Menggugat Hukuman Mati
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PEMERINTAH Arab Saudi kembali menghukum mati tenaga kerja Indonesia (TKI), Mochammad Zaini, yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena membunuh majikannya. Peristiwa pada 2004 itu telah menjadi perhatian dan dampingan Pemerintah RI mulai dari pemberian bantuan hukum hingga upaya diplomasi dengan meminta grasi dari pihak kerajaan.
Seluruh usaha itu tidak berhasil menyelamatkan nyawa Zaini ketika Pemerintah Arab Saudi kemudian tanpa pemberitahuan telah mengeksekusi hukuman tersebut pada Minggu lalu. Eksekusi itu menambah daftar panjang TKI yang dihukum mati di Arab Saudi dan masih ada 20 TKI lagi yang mendapat status terdakwa dan akan dijatuhi hukuman mati.
Upaya kita untuk mencegah upaya hukuman mati TKI menjadi penuh tantangan karena di dalam negeri sendiri kita menerapkan hukuman sejenis, baik bagi pelaku kriminal berat hingga para tersangka yang terlibat dalam jaringan narkoba.
Saya tidak mengatakan bahwa upaya untuk menghentikan hukuman mati di luar negeri menjadi lebih mudah apabila hukuman mati di dalam negeri dihapuskan, tetapi dengan menghapus atau minimal melakukan moratorium hukuman mati di dalam negeri, kita dapat berdialog dengan lebih dalam dan luas dengan negara-negara yang menghukum mati TKI seperti meminta pembatalan atau keringanan hukuman atas nama kemanusiaan. Kita tidak dapat meminta hal tersebut karena kita juga enggan memberikan keringanan terhadap para pelaku di dalam negeri.
Saya sendiri mendukung mengganti hukuman mati dengan hukuman lain seperti hukuman seumur hidup karena hingga saat ini belum ada dasar argumentasi yang kuat untuk mendukung keberlanjutan hukuman mati.
Dalam hubungan internasional, kelompok pendukung penghapusan hukuman mati disebut abolisionis. Seperti yang pernah saya tulis dalam beberapa kesempatan, posisi saya tersebut karena pandangan bahwa hingga saat ini belum ada dasar ilmiah yang mendukung bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera yang mengurangi jumlah kejahatan tersebut di masyarakat.
Pendukung abolisionis umumnya mengatakan bahwa tidak hubungan antara hukuman mati dengan praktik kejahatan narkoba karena jumlah tindakan kejahatan, terutama upaya penyelundupan tidak surut walaupun sudah banyak para pengedar dijatuhi hukuman mati. Kenyataannya di Indonesia memang demikian.
Direktorat Bea dan Cukai mencatat jumlah kasus penyelundupan narkoba meningkat pada 2017 dibandingkan pada 2016. Pemerintah mencatat ada 325 kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan pada 2017 dan 286 kasus pada 1986. Barang bukti narkoba yang disita juga bertambah dari 1.169 kilogram pada 2016 menjadi 2.132 kilogram pada 2017.
Para retensionis atau pendukung hukuman mati sebaliknya, justru mengatakan bahwa angka penyelundupan tetap tinggi karena hukuman mati tidak dijalankan secara maksimal. Pemerintah dianggap masih terlalu lunak kepada para pelaku dan pengedar narkoba sehingga mereka tidak jera dan terus melakukan penyelundupan.
Membela TKI dan warga negara Indonesia yang kena hukuman mati membutuhkan pemahaman akan prinsip kepedulian prinsip aksi-reaksi dalam diplomasi. Kasus yang membelit TKI di Arab Saudi dipicu oleh cara pandang Pemerintah Arab Saudi yang menganggap perlindungan terhadap warga negaranya sebagai hal paling utama ketika berhubungan dengan Indonesia.
Ketika warga Arab Saudi melaporkan tudingan pelanggaran oleh warga negara Indonesia (WNI) di dalam rumahnya, pemerintah mendahulukan pemberian hukuman seberat-beratnya pada WNI. Bagi Pemerintah Arab Saudi cara pemberian hukuman mereka akan efektif menimbulkan rasa jera, tetapi kenyataannya kasus yang ditimbulkan oleh TKI tetap belum berkurang. Mengapa? Karena, sumber masalahnya tetap tidak diselesaikan.
Masalahnya pada asumsi yang salah bahwa pelaku adalah TKI semata, padahal kejadian di rumah tangga juga dipicu oleh perilaku anggota rumah tangga Arab Saudi sendiri. Orang Arab Saudi tidak bisa dilihat sebagai korban yang pasif saja. Kalau bicara jera, kenyataannya hukuman mati bagi TKI yang terjerat masalah di Arab Saudi juga tidak menimbulkan rasa jera orang untuk pergi mengadu nasib ke sana.
Dalam hal hukuman mati bagi narkoba pun sebenarnya alur berpikir itu bisa digunakan. Kalau kita semata melihat orang-orang Indonesia sebagai korban narkoba, maka kita abai pada kenyataan bahwa narkoba juga meluas dipicu oleh perilaku orang-orang Indonesia juga.
Dari sisi insentif, orang Arab Saudi yang merekrut TKI di rumahnya merasa tetap lebih untung mempekerjakan TKI dibandingkan dengan risiko yang mungkin diterimanya. Insentif tersebut pula yang terjadi dalam kasus narkoba di Indonesia.
Meskipun beritanya bertubi-tubi tentang efek buruk dari narkoba dengan risiko dihukum mati, tetap saja ada orang-orang Indonesia yang aktif menggunakan narkoba.
Penyelundup juga punya kepentingan memperkecil risiko dengan memperbesar skala impor dengan cara yang modern dan canggih juga. Efek mati dari narkoba rupanya tidak otomatis seperti orang relatif taat untuk menggunakan helm karena kemungkinan matinya dianggap lebih otomatis dibandingkan narkoba.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa cara berpikir di dalam negeri juga menjadi bagian dari reaksi yang kita terima di luar negeri. Kejernihan melihat aneka perilaku kelompok dan masyarakat, apalagi yang berbeda budaya, adalah hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya diplomasi kita.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PEMERINTAH Arab Saudi kembali menghukum mati tenaga kerja Indonesia (TKI), Mochammad Zaini, yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena membunuh majikannya. Peristiwa pada 2004 itu telah menjadi perhatian dan dampingan Pemerintah RI mulai dari pemberian bantuan hukum hingga upaya diplomasi dengan meminta grasi dari pihak kerajaan.
Seluruh usaha itu tidak berhasil menyelamatkan nyawa Zaini ketika Pemerintah Arab Saudi kemudian tanpa pemberitahuan telah mengeksekusi hukuman tersebut pada Minggu lalu. Eksekusi itu menambah daftar panjang TKI yang dihukum mati di Arab Saudi dan masih ada 20 TKI lagi yang mendapat status terdakwa dan akan dijatuhi hukuman mati.
Upaya kita untuk mencegah upaya hukuman mati TKI menjadi penuh tantangan karena di dalam negeri sendiri kita menerapkan hukuman sejenis, baik bagi pelaku kriminal berat hingga para tersangka yang terlibat dalam jaringan narkoba.
Saya tidak mengatakan bahwa upaya untuk menghentikan hukuman mati di luar negeri menjadi lebih mudah apabila hukuman mati di dalam negeri dihapuskan, tetapi dengan menghapus atau minimal melakukan moratorium hukuman mati di dalam negeri, kita dapat berdialog dengan lebih dalam dan luas dengan negara-negara yang menghukum mati TKI seperti meminta pembatalan atau keringanan hukuman atas nama kemanusiaan. Kita tidak dapat meminta hal tersebut karena kita juga enggan memberikan keringanan terhadap para pelaku di dalam negeri.
Saya sendiri mendukung mengganti hukuman mati dengan hukuman lain seperti hukuman seumur hidup karena hingga saat ini belum ada dasar argumentasi yang kuat untuk mendukung keberlanjutan hukuman mati.
Dalam hubungan internasional, kelompok pendukung penghapusan hukuman mati disebut abolisionis. Seperti yang pernah saya tulis dalam beberapa kesempatan, posisi saya tersebut karena pandangan bahwa hingga saat ini belum ada dasar ilmiah yang mendukung bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera yang mengurangi jumlah kejahatan tersebut di masyarakat.
Pendukung abolisionis umumnya mengatakan bahwa tidak hubungan antara hukuman mati dengan praktik kejahatan narkoba karena jumlah tindakan kejahatan, terutama upaya penyelundupan tidak surut walaupun sudah banyak para pengedar dijatuhi hukuman mati. Kenyataannya di Indonesia memang demikian.
Direktorat Bea dan Cukai mencatat jumlah kasus penyelundupan narkoba meningkat pada 2017 dibandingkan pada 2016. Pemerintah mencatat ada 325 kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan pada 2017 dan 286 kasus pada 1986. Barang bukti narkoba yang disita juga bertambah dari 1.169 kilogram pada 2016 menjadi 2.132 kilogram pada 2017.
Para retensionis atau pendukung hukuman mati sebaliknya, justru mengatakan bahwa angka penyelundupan tetap tinggi karena hukuman mati tidak dijalankan secara maksimal. Pemerintah dianggap masih terlalu lunak kepada para pelaku dan pengedar narkoba sehingga mereka tidak jera dan terus melakukan penyelundupan.
Membela TKI dan warga negara Indonesia yang kena hukuman mati membutuhkan pemahaman akan prinsip kepedulian prinsip aksi-reaksi dalam diplomasi. Kasus yang membelit TKI di Arab Saudi dipicu oleh cara pandang Pemerintah Arab Saudi yang menganggap perlindungan terhadap warga negaranya sebagai hal paling utama ketika berhubungan dengan Indonesia.
Ketika warga Arab Saudi melaporkan tudingan pelanggaran oleh warga negara Indonesia (WNI) di dalam rumahnya, pemerintah mendahulukan pemberian hukuman seberat-beratnya pada WNI. Bagi Pemerintah Arab Saudi cara pemberian hukuman mereka akan efektif menimbulkan rasa jera, tetapi kenyataannya kasus yang ditimbulkan oleh TKI tetap belum berkurang. Mengapa? Karena, sumber masalahnya tetap tidak diselesaikan.
Masalahnya pada asumsi yang salah bahwa pelaku adalah TKI semata, padahal kejadian di rumah tangga juga dipicu oleh perilaku anggota rumah tangga Arab Saudi sendiri. Orang Arab Saudi tidak bisa dilihat sebagai korban yang pasif saja. Kalau bicara jera, kenyataannya hukuman mati bagi TKI yang terjerat masalah di Arab Saudi juga tidak menimbulkan rasa jera orang untuk pergi mengadu nasib ke sana.
Dalam hal hukuman mati bagi narkoba pun sebenarnya alur berpikir itu bisa digunakan. Kalau kita semata melihat orang-orang Indonesia sebagai korban narkoba, maka kita abai pada kenyataan bahwa narkoba juga meluas dipicu oleh perilaku orang-orang Indonesia juga.
Dari sisi insentif, orang Arab Saudi yang merekrut TKI di rumahnya merasa tetap lebih untung mempekerjakan TKI dibandingkan dengan risiko yang mungkin diterimanya. Insentif tersebut pula yang terjadi dalam kasus narkoba di Indonesia.
Meskipun beritanya bertubi-tubi tentang efek buruk dari narkoba dengan risiko dihukum mati, tetap saja ada orang-orang Indonesia yang aktif menggunakan narkoba.
Penyelundup juga punya kepentingan memperkecil risiko dengan memperbesar skala impor dengan cara yang modern dan canggih juga. Efek mati dari narkoba rupanya tidak otomatis seperti orang relatif taat untuk menggunakan helm karena kemungkinan matinya dianggap lebih otomatis dibandingkan narkoba.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa cara berpikir di dalam negeri juga menjadi bagian dari reaksi yang kita terima di luar negeri. Kejernihan melihat aneka perilaku kelompok dan masyarakat, apalagi yang berbeda budaya, adalah hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya diplomasi kita.
(poe)