KTT Khusus ASEAN-Australia dan Agenda Strategis RI
A
A
A
Rafli Zulfikar Peneliti Center for International Studies and Trade
DIAWALI dengan political gimmick, Presiden Joko Widodo melontarkan ide agar Australia bergabung dengan ASEAN dan menjadi pembicaraan hangat pada Pertemuan KTT Khusus ASEAN-Australia beberapa waktu lalu. KTT itu sendiri berakhir sangat normatif, tidak ada hal yang luar biasa.
Hal itu dapat dipahami mengingat dari aspek perdagangan internasional, perdagangan ASEAN dan Australia tidak begitu besar, jauh di atas negara lain semisal Korea Selatan. Akan tetapi, dari aspek geopolitik dan geostrategis, posisi Australia cukup strategis bagi ASEAN. Australia merupakan negara tetangga ASEAN.
Pertemuan KTT Khusus ASEAN-Australia sebenarnya sangat strategis bagi kedua region. Terutama menyangkut ekonomi politik internasional dan perdagangan. Semakin kuatnya hubungan Australia dan ASEAN akan menjadi penyeimbang (balancer) dari semakin meningkatnya pengaruh China di ASEAN melalui skema kerja sama perdagangan maupun pembiayaan pembangunan yang masif.
Arsitektur Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) juga tak kalah strategis. RCEP yang setara dengan 39 GDP global akan menjadi blok dagang dengan pasar yang sangat besar, terutama bagi Australia dan ASEAN. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi ASEAN yang terus meningkat di atas pertumbuhan ekonomi global.
Sayangnya sampai gelaran KTT Khusus ASEAN-Australia usai, tidak ada kesepakatan “luar biasa” yang tercapai. Sejauh ini memang kerja sama multilateral yang diprakarsai ASEAN berjalan cukup normatif, tidak ada gebrakan-gebrakan penting.
Sumber masalahnya ada pada lingkup internal ASEAN yang memegang teguh non - interference principle : di satu sisi memberikan harmoni dan saling toleran atas sikap setiap anggota, di sisi lain setiap negara masih bersikap self help dengan mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Situasi paling nyata adalah ketika negara ASEAN tidak kompak dalam merespons sikap China di Laut China Selatan.
Di luar pertemuan ASEAN dan Australia, pertemuan Indonesia dan Australia menurut penulis jauh lebih strategis. Agenda utama Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
Faktanya perdagangan Indonesia-Australia masih sangat rendah. Australia ada di peringkat ke-10 mitra dagang Indonesia dengan proporsi 2,6% dari total ekspor, jauh di bawah India (8.1%) dan Korea Selatan (5.3%). Situasi ini jelas tidak menguntungkan kedua negara mengingat saling berbatasan serta memiliki pasar domestik yang relatif besar.
Di tengah gelombang proteksionisme global, perjanjian perdagangan bebas bilateral menjadi secercah harapan. Selesainya kesepakatan IA-CEPA akan menjadi harapan pintu masuk penetrasi pasar kedua negara dan memperbesar volume perdagangan. Apalagi besarnya ambisi Jokowi di 2018 dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% yang terlampau optimistis membutuhkan kinerja ekonomi internasional yang extra-ordinary, salah satunya dengan mempercepat semua perundingan blok dagang semisal IA-CEPA.
Political gimmick Presiden Jokowi dengan ide Australia bergabung dengan ASEAN dan sambutan positif Perdana Menteri Malcom Turnbull dengan berbalas pujian kepada Presiden Jokowi sebenarnya menjadi pertanda baik proses penyelesaian perundingan IA-CEPA. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2017 tentang Tim Perunding Perjanjian Perdagangan Internasional yang telah diundangkan menjadi payung hukum akselerasi percepatan kesepakan perjanjian bilateral IA-CEPA.
Dengan modal politik yang besar, sekarang waktu yang tepat untuk cepat menyelesaikan perundingan IA-CEPA mengingat hubungan Indonesia-Australia relatif fluktuatif seperti kejadian terakhir berupa insiden Pancasila diplesetkan oleh militer Australia yang berujung pada penghentian sementara kerja sama militer dan pertahanan dengan Australian Defence Force (ADF).
Selain aspek perundingan kerja sama blok dagang, proposal arsitektur regional Indo-Pasifik dengan konsepsi regional yang melingkupi Samudra Hindia dan Samudra Pasifik akan sangat menguntungkan Indonesia dan Australia. Khusus untuk Indonesia, dengan profil kekuatan militer sebagaimana menurut Global Fire Index 2017, merupakan negara terbesar di ASEAN. Begitu juga dengan kekuatan ekonomi, jumlah populasi, serta besaran wilayah, Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.
Arsitektur Indo-Pasifik menjadi sangat strategis bagi Indonesia. Kekuatan yang relatif besar bagi Indonesia dengan atau tanpa ASEAN untuk menjadi aktor yang sentral dalam arsitektur Indo-Pasifik karena secara geopolitik Indonesia memiliki empat choke points atau titik sempit yang merupakan jalur perdagangan dunia yang mau tidak mau harus dilewati. Keempat choke points itu adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar.
Alfred Thayer Mahan dalam The Influence of Seapower Upon History, 1660-1783, berargumen bahwa penguasaan lautan lebih penting daripada penguasaan daratan. Mahan percaya bahwa negara yang menguasai lautan, terutama jalur laut strategis, akan menjadi negara penguasa dunia (great power ).
Meskipun demikian Indonesia dan ASEAN dengan Indonesia sebagai pemimpin (Indonesia led-ASEAN ) dapat menjadi kekuatan yang jauh lebih besar dalam arsitektur Indo-Pasifik, baik dari sektor keamanan maupun ekonomi.
Dengan demikian, setidaknya tiga agenda strategis RCEP, IA-CEPA, dan Arsitektur Indo-Pasifik mendesak untuk segera diselesaikan. Jangan sampai momentum yang bagus berakhir dengan bussines as usual.
DIAWALI dengan political gimmick, Presiden Joko Widodo melontarkan ide agar Australia bergabung dengan ASEAN dan menjadi pembicaraan hangat pada Pertemuan KTT Khusus ASEAN-Australia beberapa waktu lalu. KTT itu sendiri berakhir sangat normatif, tidak ada hal yang luar biasa.
Hal itu dapat dipahami mengingat dari aspek perdagangan internasional, perdagangan ASEAN dan Australia tidak begitu besar, jauh di atas negara lain semisal Korea Selatan. Akan tetapi, dari aspek geopolitik dan geostrategis, posisi Australia cukup strategis bagi ASEAN. Australia merupakan negara tetangga ASEAN.
Pertemuan KTT Khusus ASEAN-Australia sebenarnya sangat strategis bagi kedua region. Terutama menyangkut ekonomi politik internasional dan perdagangan. Semakin kuatnya hubungan Australia dan ASEAN akan menjadi penyeimbang (balancer) dari semakin meningkatnya pengaruh China di ASEAN melalui skema kerja sama perdagangan maupun pembiayaan pembangunan yang masif.
Arsitektur Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) juga tak kalah strategis. RCEP yang setara dengan 39 GDP global akan menjadi blok dagang dengan pasar yang sangat besar, terutama bagi Australia dan ASEAN. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi ASEAN yang terus meningkat di atas pertumbuhan ekonomi global.
Sayangnya sampai gelaran KTT Khusus ASEAN-Australia usai, tidak ada kesepakatan “luar biasa” yang tercapai. Sejauh ini memang kerja sama multilateral yang diprakarsai ASEAN berjalan cukup normatif, tidak ada gebrakan-gebrakan penting.
Sumber masalahnya ada pada lingkup internal ASEAN yang memegang teguh non - interference principle : di satu sisi memberikan harmoni dan saling toleran atas sikap setiap anggota, di sisi lain setiap negara masih bersikap self help dengan mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Situasi paling nyata adalah ketika negara ASEAN tidak kompak dalam merespons sikap China di Laut China Selatan.
Di luar pertemuan ASEAN dan Australia, pertemuan Indonesia dan Australia menurut penulis jauh lebih strategis. Agenda utama Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
Faktanya perdagangan Indonesia-Australia masih sangat rendah. Australia ada di peringkat ke-10 mitra dagang Indonesia dengan proporsi 2,6% dari total ekspor, jauh di bawah India (8.1%) dan Korea Selatan (5.3%). Situasi ini jelas tidak menguntungkan kedua negara mengingat saling berbatasan serta memiliki pasar domestik yang relatif besar.
Di tengah gelombang proteksionisme global, perjanjian perdagangan bebas bilateral menjadi secercah harapan. Selesainya kesepakatan IA-CEPA akan menjadi harapan pintu masuk penetrasi pasar kedua negara dan memperbesar volume perdagangan. Apalagi besarnya ambisi Jokowi di 2018 dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% yang terlampau optimistis membutuhkan kinerja ekonomi internasional yang extra-ordinary, salah satunya dengan mempercepat semua perundingan blok dagang semisal IA-CEPA.
Political gimmick Presiden Jokowi dengan ide Australia bergabung dengan ASEAN dan sambutan positif Perdana Menteri Malcom Turnbull dengan berbalas pujian kepada Presiden Jokowi sebenarnya menjadi pertanda baik proses penyelesaian perundingan IA-CEPA. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2017 tentang Tim Perunding Perjanjian Perdagangan Internasional yang telah diundangkan menjadi payung hukum akselerasi percepatan kesepakan perjanjian bilateral IA-CEPA.
Dengan modal politik yang besar, sekarang waktu yang tepat untuk cepat menyelesaikan perundingan IA-CEPA mengingat hubungan Indonesia-Australia relatif fluktuatif seperti kejadian terakhir berupa insiden Pancasila diplesetkan oleh militer Australia yang berujung pada penghentian sementara kerja sama militer dan pertahanan dengan Australian Defence Force (ADF).
Selain aspek perundingan kerja sama blok dagang, proposal arsitektur regional Indo-Pasifik dengan konsepsi regional yang melingkupi Samudra Hindia dan Samudra Pasifik akan sangat menguntungkan Indonesia dan Australia. Khusus untuk Indonesia, dengan profil kekuatan militer sebagaimana menurut Global Fire Index 2017, merupakan negara terbesar di ASEAN. Begitu juga dengan kekuatan ekonomi, jumlah populasi, serta besaran wilayah, Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.
Arsitektur Indo-Pasifik menjadi sangat strategis bagi Indonesia. Kekuatan yang relatif besar bagi Indonesia dengan atau tanpa ASEAN untuk menjadi aktor yang sentral dalam arsitektur Indo-Pasifik karena secara geopolitik Indonesia memiliki empat choke points atau titik sempit yang merupakan jalur perdagangan dunia yang mau tidak mau harus dilewati. Keempat choke points itu adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar.
Alfred Thayer Mahan dalam The Influence of Seapower Upon History, 1660-1783, berargumen bahwa penguasaan lautan lebih penting daripada penguasaan daratan. Mahan percaya bahwa negara yang menguasai lautan, terutama jalur laut strategis, akan menjadi negara penguasa dunia (great power ).
Meskipun demikian Indonesia dan ASEAN dengan Indonesia sebagai pemimpin (Indonesia led-ASEAN ) dapat menjadi kekuatan yang jauh lebih besar dalam arsitektur Indo-Pasifik, baik dari sektor keamanan maupun ekonomi.
Dengan demikian, setidaknya tiga agenda strategis RCEP, IA-CEPA, dan Arsitektur Indo-Pasifik mendesak untuk segera diselesaikan. Jangan sampai momentum yang bagus berakhir dengan bussines as usual.
(mhd)