi laut Indonesia juga dapat dilihat dari perspektif blue energy. Mulai dari energi yang berasal dari potensi gelombang, pasang surut, arus, perbedaan suhu laut bahkan dari perbedaan kadar garam di laut yang dapat menghasilkan energi.
"Banyak kalangan dan para pakar didunia, percaya bahwa blue energy, potensi laut di Indonesia dapat memenuhi, bahkan dapat melampau target pemerintah untuk menyediakan listrik sampai dengan 36.000 megawatt," ungkapnya.
Dia mencontohkan, Vietnam mencanangkan 60.000 megawatt dan Indonesia dengan luas wilayah laut yang jauh lebih besar mencanangkan 36.000 megawatt.
“Kenyataannya, kapasitas listrik Vietnam sudah melebihi 60.000 megawatt. Sementara kita, belum mecapai target 36.000 megawatt. Mengapa? Karena belum dioptimalkan,” ungkapnya.
Dengan potensi laut Indonesia yang demikian besar maka sesuai dengan hukum laut internasional, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk menjaga keamanan dan keselamatan di laut.
Kewajiban tersebut dikatakannya telah diamanatkan dalam undang-undang ke dalam pokok-pokok defense government atau pemerintahan dalam bidang pertahanan.
Selain Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Unhan Laksda TNI Amarulla Octavian, hadir pula sebagai pembicara Menko Polhukam Jenderal Purn Wiranto, Kepala Bakamla Laksdya TNI Ari Sudewo, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan R Agus H Purnomo dan Ketua Umum LSM Kibar Indra Fahrizal.
Menko Polhukam Wiranto memberikan pemaparan tentang kondisi keamanan dan politik di Indonesia saat ini. "Masyarakat Indonesia harus bersatu untuk bersama-sama memajukan bangsa Indonesia," ucapnya.
Misalnya, provinsi yang memiliki banyak pulau ditetapkan dengan provinsi kepulauan. Begitun juga dengan provinsi pantai, provinsi yang setengah kelautan dan provinsi kelautan.
Hal itu diungkapkan Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Unhan Laksda TNI Amarulla Octavian saat berbicara dalam seminar nasional bertajuk Keamanan dan Keselamatan Laut Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang diselenggarakan Koalisi Bersama Rakyat (Kibar) di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis, 5 April 2018.
“Kepulauan Riau sudah mendeklarasikan diri sebagai provinsi kepulauan. Penjabaran dari konsep pemerintahan maritim ini adalah membagi semua provinsi sesuai dengan karakteristik tersebut, sehingga nantinya tidak ada konflik-konflik antarnelayan,” tutur Octavian.
Menurut dia, kapal-kapal Indonesia juga harus diberi warna serta nomor registrasi. Langkah itu dinilai akan memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi dan mengatur lalu lintas kapal di wilayah hukum laut Indonesia.
"Banyak negara di dunia sudah mempraktikkan. Hal ini sangat efektif. Kita bisa mengetahui misalnya ada kapal warna kuning, oh itu ternyata dari Bangka Belitung, sehingga tidak boleh diklaim sebagai kapal yang tidak diketahui identitasnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, sesuai hukum internasional bila ada kapal kontainer atau kapal laut milik nelayan yang melintas dan memotong jalur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan dan laporan itu diterima International Maritiem Bureau (IMB).
Meski nelayan hanya sekadar melintasi kapal lain, namun hal tersebut dianggap sebagai percobaan untuk menyerang.
“Kalau kita semua tertib dan ada kapal yang tidak diketahui melintas, kita semua tentunya alert dan nelayan-nelayan akan menjadi kepanjangan tangan aparat keamanan bahwa ada kapal yang melintas tidak sesuai warnanya. Begitu pula dengan kapal-kapal aparat keamanan yang dicat dengan warna yang sama,” tutur Octavian.
Selain itu, lanjut dia, peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai coast guard juga harus ditingkatkan untuk mendukung implementasi visi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Peran itu harus didukung dengan kemampuan operasional hingga ke perairan dan ruang udara di ZEE (Zona Ekonomi Eklusif) bahkan di landas kontinen guna menjamin keamanan dan keselamatan laut," ujarnya.
Octavian menilai, potensi laut Indonesia dalam perspektif blue economy terdiri atas potensi sumber daya alam hayati yang berupa perikanan laut dan budidaya, serta potensi sumber daya alam non hayati seperti minyak, gas dan mineral di dasar laut. Termasuk potensi pariwisata pantai dan bahari, jasa logistik dan perhubungan, serta bio teknologi dan bio farmakologi kelautan.
“Seluruh potensi laut dari blue economy tersebut harus dijaga kelestariannya agar dapat diwariskan pada generasi mendatang,” ujar Octavian.
Selain blue economy, lanjut Octavian, potensi laut Indonesia juga dapat dilihat dari perspektif blue energy. Mulai dari energi yang berasal dari potensi gelombang, pasang surut, arus, perbedaan suhu laut bahkan dari perbedaan kadar garam di laut yang dapat menghasilkan energi.
"Banyak kalangan dan para pakar didunia, percaya bahwa blue energy, potensi laut di Indonesia dapat memenuhi, bahkan dapat melampau target pemerintah untuk menyediakan listrik sampai dengan 36.000 megawatt," ungkapnya.
Dia mencontohkan, Vietnam mencanangkan 60.000 megawatt dan Indonesia dengan luas wilayah laut yang jauh lebih besar mencanangkan 36.000 megawatt.
“Kenyataannya, kapasitas listrik Vietnam sudah melebihi 60.000 megawatt. Sementara kita, belum mecapai target 36.000 megawatt. Mengapa? Karena belum dioptimalkan,” ungkapnya.
Dengan potensi laut Indonesia yang demikian besar maka sesuai dengan hukum laut internasional, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk menjaga keamanan dan keselamatan di laut.
Kewajiban tersebut dikatakannya telah diamanatkan dalam undang-undang ke dalam pokok-pokok defense government atau pemerintahan dalam bidang pertahanan.
Selain Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Unhan Laksda TNI Amarulla Octavian, hadir pula sebagai pembicara Menko Polhukam Jenderal Purn Wiranto, Kepala Bakamla Laksdya TNI Ari Sudewo, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan R Agus H Purnomo dan Ketua Umum LSM Kibar Indra Fahrizal.
Menko Polhukam Wiranto memberikan pemaparan tentang kondisi keamanan dan politik di Indonesia saat ini. "Masyarakat Indonesia harus bersatu untuk bersama-sama memajukan bangsa Indonesia," ucapnya.
(dam)