Calon Kepala Daerah Jadi Tersangka
A
A
A
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena keberhasilan lembaga antirasuah ini membongkar kasus korupsi besar. Juga bukan karena prestasi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah yang menerima suap. Adalah Ketua KPK Agus Rahardjo yang jadi pemicunya. Pernyataan Agus bahwa KPK akan mengumumkan sejumlah kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi sontak memantik pro-kontra.
Sebagian pihak mendukung rencana KPK karena menilai hukum tidak bisa disangkut-pautkan dengan politik. Selain itu, penetapan tersangka sebelum pencoblosan juga menguntungkan masyarakat karena akan menghindarkan mereka memilih calon pemimpin yang bermasalah dengan hukum.
Sebaliknya, tidak sedikit kalangan yang menentang dan meminta agar pengumuman tersangka ditunda hingga pilkada selesai. Mengumumkan calon kepala daerah sebagai tersangka tiga bulan sebelum hari H pencoblosan dinilai mengandung risiko, terutama rawan memicu gangguan keamanan di daerah. Secara politik juga akan merugikan calon kepala daerah bersangkutan sebab isu itu dipastikan akan jadi komoditas politik oleh kubu lawan. Padahal, status tersangka belum mencerminkan seseorang bersalah atau tidak.
Belum diketahui berapa jumlah pasti calon kepala daerah yang akan dijadikan tersangka oleh KPK. Saat penutupan pendaftaran pada 10 Januari 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima 569 bakal pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada 2018.
Bukan kali ini saja Agus Rahardjo mengeluarkan pernyataan kontroversial. Sebelumnya, pada Maret 2017, mantan ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) ini juga memancing kegaduhan saat menyinggung penyidikan kasus korupsi e-KTP. Dia menyebut isi dakwaan akan mengejutkan karena mengungkap dugaan keterlibatan nama-nama besar di republik ini.
Bukan hanya partai politik yang keberatan dengan pernyataan Agus kali ini. Menko Polhukam Wiranto pun ikut berkomentar. Dia meminta KPK menunda penetapan tersangka para calon kepala daerah guna menghindari kegaduhan di Pilkada Serentak 2018. Pencalonan kandidat dinilai bisa terganggu jika ada proses hukum yang harus dijalani oleh calon. Sebaliknya, KPK tetap bersikukuh akan mengumumkan status tersangka karena alasan proses penyidikan calon kepala daerah bersangkutan sudah berlangsung lama. Alasan ini pula yang digunakan KPK untuk menangkal tuduhan bahwa ada unsur politik di balik langkah tersebut.
KPK dalam menangani kasus memang tidak boleh terpengaruh dengan urusan politik. Proses penyidikan yang dilakukan harus berjalan tanpa intervensi. Ini ciri KPK sebagai lembaga independen. Namun, terlepas dari pro-kontra yang ada, langkah Ketua KPK secara terbuka menyampaikan rencana pengumuman tersangka calon kepala daerah layak dipertanyakan.
Ada dua alasan. Pertama, jika memang ada pihak yang ingin dijadikan tersangka, mengapa tidak langsung diumumkan, tapi malah mengobral informasinya ke publik? Kedua, mengapa momentum pengumuman tersangka dilakukan setelah calon kepala daerah ditetapkan oleh KPU? Jika saja sebelum penetapan, masih ada waktu bagi partai politik untuk menyeleksi ulang kandidat yang akan mereka usung.
Dalam kondisi seperti ini publik tidak bisa disalahkan jika berasumsi bahwa KPK memiliki agenda politik di baliknya. Persoalan “timing” ini yang kerap membuat KPK dituding memiliki agenda politik di balik penetapan seseorang menjadi tersangka korupsi. Masih cukup segar di ingatan saat KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Budi menjadi tersangka sehari sebelum dia menjalani fit and proper test di DPR sehingga menimbulkan kegaduhan luar biasa.
Padahal, kasus yang diusut KPK tersebut terjadi jauh sebelum Budi diajukan oleh Presiden Joko Widodo sebagai calon kepala Polri. Pada akhirnya Budi memenangkan gugatan praperadilan sekaligus menggugurkan statusnya sebagai tersangka.
Tindak tanduk KPK dalam menangkap setiap pejabat yang menerima suap atau siapa pun merampok uang negara harus didukung. Namun, lembaga ini seyogianya juga bisa menghindari ihwal yang bisa memicu kegaduhan di masyarakat. Bagaimanapun pilkada serentak mendatang disebut-sebut rawan konflik sehingga membutuhkan dukungan semua pihak, tak terkecuali KPK, agar bisa berjalan aman dan damai.
Sebagian pihak mendukung rencana KPK karena menilai hukum tidak bisa disangkut-pautkan dengan politik. Selain itu, penetapan tersangka sebelum pencoblosan juga menguntungkan masyarakat karena akan menghindarkan mereka memilih calon pemimpin yang bermasalah dengan hukum.
Sebaliknya, tidak sedikit kalangan yang menentang dan meminta agar pengumuman tersangka ditunda hingga pilkada selesai. Mengumumkan calon kepala daerah sebagai tersangka tiga bulan sebelum hari H pencoblosan dinilai mengandung risiko, terutama rawan memicu gangguan keamanan di daerah. Secara politik juga akan merugikan calon kepala daerah bersangkutan sebab isu itu dipastikan akan jadi komoditas politik oleh kubu lawan. Padahal, status tersangka belum mencerminkan seseorang bersalah atau tidak.
Belum diketahui berapa jumlah pasti calon kepala daerah yang akan dijadikan tersangka oleh KPK. Saat penutupan pendaftaran pada 10 Januari 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima 569 bakal pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada 2018.
Bukan kali ini saja Agus Rahardjo mengeluarkan pernyataan kontroversial. Sebelumnya, pada Maret 2017, mantan ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) ini juga memancing kegaduhan saat menyinggung penyidikan kasus korupsi e-KTP. Dia menyebut isi dakwaan akan mengejutkan karena mengungkap dugaan keterlibatan nama-nama besar di republik ini.
Bukan hanya partai politik yang keberatan dengan pernyataan Agus kali ini. Menko Polhukam Wiranto pun ikut berkomentar. Dia meminta KPK menunda penetapan tersangka para calon kepala daerah guna menghindari kegaduhan di Pilkada Serentak 2018. Pencalonan kandidat dinilai bisa terganggu jika ada proses hukum yang harus dijalani oleh calon. Sebaliknya, KPK tetap bersikukuh akan mengumumkan status tersangka karena alasan proses penyidikan calon kepala daerah bersangkutan sudah berlangsung lama. Alasan ini pula yang digunakan KPK untuk menangkal tuduhan bahwa ada unsur politik di balik langkah tersebut.
KPK dalam menangani kasus memang tidak boleh terpengaruh dengan urusan politik. Proses penyidikan yang dilakukan harus berjalan tanpa intervensi. Ini ciri KPK sebagai lembaga independen. Namun, terlepas dari pro-kontra yang ada, langkah Ketua KPK secara terbuka menyampaikan rencana pengumuman tersangka calon kepala daerah layak dipertanyakan.
Ada dua alasan. Pertama, jika memang ada pihak yang ingin dijadikan tersangka, mengapa tidak langsung diumumkan, tapi malah mengobral informasinya ke publik? Kedua, mengapa momentum pengumuman tersangka dilakukan setelah calon kepala daerah ditetapkan oleh KPU? Jika saja sebelum penetapan, masih ada waktu bagi partai politik untuk menyeleksi ulang kandidat yang akan mereka usung.
Dalam kondisi seperti ini publik tidak bisa disalahkan jika berasumsi bahwa KPK memiliki agenda politik di baliknya. Persoalan “timing” ini yang kerap membuat KPK dituding memiliki agenda politik di balik penetapan seseorang menjadi tersangka korupsi. Masih cukup segar di ingatan saat KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Budi menjadi tersangka sehari sebelum dia menjalani fit and proper test di DPR sehingga menimbulkan kegaduhan luar biasa.
Padahal, kasus yang diusut KPK tersebut terjadi jauh sebelum Budi diajukan oleh Presiden Joko Widodo sebagai calon kepala Polri. Pada akhirnya Budi memenangkan gugatan praperadilan sekaligus menggugurkan statusnya sebagai tersangka.
Tindak tanduk KPK dalam menangkap setiap pejabat yang menerima suap atau siapa pun merampok uang negara harus didukung. Namun, lembaga ini seyogianya juga bisa menghindari ihwal yang bisa memicu kegaduhan di masyarakat. Bagaimanapun pilkada serentak mendatang disebut-sebut rawan konflik sehingga membutuhkan dukungan semua pihak, tak terkecuali KPK, agar bisa berjalan aman dan damai.
(wib)