Diplomasi Utang
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
NEGARA berutang kabarnya adalah hal biasa, apalagi bila negara itu sedang berpacu mengembangkan sejumlah program yang dianggap dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rakyatnya. Namun, kasus krisis utang yang dialami negara tujuan wisata Maladewa (dikenal sebagai Maldives) akibat besaran utangnya pada Tiongkok (China) menarik perhatian. Apa yang perlu diketahui terkait isu jerat utang berkedok kerja sama pembangunan yang ditopang oleh diplomasi antarnegara?
Utang sebagai bagian dari diplomasi dan perekat hubungan antarnegara bukanlah hal yang baru. Utang adalah bagian dari bantuan keuangan dari sebuah negara ke negara lain baik yang bersifat hibah, bunga lunak, atau pinjaman komersial; baik yang diberikan secara bilateral atau yang disumbangkan melalui lembaga multilateral. Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang berutang dapat sukses meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga ada yang gagal hingga terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung.
Rasa khawatir akan terjebak dalam kemiskinan tersebut yang membuat banyak pihak mengambil sikap politik untuk menolak utang. Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam visi-misi kampanye juga pernah menyatakan menolak menambah utang baru.
Amerika Serikat seusai Perang Dunia ke-2 adalah negara yang banyak memberikan bantuan utang kepada negara-negara yang ekonominya bangkrut karena perang. Marshall Plan sebagai Program Pemulihan Eropa adalah program ekonomi skala besar atas inisiatif Amerika untuk membantu negara-negara Eropa Barat memulihkan perekonomiannya. Amerika Serikat kira-kira memberikan lebih dari USD13 miliar. Ryland dan Thomas menilai jumlah itu sama dengan USD110 miliar pada 2016.
Beberapa tujuan yang menyertai bantuan Amerika Serikat tersebut antara lain untuk merekonstruksi daerah yang dilanda perang, menghapuskan hambatan perdagangan, memodernkan industri, meningkatkan kemakmuran Eropa, menciptakan pasar dan terutama mencegah penyebaran komunisme dari tetangga mereka di bagian Eropa Timur. Negara-negara tersebut wajib membuat undang-undang pengurangan hambatan antarnegara, meminimalisasi peraturan, dan mendorong peningkatan produktivitas, keanggotaan serikat pekerja, serta penerapan prosedur bisnis modern apabila ingin mendapat bantuan Marshall Plan.
Bukan hanya Amerika Serikat, Uni Soviet pun pada masa itu juga memberikan bantuan keuangan meskipun datanya tidak terbuka seperti AS sehingga menyulitkan interpretasi. Hal ini terjadi karena sistem ekonomi politik yang tertutup, baik di pihak Uni Soviet maupun negara penerimanya.
Meski demikian, Ragna Boden (2008) menemukan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terbesar penerima bantuan Uni Soviet di antara negara-negara penerima lainnya di luar Eropa Timur sejak 1945–1965. Indonesia pada tahun yang sama (1945–1949) tidak banyak menerima bantuan dari negara-negara Barat.
Indonesia sudah mendapat warisan utang sebesar 4,3 miliar gulden dari penjajahan Kolonial Belanda berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Selain itu, dinamika politik regional di kawasan dan upaya Amerika Serikat yang mencoba mendongkel kepemimpinan nasional Soekarno-Hatta, membuat bantuan dari negara Barat diterima secara selektif dan terbatas.
Setelah masa itu, terutama ketika lembaga keuangan internasional Bank Dunia dan IMF sudah mapan pada 1970-an, bantuan keuangan dilakukan secara multilateral. Lembaga keuangan tersebut membagi tugas dan fokus dalam tujuannya masing-masing. Bank Dunia mengaitkan bantuan dengan pembangunan sosial dan ekonomi, sementara IMF lebih fokus pada pinjaman yang relatif lebih komersial.
Di Asia sendiri, Jepang kemudian menjadi pendonor utama dalam ADB (Asian Development Bank) yang fokus pada pembangunan infrastruktur. China dalam sepuluh tahun terakhir menjadi negara yang terlibat dalam mendanai negara-negara yang wilayahnya bersinggungan dengan proyek infrastruktur Belt and Road.
Dana disalurkan melalui sejumlah lembaga keuangan yang umumnya dimiliki oleh BUMN China itu sendiri. China memang mendirikan Bank Infrastruktur Asia atau AIIB, tetapi bank itu belum beroperasi secara maksimal. Bantuan keuangan biasanya disalurkan lewat China Silk Road Fund (CSRF) atau misalnya China-ASEAN Investment Cooporation Fund (CAIF).
Lembaga-lembaga keuangan dan bantuan tersebut tentu mewakili kepentingan mereka masing-masing. Amat naif apabila kita berasumsi bantuan tersebut tidak memiliki kepentingan. Umumnya, selain pertimbangan bisnis yaitu memperoleh keuntungan dengan bunga yang dikenakan di dalam pinjaman, bantuan tersebut berfungsi sebagai memperkuat pengaruh, membuka jalan kerja sama perdagangan barang dan jasa, memberikan tekanan/hukuman atau penghargaan.
Bank Dunia, IMF, dan bantuan keuangan China juga memiliki hubungan yang asimetris atau dominan dalam relasinya dengan negara peminjam. Perbedaannya hanya di periode waktu, syarat, dan modelnya.
Bantuan internasional dari Barat umumnya cenderung disertai dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan terkesan menggurui di awal pinjaman. Modelnya multilateral berupa kerja sama beberapa negara pendonor.
Indonesia, misalnya, harus melakukan sejumlah reformasi struktural (structural adjustment) menyusul persetujuan mengambil utang dari IMF pada 1998, yang tujuannya meliberalisasi pasar dengan mengeluarkan sejumlah peraturan yang memudahkan investasi asing dan sekaligus memotong anggaran untuk pelayanan publik dan program kesejahteraan rakyat untuk penghematan. Banyak investasi asing kemudian masuk di sektor mineral seperti minyak, gas, batu bara.
Bantuan keuangan dari China sedikit berbeda dengan bantuan dari Barat. Bantuan mereka umumnya tidak disertai dengan syarat-syarat yang memberatkan pemerintahan yang berkuasa. Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan akses pendanaan dari Barat, terutama negara yang dianggap melanggar HAM, dana segar dari China adalah kabar yang sangat menggembirakan.
Meskipun berbeda, bantuan keuangan dari Barat dan China bisa sama-sama menjerat apabila tidak dikelola secara saksama dan dapat mendorong pertumbuhan apabila dikelola dengan hati-hati. Posisi bantuan keuangan terhadap kinerja perekonomian negara sangat bergantung pada dinamika struktur politik-ekonomi di dalam negeri.
Pada masa periode politik otoriter (1970–2000) di Asia Tenggara, hampir semua negara menyesatkan bantuan hingga menyebabkan kemiskinan. Bantuan-bantuan lebih banyak dikorupsi dan digunakan oleh pejabat untuk kepentingan politik dan kalangan sendiri. Situasi tersebut mulai berubah ketika ruang demokrasi (pasca 2000) lebih terbuka sehingga pengawasan terhadap kinerja pemerintah lebih dapat dikritisi.
Pada masa itu, sejumlah negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia mulai dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan tumbuh menjadi negara berpendapatan menengah. Demikian pula bantuan dari China. Ada beberapa negara dengan sistem ekonomi-politik yang lebih stabil dapat diuntungkan dari bantuan tersebut, tetapi negara-negara yang tidak stabil justru semakin terpuruk dan terancam gagal bayar karena kesalahan pengelolaan.
The Center for Global Development meneliti bahwa dari 63 negara yang terkait dengan proyek Belt and Road ada delapan negara (Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan) yang tingkat utangnya kepada China sudah sangat mengkhawatirkan, sementara negara lainnya dalam posisi aman.
Apabila kita teliti satu per satu, rata-rata delapan negara tersebut mengalami ketidakstabilan di dalam negeri. Contoh adalah Maladewa. Pada awal 1980-an, Maladewa adalah salah satu dari 20 negara termiskin di dunia, dengan populasi 156.000 jiwa. Pada 2012 telah menjadi negara berpenghasilan menengah dengan pendapatan per kapita lebih dari USD6.300. Namun, negara ini menghadapi tantangan ketika mereka tidak berhasil menyelesaikan transisi politik dari pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi.
Pemerintahan yang berkuasa kemudian mengadakan perjanjian perdagangan bebas yang pertama kali sepanjang negeri itu berdiri dengan China dan mengimpor banyak barang untuk pembangunan infrastruktur yang belum diperlukan. Akibatnya, tidak ada produktivitas yang dilahirkan dari proyek-proyek itu.
Dengan kata lain, partisipasi politik dan demokrasi yang terkonsolidasi adalah penentu apakah utang dapat meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi sebuah negara atau justru menjerumuskannya. Para politisi Indonesia harus dapat menjaga diri jangan sampai menggunakan isu-isu yang dapat memecah belah persatuan hanya karena ingin menang. Persaingan politik jangan jadi bencana, tetapi harus menjadi berkah buat semua warga.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
NEGARA berutang kabarnya adalah hal biasa, apalagi bila negara itu sedang berpacu mengembangkan sejumlah program yang dianggap dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rakyatnya. Namun, kasus krisis utang yang dialami negara tujuan wisata Maladewa (dikenal sebagai Maldives) akibat besaran utangnya pada Tiongkok (China) menarik perhatian. Apa yang perlu diketahui terkait isu jerat utang berkedok kerja sama pembangunan yang ditopang oleh diplomasi antarnegara?
Utang sebagai bagian dari diplomasi dan perekat hubungan antarnegara bukanlah hal yang baru. Utang adalah bagian dari bantuan keuangan dari sebuah negara ke negara lain baik yang bersifat hibah, bunga lunak, atau pinjaman komersial; baik yang diberikan secara bilateral atau yang disumbangkan melalui lembaga multilateral. Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang berutang dapat sukses meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga ada yang gagal hingga terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung.
Rasa khawatir akan terjebak dalam kemiskinan tersebut yang membuat banyak pihak mengambil sikap politik untuk menolak utang. Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam visi-misi kampanye juga pernah menyatakan menolak menambah utang baru.
Amerika Serikat seusai Perang Dunia ke-2 adalah negara yang banyak memberikan bantuan utang kepada negara-negara yang ekonominya bangkrut karena perang. Marshall Plan sebagai Program Pemulihan Eropa adalah program ekonomi skala besar atas inisiatif Amerika untuk membantu negara-negara Eropa Barat memulihkan perekonomiannya. Amerika Serikat kira-kira memberikan lebih dari USD13 miliar. Ryland dan Thomas menilai jumlah itu sama dengan USD110 miliar pada 2016.
Beberapa tujuan yang menyertai bantuan Amerika Serikat tersebut antara lain untuk merekonstruksi daerah yang dilanda perang, menghapuskan hambatan perdagangan, memodernkan industri, meningkatkan kemakmuran Eropa, menciptakan pasar dan terutama mencegah penyebaran komunisme dari tetangga mereka di bagian Eropa Timur. Negara-negara tersebut wajib membuat undang-undang pengurangan hambatan antarnegara, meminimalisasi peraturan, dan mendorong peningkatan produktivitas, keanggotaan serikat pekerja, serta penerapan prosedur bisnis modern apabila ingin mendapat bantuan Marshall Plan.
Bukan hanya Amerika Serikat, Uni Soviet pun pada masa itu juga memberikan bantuan keuangan meskipun datanya tidak terbuka seperti AS sehingga menyulitkan interpretasi. Hal ini terjadi karena sistem ekonomi politik yang tertutup, baik di pihak Uni Soviet maupun negara penerimanya.
Meski demikian, Ragna Boden (2008) menemukan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terbesar penerima bantuan Uni Soviet di antara negara-negara penerima lainnya di luar Eropa Timur sejak 1945–1965. Indonesia pada tahun yang sama (1945–1949) tidak banyak menerima bantuan dari negara-negara Barat.
Indonesia sudah mendapat warisan utang sebesar 4,3 miliar gulden dari penjajahan Kolonial Belanda berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Selain itu, dinamika politik regional di kawasan dan upaya Amerika Serikat yang mencoba mendongkel kepemimpinan nasional Soekarno-Hatta, membuat bantuan dari negara Barat diterima secara selektif dan terbatas.
Setelah masa itu, terutama ketika lembaga keuangan internasional Bank Dunia dan IMF sudah mapan pada 1970-an, bantuan keuangan dilakukan secara multilateral. Lembaga keuangan tersebut membagi tugas dan fokus dalam tujuannya masing-masing. Bank Dunia mengaitkan bantuan dengan pembangunan sosial dan ekonomi, sementara IMF lebih fokus pada pinjaman yang relatif lebih komersial.
Di Asia sendiri, Jepang kemudian menjadi pendonor utama dalam ADB (Asian Development Bank) yang fokus pada pembangunan infrastruktur. China dalam sepuluh tahun terakhir menjadi negara yang terlibat dalam mendanai negara-negara yang wilayahnya bersinggungan dengan proyek infrastruktur Belt and Road.
Dana disalurkan melalui sejumlah lembaga keuangan yang umumnya dimiliki oleh BUMN China itu sendiri. China memang mendirikan Bank Infrastruktur Asia atau AIIB, tetapi bank itu belum beroperasi secara maksimal. Bantuan keuangan biasanya disalurkan lewat China Silk Road Fund (CSRF) atau misalnya China-ASEAN Investment Cooporation Fund (CAIF).
Lembaga-lembaga keuangan dan bantuan tersebut tentu mewakili kepentingan mereka masing-masing. Amat naif apabila kita berasumsi bantuan tersebut tidak memiliki kepentingan. Umumnya, selain pertimbangan bisnis yaitu memperoleh keuntungan dengan bunga yang dikenakan di dalam pinjaman, bantuan tersebut berfungsi sebagai memperkuat pengaruh, membuka jalan kerja sama perdagangan barang dan jasa, memberikan tekanan/hukuman atau penghargaan.
Bank Dunia, IMF, dan bantuan keuangan China juga memiliki hubungan yang asimetris atau dominan dalam relasinya dengan negara peminjam. Perbedaannya hanya di periode waktu, syarat, dan modelnya.
Bantuan internasional dari Barat umumnya cenderung disertai dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan terkesan menggurui di awal pinjaman. Modelnya multilateral berupa kerja sama beberapa negara pendonor.
Indonesia, misalnya, harus melakukan sejumlah reformasi struktural (structural adjustment) menyusul persetujuan mengambil utang dari IMF pada 1998, yang tujuannya meliberalisasi pasar dengan mengeluarkan sejumlah peraturan yang memudahkan investasi asing dan sekaligus memotong anggaran untuk pelayanan publik dan program kesejahteraan rakyat untuk penghematan. Banyak investasi asing kemudian masuk di sektor mineral seperti minyak, gas, batu bara.
Bantuan keuangan dari China sedikit berbeda dengan bantuan dari Barat. Bantuan mereka umumnya tidak disertai dengan syarat-syarat yang memberatkan pemerintahan yang berkuasa. Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan akses pendanaan dari Barat, terutama negara yang dianggap melanggar HAM, dana segar dari China adalah kabar yang sangat menggembirakan.
Meskipun berbeda, bantuan keuangan dari Barat dan China bisa sama-sama menjerat apabila tidak dikelola secara saksama dan dapat mendorong pertumbuhan apabila dikelola dengan hati-hati. Posisi bantuan keuangan terhadap kinerja perekonomian negara sangat bergantung pada dinamika struktur politik-ekonomi di dalam negeri.
Pada masa periode politik otoriter (1970–2000) di Asia Tenggara, hampir semua negara menyesatkan bantuan hingga menyebabkan kemiskinan. Bantuan-bantuan lebih banyak dikorupsi dan digunakan oleh pejabat untuk kepentingan politik dan kalangan sendiri. Situasi tersebut mulai berubah ketika ruang demokrasi (pasca 2000) lebih terbuka sehingga pengawasan terhadap kinerja pemerintah lebih dapat dikritisi.
Pada masa itu, sejumlah negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia mulai dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan tumbuh menjadi negara berpendapatan menengah. Demikian pula bantuan dari China. Ada beberapa negara dengan sistem ekonomi-politik yang lebih stabil dapat diuntungkan dari bantuan tersebut, tetapi negara-negara yang tidak stabil justru semakin terpuruk dan terancam gagal bayar karena kesalahan pengelolaan.
The Center for Global Development meneliti bahwa dari 63 negara yang terkait dengan proyek Belt and Road ada delapan negara (Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan) yang tingkat utangnya kepada China sudah sangat mengkhawatirkan, sementara negara lainnya dalam posisi aman.
Apabila kita teliti satu per satu, rata-rata delapan negara tersebut mengalami ketidakstabilan di dalam negeri. Contoh adalah Maladewa. Pada awal 1980-an, Maladewa adalah salah satu dari 20 negara termiskin di dunia, dengan populasi 156.000 jiwa. Pada 2012 telah menjadi negara berpenghasilan menengah dengan pendapatan per kapita lebih dari USD6.300. Namun, negara ini menghadapi tantangan ketika mereka tidak berhasil menyelesaikan transisi politik dari pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi.
Pemerintahan yang berkuasa kemudian mengadakan perjanjian perdagangan bebas yang pertama kali sepanjang negeri itu berdiri dengan China dan mengimpor banyak barang untuk pembangunan infrastruktur yang belum diperlukan. Akibatnya, tidak ada produktivitas yang dilahirkan dari proyek-proyek itu.
Dengan kata lain, partisipasi politik dan demokrasi yang terkonsolidasi adalah penentu apakah utang dapat meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi sebuah negara atau justru menjerumuskannya. Para politisi Indonesia harus dapat menjaga diri jangan sampai menggunakan isu-isu yang dapat memecah belah persatuan hanya karena ingin menang. Persaingan politik jangan jadi bencana, tetapi harus menjadi berkah buat semua warga.
(poe)