Nyepi 1940, Kontribusi Hindu dan Soliditas Bangsa
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
PERTAMA-TAMA selamat kepada saudara-saudara kita umat Hindu se-Tanah Air yang merayakan Nyepi sekaligus Tahun Saka 1940 jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung, Sabtu 17 Maret 2018. Bagaimanapun dalam sejarah Nusantara, agama Hindu yang berasal dari India pernah berjaya dan memberi kontribusi positif bagi peradaban kita.
Kita yang tidak beragama Hindu, rasanya perlu tahu sumbangan tersebut, sekadar untuk memperluas cakrawala sekaligus mendorong terwujudnya kembali sikap toleran dan saling menghargai demi kerukunan sesama anak bangsa serta keutuhan NKRI.
Apalagi akhir-akhir ini ada yang menyebut telah terjadi krisis kebinekaan terparah di negeri ini ditandai dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pilkada Serentak 208 dan Pilpres 2019. Bisa toleran, rukun, dan menghargai perbedaan jelas sangat penting kita miliki, mengingat kita hidup di sebuah negeri yang heterogen.
Dengan demikian, semoga kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah menghargai pihak lain daripada mencela, mengumpat, atau menyebar fitnah sebagaimana marak di media sosial.
Tulisan ini berangkat dari ketulusan dan kejujuran penulis yang telah “passing over“ atau melintas batas agama dan etnis. Bagaimanapun agama Hindu dan peradaban serta umatnya telah terbukti memberi warna tersendiri dalam sejarah bangsa ini. Cukup banyak sejarawan atau antropolog telah berupaya menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh agama Hindu berasal dari India sampai ke Nusantara.
Hal sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut, penduduk kepulauan Nusantara resmi tercatat memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Sebelum kurun waktu tersebut, sejarah kita masih gelap karena kurangnya bukti-bukti tertulis.
Menurut J.L.A Brandes (1887), penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Nusantara, telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh India, yaitu (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding gua, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari Tiongkok ataupun India.
Pengaruh Hindu
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek penting dari mereka. Ada tiga hal menonjol dari kebudayaan Hindu yang diterima nenek moyang bangsa kita yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu huruf Pallava, agama Hindu, dan penghitungan angka tahun. Ketiga hal ini nanti benar-benar memberi kontribusi luar biasa untuk memperkaya kebudayaan Nusantara.
Kalau mau dirinci, pengaruh Hindu atau India begitu banyak di Nusantara. Dalam hal bahaya Melayu atau bahasa Indonesia misalnya, pengaruh itu cukup terasa. Huruf Pallawa atau bahasa Sanskerta ikut memperkaya bahasa Melayu atau Indonesia. Ini karena kebanyakan masyarakat Melayu ketika itu beragama Hindu dan bahasa Sanskerta telah menjadi bahasa bangsawan serta mempunyai hierarki tinggi.
Pengaruh itu bisa kita baca pada tulisan atau aksara Pallava, kata-kata pinjaman daripada bahasa Sanskerta, rangkaian kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dan fonem-fonem. Contoh perkataan yang diambil dari bahasa Sanskerta, seperti syukasyitta, athava, karana, tatkala, dan lainnya.
Saling memengaruhi sehingga tercipta hibriditas atau ketercampuran budaya adalah keniscayaan telah terjadi selama ribuan tahun di Nusantara. Bahkan hingga saat ini hubungan kebudayaan Indonesia-India yang satu miliar penduduknya beragama Hindu masih terus berlangsung. Ketika Indonesia baru merdeka, India termasuk salah satu negara yang memberi pengakuan awal.
Bahkan kalau kita berbicara tentang Nyepi, jangan ditanya kontribusi positifnya bagi bangsa ini. Simak saja tema nasional Hari Raya Nyepi tahun ini: “Melalui catur brata penyepian, kita tingkatkan soliditas sebagai perekat keberagaman dalam menjaga keutuhan NKRI”. Tema ini sudah menunjukkan betapa umat Hindu sungguh amat menghargai keberagaman, penuh toleransi, dan cinta Tanah Air.
Pesan-pesan positif dari tema tersebut tampak nyata dalam berbagai ritual, baik sebelum maupun selama perayaan Nyepi. Seperti kita tahu, beberapa hari sebelum Nyepi, digelar ritual Melasti, yakni menyucikan arca serta simbol-simbol agama guna mendekatkan diri pada Tuhan. Ritual ini dimaksudkan untuk menyucikan seluruh isi dunia, termasuk negeri kita.
Lalu sehari sebelum Nyepi digelar ritual Tawur Kesanga yang terdiri dari upacara Buta Yadnya dan Ngrupuk. Buta Yadnya adalah ritual memberi persembahan pada Sang Bhuta Kala agar tidak mengganggu umat manusia. Dalam ritual ini, umat Hindu membuat ogoh-ogoh atau patung raksasa dari bambu yang merupakan simbol roh jahat di sekitar kita sehingga perlu disingkirkan. Cara penyingkiran adalah dengan ritual
Ngrupuk, yakni mengarak ogoh-ogoh lalu membakarnya. Dengan demikian, roh jahat bisa diusir dan tidak jadi menguasai dunia, termasuk NKRI.
Tepat pada hari suci Nyepi, yaitu awal Tahun Baru Saka (Sabtu, 17/3), dilaksanakan Upacara Yoga Samadhi dengan empat pantangan wajib, yakni amati geni atau berpantang menyalakan api, amati karya atau menghentikan aktivitas kerja, amati lelanguan atau berpantang menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan hedonisme, serta amati lelungan atau pantang bepergian. Mungkin hanya di Bali saja jalur penerbangan internasional dihentikan demi perayaan keagamaan.
Kemudian sehari setelah Tahun Baru Saka dilangsungkan acara Ngembak Geni. Segenap keluarga keluar dari rumah masing-masing dan bermaaf-maafan dengan tetangga serta kerabat. Dalam rangkaian ritual Nyepi di atas, umat berusaha melakukan introspeksi dan pertobatan agar terhindar dari kuasa kejahatan.
Dengan jiwa raga yang suci, umat Hindu mencoba menjaga harmoni dengan Sang Pencipta sesama serta semesta. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan dan terhindar dari malapetaka. Kita berharap dengan Nyepi rangkaian bencana dan ancaman adu domba bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang merusak soliditas kita bisa dijauhkan. Kita rindu bisa kembali rukun sebagai sesama anak bangsa serta terus bisa berkontribusi positif.
Sejarah mengingatkan, ketika kita gampang diadu domba, sesungguhnya kita sedang saling menghancurkan. Kita juga lupa tujuan menggapai “bonum commune” (kesejahteraan bersama). Hal yang menonjol hanya “malum commune” (keburukan bersama) seperti tampak dari maraknya ujaran kebencian dan sikap saling curiga.
Pada akhirnya mari belajar dari pesan untuk selalu berdamai sebagaimana diucapkan dalam doa penutup dalam segala aktivitas umat Hindu, yakni “Om Santhi, Santhi, Santhi”(atas perkenan-Mu Tuhan, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu).
Belajar dari Ramayana
Kita mengenal kisah Ramayana yang sering dilakonkan dalam wayang. Namun, barangkali yang kita ketahui di kisah itu hanyalah perebutan Sinta dari tangan Rahwana oleh Rama melalui perang. Yang mana Sinta adalah istri Rama, putra kerajaan Ayodya. Tapi kisah tersebut tidak sesederhana itu.
Banyak lika-liku dalam kehidupan mereka yang patut kita ambil hikmahnya. Seperti alasan Rama dibuang ke hutan oleh ayahandanya hanya karena permaisuri Raja yang dihasut oleh abdi rendahan. Permaisuri termakan perkataan abdi. Akhirnya permaisuri menyampaikan permintaannya kepada Raja Ayodya.
Sang Raja yang tak pernah ingkar janji pun melaksanakan permintaan sang permaisuri walau dengan hati yang sangat berat. Berawal dari hasutan, Rama putra mahkota sang pewaris takhta akhirnya harus menjalani hidup di hutan.
Penggalan kisah lain yakni ketika terjadi penculikan Sinta oleh Rahwana. Ketika itu Sinta dan Rama sudah tinggal di hutan bersama adik Rama, Lesmana. Suatu hari tampak seekor kijang yang sangat cantik dan Sinta berhasrat untuk memilikinya. Rama tak kuasa menolak keinginan istrinya dan pergi untuk memburu kijang tersebut.
Setelah dibawa ke tengah rimba, kijang pun terkena panah Rama, lalu berubah ke wujud aslinya, raksasa, dan menirukan suara Rama yang seolah-olah meminta pertolongan. Sinta mendengar teriakan tersebut dan memaksa agar Lesmana menuju suara itu dan membantu suaminya.
Sinta galau memikirkan nasib suaminya, dan datanglah Rahwana yang menyamar sebagai petapa. Sinta pun diculik, dibawa ke Alengka, kerajaan raksasa yang dipimpin Rahwana.
Manusia sangat mudah terpesona. Terlena akan hal-hal kecil, dan cenderung tidak memikirkan akibat yang akan didapat. Sinta terjebak nafsu sesaat yang akhirnya membuatnya ditawan di Alengka.
Kisah Rama dan Sinta ini tak beda jauh dengan kondisi masyarakat kita saat ini. Kabar-kabar burung yang tidak jelas kebenarannya banyak disampaikan melalui media online atau daring. Keberadaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram menyuburkan penyebaran informasi yang tidak benar.
Fatalnya, banyak yang meneruskan berita yang belum diketahui asal-muasalnya tersebut ke jaringan keluarga, kerabat, teman dekat, dan teman kerja. Kerap kali penyebar kabar ini orang terpandang dalam jaringan tersebut, disegani sehingga semua anggota dalam jaringan akan mudah dibuat percaya.
Masih dalam kisah Ramayana. Ini ketika Rama dan pasukan wanara hampir mendekati Alengka untuk merebut Sinta. Rahwana punya siasat. Ia mengutus anaknya, Indrajit, untuk memberi tahu Sinta tentang kematian Rama. Sinta tertegun melihat tipuan Indrajit berupa kepala Rama. Kehilangan Rama, hatinya gundah dan kehilangan semangat untuk hidup.
Lagi-lagi manusia tertipu, bukannya mengklarifikasi kabar tersebut, Sinta terbawa emosi. Sinta tak beranjak dari tempatnya ditawan hingga melihat sendiri pasukan wanara yang memorak-porandakan Alengka. Sinta merasa sangat bahagia, Rahwana hanya menakut-nakutinya.
Bahkan, berita bohong atau hoax sudah dikenal pada masa lalu. Gelagat pelaku sudah gamblang tergambar. Cara mengatasinya juga tak jauh berbeda dengan masa kini. Tetapi mengapa kita masih saja terjebak di dalamnya?
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
PERTAMA-TAMA selamat kepada saudara-saudara kita umat Hindu se-Tanah Air yang merayakan Nyepi sekaligus Tahun Saka 1940 jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung, Sabtu 17 Maret 2018. Bagaimanapun dalam sejarah Nusantara, agama Hindu yang berasal dari India pernah berjaya dan memberi kontribusi positif bagi peradaban kita.
Kita yang tidak beragama Hindu, rasanya perlu tahu sumbangan tersebut, sekadar untuk memperluas cakrawala sekaligus mendorong terwujudnya kembali sikap toleran dan saling menghargai demi kerukunan sesama anak bangsa serta keutuhan NKRI.
Apalagi akhir-akhir ini ada yang menyebut telah terjadi krisis kebinekaan terparah di negeri ini ditandai dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pilkada Serentak 208 dan Pilpres 2019. Bisa toleran, rukun, dan menghargai perbedaan jelas sangat penting kita miliki, mengingat kita hidup di sebuah negeri yang heterogen.
Dengan demikian, semoga kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah menghargai pihak lain daripada mencela, mengumpat, atau menyebar fitnah sebagaimana marak di media sosial.
Tulisan ini berangkat dari ketulusan dan kejujuran penulis yang telah “passing over“ atau melintas batas agama dan etnis. Bagaimanapun agama Hindu dan peradaban serta umatnya telah terbukti memberi warna tersendiri dalam sejarah bangsa ini. Cukup banyak sejarawan atau antropolog telah berupaya menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh agama Hindu berasal dari India sampai ke Nusantara.
Hal sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut, penduduk kepulauan Nusantara resmi tercatat memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Sebelum kurun waktu tersebut, sejarah kita masih gelap karena kurangnya bukti-bukti tertulis.
Menurut J.L.A Brandes (1887), penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Nusantara, telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh India, yaitu (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding gua, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari Tiongkok ataupun India.
Pengaruh Hindu
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek penting dari mereka. Ada tiga hal menonjol dari kebudayaan Hindu yang diterima nenek moyang bangsa kita yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu huruf Pallava, agama Hindu, dan penghitungan angka tahun. Ketiga hal ini nanti benar-benar memberi kontribusi luar biasa untuk memperkaya kebudayaan Nusantara.
Kalau mau dirinci, pengaruh Hindu atau India begitu banyak di Nusantara. Dalam hal bahaya Melayu atau bahasa Indonesia misalnya, pengaruh itu cukup terasa. Huruf Pallawa atau bahasa Sanskerta ikut memperkaya bahasa Melayu atau Indonesia. Ini karena kebanyakan masyarakat Melayu ketika itu beragama Hindu dan bahasa Sanskerta telah menjadi bahasa bangsawan serta mempunyai hierarki tinggi.
Pengaruh itu bisa kita baca pada tulisan atau aksara Pallava, kata-kata pinjaman daripada bahasa Sanskerta, rangkaian kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dan fonem-fonem. Contoh perkataan yang diambil dari bahasa Sanskerta, seperti syukasyitta, athava, karana, tatkala, dan lainnya.
Saling memengaruhi sehingga tercipta hibriditas atau ketercampuran budaya adalah keniscayaan telah terjadi selama ribuan tahun di Nusantara. Bahkan hingga saat ini hubungan kebudayaan Indonesia-India yang satu miliar penduduknya beragama Hindu masih terus berlangsung. Ketika Indonesia baru merdeka, India termasuk salah satu negara yang memberi pengakuan awal.
Bahkan kalau kita berbicara tentang Nyepi, jangan ditanya kontribusi positifnya bagi bangsa ini. Simak saja tema nasional Hari Raya Nyepi tahun ini: “Melalui catur brata penyepian, kita tingkatkan soliditas sebagai perekat keberagaman dalam menjaga keutuhan NKRI”. Tema ini sudah menunjukkan betapa umat Hindu sungguh amat menghargai keberagaman, penuh toleransi, dan cinta Tanah Air.
Pesan-pesan positif dari tema tersebut tampak nyata dalam berbagai ritual, baik sebelum maupun selama perayaan Nyepi. Seperti kita tahu, beberapa hari sebelum Nyepi, digelar ritual Melasti, yakni menyucikan arca serta simbol-simbol agama guna mendekatkan diri pada Tuhan. Ritual ini dimaksudkan untuk menyucikan seluruh isi dunia, termasuk negeri kita.
Lalu sehari sebelum Nyepi digelar ritual Tawur Kesanga yang terdiri dari upacara Buta Yadnya dan Ngrupuk. Buta Yadnya adalah ritual memberi persembahan pada Sang Bhuta Kala agar tidak mengganggu umat manusia. Dalam ritual ini, umat Hindu membuat ogoh-ogoh atau patung raksasa dari bambu yang merupakan simbol roh jahat di sekitar kita sehingga perlu disingkirkan. Cara penyingkiran adalah dengan ritual
Ngrupuk, yakni mengarak ogoh-ogoh lalu membakarnya. Dengan demikian, roh jahat bisa diusir dan tidak jadi menguasai dunia, termasuk NKRI.
Tepat pada hari suci Nyepi, yaitu awal Tahun Baru Saka (Sabtu, 17/3), dilaksanakan Upacara Yoga Samadhi dengan empat pantangan wajib, yakni amati geni atau berpantang menyalakan api, amati karya atau menghentikan aktivitas kerja, amati lelanguan atau berpantang menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan hedonisme, serta amati lelungan atau pantang bepergian. Mungkin hanya di Bali saja jalur penerbangan internasional dihentikan demi perayaan keagamaan.
Kemudian sehari setelah Tahun Baru Saka dilangsungkan acara Ngembak Geni. Segenap keluarga keluar dari rumah masing-masing dan bermaaf-maafan dengan tetangga serta kerabat. Dalam rangkaian ritual Nyepi di atas, umat berusaha melakukan introspeksi dan pertobatan agar terhindar dari kuasa kejahatan.
Dengan jiwa raga yang suci, umat Hindu mencoba menjaga harmoni dengan Sang Pencipta sesama serta semesta. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan dan terhindar dari malapetaka. Kita berharap dengan Nyepi rangkaian bencana dan ancaman adu domba bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang merusak soliditas kita bisa dijauhkan. Kita rindu bisa kembali rukun sebagai sesama anak bangsa serta terus bisa berkontribusi positif.
Sejarah mengingatkan, ketika kita gampang diadu domba, sesungguhnya kita sedang saling menghancurkan. Kita juga lupa tujuan menggapai “bonum commune” (kesejahteraan bersama). Hal yang menonjol hanya “malum commune” (keburukan bersama) seperti tampak dari maraknya ujaran kebencian dan sikap saling curiga.
Pada akhirnya mari belajar dari pesan untuk selalu berdamai sebagaimana diucapkan dalam doa penutup dalam segala aktivitas umat Hindu, yakni “Om Santhi, Santhi, Santhi”(atas perkenan-Mu Tuhan, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu).
Belajar dari Ramayana
Kita mengenal kisah Ramayana yang sering dilakonkan dalam wayang. Namun, barangkali yang kita ketahui di kisah itu hanyalah perebutan Sinta dari tangan Rahwana oleh Rama melalui perang. Yang mana Sinta adalah istri Rama, putra kerajaan Ayodya. Tapi kisah tersebut tidak sesederhana itu.
Banyak lika-liku dalam kehidupan mereka yang patut kita ambil hikmahnya. Seperti alasan Rama dibuang ke hutan oleh ayahandanya hanya karena permaisuri Raja yang dihasut oleh abdi rendahan. Permaisuri termakan perkataan abdi. Akhirnya permaisuri menyampaikan permintaannya kepada Raja Ayodya.
Sang Raja yang tak pernah ingkar janji pun melaksanakan permintaan sang permaisuri walau dengan hati yang sangat berat. Berawal dari hasutan, Rama putra mahkota sang pewaris takhta akhirnya harus menjalani hidup di hutan.
Penggalan kisah lain yakni ketika terjadi penculikan Sinta oleh Rahwana. Ketika itu Sinta dan Rama sudah tinggal di hutan bersama adik Rama, Lesmana. Suatu hari tampak seekor kijang yang sangat cantik dan Sinta berhasrat untuk memilikinya. Rama tak kuasa menolak keinginan istrinya dan pergi untuk memburu kijang tersebut.
Setelah dibawa ke tengah rimba, kijang pun terkena panah Rama, lalu berubah ke wujud aslinya, raksasa, dan menirukan suara Rama yang seolah-olah meminta pertolongan. Sinta mendengar teriakan tersebut dan memaksa agar Lesmana menuju suara itu dan membantu suaminya.
Sinta galau memikirkan nasib suaminya, dan datanglah Rahwana yang menyamar sebagai petapa. Sinta pun diculik, dibawa ke Alengka, kerajaan raksasa yang dipimpin Rahwana.
Manusia sangat mudah terpesona. Terlena akan hal-hal kecil, dan cenderung tidak memikirkan akibat yang akan didapat. Sinta terjebak nafsu sesaat yang akhirnya membuatnya ditawan di Alengka.
Kisah Rama dan Sinta ini tak beda jauh dengan kondisi masyarakat kita saat ini. Kabar-kabar burung yang tidak jelas kebenarannya banyak disampaikan melalui media online atau daring. Keberadaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram menyuburkan penyebaran informasi yang tidak benar.
Fatalnya, banyak yang meneruskan berita yang belum diketahui asal-muasalnya tersebut ke jaringan keluarga, kerabat, teman dekat, dan teman kerja. Kerap kali penyebar kabar ini orang terpandang dalam jaringan tersebut, disegani sehingga semua anggota dalam jaringan akan mudah dibuat percaya.
Masih dalam kisah Ramayana. Ini ketika Rama dan pasukan wanara hampir mendekati Alengka untuk merebut Sinta. Rahwana punya siasat. Ia mengutus anaknya, Indrajit, untuk memberi tahu Sinta tentang kematian Rama. Sinta tertegun melihat tipuan Indrajit berupa kepala Rama. Kehilangan Rama, hatinya gundah dan kehilangan semangat untuk hidup.
Lagi-lagi manusia tertipu, bukannya mengklarifikasi kabar tersebut, Sinta terbawa emosi. Sinta tak beranjak dari tempatnya ditawan hingga melihat sendiri pasukan wanara yang memorak-porandakan Alengka. Sinta merasa sangat bahagia, Rahwana hanya menakut-nakutinya.
Bahkan, berita bohong atau hoax sudah dikenal pada masa lalu. Gelagat pelaku sudah gamblang tergambar. Cara mengatasinya juga tak jauh berbeda dengan masa kini. Tetapi mengapa kita masih saja terjebak di dalamnya?
(whb)