Perikanan dan Tantangan Calon Pemimpin Jabar
A
A
A
Muhamad Husen Pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia
EMPAT pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) Jawa Barat telah memulai adu gagasan. Masyarakat tentu akan memilih pemimpin yang dinilai bisa membawa rakyatnya makin sejahtera. Khusus bagi masyarakat perikanan, sosok yang didambakan adalah pemimpin yang mampu memajukan sektor perikanan di provinsi yang dulu pernah dijuluki “Embah Perikanan” ini.
Kemajuan sektor perikanan tidak semata diukur dari angka-angka makro yang fantastis seperti berapa ribu dolar AS dari nilai ekspor yang bisa diraih atau berapa besar sumbangannya pada PDRB dan sebagainya, tetapi juga seberapa banyak usaha kecil tumbuh di sektor ini, seberapa banyak nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan yang mampu terangkat dari kemiskinan. Kemajuan perikanan juga diukur dari seberapa banyak potensi lahan dan lautan di Jabar yang bisa termanfaatkan serta berapa banyak wadah budi daya yang mampu terselamatkan dari jebakan polusi perairan.
Jabar sebagai basis perikanan di Tanah Air sering menjadi barometer kemajuan. Enam puluh tahun lalu akuakulturis mancanegara hilir mudik mempelajari perikanan budi daya. Keramba jaring apung (KJA) di waduk Jatiluhur pernah menjadi objek studi bangsa Vietnam. Namun, yang terjadi selama ini produksi perikanan budi daya Tanah Air hanya sepertigabelasnya China, padahal tujuh dekade lalu Indonesia unggul dan Jabar merupakan andalannya. Vietnam kini telah menjadi pemasok ikan air tawar andal ke berbagai negara jauh meninggalkan kita.
Maka itu, tantangan pasangan cagub/cawagub Jabar manakala terpilih adalah bagaimana mengangkat kembali pamor daerah ini sebagai pusat keunggulan perikanan-centre of excellent. Sanggupkah pemimpin mendatang mengakhiri ironi-ironi sumbang tentang perikanan budi daya dengan mengibarkan bendera Jabar di kancah nasional dan internasional?
Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan adalah salah satu sektor yang berbasis sumber daya alam (resources bases industry) yang selama ini dalam pembangunan ekonomi sering kurang mendapat prioritas. Pada masa lalu strategi pembangunan berujung dengan peningkatan ketergantungan kepada produk impor, baik untuk barang modal maupun barang konsumsi. Dengan demikian, kemajuan perikanan ke depan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi yang dicanangkan pasangan gubernur/ wakil gubernur yang baru.
Sebagai provinsi yang dikaruniai potensi perikanan cukup besar, Jabar memiliki panjang garis pantai sekitar 805 km, di mana 437 km berada di selatan. Luas laut yang dimiliki mencapai 289.800 km2. Dialiri 40 sungai serta memiliki 1.267 waduk/situ dengan potensi air permukaan lebih dari 10.000 juta m3. Potensi tersebut bukan saja berperan dalam menyediakan pangan protein, tetapi juga dalam mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memberikan pertumbuhan ekonomi.
Selama ini dalam memajukan perikanan, pemegang kebijakan kadangkala sering menilainya dengan menggenjot investasi dan promosi secara besar-besaran. Namun, dimensi perikanan tidak menyangkut ekonomi semata, melainkan juga ekologi, teknologi, sosial, budaya, dan bahkan politik. Jadi, selain promosi dan investasi, diperlukan juga regulasi dengan berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya - fisheries management yang memungkinkan seluruh dimensi tersentuh.
Keyakinan Individual
Mengonsumsi ikan dalam jumlah cukup akan berdampak pada kecerdasan dan kesehatan sehingga berperan meningkatkan IPM. Pernyataan itu sebenarnya merupakan keyakinan banyak orang. Namun, belum terwujudnya keyakinan tersebut karena tidak bersifat kolektif dan struktural, melainkan masih individual.
Pada masa lalu para pemimpin umumnya mengetahui bahwa ikan memiliki sejumlah kelebihan, tetapi mereka masih belum sepenuhnya meyakini bahwa ikan dapat menjadikan masa depan bangsa lebih berjaya, baik ekonomi maupun kualitas hidup manusianya. Karena itu, ke depan di mana IPM menjadi salah satu indikator kemajuan, selayaknya pemimpin Jabar menjadikan perikanan sebagai andalan yang tidak perlu ditawar lagi.
Ada ketentuan yang mengharuskan kebutuhan protein bangsa Indonesia sebanyak 2/3 bagian protein hewani bersumber dari ikan. Penduduk Jawa Barat 2015 berjumlah 46.709.569 jiwa sehingga manakala penduduk tersebut menginginkan kecukupan gizi (protein) yang memadai seperti ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75/2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, penduduk memerlukan protein sebanyak 2.600.901.835,9 gram setiap hari.
Di sinilah peran perikanan memperoleh porsi yang tidak kecil karena dituntut harus menyediakan setara dengan ketersediaan ikan siap konsumsi (as consumed) sebanyak 2.010.055 ton per tahun. Produk sebanyak itu terbuka luas sebagai peluang usaha bagi nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan.
Satu hal yang mesti dicermati bahwa lingkungan strategis dan iklim politik kini sudah sangat berlainan. Sebut saja otonomi daerah, demokratisasi, dan globalisasi wajib menjadi variabel penting untuk dipertimbangkan. Dengan begitu, tantangan pembangunan perikanan pun memiliki nuansa otonomi, partisipatif, bottom up, demokratis, profesional, transparan, dan akuntabilitas.
Di sinilah pimpinan Jabar harus mampu membuat gebrakan dan mentransformasi keyakinan individualnya menjadi keyakinan struktural. Artinya, gubernur dan wakil gubernur terpilih dituntut mempunyai keputusan politik tentang arti penting ikan. Desain tersebut tidak hanya berupa pemikiran, tetapi juga berkeinginan menggerakkan organ-organ pemda termasuk menciptakan iklim kondusif. Semoga.
EMPAT pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) Jawa Barat telah memulai adu gagasan. Masyarakat tentu akan memilih pemimpin yang dinilai bisa membawa rakyatnya makin sejahtera. Khusus bagi masyarakat perikanan, sosok yang didambakan adalah pemimpin yang mampu memajukan sektor perikanan di provinsi yang dulu pernah dijuluki “Embah Perikanan” ini.
Kemajuan sektor perikanan tidak semata diukur dari angka-angka makro yang fantastis seperti berapa ribu dolar AS dari nilai ekspor yang bisa diraih atau berapa besar sumbangannya pada PDRB dan sebagainya, tetapi juga seberapa banyak usaha kecil tumbuh di sektor ini, seberapa banyak nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan yang mampu terangkat dari kemiskinan. Kemajuan perikanan juga diukur dari seberapa banyak potensi lahan dan lautan di Jabar yang bisa termanfaatkan serta berapa banyak wadah budi daya yang mampu terselamatkan dari jebakan polusi perairan.
Jabar sebagai basis perikanan di Tanah Air sering menjadi barometer kemajuan. Enam puluh tahun lalu akuakulturis mancanegara hilir mudik mempelajari perikanan budi daya. Keramba jaring apung (KJA) di waduk Jatiluhur pernah menjadi objek studi bangsa Vietnam. Namun, yang terjadi selama ini produksi perikanan budi daya Tanah Air hanya sepertigabelasnya China, padahal tujuh dekade lalu Indonesia unggul dan Jabar merupakan andalannya. Vietnam kini telah menjadi pemasok ikan air tawar andal ke berbagai negara jauh meninggalkan kita.
Maka itu, tantangan pasangan cagub/cawagub Jabar manakala terpilih adalah bagaimana mengangkat kembali pamor daerah ini sebagai pusat keunggulan perikanan-centre of excellent. Sanggupkah pemimpin mendatang mengakhiri ironi-ironi sumbang tentang perikanan budi daya dengan mengibarkan bendera Jabar di kancah nasional dan internasional?
Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan adalah salah satu sektor yang berbasis sumber daya alam (resources bases industry) yang selama ini dalam pembangunan ekonomi sering kurang mendapat prioritas. Pada masa lalu strategi pembangunan berujung dengan peningkatan ketergantungan kepada produk impor, baik untuk barang modal maupun barang konsumsi. Dengan demikian, kemajuan perikanan ke depan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi yang dicanangkan pasangan gubernur/ wakil gubernur yang baru.
Sebagai provinsi yang dikaruniai potensi perikanan cukup besar, Jabar memiliki panjang garis pantai sekitar 805 km, di mana 437 km berada di selatan. Luas laut yang dimiliki mencapai 289.800 km2. Dialiri 40 sungai serta memiliki 1.267 waduk/situ dengan potensi air permukaan lebih dari 10.000 juta m3. Potensi tersebut bukan saja berperan dalam menyediakan pangan protein, tetapi juga dalam mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memberikan pertumbuhan ekonomi.
Selama ini dalam memajukan perikanan, pemegang kebijakan kadangkala sering menilainya dengan menggenjot investasi dan promosi secara besar-besaran. Namun, dimensi perikanan tidak menyangkut ekonomi semata, melainkan juga ekologi, teknologi, sosial, budaya, dan bahkan politik. Jadi, selain promosi dan investasi, diperlukan juga regulasi dengan berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya - fisheries management yang memungkinkan seluruh dimensi tersentuh.
Keyakinan Individual
Mengonsumsi ikan dalam jumlah cukup akan berdampak pada kecerdasan dan kesehatan sehingga berperan meningkatkan IPM. Pernyataan itu sebenarnya merupakan keyakinan banyak orang. Namun, belum terwujudnya keyakinan tersebut karena tidak bersifat kolektif dan struktural, melainkan masih individual.
Pada masa lalu para pemimpin umumnya mengetahui bahwa ikan memiliki sejumlah kelebihan, tetapi mereka masih belum sepenuhnya meyakini bahwa ikan dapat menjadikan masa depan bangsa lebih berjaya, baik ekonomi maupun kualitas hidup manusianya. Karena itu, ke depan di mana IPM menjadi salah satu indikator kemajuan, selayaknya pemimpin Jabar menjadikan perikanan sebagai andalan yang tidak perlu ditawar lagi.
Ada ketentuan yang mengharuskan kebutuhan protein bangsa Indonesia sebanyak 2/3 bagian protein hewani bersumber dari ikan. Penduduk Jawa Barat 2015 berjumlah 46.709.569 jiwa sehingga manakala penduduk tersebut menginginkan kecukupan gizi (protein) yang memadai seperti ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75/2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, penduduk memerlukan protein sebanyak 2.600.901.835,9 gram setiap hari.
Di sinilah peran perikanan memperoleh porsi yang tidak kecil karena dituntut harus menyediakan setara dengan ketersediaan ikan siap konsumsi (as consumed) sebanyak 2.010.055 ton per tahun. Produk sebanyak itu terbuka luas sebagai peluang usaha bagi nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan.
Satu hal yang mesti dicermati bahwa lingkungan strategis dan iklim politik kini sudah sangat berlainan. Sebut saja otonomi daerah, demokratisasi, dan globalisasi wajib menjadi variabel penting untuk dipertimbangkan. Dengan begitu, tantangan pembangunan perikanan pun memiliki nuansa otonomi, partisipatif, bottom up, demokratis, profesional, transparan, dan akuntabilitas.
Di sinilah pimpinan Jabar harus mampu membuat gebrakan dan mentransformasi keyakinan individualnya menjadi keyakinan struktural. Artinya, gubernur dan wakil gubernur terpilih dituntut mempunyai keputusan politik tentang arti penting ikan. Desain tersebut tidak hanya berupa pemikiran, tetapi juga berkeinginan menggerakkan organ-organ pemda termasuk menciptakan iklim kondusif. Semoga.
(kri)