Genjot Pajak, Menekan Utang
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
ANEKDOT yang tengah tumbuh di kalangan masyarakat bahwa sekarang ini pemerintah dianggap suka berburu binatang di kebun binatang. Jika kita menengok sejenak bagaimana cara kerja pemerintah di sektor perpajakan, mungkin kiasan ini dapat kita benarkan. Skema kebijakan pemerintah cenderung tidak berimbang antara effort untuk melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pajak.
Pemerintah dinilai pragmatis karena dianggap hanya mengeksploitasi para wajib pajak (WP) yang tergolong tertib. Sedangkan dari sisi ekstentifikasi belum ada kabar yang menunjukkan bagaimana realisasi kinerja praktisnya.
Beban pendapatan pajak pemerintah memang sangat besar untuk menutupi kebutuhan satu tahun anggaran. Selain untuk mengakselerasi pembangunan melalui belanja pemerintah pusat dan dana transfer ke daerah dan desa (TKDD), pemerintah juga terbebani untuk melunasi jatuh tempo utang-utangnya.
Target pembangunan yang cukup tinggi menuntut adanya pendanaan yang cukup besar, sehingga penerbitan obligasi dilakukan secara rutin. Per 31 Januari 2018 kemarin posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp3.958,66 triliun atau sekitar 29,1% terhadap PDB.
Tahun ini profil jatuh tempo utang pemerintah sudah mencapai Rp390 triliun. Jika dirasiokan terhadap belanja APBN 2018 yang ditargetkan sebesar Rp2.220,7 triliun, beban pelunasan kita sudah sekitar 17,56% dari total belanja.
Jatuh tempo utang sudah turut menggorogoti kemampuan belanja kita. Bahkan jumlahnya di tahun depan lebih membengkak lagi hingga menjadi Rp410 triliun.
Memang utang dalam jangka pendek telah menyelamatkan wajah pemerintah pusat atas potensi kegagalan pembiayaan. Akan tetapi bisa kita lihat bagaimana potensi negatifnya terhadap kesehatan keuangan negara.
Apalagi belum ada tanda-tanda bahwa kebijakan utang betul-betul telah menyelamatkan kita dari ancaman kegagalan pembangunan. Karena dari sisi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak tidak mengalami perkembangan seperti yang diharapkan.
Kualitas Penganggaran
Jumlah utang tahun ini diperkirakan masih akan terus meningkat seiring dengan target pembiayaan atas defisit APBN sekitar Rp325,9 triliun atau 2,19% dari PDB. Seyogyanya sudah saatnya pemerintah betul-betul meninjau sudah sejauh mana manfaat dari kebijakan utang.
Jangan sampai pemerintah hanya sekadar gali lubang tutup lubang melalui utang. Sebab utang akan semakin membuat lubang kian menganga karena adanya tambahan beban bunga dari utang yang didapat.
Solusinya, tingkat kemandirian pembiayaan pemerintah melalui kantong-kantong pendapatan negara harus terus digenjot. Hingga detik ini instrumen pendapatan terbesarnya masih berasal dari penerimaan pajak.
Tren realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya memang terus meningkat. Akan tetapi proses pengelolaannya belum sepadan dengan potensi yang seharusnya diterima.
Rasio penerimaan pajak kita di tahun 2017 masih tertahan di kisaran 9,85% terhadap PDB 2017. Pemerintah tampaknya seperti biasa masih cenderung optimistis bahwa tahun ini kinerja perpajakan akan lebih baik.
Kinerja perpajakan di Januari 2018 dianggap sebagai gejala positifnya. Memang realisasi pajak di awal tahun ini lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, yakni Rp78,94 triliun berbanding Rp70,56 triliun.
Angka pertumbuhannya juga disebut-sebut sebagai yang tertinggi dibandingkan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 11,17%. Akan tetapi perlu diingat ini baru di awal tahun. Masih banyak tantangan hingga penghujung tahun sehingga tidak ada waktu lagi untuk lengah.
Pemerintah juga jangan sampai lengah untuk menjaga kualitas belanjanya. Perlu dipertimbangkan lagi bagaimana manajemen belanja yang efektif agar keberhasilannya bisa kian dioptimalkan. Keberhasilan belanja dapat diukur minimal dari sisi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan penerimaan pajak.
Nah kendala struktural dalam perencanaan dan penganggaran sendiri masih sering menggelayuti. Tahun kemarin Menteri Keuangan mencatat sedikitnya terjadi sekitar 52.400 revisi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) di level pemerintah pusat.
Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak unsur pemerintah yang belum cakap dalam perencanaan anggaran. Ada indikasi bahwa yang penting anggaran dialokasikan dulu baru nanti dipikirkan bagaimana realisasinya. Persoalan penganggaran seperti ini yang bisa menjadi bumerang sehingga melimpahnya dana pembangunan belum tentu selaras dengan target yang diinginkan.
Ada baiknya juga jika pemerintah bisa betul-betul tegas pada prioritas pembangunan. Karena dengan anggaran yang begitu terbatas, tidak semua persoalan bisa dituntaskan secara sekaligus. Jika masih saja dipaksakan maka konsekuensinya akan terus menambah jumlah utang.
Pemerintah diharapkan tidak terjebak untuk semata-mata mengejar kenaikan tingkat elektabilitasnya menjelang rentetan Pilkada, Pileg, dan Pilpres di tahun 2018 dan 2019. Karena demi menjaga kualitas pembangunan tidak bisa prosesnya dibiarkan secara serampangan.
Misalnya yang terkait pembangunan infrastruktur. Dalam dua tahun terakhir Kementerian PUPR menyebutkan telah terjadi 14 kecelakaan kerja infrastruktur pemerintah. Peristiwa yang terbaru terjadi dalam pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu). Kecelakaan ini bisa jadi disebabkan karena ada prosedur yang lalai di dalam proses kontruksinya.
Bisa karena perhitungan waktu yang dipaksakan, atau karena ada komponen teknis yang coba-coba diabaikan. Padahal kecelakaan ini bisa merugikan banyak hal. Selain telah memakan korban jiwa, anggaran yang sudah digunakan akan juga ikut menjadi sia-sia.
Proses yang sama juga dibutuhkan di dalam pengelolaan anggaran di tingkat daerah. Kita berharap penggunaan dana pembangunan bisa kian diawasi untuk menghindari penyelewangan dan berkurangnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). Mekanismenya juga sama.
Daerah perlu didorong untuk memperkuat prioritas pembangunan khususnya yang betul-betul urgent dan menghasilkan manfaat, serta perlu sinkronisasi kebijakan dengan pemerintah di level atasnya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan. Sehingga anggaran yang diharapkan terus mengalami peningkatan tidak menjadi sesuatu hal yang mubazir.
Perhatikan Dinamika
Kembali pada fokus perpajakan. Tahun ini disinyalir tantangan realisasinya akan bersumber pada kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi, dan bagaimana cara pemerintah menjaga ritme reformasi perpajakan agar tetap on the track. Realisasi kinerja ekspor kita belum menunjukkan angka-angka yang memuaskan meskipun Presiden sudah mewanti-wanti berulang kali terkait hal ini.
Mungkin satu-satunya yang sedikit melegakan kita adalah kenaikan harga minyak dunia seiring membaiknya kondisi perekonomian global. Harga-harga komoditas ekspor kita yang masih didominasi barang-barang mentah (termasuk minyak bumi dan gas/migas) akan ikut terkerek dan mendongkrak kinerja ekspor.
Kenaikan harga minyak juga bagaikan buah simalakama bagi perekonomian Indonesia. Harga bahan bakar minyak (BBM) sudah mengalami kenaikan per 24 Februari 2018 kemarin untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia.
Pemerintah mungkin tidak terlalu khawatir kenaikan ini akan mengganggu stabilitas fiskal, mengingat besaran subsidi BBM sudah banyak dialihkan untuk kepentingan yang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam waktu dekat justru kemungkinan akan segera terjadi inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Pemerintah perlu gerak cepat mengkondisikan agar dampaknya tidak liar hingga pada akhirnya mereduksi daya beli masyarakat. Karena menurunnya tingkat daya beli sama saja dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi, sebab struktur terbesarnya berasal dari konsumsi rumah tangga.
Fokus Perluasan Tax Base
Terkait ide reformasi perpajakan, dalam pandangan penulis ihwal penerimaan pajak yang lebih tinggi di 2017 ternyata tidak didukung oleh adanya perluasan tax base yang baru. Justru yang lebih tampak dari itu semua adalah semakin kuatnya intensifikasi dan kenaikan tarif pajak terhadap objek pajak yang sudah ada.
Justru sekarang ini pemerintah perlu memberikan insentif pada objek pajak, agar produktivitasnya tidak terganggu karena besarnya tarif pajak. Sebaikya pemerintah tidak sekadar mengeksploitasi objek pajak yang sudah tertib dalam melaksanakan kewajibannya, tetapi sebaliknya perlu memberikan kualitas layanan dan jaminan kemanan yang lebih kepada masyarakat.
Kita juga perlu berhati-hati dalam menyikapi kebijakan keterbukaan akses data perpajakan saat diberlakukannya Automatic Exchange of Information (AEoI). Jangan sampai kebijakan yang strategis ini, malah menjadikan pelaku investasi yang semakin tidak nyaman dan menunda realisasi investasinya.
Cara-cara untuk memperkuat ekstentifikasi dan intensifikasi sudah berulang kali penulis sampaikan dengan sumber yang paling realistis adalah memperkuat modal sosial (trust). Karena dalam pandangan penulis, meskipun kita sudah melakukan perombakan besar-besaran secara administratif dari sisi layanan perpajakan, jika tidak diiringi dengan penguatan modal sosial maka semuanya akan menjadi sia-sia.
Langkah strategisnya bisa diawali terkait dengan reformasi administrasi perpajakan, yang lebih mudah, lebih transparan bagi masyarakat sebagai objek pajak. Semakin masyarakat turut dilibatkan dalam pengelolaan keuangan negara, semakin besar pula potensi kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam perpajakan.
Masyarakat tidak cukup hanya diingatkan saat periode-periode pembayaran pajak, melainkan juga perlu digugah betapa pentingnya peran mereka dalam ikut serta mendanai pembangunan. Tinggal nanti pemerintah menjaga amanah rakyat tersebut dengan menjamin kualitas pembangunan yang setinggi-tingginya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
ANEKDOT yang tengah tumbuh di kalangan masyarakat bahwa sekarang ini pemerintah dianggap suka berburu binatang di kebun binatang. Jika kita menengok sejenak bagaimana cara kerja pemerintah di sektor perpajakan, mungkin kiasan ini dapat kita benarkan. Skema kebijakan pemerintah cenderung tidak berimbang antara effort untuk melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pajak.
Pemerintah dinilai pragmatis karena dianggap hanya mengeksploitasi para wajib pajak (WP) yang tergolong tertib. Sedangkan dari sisi ekstentifikasi belum ada kabar yang menunjukkan bagaimana realisasi kinerja praktisnya.
Beban pendapatan pajak pemerintah memang sangat besar untuk menutupi kebutuhan satu tahun anggaran. Selain untuk mengakselerasi pembangunan melalui belanja pemerintah pusat dan dana transfer ke daerah dan desa (TKDD), pemerintah juga terbebani untuk melunasi jatuh tempo utang-utangnya.
Target pembangunan yang cukup tinggi menuntut adanya pendanaan yang cukup besar, sehingga penerbitan obligasi dilakukan secara rutin. Per 31 Januari 2018 kemarin posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp3.958,66 triliun atau sekitar 29,1% terhadap PDB.
Tahun ini profil jatuh tempo utang pemerintah sudah mencapai Rp390 triliun. Jika dirasiokan terhadap belanja APBN 2018 yang ditargetkan sebesar Rp2.220,7 triliun, beban pelunasan kita sudah sekitar 17,56% dari total belanja.
Jatuh tempo utang sudah turut menggorogoti kemampuan belanja kita. Bahkan jumlahnya di tahun depan lebih membengkak lagi hingga menjadi Rp410 triliun.
Memang utang dalam jangka pendek telah menyelamatkan wajah pemerintah pusat atas potensi kegagalan pembiayaan. Akan tetapi bisa kita lihat bagaimana potensi negatifnya terhadap kesehatan keuangan negara.
Apalagi belum ada tanda-tanda bahwa kebijakan utang betul-betul telah menyelamatkan kita dari ancaman kegagalan pembangunan. Karena dari sisi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak tidak mengalami perkembangan seperti yang diharapkan.
Kualitas Penganggaran
Jumlah utang tahun ini diperkirakan masih akan terus meningkat seiring dengan target pembiayaan atas defisit APBN sekitar Rp325,9 triliun atau 2,19% dari PDB. Seyogyanya sudah saatnya pemerintah betul-betul meninjau sudah sejauh mana manfaat dari kebijakan utang.
Jangan sampai pemerintah hanya sekadar gali lubang tutup lubang melalui utang. Sebab utang akan semakin membuat lubang kian menganga karena adanya tambahan beban bunga dari utang yang didapat.
Solusinya, tingkat kemandirian pembiayaan pemerintah melalui kantong-kantong pendapatan negara harus terus digenjot. Hingga detik ini instrumen pendapatan terbesarnya masih berasal dari penerimaan pajak.
Tren realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya memang terus meningkat. Akan tetapi proses pengelolaannya belum sepadan dengan potensi yang seharusnya diterima.
Rasio penerimaan pajak kita di tahun 2017 masih tertahan di kisaran 9,85% terhadap PDB 2017. Pemerintah tampaknya seperti biasa masih cenderung optimistis bahwa tahun ini kinerja perpajakan akan lebih baik.
Kinerja perpajakan di Januari 2018 dianggap sebagai gejala positifnya. Memang realisasi pajak di awal tahun ini lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, yakni Rp78,94 triliun berbanding Rp70,56 triliun.
Angka pertumbuhannya juga disebut-sebut sebagai yang tertinggi dibandingkan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 11,17%. Akan tetapi perlu diingat ini baru di awal tahun. Masih banyak tantangan hingga penghujung tahun sehingga tidak ada waktu lagi untuk lengah.
Pemerintah juga jangan sampai lengah untuk menjaga kualitas belanjanya. Perlu dipertimbangkan lagi bagaimana manajemen belanja yang efektif agar keberhasilannya bisa kian dioptimalkan. Keberhasilan belanja dapat diukur minimal dari sisi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan penerimaan pajak.
Nah kendala struktural dalam perencanaan dan penganggaran sendiri masih sering menggelayuti. Tahun kemarin Menteri Keuangan mencatat sedikitnya terjadi sekitar 52.400 revisi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) di level pemerintah pusat.
Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak unsur pemerintah yang belum cakap dalam perencanaan anggaran. Ada indikasi bahwa yang penting anggaran dialokasikan dulu baru nanti dipikirkan bagaimana realisasinya. Persoalan penganggaran seperti ini yang bisa menjadi bumerang sehingga melimpahnya dana pembangunan belum tentu selaras dengan target yang diinginkan.
Ada baiknya juga jika pemerintah bisa betul-betul tegas pada prioritas pembangunan. Karena dengan anggaran yang begitu terbatas, tidak semua persoalan bisa dituntaskan secara sekaligus. Jika masih saja dipaksakan maka konsekuensinya akan terus menambah jumlah utang.
Pemerintah diharapkan tidak terjebak untuk semata-mata mengejar kenaikan tingkat elektabilitasnya menjelang rentetan Pilkada, Pileg, dan Pilpres di tahun 2018 dan 2019. Karena demi menjaga kualitas pembangunan tidak bisa prosesnya dibiarkan secara serampangan.
Misalnya yang terkait pembangunan infrastruktur. Dalam dua tahun terakhir Kementerian PUPR menyebutkan telah terjadi 14 kecelakaan kerja infrastruktur pemerintah. Peristiwa yang terbaru terjadi dalam pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu). Kecelakaan ini bisa jadi disebabkan karena ada prosedur yang lalai di dalam proses kontruksinya.
Bisa karena perhitungan waktu yang dipaksakan, atau karena ada komponen teknis yang coba-coba diabaikan. Padahal kecelakaan ini bisa merugikan banyak hal. Selain telah memakan korban jiwa, anggaran yang sudah digunakan akan juga ikut menjadi sia-sia.
Proses yang sama juga dibutuhkan di dalam pengelolaan anggaran di tingkat daerah. Kita berharap penggunaan dana pembangunan bisa kian diawasi untuk menghindari penyelewangan dan berkurangnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). Mekanismenya juga sama.
Daerah perlu didorong untuk memperkuat prioritas pembangunan khususnya yang betul-betul urgent dan menghasilkan manfaat, serta perlu sinkronisasi kebijakan dengan pemerintah di level atasnya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan. Sehingga anggaran yang diharapkan terus mengalami peningkatan tidak menjadi sesuatu hal yang mubazir.
Perhatikan Dinamika
Kembali pada fokus perpajakan. Tahun ini disinyalir tantangan realisasinya akan bersumber pada kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi, dan bagaimana cara pemerintah menjaga ritme reformasi perpajakan agar tetap on the track. Realisasi kinerja ekspor kita belum menunjukkan angka-angka yang memuaskan meskipun Presiden sudah mewanti-wanti berulang kali terkait hal ini.
Mungkin satu-satunya yang sedikit melegakan kita adalah kenaikan harga minyak dunia seiring membaiknya kondisi perekonomian global. Harga-harga komoditas ekspor kita yang masih didominasi barang-barang mentah (termasuk minyak bumi dan gas/migas) akan ikut terkerek dan mendongkrak kinerja ekspor.
Kenaikan harga minyak juga bagaikan buah simalakama bagi perekonomian Indonesia. Harga bahan bakar minyak (BBM) sudah mengalami kenaikan per 24 Februari 2018 kemarin untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia.
Pemerintah mungkin tidak terlalu khawatir kenaikan ini akan mengganggu stabilitas fiskal, mengingat besaran subsidi BBM sudah banyak dialihkan untuk kepentingan yang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam waktu dekat justru kemungkinan akan segera terjadi inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Pemerintah perlu gerak cepat mengkondisikan agar dampaknya tidak liar hingga pada akhirnya mereduksi daya beli masyarakat. Karena menurunnya tingkat daya beli sama saja dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi, sebab struktur terbesarnya berasal dari konsumsi rumah tangga.
Fokus Perluasan Tax Base
Terkait ide reformasi perpajakan, dalam pandangan penulis ihwal penerimaan pajak yang lebih tinggi di 2017 ternyata tidak didukung oleh adanya perluasan tax base yang baru. Justru yang lebih tampak dari itu semua adalah semakin kuatnya intensifikasi dan kenaikan tarif pajak terhadap objek pajak yang sudah ada.
Justru sekarang ini pemerintah perlu memberikan insentif pada objek pajak, agar produktivitasnya tidak terganggu karena besarnya tarif pajak. Sebaikya pemerintah tidak sekadar mengeksploitasi objek pajak yang sudah tertib dalam melaksanakan kewajibannya, tetapi sebaliknya perlu memberikan kualitas layanan dan jaminan kemanan yang lebih kepada masyarakat.
Kita juga perlu berhati-hati dalam menyikapi kebijakan keterbukaan akses data perpajakan saat diberlakukannya Automatic Exchange of Information (AEoI). Jangan sampai kebijakan yang strategis ini, malah menjadikan pelaku investasi yang semakin tidak nyaman dan menunda realisasi investasinya.
Cara-cara untuk memperkuat ekstentifikasi dan intensifikasi sudah berulang kali penulis sampaikan dengan sumber yang paling realistis adalah memperkuat modal sosial (trust). Karena dalam pandangan penulis, meskipun kita sudah melakukan perombakan besar-besaran secara administratif dari sisi layanan perpajakan, jika tidak diiringi dengan penguatan modal sosial maka semuanya akan menjadi sia-sia.
Langkah strategisnya bisa diawali terkait dengan reformasi administrasi perpajakan, yang lebih mudah, lebih transparan bagi masyarakat sebagai objek pajak. Semakin masyarakat turut dilibatkan dalam pengelolaan keuangan negara, semakin besar pula potensi kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam perpajakan.
Masyarakat tidak cukup hanya diingatkan saat periode-periode pembayaran pajak, melainkan juga perlu digugah betapa pentingnya peran mereka dalam ikut serta mendanai pembangunan. Tinggal nanti pemerintah menjaga amanah rakyat tersebut dengan menjamin kualitas pembangunan yang setinggi-tingginya.
(poe)