Nyepi 1940, Kontribusi Hindu dan Soliditas Bangsa

Jum'at, 16 Maret 2018 - 08:45 WIB
Nyepi 1940, Kontribusi...
Nyepi 1940, Kontribusi Hindu dan Soliditas Bangsa
A A A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Aktivis Lintas Agama

PERTAMA-TAMA selamat ke­pada saudara-saudara ki­ta umat Hindu se-Ta­nah Air yang merayakan Nyepi se­kaligus Tahun Saka 1940 ja­tuh pada Saniscara Umanis Wa­tu­gu­nung, Sabtu 17 Maret 2018. Ba­gaimanapun dalam se­ja­rah Nu­santara, agama Hin­du yang ber­asal dari India per­nah ber­ja­ya dan memberi kon­tribusi po­si­tif bagi per­adab­an kita.

Kita yang tidak ber­agama Hindu, ra­sa­nya per­lu tahu sumbangan ter­sebut, se­kadar untuk mem­per­luas ca­kra­wala sekaligus men­dorong ter­wujudnya kem­ba­li sikap to­ler­an dan saling meng­hargai de­mi kerukunan se­sama anak bang­sa serta ke­utuh­an NKRI.

Apalagi akhir-akhir ini ada yang menyebut telah terjadi kri­sis kebinekaan terparah di n­­e­geri ini ditandai dengan ma­ra­k­nya hoaks dan ujaran kebenci­an menjelang Pilkada Se­ren­tak 208 dan Pilpres 2019. Bisa toleran, rukun, dan meng­har­gai per­b­edaan jelas sangat pen­ting kita mi­liki, mengingat kita hidup di s­e­buah negeri yang heterogen.

D­engan dem­i­ki­an, semoga kita akan men­ja­di pribadi yang lebih mu­dah meng­hargai pihak lain d­a­­ri­pa­da mencela, meng­um­pat, atau me­nyebar fitnah se­ba­gai­mana ma­rak di media sosial.

Tulisan ini berangkat dari ke­­tulusan dan kejujuran pe­nu­lis yang telah “passing over“ atau melintas batas agama dan et­nis. Bagaimanapun agama Hi­n­du dan peradaban serta umat­nya telah terbukti mem­be­ri warna tersendiri dalam se­ja­rah bangsa ini. Cukup banyak se­j­arawan atau antropolog te­lah berupaya menjelaskan pe­ri­hal ba­gai­ma­na caranya penga­ruh agama Hin­du berasal dari India sampai ke Nu­san­ta­ra.

Hal sudah pasti ada­lah ber­kat adanya pengaruh ters­ebut, pen­duduk kepulauan Nu­­san­ta­ra resmi tercatat me­ma­suki p­e­riode sejarah sekitar abad ke-4 M. Sebelum kurun wak­tu ter­sebut, sejarah kita ma­sih ge­lap karena kurangnya bukti-buk­ti tertulis.

Menurut J.L.A Brandes (1887), penduduk Asia Teng­ga­ra termasuk yang mendiami ke­pulauan Nusantara, telah mem­pu­nyai 10 kepandaian menjelang masuknya penga­ruh India, ya­itu (1) mengenal pe­ngecoran logam, (2) mampu mem­buat figur-figur manusia dan hewan da­ri batu, kayu, atau lukisan di din­ding gua, (3) me­ngenal ins­tru­men musik, (4) mengenal ber­macam ra­gam hias, (5) me­nge­nal sistem eko­nomi barter, (6) me­ma­hami astronomi, (7) m­a­hir d­a­lam navigasi, (8) me­nge­nal tra­disi lisan, (9) menge­nal sistem iri­gasi untuk per­ta­ni­an, (10) ada­nya penataan ma­sya­ra­kat yang teratur. Dalam kon­disi per­adaban seperti itu­lah mer­e­ka kemudian ber­ke­nal­an dan me­nerima para nia­ga­wan dan mu­safir dari Tiongkok atau­­pun India.

Pengaruh Hindu

Setelah berinteraksi de­ngan para pendatang dari In­dia, ma­ka diterimalah be­be­ra­pa aspek pen­ting dari mereka. Ada tiga hal menonjol dari kebudayaan Hin­du yang di­te­ri­ma nenek mo­yang bangsa kita yang tidak me­reka kenal se­be­lum­nya, yaitu hu­ruf Pallava, aga­ma Hindu, dan penghitung­an angka ta­hun. Ketiga hal ini nanti benar-be­nar mem­beri kontribusi luar bi­a­sa un­tuk memperkaya ke­bu­da­ya­an Nusantara.

Kalau mau dirinci, pe­nga­ruh Hindu atau India begitu ba­nyak di Nusantara. Dalam hal bahaya Melayu atau bahasa In­donesia misalnya, pengaruh itu cukup te­rasa. Huruf Pal­lawa atau ba­ha­sa Sanskerta ikut mem­per­ka­ya bahasa Me­la­yu atau In­do­ne­sia. Ini karena ke­banyakan ma­sya­rakat Melayu ketika itu be­r­aga­ma Hindu dan bahasa Sans­kerta te­lah men­jadi bahasa bang­sa­wan ser­­ta mempunyai hie­rarki ting­­gi.

Pengaruh itu bi­sa kita ba­­ca pada tulisan atau ak­sa­ra Pal­lava, kata-kata pin­­jam­an da­­­ripada ba­hasa Sans­kerta, rang­­­ka­ian kata pin­­jam­an dari bahasa Sanskerta, dan fonem-fo­­nem. Contoh per­­kataan yang di­­­ambil dari ba­ha­­sa Sans­kerta, se­­­perti syu­ka­syit­­­ta, atha­va, kara­na, tat­kala, dan lainnya.

Saling me­me­ngaruhi se­hing­­ga tercipta hi­briditas atau ke­­tercampuran budaya adalah ke­nis­ca­ya­an telah terjadi se­la­ma ribuan ta­hun di Nusantara. Bah­kan hing­ga saat ini hu­bung­an ke­bu­da­yaan In­do­ne­sia-India yang satu miliar pen­du­duknya be­r­aga­ma Hindu ma­sih terus ber­lang­sung. Ke­ti­k­a Indonesia ba­ru merdeka, In­dia termasuk ­sa­lah satu negara yang memberi peng­akuan awal.

Bahkan kalau kita berbicara ten­tang Nyepi, jangan ditanya kont­ribusi positifnya bagi bang­sa ini. Simak saja tema na­sio­nal Hari Raya Nyepi tahun ini: “Melalui catur brata pe­nye­pi­­an, kita tingkatkan soliditas se­­bagai perekat keberagaman da­­lam menjaga keutuhan NKRI”. Tema ini sudah m­e­nun­juk­kan betapa umat Hin­du sungguh amat menghargai keberagaman, penuh tol­er­an­si, dan cinta Tanah Air.

Pesan-pesan po­­sitif dari te­ma tersebut tam­pak nyata da­lam berbagai ritual, baik se­be­lum maupun se­lama pe­rayaan Nye­pi. Seperti ki­ta ta­hu, be­be­ra­pa hari se­be­lum Nye­pi, di­ge­lar ritual Me­las­ti, yakni m­e­­nyu­cikan arca ser­ta simbol-sim­­bol agama g­u­na men­de­kat­kan diri pada T­u­han. Ritual ini di­mak­sud­kan un­tuk me­nyu­ci­kan se­lu­­ruh isi du­nia, ter­ma­suk negeri kita.

Lalu sehari sebelum Nyepi di­­gelar ritual Tawur Kesanga yang terdiri dari upacara Buta Yad­­nya dan Ngrupuk. Buta Yad­­nya adalah ritual memberi per­­sembahan pada Sang Bh­u­ta Kala agar tidak mengganggu umat manusia. Dalam ritual ini, umat Hindu membuat ogoh-ogoh atau patung rak­sa­sa dari bambu yang me­r­u­pa­kan s­im­bol roh jahat di se­kitar kita se­hingga per­lu disingkirkan. Ca­­ra pe­nying­kiran ada­lah de­ngan ri­tual

Ngrupuk, yak­ni meng­arak ogoh-ogoh lalu mem­ba­kar­nya. De­ngan de­­mi­ki­an, roh ja­hat bi­sa diusir dan ti­dak jadi me­ngua­­sai dunia, ter­­masuk NKRI.
Tepat pada hari su­ci Nyepi, ya­­itu awal Ta­hun Baru Saka (Sab­­­tu, 17/3), dilaksanakan Upa­­­c­­ara Yoga Samadhi dengan em­­­pat pantangan wajib, yakni amati geni atau berpantang me­­nya­lakan api, amati karya atau meng­hentikan akt­iv­i­tas ker­ja, amati lelanguan atau ber­­pan­tang menghibur diri dan tidak me­nikmati ke­se­nang­­an he­do­nis­me, serta amati lelungan atau pantang be­­p­ergian. Mung­kin hanya di Ba­­li saja jalur pe­ner­bang­an inter­­nasional dihen­ti­kan demi pe­rayaan keagamaan.
­
Kemudian sehari setelah Ta­hun Baru Saka dil­ang­sung­kan acara Ngembak Geni. Se­ge­nap keluarga keluar dari ru­mah masing-masing dan ber­maaf-maafan dengan tetang­ga serta kerabat. Dalam rangkaian ritual Nye­­pi di atas, umat berusaha me­­lakukan introspeksi dan per­t­obatan agar terhindar dari kua­­s­a kejahatan.

Dengan jiwa ra­­ga yang suci, umat Hindu men­­coba menjaga harmoni dengan Sang Pencipta sesama ser­­ta semesta. Dengan de­mi­ki­­an akan tercipta kes­eim­bang­­an dan terhindar dari ma­la­­petaka. Kita berharap dengan Nyepi rangkaian ben­ca­na dan ancaman adu domba be­r­­nuansa SARA (suku, aga­ma, ras, dan antargolongan) yang meru­sak soliditas kita bi­sa dijauhkan. Ki­ta rindu bisa kem­­bali rukun se­bagai sesama anak bangsa ser­ta terus bisa ber­­kontribusi positif.

Sejarah mengingatkan, ke­ti­ka kita gampang diadu dom­ba, se­sungguhnya kita sedang sa­ling meng­hancurkan. Kita ju­ga lupa tu­juan menggapai “bonum com­mune” (k­e­se­jah­te­ra­an ber­sa­ma). Hal yang me­non­jol ha­nya “ma­lum com­mune” (ke­bu­ruk­an ber­sama) se­perti tampak dari ma­raknya ujar­an keben­ci­an dan si­kap sa­ling curiga.

Pada ak­hir­nya mari be­lajar dari pe­san un­tuk selalu be­r­damai sebagaimana di­ucap­kan dalam doa pe­nu­tup dalam segala aktivitas umat Hin­­du, yakni “Om Santhi, San­thi, Santhi”(atas perkenan-Mu Tu­han, semoga damai di hati, da­mai di dunia, dan da­mai selalu).

Belajar dari Ramayana

Kita mengenal kisah Ra­ma­yana yang sering di­la­konkan dalam wa­yang. Namun, barangkali yang ki­ta ketahui di kisah itu ha­nya­lah perebutan Sinta dari ta­ngan Rahwana oleh Rama me­la­lui perang. Yang mana Sinta ada­lah istri Rama, putra ke­ra­ja­an Ayodya. Tapi kisah tersebut ti­dak sesederhana itu.

Banyak lika-liku dalam ke­hi­dupan mereka yang patut ki­ta ambil hikmahnya. Seperti alas­an Rama dibuang ke hutan oleh ayahandanya hanya ka­re­na permaisuri Raja yang di­ha­sut oleh abdi rendahan. Permaisuri termakan perkataan ab­di. Akhirnya permaisuri me­nyam­paikan permintaannya ke­pada Raja Ayodya.

Sang Raja yang tak pernah ingkar janji pun melaksanakan per­min­ta­an sang permaisuri walau de­ngan hati yang sangat berat. Ber­awal dari hasutan, Rama pu­tra mahkota sang pewaris tak­h­ta akhirnya harus menjalani hidup di hutan.

Penggalan kisah lain yakni ke­­tika terjadi penculikan Sin­ta oleh Rahwana. Ketika itu Sin­ta dan Rama sudah tinggal di hu­tan bersama adik Rama, Les­­ma­na. Suatu hari tampak se­­ekor kijang yang sangat can­tik dan Sinta berhasrat untuk me­mi­likinya. Rama tak kuasa me­­no­lak keinginan istrinya dan per­gi untuk memburu ki­jang te­r­sebut.

Setelah dibawa ke te­ngah rimba, kijang pun ter­kena pa­nah Rama, lalu ber­ubah ke wu­jud aslinya, rak­sa­sa, dan me­ni­rukan suara Ra­ma yang seolah-olah meminta per­­to­long­an. Sinta men­de­ngar teriakan ter­sebut dan me­maksa agar Les­mana me­nu­ju suara itu dan mem­bantu sua­minya.

Sinta ga­lau me­mi­kir­kan nasib sua­mi­nya, dan da­tanglah Rahwana yang me­nya­mar sebagai pe­ta­pa. Sinta pun diculik, dibawa ke Aleng­ka, kerajaan raksasa yang di­pim­pin Rahwana.

Manusia sangat mudah ter­p­e­sona. Terlena akan hal-hal ke­cil, dan cenderung tidak me­mi­kirkan akibat yang akan di­da­pat. Sinta terjebak nafsu se­saat yang akhirnya mem­buat­nya ditawan di Alengka.

Kisah Rama dan Sinta ini tak beda jauh dengan kondisi ma­syarakat kita saat ini. Kabar-ka­bar burung yang tidak jelas ke­benarannya banyak disam­pai­kan melalui media online atau daring. Keberadaan media so­sial seperti Facebook, Twit­ter, Instagram menyuburkan pe­nyebaran informasi yang ti­dak benar.

Fatalnya, banyak yang meneruskan berita yang be­lum diketahui asal-muas­al­nya tersebut ke jaringan ke­luar­ga, kerabat, teman dekat, dan teman kerja. Kerap kali pe­nye­bar kabar ini orang terp­an­dang dalam jaringan tersebut, di­segani sehingga semua ang­go­ta dalam jaringan akan mu­dah dibuat percaya.

Masih dalam kisah Ra­ma­ya­­na. Ini ketika Rama dan pa­su­­kan wanara hampir me­nd­e­kati Aleng­ka untuk merebut S­in­ta. Rah­wana punya siasat. Ia meng­utus anaknya, In­dra­jit, un­tuk memberi tahu Sinta te­­n­tang kematian Rama. Si­n­ta ter­te­gun melihat tipuan In­dra­jit be­rupa kepala Rama. Ke­­hi­lang­an Rama, hatinya gun­dah dan ke­hilangan sem­a­ngat untuk hidup.

Lagi-lagi manusia tertipu, bu­­­kannya mengklarifikasi ka­­bar tersebut, Sinta terbawa emo­­­si. Sinta tak beranjak dari tem­­­patnya ditawan hingga me­­l­ihat sendiri pasukan wa­na­ra yang memorak-poran­da­­kan Aleng­ka. Sinta merasa sa­­ngat ba­hagia, Rahwana ha­nya menakut-nakutinya.

Bahkan, berita bohong atau hoax sudah dikenal pada masa lalu. Gelagat pelaku sudah gam­blang tergambar. Cara meng­atasinya juga tak jauh berbeda dengan masa kini. Te­ta­pi mengapa kita masih saja ter­jebak di dalamnya?
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0748 seconds (0.1#10.140)