Kartu Kredit di Tubuh Birokrasi, Mengapa Tidak?
A
A
A
Remon Samora
Analis di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia
KEMENTERIAN Keuangan memastikan transaksi belanja barang tiap satuan kerja di kementerian dan lembaga (K/L) yang selama ini menggunakan uang tunai akan beralih ke kartu kredit. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan No 17/PB/2017 tentang Uji Coba Pembayaran Kartu Kredit dalam Rangka Penggunaan Uang Persediaan. Pemanfaatan instrumen ini merupakan upaya Dirjen Perbendaharaan untuk melakukan simplifikasi dan modernisasi dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan, dan menyederhanakan pelaksanaan anggaran.
Penggunaan kartu kredit oleh pemerintah terlaksana melalui kerja sama antara Ditjen Perbendaharaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yakni Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. Tujuannya ialah untuk meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara nontunai dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan uang persediaan. Kartu kredit dapat digunakan oleh seluruh K/L untuk melakukan belanja operasional dan belanja perjalanan dinas.
Cita-cita menciptakan less cash society di birokrasi pemerintahan tampaknya menjadi salah satu isu sentral reformasi anggaran dan kebijakan era Presiden Jokowi dalam beberapa tahun terakhir. Jika ditelisik ke belakang, kebijakan penggunaan kartu kredit ini mengikuti sejumlah beleid nontunai yang telah diterbitkan sebelumnya. Misalnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 910/1866/SJ dan No 910/1867/SJ tentang Implementasi Transaksi Nontunai pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Beleid ini mewajibkan seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah ditransaksikan secara nontunai paling lambat 1 Januari 2018. Selain itu masih ada kebijakan penyaluran bansos secara nontunai untuk Program Keluarga Harapan mulai Juni 2017 dan kewajiban pembayaran nontunai di seluruh ruas jalan tol pada Oktober 2017.
Terbitnya sejumlah kebijakan non tunai oleh pemerintah tentu tidak terlepas dari semangat Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang diusung Bank Indonesia. Sejak dicanangkan pada Agustus 2014, Bank Indonesia gencar mengampanyekan pentingnya transaksi nontunai di seluruh daerah. Selain itu Bank Indonesia juga turut aktif untuk terus mendorong implementasi program elektronifikasi di lingkungan pemerintah daerah. Sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia percaya bahwa sistem pembayaran yang efisien dan efektif akan tercipta seiring dengan peningkatan transaksi nontunai oleh masyarakat.
Momentum Tepat
Dari sisi waktu, momentum penerbitan kebijakan penggunaan kartu kredit juga dinilai cukup tepat. Pasalnya Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Pejabat pemegang kartu kredit di setiap K/L kini tidak perlu lagi dipusingkan dengan banyaknya kartu kredit yang harus disimpan. Alasannya PBI ini mengatur seluruh transaksi pembayaran ritel domestik dijalankan secara interkoneksi (saling terhubung) dan interoperabilitas (saling dapat dioperasikan) antarkanal pembayaran di dalam negeri. Sederhananya pemilik toko tidak perlu menyediakan banyak mesin EDC dan konsumen tidak perlu menyimpan banyak kartu debit/kredit. Apa pun banknya, mesin dan kartunya tetap sama.
Pada tataran makroekonomi, terbitnya kebijakan penggunaan kartu kredit ini dapat mendorong tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia baru mencapai 67,82%. Artinya baru 67 orang dari 100 penduduk Indonesia memiliki akses terhadap produk dan jasa layanan keuangan formal. Melalui implementasi kebijakan tersebut, para pelaku usaha yang memiliki hubungan kerja sama dengan K/L dituntut untuk mulai membuka diri terhadap layanan jasa perbankan.
Di sisi lain, implementasi transaksi nontunai melalui penggunaan kartu kredit dipercaya sebagai salah satu solusi pencegahan korupsi dan kecurangan (fraud). Dengan pencatatan transaksi mutasi kas yang sistematis dan lengkap antara si pembayar dan penerima, ruang bagi oknum untuk melakukan penyalahgunaan juga akan semakin sempit. Pencatatan transaksi secara nontunai juga akan semakin memudahkan lembaga penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, kepolisian, dan PPATK dalam menjalankan tugasnya.
Kehadiran kebijakan ini juga menjadi angin segar bagi bisnis kartu kredit perbankan. Terang saja semakin besar transaksi kartu kredit, semakin besar pula fee based income yang diperoleh bank. Bank Indonesia mencatat total nominal transaksi kartu kredit sepanjang tahun 2017 mencapai Rp297,76 triliun atau tumbuh 5,96% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam jangka menengah pendek, diharapkan kebijakan penggunaan kartu kredit ini tidak hanya berhenti hingga tingkat K/L saja. Cakupan kebijakan ini seyogianya diperluas hingga ke tingkat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu kerja sama dengan perbankan juga sebaiknya tidak hanya menjadi hak eksklusif Bank BUMN saja, tetapi juga merangkul Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat yang telah menjadi penerbit kartu kredit.
Meskipun menjanjikan sejumlah kelebihan, implementasi kebijakan ini kemungkinan akan mendapat tantangan utama dari paradigma atau kebiasaan lama masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2013 menunjukkan masih tingginya transaksi tunai masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Sebagai perbandingan, 55,5% transaksi eceran di Singapura dilakukan secara tunai, jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang mencapai 99,5%. Jumlah ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Thailand (97%) dan Malaysia (92%). Oleh karena itu sosialisasi dan edukasi akan berperan penting sebagai kunci untuk menyukseskan kebijakan ini.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja.
Analis di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia
KEMENTERIAN Keuangan memastikan transaksi belanja barang tiap satuan kerja di kementerian dan lembaga (K/L) yang selama ini menggunakan uang tunai akan beralih ke kartu kredit. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan No 17/PB/2017 tentang Uji Coba Pembayaran Kartu Kredit dalam Rangka Penggunaan Uang Persediaan. Pemanfaatan instrumen ini merupakan upaya Dirjen Perbendaharaan untuk melakukan simplifikasi dan modernisasi dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan, dan menyederhanakan pelaksanaan anggaran.
Penggunaan kartu kredit oleh pemerintah terlaksana melalui kerja sama antara Ditjen Perbendaharaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yakni Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. Tujuannya ialah untuk meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara nontunai dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan uang persediaan. Kartu kredit dapat digunakan oleh seluruh K/L untuk melakukan belanja operasional dan belanja perjalanan dinas.
Cita-cita menciptakan less cash society di birokrasi pemerintahan tampaknya menjadi salah satu isu sentral reformasi anggaran dan kebijakan era Presiden Jokowi dalam beberapa tahun terakhir. Jika ditelisik ke belakang, kebijakan penggunaan kartu kredit ini mengikuti sejumlah beleid nontunai yang telah diterbitkan sebelumnya. Misalnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 910/1866/SJ dan No 910/1867/SJ tentang Implementasi Transaksi Nontunai pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Beleid ini mewajibkan seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah ditransaksikan secara nontunai paling lambat 1 Januari 2018. Selain itu masih ada kebijakan penyaluran bansos secara nontunai untuk Program Keluarga Harapan mulai Juni 2017 dan kewajiban pembayaran nontunai di seluruh ruas jalan tol pada Oktober 2017.
Terbitnya sejumlah kebijakan non tunai oleh pemerintah tentu tidak terlepas dari semangat Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang diusung Bank Indonesia. Sejak dicanangkan pada Agustus 2014, Bank Indonesia gencar mengampanyekan pentingnya transaksi nontunai di seluruh daerah. Selain itu Bank Indonesia juga turut aktif untuk terus mendorong implementasi program elektronifikasi di lingkungan pemerintah daerah. Sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia percaya bahwa sistem pembayaran yang efisien dan efektif akan tercipta seiring dengan peningkatan transaksi nontunai oleh masyarakat.
Momentum Tepat
Dari sisi waktu, momentum penerbitan kebijakan penggunaan kartu kredit juga dinilai cukup tepat. Pasalnya Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Pejabat pemegang kartu kredit di setiap K/L kini tidak perlu lagi dipusingkan dengan banyaknya kartu kredit yang harus disimpan. Alasannya PBI ini mengatur seluruh transaksi pembayaran ritel domestik dijalankan secara interkoneksi (saling terhubung) dan interoperabilitas (saling dapat dioperasikan) antarkanal pembayaran di dalam negeri. Sederhananya pemilik toko tidak perlu menyediakan banyak mesin EDC dan konsumen tidak perlu menyimpan banyak kartu debit/kredit. Apa pun banknya, mesin dan kartunya tetap sama.
Pada tataran makroekonomi, terbitnya kebijakan penggunaan kartu kredit ini dapat mendorong tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia baru mencapai 67,82%. Artinya baru 67 orang dari 100 penduduk Indonesia memiliki akses terhadap produk dan jasa layanan keuangan formal. Melalui implementasi kebijakan tersebut, para pelaku usaha yang memiliki hubungan kerja sama dengan K/L dituntut untuk mulai membuka diri terhadap layanan jasa perbankan.
Di sisi lain, implementasi transaksi nontunai melalui penggunaan kartu kredit dipercaya sebagai salah satu solusi pencegahan korupsi dan kecurangan (fraud). Dengan pencatatan transaksi mutasi kas yang sistematis dan lengkap antara si pembayar dan penerima, ruang bagi oknum untuk melakukan penyalahgunaan juga akan semakin sempit. Pencatatan transaksi secara nontunai juga akan semakin memudahkan lembaga penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, kepolisian, dan PPATK dalam menjalankan tugasnya.
Kehadiran kebijakan ini juga menjadi angin segar bagi bisnis kartu kredit perbankan. Terang saja semakin besar transaksi kartu kredit, semakin besar pula fee based income yang diperoleh bank. Bank Indonesia mencatat total nominal transaksi kartu kredit sepanjang tahun 2017 mencapai Rp297,76 triliun atau tumbuh 5,96% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam jangka menengah pendek, diharapkan kebijakan penggunaan kartu kredit ini tidak hanya berhenti hingga tingkat K/L saja. Cakupan kebijakan ini seyogianya diperluas hingga ke tingkat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu kerja sama dengan perbankan juga sebaiknya tidak hanya menjadi hak eksklusif Bank BUMN saja, tetapi juga merangkul Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat yang telah menjadi penerbit kartu kredit.
Meskipun menjanjikan sejumlah kelebihan, implementasi kebijakan ini kemungkinan akan mendapat tantangan utama dari paradigma atau kebiasaan lama masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2013 menunjukkan masih tingginya transaksi tunai masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Sebagai perbandingan, 55,5% transaksi eceran di Singapura dilakukan secara tunai, jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang mencapai 99,5%. Jumlah ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Thailand (97%) dan Malaysia (92%). Oleh karena itu sosialisasi dan edukasi akan berperan penting sebagai kunci untuk menyukseskan kebijakan ini.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja.
(pur)