Antisipasi Baja China
A
A
A
Baja asal China diprediksi bakal membanjiri Indonesia menyusul rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif bea masuk. Apa yang terjadi apabila prediksi baja asal Negeri Panda itu terbukti mengalir ke Indonesia? Di mata pemerintah kondisi tersebut ibarat pisau bermata dua karena itu harus pandai membaca peluang. Setidaknya Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita telah menangkap manfaat positif dengan mengajak perusahaan baja dari China mendirikan pabrik di negeri ini yang masih membutuhkan pasokan baja dari luar sebanyak 45% dari kebutuhan saat ini. Meski demikian, pemerintah tetap harus mewaspadai serbuan baja China dengan segala kebijakan yang ada.
Sebelumnya Pemerintah AS telah memublikasi bahwa dalam waktu dekat akan meningkatkan tarif bea masuk untuk baja hingga 25% dan aluminium sebesar 10%. Pemerintah meyakini dampak secara langsung dari kebijakan tersebut memang tidak akan berpengaruh ke Indonesia. Namun, yang perlu diwaspadai, sebagaimana ditegaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, kebijakan Presiden Donald Trump bisa mengubah kecenderungan perekonomian global sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia.
Sikap Pemerintah Negeri Paman Sam yang berencana menaikkan bea masuk baja memang akan memaksa China melirik negara lain, tak terkecuali Indonesia. China tercatat sebagai salah satu negara produsen baja terbesar di dunia dengan suplai terbanyak ke AS. Berdasarkan publikasi dari World Steel Association produksi baja dari Negeri Tirai Bambu itu mencapai 831,7 juta metrik ton. Meski Indonesia terancam dibanjiri baja China, pemerintah tak terlalu khawatir karena sudah memiliki aturan yang jelas soal baja dari luar. Dalam waktu dekat sebuah rapat koordinasi bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan guna menyikapi kebijakan Pemerintah AS segera digelar.
Yang pasti, kebijakan Presiden Donald Trump yang berencana menaikkan bea masuk baja akan langsung dirasakan dampaknya oleh sejumlah industri di AS. Simak saja analisis dari Goldman Sachs yang dilansir cnn.com menyebutkan industri automotif paling "menderita" seperti Ford Motor Company dan General Motors Company yang bisa memicu kenaikan harga mobil. Pelaku sektor industri pertambangan minyak dan gas (Migas) juga panas dingin menyambut kebijakan itu. Pasalnya, sektor pertambangan migas butuh baja dalam jumlah besar untuk proses pengeboran dan produksi lewat pipa dan kilang.
Pelaku bisnis di luar sektor baja sudah mengingatkan Pemerintah AS bahwa kenaikan bea masuk baja bakal mengganggu kondisi perekonomian dalam negeri. Namun, Presiden Donald Trum menutup telinga rapat-rapat dan berdalih bahwa kenaikan bea masuk akan mendongkrak produksi baja dan aluminium AS. Langkah tersebut dinilai sebagai bagian dari memerangi persaingan dagang yang tidak adil. Lebih jauh, kebijakan Donald Trump itu berpotensi memperburuk perekonomian dunia.
Sebenarnya, kalau China membidik Indonesia setelah dipersulit lewat bea masuk untuk menyuplai baja ke AS, itu wajar saja. Tengok saja produksi baja dalam negeri baru mencapai 55% dari total kebutuhan baja. Selebihnya atau sebanyak 45% dipasok dari luar negeri alias impor. Setiap tahun kebutuhan baja nasional terus meningkat. Dua tahun lalu kebutuhan baja dalam negeri tercatat 12,7 juta ton dan tahun lalu meningkat di atas 13 juta ton dan tahun ini diprediksi mencapai 14 juta ton lebih. Penyebab tingginya angka impor baja di antaranya harga baja impor lebih murah ketimbang produksi sendiri.
Tahun ini PT Krakatau Steel Tbk telah memasang target mendongkrak volume penjualan hingga 40% menjadi 2,8 juta ton, menyusul terus meningkatnya kebutuhan baja domestik. Dalam tiga tahun terakhir, kinerja perusahaan baja milik negara itu hanya mencetak rugi sebesar Rp4,37 triliun pada 2015. Selanjutnya mulai menipis menjadi Rp1,9 triliun pada 2016 dan kerugian bersih sepanjang 2017 tercatat Rp1,17 triliun. Sumber kerugian perseroan dipicu harga pokok produksi yang sangat tinggi seperti gas dan listrik. Jadi, wajar kalau China menjadikan Indonesia sebagai pasar baja yang amat potensial.
Sebelumnya Pemerintah AS telah memublikasi bahwa dalam waktu dekat akan meningkatkan tarif bea masuk untuk baja hingga 25% dan aluminium sebesar 10%. Pemerintah meyakini dampak secara langsung dari kebijakan tersebut memang tidak akan berpengaruh ke Indonesia. Namun, yang perlu diwaspadai, sebagaimana ditegaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, kebijakan Presiden Donald Trump bisa mengubah kecenderungan perekonomian global sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia.
Sikap Pemerintah Negeri Paman Sam yang berencana menaikkan bea masuk baja memang akan memaksa China melirik negara lain, tak terkecuali Indonesia. China tercatat sebagai salah satu negara produsen baja terbesar di dunia dengan suplai terbanyak ke AS. Berdasarkan publikasi dari World Steel Association produksi baja dari Negeri Tirai Bambu itu mencapai 831,7 juta metrik ton. Meski Indonesia terancam dibanjiri baja China, pemerintah tak terlalu khawatir karena sudah memiliki aturan yang jelas soal baja dari luar. Dalam waktu dekat sebuah rapat koordinasi bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan guna menyikapi kebijakan Pemerintah AS segera digelar.
Yang pasti, kebijakan Presiden Donald Trump yang berencana menaikkan bea masuk baja akan langsung dirasakan dampaknya oleh sejumlah industri di AS. Simak saja analisis dari Goldman Sachs yang dilansir cnn.com menyebutkan industri automotif paling "menderita" seperti Ford Motor Company dan General Motors Company yang bisa memicu kenaikan harga mobil. Pelaku sektor industri pertambangan minyak dan gas (Migas) juga panas dingin menyambut kebijakan itu. Pasalnya, sektor pertambangan migas butuh baja dalam jumlah besar untuk proses pengeboran dan produksi lewat pipa dan kilang.
Pelaku bisnis di luar sektor baja sudah mengingatkan Pemerintah AS bahwa kenaikan bea masuk baja bakal mengganggu kondisi perekonomian dalam negeri. Namun, Presiden Donald Trum menutup telinga rapat-rapat dan berdalih bahwa kenaikan bea masuk akan mendongkrak produksi baja dan aluminium AS. Langkah tersebut dinilai sebagai bagian dari memerangi persaingan dagang yang tidak adil. Lebih jauh, kebijakan Donald Trump itu berpotensi memperburuk perekonomian dunia.
Sebenarnya, kalau China membidik Indonesia setelah dipersulit lewat bea masuk untuk menyuplai baja ke AS, itu wajar saja. Tengok saja produksi baja dalam negeri baru mencapai 55% dari total kebutuhan baja. Selebihnya atau sebanyak 45% dipasok dari luar negeri alias impor. Setiap tahun kebutuhan baja nasional terus meningkat. Dua tahun lalu kebutuhan baja dalam negeri tercatat 12,7 juta ton dan tahun lalu meningkat di atas 13 juta ton dan tahun ini diprediksi mencapai 14 juta ton lebih. Penyebab tingginya angka impor baja di antaranya harga baja impor lebih murah ketimbang produksi sendiri.
Tahun ini PT Krakatau Steel Tbk telah memasang target mendongkrak volume penjualan hingga 40% menjadi 2,8 juta ton, menyusul terus meningkatnya kebutuhan baja domestik. Dalam tiga tahun terakhir, kinerja perusahaan baja milik negara itu hanya mencetak rugi sebesar Rp4,37 triliun pada 2015. Selanjutnya mulai menipis menjadi Rp1,9 triliun pada 2016 dan kerugian bersih sepanjang 2017 tercatat Rp1,17 triliun. Sumber kerugian perseroan dipicu harga pokok produksi yang sangat tinggi seperti gas dan listrik. Jadi, wajar kalau China menjadikan Indonesia sebagai pasar baja yang amat potensial.
(mhd)