Di Bawah Bayang-Bayang Perang Dagang
A
A
A
Rafli Zulfikar
Center for International Studies and Trade
KEGADUHAN ekonomi global kembali mengemuka setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor baja sebesar 10% dan alumunium sebesar 25%. Tentu kebijakan tersebut akan memukul Mexico dan Kanada. Selain impor baja dan alumunium, setidaknya selama awal tahun ini Trump juga sudah mengoreksi kebijakan dagang AS yang mengalami defisit seperti tekstil, solar panel, dan elektronik.
Penegasan proteksionisme Trump diucapkan dalam pidato inaugurasi kepemimpinannya pada 20 Januari 2018 yang mengatakan, "From this day forward, a new vision will govern... it's going to be only America first, America first."
Sebenarnya kebijakan Trump cukup bisa dipahami dalam hubungan internasional. Basis argumentasi Trump adalah zero sum game di mana relasi perdagangan asimetris sehingga ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Dalam perspektif ilmu hubungan internasional, pandangan zero sum dilandasi asumsi dengan menganggap nature sistem internasional adalah anarki sehingga kepentingan nasional adalah yang utama. John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politic menyatakan, ".... State face an uncertain situation in which any state might use it’s power to harm another."
Ketika AS mengalami defisit perdagangan yang cukup besar yakni USD566 miliar, secara alamiah negara ini mementingkan keselamatan dirinya sendiri (self-help ) melalui kebijakan proteksionisme. Itu merupakan jalan keluar yang logis.
Proteksionisme Trump merupakan kalkulasi kepentingan nasional atas defisit yang diderita AS. Defisit paling besar dari perdagangan dengan China sebesar USD375 miliar atau sekitar 66% dari total defisit.
Sikap tersebut juga sangat logis ketika approval rating Trump merupakan yang terendah di antara seluruh presiden AS. Retorika kepentingan nasional melalui "American First " sangat penting dan kebijakan menaikkan tarif untuk membangkitkan atau minimal melindungi industri baja alumunium AS sangat strategis.
Kebijakan Trump menaikkan tarif baja dan alumunium dapat dibaca sebagai upaya untuk meningkatkan daya tawar AS untuk dapat melakukan negosiasi ulang seluruh perdagangan internasional AS. Perjanjian NAFTA mendapatkan pengecualian dari kebijakan tarif baja dan alumunium setelah Kanada melakukan negosiasi.
Australia, Jepang, Korea Selatan, Brasil, dan Uni Eropa sedang mengajukan pembicaraan ulang. Kondisi yang demikian dapat dibaca sebagai strategi memperkuat aliansi dalam perang dagang, sedangkan China berencana akan melakukan kebijakan balasan untuk merespons kebijakan tarif baja dan alumunium Trump.
Kondisi yang demikian tentu tidak menguntungkan baik bagi ekonomi global maupun ekonomi Indonesia. Bagi ekonomi global, di tengah gejala tak menentu yang serbaambigu dan kompleks serta kecenderungan global mengalami stagnasi sekuler (secular stagnation ), perang dagang jelas bukan kabar baik bagi perbaikan ekonomi global.
Bagi Indonesia, kabar perang dagang meski secara langsung tidak mempunyai pengaruh, tetapi itu membawa kekhawatiran bahwa barang yang tidak lagi bisa masuk ke pasar AS akan membanjiri pasar di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, perang dagang juga akan memengaruhi ekspor Indonesia di mana pasar ekspor Indonesia masih tetap menggantungkan diri pada pasar tradisional yang sebagian besar merupakan negara maju. Negara yang berpotensi perang dagang.
Merujuk riset Sulthon Sjahril Sabaruddin dalam "Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional vs Pasar Nontradisional" (2017), pasar tradisional Indonesia selama lima tahun belakangan ini masih berkutat pada Australia, China, Hong Kong, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Belanda, Filipina, Singapura, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Pasar yang potensial nontradisional seperti India, Rusia, Thailand, dan Vietnam belum maksimal digarap Indonesia, apalagi pasar Asia Selatan seperti Uni Emirat Arab, Pakistan, Brasil, Swiss, Kanada, dan Swedia.
Ancaman perang dagang sebenarnya menjadi warning bagi Indonesia agar "dont put all your egg in one basket ". Menggantungkan pasar ekspor ke pasar tradisional di bawah bayang-bayang perang dagang tentu sangat berisiko bagi Indonesia. Apalagi, dengan kecenderungan gejala perang dagang sebagai upaya konsolidasi kekuatan aliansi ekonomi global seperti kelonggaran kebijakan tarif Trump untuk negara-negara aliansi dengan AS, maka Indonesia dengan posisi politik bebas aktif tidak akan masuk dalam skenario "negara pengecualian".
Memperkecil risiko dan berusaha mendapatkan berkah dari perang dagang dapat ditempuh Indonesia dengan fokus pada perluasan pasar. Diplomasi ekonomi Indonesia harus memiliki roadmap yang jelas. Tidak lagi seperti sekarang perdagangan ke Trinidad and Tobago relatif besar, namun pasar Asia Selatan yang mulai mencatatkan kinerja ekonomi relatif bagus justru tidak tergarap secara serius.
Ketidaktahuan informasi dan strategi antaraktor akan mendorong setiap aktor untuk berusaha secara rasional memilih pilihan yang menguntungkan bagi dirinya seraya menebak apa pilihan dari aktor lain. Pun demikian dalam perang dagang, negara akan berusaha memilih pilihan rasional untuk kepentingan nasional. Indonesia tidak boleh tinggal diam, butuh diplomasi ekonomi yang komprehensif dan penuh perhitungan agar bisa survive dalam situasi global yang serbakompleks dan ambigu.
Center for International Studies and Trade
KEGADUHAN ekonomi global kembali mengemuka setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor baja sebesar 10% dan alumunium sebesar 25%. Tentu kebijakan tersebut akan memukul Mexico dan Kanada. Selain impor baja dan alumunium, setidaknya selama awal tahun ini Trump juga sudah mengoreksi kebijakan dagang AS yang mengalami defisit seperti tekstil, solar panel, dan elektronik.
Penegasan proteksionisme Trump diucapkan dalam pidato inaugurasi kepemimpinannya pada 20 Januari 2018 yang mengatakan, "From this day forward, a new vision will govern... it's going to be only America first, America first."
Sebenarnya kebijakan Trump cukup bisa dipahami dalam hubungan internasional. Basis argumentasi Trump adalah zero sum game di mana relasi perdagangan asimetris sehingga ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Dalam perspektif ilmu hubungan internasional, pandangan zero sum dilandasi asumsi dengan menganggap nature sistem internasional adalah anarki sehingga kepentingan nasional adalah yang utama. John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politic menyatakan, ".... State face an uncertain situation in which any state might use it’s power to harm another."
Ketika AS mengalami defisit perdagangan yang cukup besar yakni USD566 miliar, secara alamiah negara ini mementingkan keselamatan dirinya sendiri (self-help ) melalui kebijakan proteksionisme. Itu merupakan jalan keluar yang logis.
Proteksionisme Trump merupakan kalkulasi kepentingan nasional atas defisit yang diderita AS. Defisit paling besar dari perdagangan dengan China sebesar USD375 miliar atau sekitar 66% dari total defisit.
Sikap tersebut juga sangat logis ketika approval rating Trump merupakan yang terendah di antara seluruh presiden AS. Retorika kepentingan nasional melalui "American First " sangat penting dan kebijakan menaikkan tarif untuk membangkitkan atau minimal melindungi industri baja alumunium AS sangat strategis.
Kebijakan Trump menaikkan tarif baja dan alumunium dapat dibaca sebagai upaya untuk meningkatkan daya tawar AS untuk dapat melakukan negosiasi ulang seluruh perdagangan internasional AS. Perjanjian NAFTA mendapatkan pengecualian dari kebijakan tarif baja dan alumunium setelah Kanada melakukan negosiasi.
Australia, Jepang, Korea Selatan, Brasil, dan Uni Eropa sedang mengajukan pembicaraan ulang. Kondisi yang demikian dapat dibaca sebagai strategi memperkuat aliansi dalam perang dagang, sedangkan China berencana akan melakukan kebijakan balasan untuk merespons kebijakan tarif baja dan alumunium Trump.
Kondisi yang demikian tentu tidak menguntungkan baik bagi ekonomi global maupun ekonomi Indonesia. Bagi ekonomi global, di tengah gejala tak menentu yang serbaambigu dan kompleks serta kecenderungan global mengalami stagnasi sekuler (secular stagnation ), perang dagang jelas bukan kabar baik bagi perbaikan ekonomi global.
Bagi Indonesia, kabar perang dagang meski secara langsung tidak mempunyai pengaruh, tetapi itu membawa kekhawatiran bahwa barang yang tidak lagi bisa masuk ke pasar AS akan membanjiri pasar di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, perang dagang juga akan memengaruhi ekspor Indonesia di mana pasar ekspor Indonesia masih tetap menggantungkan diri pada pasar tradisional yang sebagian besar merupakan negara maju. Negara yang berpotensi perang dagang.
Merujuk riset Sulthon Sjahril Sabaruddin dalam "Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional vs Pasar Nontradisional" (2017), pasar tradisional Indonesia selama lima tahun belakangan ini masih berkutat pada Australia, China, Hong Kong, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Belanda, Filipina, Singapura, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Pasar yang potensial nontradisional seperti India, Rusia, Thailand, dan Vietnam belum maksimal digarap Indonesia, apalagi pasar Asia Selatan seperti Uni Emirat Arab, Pakistan, Brasil, Swiss, Kanada, dan Swedia.
Ancaman perang dagang sebenarnya menjadi warning bagi Indonesia agar "dont put all your egg in one basket ". Menggantungkan pasar ekspor ke pasar tradisional di bawah bayang-bayang perang dagang tentu sangat berisiko bagi Indonesia. Apalagi, dengan kecenderungan gejala perang dagang sebagai upaya konsolidasi kekuatan aliansi ekonomi global seperti kelonggaran kebijakan tarif Trump untuk negara-negara aliansi dengan AS, maka Indonesia dengan posisi politik bebas aktif tidak akan masuk dalam skenario "negara pengecualian".
Memperkecil risiko dan berusaha mendapatkan berkah dari perang dagang dapat ditempuh Indonesia dengan fokus pada perluasan pasar. Diplomasi ekonomi Indonesia harus memiliki roadmap yang jelas. Tidak lagi seperti sekarang perdagangan ke Trinidad and Tobago relatif besar, namun pasar Asia Selatan yang mulai mencatatkan kinerja ekonomi relatif bagus justru tidak tergarap secara serius.
Ketidaktahuan informasi dan strategi antaraktor akan mendorong setiap aktor untuk berusaha secara rasional memilih pilihan yang menguntungkan bagi dirinya seraya menebak apa pilihan dari aktor lain. Pun demikian dalam perang dagang, negara akan berusaha memilih pilihan rasional untuk kepentingan nasional. Indonesia tidak boleh tinggal diam, butuh diplomasi ekonomi yang komprehensif dan penuh perhitungan agar bisa survive dalam situasi global yang serbakompleks dan ambigu.
(mhd)