Problematika Otonomi Daerah Zaman Now!
A
A
A
Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan bertanggung jawab merupakan kehendak dari amandemen Konstitusi yang lahir dari rahim reformasi. Otonomi daerah dinasbihkan sebagai obat mujarab bagi Ibu Pertiwi yang telah dicederai oleh kezaliman pemerintahan otoritarian Orde Baru.
Kini 20 tahun setelah reformasi bergulir, saatnya kita merenung dan berefleksi. Apakah tujuan mulia otonomi daerah telah tercapai? Tulisan ini merupakan sebuah refleksi mengenai berbagai permasalahan dalam otonomi daerah yang oleh kawula muda dilabeli sebagai otonomi daerah zaman now.
Tujuan Mulia Otonomi Daerah
Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari dua kata, yaitu otonomi dan daerah. Dalam terminologi Yunani, otonomi sendiri berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti ”sendiri” dan namos yang artinya ”aturan” atau ”undang-undang”. Dengan demikian, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.
Pengertian tersebut diamini oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendefinisian di atas kian menegaskan bahwa otonomi daerah memiliki makna dan tujuan mulia. Dalam otonomi daerah, ada gelora demokrasi yang dikibarkan melalui penyerahan dan pelimpahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Semangat otonomi daerah adalah semangat pemberdayaan daerah-daerah yang acap terlupakan dan terabaikan oleh lingkaran kekuasaan. Otonomi daerah diharapkan bisa mendorong lahirnya para elite birokrat yang profesional, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Semua itu pada akhirnya bermuara pada satu tujuan, yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Raja Kecil, Fenomena Otonomi Daerah Zaman Now?
Pelaksanaan otonomi daerah ternyata tidak semulus dan seindah janji yang ditawarkan. Malah, terkuak aroma tak sedap yang begitu menyengat. Pelaksanaan otonomi daerah ternyata telah digerogoti dengan perilaku dan tindakan yang korup dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Tengok saja statistik dan angka-angka, berapa banyak kepala daerah, anggota DPRD, dan pejabat pemerintahan daerah lainnya terjerat kasus korupsi?
Otonomi daerah seolah membuahkan konsekuensi tidak terduga yang menyimpang dari tujuan mulia pembentukannya. Bayangkan, alih-alih meningkatkan kesejahteraan daerah dan masyarakat, otonomi daerah justru berkembang menjadi lumbung padi bagi para tikus berdasi.
Di era otonomi daerah zaman now, kita melihat bermunculan raja-raja kecil di daerah yang tamak dan haus akan uang serta tampuk kekuasaan.
Para pengusaha, birokrat, dan politisi berlomba-lomba menguasai jabatan strategis dan membangun dinasti politik di daerahnya. Akibatnya, bermunculan fenomena kepala daerah yang tidak kompeten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada publik.
Munculnya raja-raja kecil di daerah juga semakin menegaskan ada permasalahan serius dalam pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini.
Raja-raja kecil ini juga menunjukkan sikap dan perilaku kurang menghargai dan patuh terhadap kewibawaan pemerintah pusat dan norma hukum. Bagaimana tidak? Banyak dari pejabat daerah yang memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya secara melawan hukum.
Berbagai korupsi berjamaah atas dana APBD, jual beli izin, hingga suap berbagai proyek pembangunan daerah, seakan menjadi ciri khas dari otonomi daerah zaman now. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai celah hukum dan birokrasi yang tidak memenuhi standar good governance.
Padahal hukum sejatinya harus berperan menjadi alat pembaruan sosial dalam masyarakat atau a tool of social engineering, sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound. Hukum diharapkan bisa mengubah nilai-nilai sosial untuk dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang madani dan sejahtera. Hal ini seharusnya menjadi semangat dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan menjadi pedoman bagi para pemimpin di negeri ini.
Perubahan sosial harusnya menjadi landasan utama bagi para raja kecil di daerah ini dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Sayangnya, pemikiran Pound tidak mengalir dalam pikiran dan darah raja-raja kecil ini. Sebab mereka hanya fokus bagaimana merampok dan mencuri uang daerah serta negara yang seyogianya dijaga dengan baik.
Berkaca dari semua itu, sepertinya kita harus mengatakan otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keberwakilan, baik dalam hubungan pusat dan daerah maupun dalam pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Otonomi daerah hakikatnya dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan membangun daerah sesuai dengan potensinya.
Kenyataan menunjukkan pelayanan publik masih jauh dari baik. Kesejahteraan pun belum merata. Apakah ini yang diharapkan dari otonomi daerah sebagai manifestasi dari ruh reformasi dan kaidah konstitusi?
Pilkada Serentak dan Pembenahan Otonomi Daerah
Berbagai persoalan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut perlu segera dibenahi pemerintah. Pembenahan perlu dilakukan sebab kesiapan, kemampuan, dan kapasitas daerah belum maksimal dan masih menyiratkan kelemahan. Sejumlah kelemahan itu melahirkan ruang-ruang korup dan ekses-ekses yang merugikan. Hal ini setidaknya terlihat dari banyaknya kepala daerah yang justru masuk penjara akibat perilaku melanggar hukum.
Pelaksanaan otonomi daerah perlu dimaksimalkan dan diawasi secara holistik agar bisa memberikan manfaat bagi daerah. Harus ada penataan ulang terhadap berbagai regulasi pelaksanaan otonomi daerah mulai dari undang-undang sampai pada tataran peraturan menteri.
Melalui penataan regulasi, pemerintah harus membentuk dan membangun tata kelola pemerintahan yang baik, efektif, efisien, bersih, berwibawa, taat pada hukum, dan melayani masyarakat di daerah. Hal ini tentu sejalan dan senada dengan semangat reformasi birokrasi.
Selain pengawasan dan regulasi, pembangunan mental di daerah juga perlu dilakukan guna memaksimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak luput juga pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang bersih dan jujur agar bisa menghasilkan para elite birokrat daerah yang dapat mengimplementasikan nilai, prinsip, dan tujuan otonomi daerah sesungguhnya.
Pelaksanaan pilkada serentak yang telah dimulai secara bertahap sejak 2015 memberikan sebuah harapan akan adanya pembenahan dalam pelaksanaan pemilihan daerah. Namun, meski berjalan relatif lancar, pilkada serentak juga tidak luput dari cela dan permasalahan. Beberapa permasalahan dalam pilkada serentak penting untuk menjadi catatan dan bahan evaluasi bagi pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.
Profesionalitas manajemen pilkada yang mencakup masalah pemutakhiran data pemilih, pencalonan, dan distribusi logistik menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan diselesaikan. Data tidak akurat selalu menjadi permasalahan yang kerap berulang dan berujung pada konflik. Selain itu, integritas dan kemandirian penyelenggara pilkada harus benar-benar dijaga untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas.
Persoalan kerangka hukum pilkada juga harus menjadi perhatian serius dan segera diselesaikan. Pemerintah perlu mengantisipasi dan membuat rambu-rambu hukum untuk mencegah potensi terjadinya konflik horizontal sebagai akibat dari pilkada serentak. Kerangka hukum yang baik akan memberikan kepastian dalam penyelenggaraan pilkada yang aman, adil, dan demokratis.
Kini 20 tahun setelah reformasi bergulir, saatnya kita merenung dan berefleksi. Apakah tujuan mulia otonomi daerah telah tercapai? Tulisan ini merupakan sebuah refleksi mengenai berbagai permasalahan dalam otonomi daerah yang oleh kawula muda dilabeli sebagai otonomi daerah zaman now.
Tujuan Mulia Otonomi Daerah
Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari dua kata, yaitu otonomi dan daerah. Dalam terminologi Yunani, otonomi sendiri berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti ”sendiri” dan namos yang artinya ”aturan” atau ”undang-undang”. Dengan demikian, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.
Pengertian tersebut diamini oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendefinisian di atas kian menegaskan bahwa otonomi daerah memiliki makna dan tujuan mulia. Dalam otonomi daerah, ada gelora demokrasi yang dikibarkan melalui penyerahan dan pelimpahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Semangat otonomi daerah adalah semangat pemberdayaan daerah-daerah yang acap terlupakan dan terabaikan oleh lingkaran kekuasaan. Otonomi daerah diharapkan bisa mendorong lahirnya para elite birokrat yang profesional, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Semua itu pada akhirnya bermuara pada satu tujuan, yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Raja Kecil, Fenomena Otonomi Daerah Zaman Now?
Pelaksanaan otonomi daerah ternyata tidak semulus dan seindah janji yang ditawarkan. Malah, terkuak aroma tak sedap yang begitu menyengat. Pelaksanaan otonomi daerah ternyata telah digerogoti dengan perilaku dan tindakan yang korup dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Tengok saja statistik dan angka-angka, berapa banyak kepala daerah, anggota DPRD, dan pejabat pemerintahan daerah lainnya terjerat kasus korupsi?
Otonomi daerah seolah membuahkan konsekuensi tidak terduga yang menyimpang dari tujuan mulia pembentukannya. Bayangkan, alih-alih meningkatkan kesejahteraan daerah dan masyarakat, otonomi daerah justru berkembang menjadi lumbung padi bagi para tikus berdasi.
Di era otonomi daerah zaman now, kita melihat bermunculan raja-raja kecil di daerah yang tamak dan haus akan uang serta tampuk kekuasaan.
Para pengusaha, birokrat, dan politisi berlomba-lomba menguasai jabatan strategis dan membangun dinasti politik di daerahnya. Akibatnya, bermunculan fenomena kepala daerah yang tidak kompeten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada publik.
Munculnya raja-raja kecil di daerah juga semakin menegaskan ada permasalahan serius dalam pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini.
Raja-raja kecil ini juga menunjukkan sikap dan perilaku kurang menghargai dan patuh terhadap kewibawaan pemerintah pusat dan norma hukum. Bagaimana tidak? Banyak dari pejabat daerah yang memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya secara melawan hukum.
Berbagai korupsi berjamaah atas dana APBD, jual beli izin, hingga suap berbagai proyek pembangunan daerah, seakan menjadi ciri khas dari otonomi daerah zaman now. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai celah hukum dan birokrasi yang tidak memenuhi standar good governance.
Padahal hukum sejatinya harus berperan menjadi alat pembaruan sosial dalam masyarakat atau a tool of social engineering, sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound. Hukum diharapkan bisa mengubah nilai-nilai sosial untuk dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang madani dan sejahtera. Hal ini seharusnya menjadi semangat dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan menjadi pedoman bagi para pemimpin di negeri ini.
Perubahan sosial harusnya menjadi landasan utama bagi para raja kecil di daerah ini dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Sayangnya, pemikiran Pound tidak mengalir dalam pikiran dan darah raja-raja kecil ini. Sebab mereka hanya fokus bagaimana merampok dan mencuri uang daerah serta negara yang seyogianya dijaga dengan baik.
Berkaca dari semua itu, sepertinya kita harus mengatakan otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keberwakilan, baik dalam hubungan pusat dan daerah maupun dalam pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Otonomi daerah hakikatnya dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan membangun daerah sesuai dengan potensinya.
Kenyataan menunjukkan pelayanan publik masih jauh dari baik. Kesejahteraan pun belum merata. Apakah ini yang diharapkan dari otonomi daerah sebagai manifestasi dari ruh reformasi dan kaidah konstitusi?
Pilkada Serentak dan Pembenahan Otonomi Daerah
Berbagai persoalan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut perlu segera dibenahi pemerintah. Pembenahan perlu dilakukan sebab kesiapan, kemampuan, dan kapasitas daerah belum maksimal dan masih menyiratkan kelemahan. Sejumlah kelemahan itu melahirkan ruang-ruang korup dan ekses-ekses yang merugikan. Hal ini setidaknya terlihat dari banyaknya kepala daerah yang justru masuk penjara akibat perilaku melanggar hukum.
Pelaksanaan otonomi daerah perlu dimaksimalkan dan diawasi secara holistik agar bisa memberikan manfaat bagi daerah. Harus ada penataan ulang terhadap berbagai regulasi pelaksanaan otonomi daerah mulai dari undang-undang sampai pada tataran peraturan menteri.
Melalui penataan regulasi, pemerintah harus membentuk dan membangun tata kelola pemerintahan yang baik, efektif, efisien, bersih, berwibawa, taat pada hukum, dan melayani masyarakat di daerah. Hal ini tentu sejalan dan senada dengan semangat reformasi birokrasi.
Selain pengawasan dan regulasi, pembangunan mental di daerah juga perlu dilakukan guna memaksimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak luput juga pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang bersih dan jujur agar bisa menghasilkan para elite birokrat daerah yang dapat mengimplementasikan nilai, prinsip, dan tujuan otonomi daerah sesungguhnya.
Pelaksanaan pilkada serentak yang telah dimulai secara bertahap sejak 2015 memberikan sebuah harapan akan adanya pembenahan dalam pelaksanaan pemilihan daerah. Namun, meski berjalan relatif lancar, pilkada serentak juga tidak luput dari cela dan permasalahan. Beberapa permasalahan dalam pilkada serentak penting untuk menjadi catatan dan bahan evaluasi bagi pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.
Profesionalitas manajemen pilkada yang mencakup masalah pemutakhiran data pemilih, pencalonan, dan distribusi logistik menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan diselesaikan. Data tidak akurat selalu menjadi permasalahan yang kerap berulang dan berujung pada konflik. Selain itu, integritas dan kemandirian penyelenggara pilkada harus benar-benar dijaga untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas.
Persoalan kerangka hukum pilkada juga harus menjadi perhatian serius dan segera diselesaikan. Pemerintah perlu mengantisipasi dan membuat rambu-rambu hukum untuk mencegah potensi terjadinya konflik horizontal sebagai akibat dari pilkada serentak. Kerangka hukum yang baik akan memberikan kepastian dalam penyelenggaraan pilkada yang aman, adil, dan demokratis.
(nag)