Logika Absurd ala Amina Wadud
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
AMINA Wadud (tokoh liberal yang juga guru besar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat) pada 2005 membuat kontroversi. Ia menjadi imam salat Jumat di St John the Divine, New York. Yang menjadi makmumnya terdiri atas wanita dan pria (berjumlah sekitar 100 orang). Perilaku Amina Wadud dengan cepat menyulut kecaman keras dari ulama di dunia Islam. Sebelumnya tiga masjid menolak untuk dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat yang akan diimami Amida Wadud. Juga sebuah museum yang pada mulanya setuju dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat yang akan diimami Amina Wadud membatalkan diri karena ancaman bom. Pada 2008 Amina lagi-lagi secara demonstratif menjadi imam salat Jumat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford (Inggris).
Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat terjadi juga di Masjid Ibn Rushd Goethe di Berlin, Jerman. Di masjid ini jamaah pria dan wanita melaksanakan salat Jumat secara berdampingan di saf yang sama. Kasus sangat tidak lazim ini juga menuai kecaman keras dari kalangan ulama. Masjid Ibn Rushd Goethe mulai dipakai pada 16 Juni 2017 dan diklaim sebagai tempat bagi kelompok muslim “liberal”. Pengelola masjid, Syeran Ates (keturunan Turki), mengatakan bahwa kaum pria, wanita, lesbian-gay-biseksual-transgender (LGBT), sunni dan syiah disambut baik tanpa prasangka. Tapi wanita yang memakai burka tidak diterima di masjid tersebut.
Di Kerala (India selatan), Jamida K mengimami salat Jumat yang dilaksanakan di kantor organisasi Quran Sunnath Society. Makmumnya terdiri atas pria dan wanita yang berjumlah sekitar 50 orang. Karena ulah kontroversialnya, Jamida mendapat ancaman pembunuhan dengan tuduhan melakukan penistaan agama. Jamida berkilah dirinya sebenarnya mengikuti ajaran Alquran yang mengajarkan kesetaraan gender yang tidak membedakan pria dan wanita, termasuk kesetaraan menjadi imam salat. Quran Sunnath Society (organisasi tempat Jamida berkiprah) didirikan oleh Chekannur Moulavi (ilmuwan muslim radikal) yang diyakini dibunuh setelah menghilang secara misterius pada 1993.
Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat dengan makmum pria dan wanita merupakan kontroversi dilihat dari perspektif hukum Islam. Yang sah menurut syariat, pria menjadi imam salat (salat fardu/lima waktu dan salat Jumat), makmumnya bisa pria semua atau sebagiannya wanita. Atau perempuan menjadi imam salat fardu (lima waktu) dan makmumnya perempuan semua. Biasanya alasan yang dikemukakan perempuan yang menjadi imam salat Jumat itu adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender dipahami menurut “logika” hukum dan rekayasa penalaran mereka sendiri, bukan kesetaraan gender yang sesuai dengan visi hukum Islam.
Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan organisasi keagamaan yang pengurus dan anggotanya terdiri atas para ulama dan pakar keilmuan yang otoritas mereka tidak dapat diragukan. Para ulama dan pakar dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian mendalam dengan menggunakan metode ijtihad dan peralatan intelektual untuk menetapkan hukum bagi perkara yang hukumnya tidak secara eksplisit tercantum dalam Alquran dan Sunah Nabi. Dalam musyawarah nasionalnya ketujuh (26-29 Juli 2005), MUI mengeluarkan Fatwa No: 9/MUNASVII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Salat.
Dalam merumuskan fatwanya, MUI memakai dalil Alquran, Sunah Rasul, ijmak ulama, dan kaidah-kaidah fikih. MUI antara lain merujuk firman Allah (QS An-Nisa: 34): “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita).” Hadis yang dirujuk MUI antara lain, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki,” dan sabda Nabi yang menyatakan, “Melaksanakan salat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.”
MUI juga merujuk ijmak sahabat yang sepakat mengatakan, tidak pernah ada wanita menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. Para sahabat juga berijmak bahwa wanita boleh menjadi imam salat yang makmumnya hanya wanita seperti yang dilakukan Aisyah dan Ummu Salamah. Berdasarkan kajian terhadap kitab Tuhfah a l-Ahwazi (karya Al-Mubarakfuri), kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmuí Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah), MUI menyimpulkan sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada wanita menjadi imam salat yang makmumnya terdiri atas pria dan wanita. Komisi Fatwa MUI menyimpulkan, haram hukumnya dan tidak sah wanita menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. MUI menambahkan, mubah hukumnya bagi wanita menjadi imam salat yang makmumnya sama-sama wanita.
Allah Tidak Diskriminatif
Secara umum, aturan hukum Allah sama bagi pria dan wanita, tetapi ada beberapa aturan hukum yang berbeda. Saya percaya Allah sama sekali tidak melakukan diskriminasi gender terhadap perempuan dengan tidak membolehkan atau melarang perempuan menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. Analog dengan ini, misalnya, aturan pembagian warisan yang tidak sama untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki memperoleh 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Perempuan tidak wajib mengerjakan salat Jumat, sedangkan laki-laki wajib. Aurat perempuan berbeda dengan aurat pria. Perempuan dilarang mengerjakan salat ketika mengalami haid dan tidak wajib mengganti salat yang ditinggalkan. Allah sepenuhnya punya hak dan otoritas mutlak membuat beberapa aturan hukum tertentu bagi perempuan dengan segala hikmah dan kemaslahatan bagi perempuan itu sendiri.
Sikap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan menaati perintah-Nya) tidak tecermin pada diri Amina Wadud dan perempuan yang sepaham dengannya. “Logika” hukum ala Amina Wadud (dan perempuan yang sepaham dengannya) bahwa wanita boleh atau dapat menjadi imam salat (Jumat) dengan makmum pria dan wanita—karena alasan kesetaraan gender, inklusivisme, persamaan di muka hukum, atau alasan-alasan lain yang direkayasa—telah menabrak logika hukum Allah. Logika hukum ala Amida Wadud sangat nyeleneh, absurd, distortif, dan tidak syari.
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
AMINA Wadud (tokoh liberal yang juga guru besar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat) pada 2005 membuat kontroversi. Ia menjadi imam salat Jumat di St John the Divine, New York. Yang menjadi makmumnya terdiri atas wanita dan pria (berjumlah sekitar 100 orang). Perilaku Amina Wadud dengan cepat menyulut kecaman keras dari ulama di dunia Islam. Sebelumnya tiga masjid menolak untuk dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat yang akan diimami Amida Wadud. Juga sebuah museum yang pada mulanya setuju dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat yang akan diimami Amina Wadud membatalkan diri karena ancaman bom. Pada 2008 Amina lagi-lagi secara demonstratif menjadi imam salat Jumat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford (Inggris).
Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat terjadi juga di Masjid Ibn Rushd Goethe di Berlin, Jerman. Di masjid ini jamaah pria dan wanita melaksanakan salat Jumat secara berdampingan di saf yang sama. Kasus sangat tidak lazim ini juga menuai kecaman keras dari kalangan ulama. Masjid Ibn Rushd Goethe mulai dipakai pada 16 Juni 2017 dan diklaim sebagai tempat bagi kelompok muslim “liberal”. Pengelola masjid, Syeran Ates (keturunan Turki), mengatakan bahwa kaum pria, wanita, lesbian-gay-biseksual-transgender (LGBT), sunni dan syiah disambut baik tanpa prasangka. Tapi wanita yang memakai burka tidak diterima di masjid tersebut.
Di Kerala (India selatan), Jamida K mengimami salat Jumat yang dilaksanakan di kantor organisasi Quran Sunnath Society. Makmumnya terdiri atas pria dan wanita yang berjumlah sekitar 50 orang. Karena ulah kontroversialnya, Jamida mendapat ancaman pembunuhan dengan tuduhan melakukan penistaan agama. Jamida berkilah dirinya sebenarnya mengikuti ajaran Alquran yang mengajarkan kesetaraan gender yang tidak membedakan pria dan wanita, termasuk kesetaraan menjadi imam salat. Quran Sunnath Society (organisasi tempat Jamida berkiprah) didirikan oleh Chekannur Moulavi (ilmuwan muslim radikal) yang diyakini dibunuh setelah menghilang secara misterius pada 1993.
Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat dengan makmum pria dan wanita merupakan kontroversi dilihat dari perspektif hukum Islam. Yang sah menurut syariat, pria menjadi imam salat (salat fardu/lima waktu dan salat Jumat), makmumnya bisa pria semua atau sebagiannya wanita. Atau perempuan menjadi imam salat fardu (lima waktu) dan makmumnya perempuan semua. Biasanya alasan yang dikemukakan perempuan yang menjadi imam salat Jumat itu adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender dipahami menurut “logika” hukum dan rekayasa penalaran mereka sendiri, bukan kesetaraan gender yang sesuai dengan visi hukum Islam.
Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan organisasi keagamaan yang pengurus dan anggotanya terdiri atas para ulama dan pakar keilmuan yang otoritas mereka tidak dapat diragukan. Para ulama dan pakar dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian mendalam dengan menggunakan metode ijtihad dan peralatan intelektual untuk menetapkan hukum bagi perkara yang hukumnya tidak secara eksplisit tercantum dalam Alquran dan Sunah Nabi. Dalam musyawarah nasionalnya ketujuh (26-29 Juli 2005), MUI mengeluarkan Fatwa No: 9/MUNASVII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Salat.
Dalam merumuskan fatwanya, MUI memakai dalil Alquran, Sunah Rasul, ijmak ulama, dan kaidah-kaidah fikih. MUI antara lain merujuk firman Allah (QS An-Nisa: 34): “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita).” Hadis yang dirujuk MUI antara lain, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki,” dan sabda Nabi yang menyatakan, “Melaksanakan salat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.”
MUI juga merujuk ijmak sahabat yang sepakat mengatakan, tidak pernah ada wanita menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. Para sahabat juga berijmak bahwa wanita boleh menjadi imam salat yang makmumnya hanya wanita seperti yang dilakukan Aisyah dan Ummu Salamah. Berdasarkan kajian terhadap kitab Tuhfah a l-Ahwazi (karya Al-Mubarakfuri), kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmuí Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah), MUI menyimpulkan sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada wanita menjadi imam salat yang makmumnya terdiri atas pria dan wanita. Komisi Fatwa MUI menyimpulkan, haram hukumnya dan tidak sah wanita menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. MUI menambahkan, mubah hukumnya bagi wanita menjadi imam salat yang makmumnya sama-sama wanita.
Allah Tidak Diskriminatif
Secara umum, aturan hukum Allah sama bagi pria dan wanita, tetapi ada beberapa aturan hukum yang berbeda. Saya percaya Allah sama sekali tidak melakukan diskriminasi gender terhadap perempuan dengan tidak membolehkan atau melarang perempuan menjadi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. Analog dengan ini, misalnya, aturan pembagian warisan yang tidak sama untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki memperoleh 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Perempuan tidak wajib mengerjakan salat Jumat, sedangkan laki-laki wajib. Aurat perempuan berbeda dengan aurat pria. Perempuan dilarang mengerjakan salat ketika mengalami haid dan tidak wajib mengganti salat yang ditinggalkan. Allah sepenuhnya punya hak dan otoritas mutlak membuat beberapa aturan hukum tertentu bagi perempuan dengan segala hikmah dan kemaslahatan bagi perempuan itu sendiri.
Sikap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan menaati perintah-Nya) tidak tecermin pada diri Amina Wadud dan perempuan yang sepaham dengannya. “Logika” hukum ala Amina Wadud (dan perempuan yang sepaham dengannya) bahwa wanita boleh atau dapat menjadi imam salat (Jumat) dengan makmum pria dan wanita—karena alasan kesetaraan gender, inklusivisme, persamaan di muka hukum, atau alasan-alasan lain yang direkayasa—telah menabrak logika hukum Allah. Logika hukum ala Amida Wadud sangat nyeleneh, absurd, distortif, dan tidak syari.
(pur)