Birokrasi Pro-Korupsi

Senin, 26 Februari 2018 - 09:00 WIB
Birokrasi Pro-Korupsi
Birokrasi Pro-Korupsi
A A A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Di tahun 2017 ada belasan bupati dan wali kota yang diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena memperdagangkan jabatan. Belum lagi puluhan anggota DPRD kabupaten/kota ikut dijaring KPK karena menilap uang daerah. Pemandangan ironis kembali terulang di 2018. Sampai Februari, tercatat 6 bupati yang terjerat operasi tangkap tangan KPK. Selain itu masih ada Gubernur Jambi Zumi Zola yang kini menjadi tersangka korupsi karena gratifikasi pembahasan APBD.

Ibarat drama, ini hanya satu penggalan dari episode korupsi yang semakin menggurita di bumi pertiwi ini. Kisah ini juga mampu mendeskripsikan betapa besar tantangan bangsa ini karena dikelola dan dibajak oleh pejabat yang nihil amanah. Karena itu harus dikatakan bahwa korupsi masih menjadi tantangan dan hambatan rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertanyaan kemudian adalah mengapa masalah seperti ini masih saja terjadi?

Besarnya Kekuasaan

Charled Louis de Secondat Baron de la Montesqieu atau yang akrab dengan sapaan Montesqieu dalam Le Espirit des Lois yang diterjemahkan sebagai The Spririt of Lawmenyebut bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan. Dalam konteks inilah sering terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Kekuasaan yang besar memang membawa risiko di mana pemangku kuasa kadang kala bertindak tanpa kontrol yang memadai. Sang pejabat lupa bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah yang bertalian dengan hajat hidup orang banyak. Ketika ia tidak amanah maka ini akan membawa malapetaka. Banyak kepentingan publik yang terabaikan sehingga menimbulkan kemelaratan secara struktural.

Kekuasaan seharusnya diimbangi dengan kontrol yang mutlak. Jika tidak, sama saja membiarkan korupsi merajalela. Atas dasar inilah seorang sejarawan bernama Lord Acton berkata: power tends to corrupt and absolute power to corrupt absolutely. Setiap kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang mutlak, korupsinya juga mutlak.

Korupsi yang melibatkan bupati/wali kota dan gubernur, sesungguhnya adalah wujud nyata betapa kekuasaan besar, yang tidak terawasi dengan baik akan mudah disalahgunakan. Karenanya harapan untuk menciptakan daerah bebas korupsi dapat saja berganti menjadi daerah korupsi atau citta corrattisma oleh Nicolo Machiaveli (Il Principle-The Prince:1980).

Tingginya Biaya Politik
Dalam setiap kontestasi politik seperti pilkada, baik bupati/wali kota maupun gubernur, hal yang tidak dapat dihindari adalah mahalnya biaya politik yang harus dibayar. Seorang calon kepala daerah mesti mempersenjatai diri dengan uang puluhan miliar rupiah sebab mesti mendanai banyak hal. Mulai dari urusan pintu dengan partai politik; tim pemenangan dan sewa sekertariat; biaya kampanye; konsultan politik dan tim survei; membagi-bagikan uang saat pemilihan berlangsung hingga masalah penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga butuh biaya. Maka ketika ia terpilih hal pertama yang terbersit di benaknya adalah bagaimana mengembalikan modal dan membayar utangnya.

Mahalnya biaya yang harus dibayar dalam proses politik tersebut oleh Susan Rose-Ackerman, seorang ahli hukum dan ilmu politik di Yale University, dalam Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, dianggapnya sebagai salah satu stimulan terjadinya korupsi di pemerintahan. Sebab seorang yang telah memenangkan pilkada akan mengumpulkan pundi-pundi bagi dirinya sendiri atau rezimnya sebagai balasan atas besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan (2000:161).

Atas dasar itulah dalam Background Paper Declaration of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru, pada tanggal 7-11 September 1997, korupsi dianggap merusak demokrasi. Mengapa bisa dikatakan demikian? Sudah jadi rahasia umum, isu money politic selalu mengemuka dalam pemilihan pejabat publik di Indonesia, mulai dari pemilihan kepala desa sampai pada pemilihan presiden, tidak ketinggalan pemilihan ketua umum partai politik. Imbasnya tidak jarang di antara mereka yang terpilih malah terjerat praktik korupsi.

Selain itu kita juga tidak bisa menutup mata bahwa penyebab korupsi yang lain adalah masalah integritas. Hal ini dibenarkan oleh Syed Hussain Alatas dalam Corruption: Its Nature, Causes and Functions (1990:22) yang menyebut corruption by greed atau korupsi karena kerakusan. Maka berapa pun gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya tidak akan pernah dirasa cukup sebab hanya memenuhi hasrat nafsu belaka.

Lemahnya Pengawasan
Berbicara tentang korupsi (baca: jual beli jabatan) di sektor pemerintahan, tidaklah dapat dilepaskan dari aspek pengawasan. Bertalian dengan itu, di Indonesia paling tidak pengawasannya dilakukan oleh enam lembaga, yakni inspektorat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.

Meskipun demikian, semakin banyak lembaga yang mengawasi, kelihatannya semakin kurang efektif. Selain karena tumpang tindihnya kewenangan antara lembaga, terjadi pula disharmoni koordinasi sehingga terkesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri.

Mengenai hasil penilaian BPK berupa wajar tanpa pengecualian (WTP) misalnya, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam salah satu risetnya memaparkan bahwa, selama ini ada semacam mitos terjadi jual beli predikat WTP antara auditor BPK dengan pihak pemerintah daerah. Indikasi ini, menemukan pembenaran empirik ketika KPK melakukan OTT kepada dua auditor BPK, pejabat eselon III dan seorang Irjen dari Kementerian Desa, pada bulan Mei 2017. Saat itu KPK mengendus dugaan suap terkait pemberian predikat WTP BPK terhadap laporan keuangan Kemendes. Meskipun begitu tidak berarti semua auditor BPK bermasalah.

Kembali pada lemahnya pengawasan, saya berpandangan bahwa khusus di pemerintah daerah, seharusnya yang dimaksimalkan adalah inspektorat selaku pengawas internal dan melekat pada masing-masing daerah. Masalahnya kemudian adalah selama ini, pengawas internal tidak bekerja maksimal sebab secara struktural ia berada di bawah kendali bupati atau wali kota. Sehingga setiap kali ada temuan sudah pasti akan dikoordinasikan dengan atasannya. Dengan begitu, sulit mengharapkan produknya jauh dari intervensi, jujur dan akuntabel.

Posisi inspektorat perlu ditinjau kembali oleh Kementerian Dalam Negeri. Sebab jika ia masih di bawah kuasa bupati atau wali kota maka pekerjaan yang dihasilkannya akan positif. Padahal fakta-fakta di lapangan bisa saja berbeda. Harus ada upaya untuk menempatkan inspektorat tidak berada di bawah bupati atau wali kota. Setidak-tidaknya sejajar dengan kepala daerah sehingga tidak mudah diintervensi.

Karenanya kita berharap agar Presiden Jokowi melalui Mendagri mampu membuat peraturan yang jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) terkait dengan posisi inspektorat ini, sehingga tidak lagi terjadi pelemahan secara sistematis dalam pengawasan kebijakan dan keuangan daerah. Demikian pula partai politik harus tetap didorong agar menjadi pilar demokrasi yang sehat sehingga akselerasinya mampu menghasilkan kepala daerah yang berintegritas. Dengan begitu kita dapat mengucapkan selamat tinggal pada korupsi dan selamat datang rakyat sejahtera.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6685 seconds (0.1#10.140)