Imlek dan Jejak Hui di Tanah Jawa

Senin, 19 Februari 2018 - 08:10 WIB
Imlek dan Jejak Hui di Tanah Jawa
Imlek dan Jejak Hui di Tanah Jawa
A A A
Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta

Perayaan Imlek identik de­ngan ketionghoaan. Baik bagi mereka yang me­nya­kralkan maupun merayakan hanya sekadar euforia kultural. Agar Imlek makin kaya makna, tidak ada salahnya menyelidiki ketionghoaan dalam relasinya dengan muslim Hui di Tiong­kok. Buku Muslim Chinese karya Dru C Gladney (1991) yang di­terbitkan Universitas Harvard memaparkan ihwal ini.

Ber­mula dari Ningxia, Hainan, Gan­su, Yunnan, dan Qinghai, Hui walau minoritas menyebar ke seluruh Tiongkok dan dunia termasuk Indonesia, tak ter­kecuali Jawa. Jika di Tiongkok sendiri Hui merupakan mi­no­ritas, tentu mencari jejak Hui di luar Tiongkok termasuk Indo­nesia akan lebih sulit.

Namun, beberapa benang merah informasi sejarah patut diselidiki lebih lanjut. Meski Hui sendiri tidak merayakan Imlek dan memilih Kuerbangjie (Hari Raya Kurban) dan Kai­zhaijie (Ramadhan/Lebaran) se­bagai hari paling raya (Enoch Jinsik Kim, 2013). Di Asia Tenggara, keturunan muslim Hui menghormati Imlek tak lebih sekadar peristiwa budaya demi menjembatani ketiong­hoa­nnya.

Hampir 60% orang Hui bergerak dalam dunia per­tanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan yang menjadi bekal mereka dalam menjadi pelaut, pemilik perkebunan dan pertanian.

Ma Dari Kedu?

Buku Gladney mencatat bah­wa satu dari sepuluh orang Hui bermarga Ma. Siapa orang Hui bermarga Ma yang terekam oleh sejarah negeri ini? Orang akan menyebut dengan cepat Ma He atau Ma Sanbao atau lebih dikenal dengan nama lak­samana Cheng Ho (Zheng He).

Jejak laksamana Ma sebagai utusan Kaisar Yongle Dinasti Ming Tiongkok termasuk tokoh muslim Hui yang dicatat oleh majalah Life sebagai salah satu orang ter­pen­ting dalam mi­le­nium ter­akhir. Jejak lawatan tu­juh samudra dan pe­ning­g­alan laksamana Ma ter­se­bar di dunia dan In­do­nesia. Tradisi saat itu sangat mungkin bekerja pri­mor­dial, Ma mem­ba­wa Ma yang lain.

Dari jejak laksamana Ma, kita lantas mengenal Ma Hu­an, penulis Yingya Sheng­lan (1433), penerjemah dan asisten lak­sa­ma­na Ma yang melintasi Asia dan Indonesia. Dari sini kita melihat bahwa dua Ma menoreh jejak di Nu­santara. Logikanya, bu­kan hanya dua Ma saja, ada Ma yang lain.

Beberapa kisah se­perti ba­bad Tanah Jawi yang masih men­jadi per­de­batan historis-patut di­selidiki lebih lanjut men­catat beberapa jejak orang marga Ma. Salah satunya Ma Hongfu, utusan dari Yunnan Campa ke Majapahit dalam pe­merintahan raja Wikrama War­dhana tahun 1424. Hal yang mengejutkan dari babad Kedu di Kabupaten Temang­gung, Ja­wa Tengah, muncul na­ma orang marga Ma yang lain.

Situs pe­merintahan Kedu Te­manggung (kedu.temang­gung­kab.go.id) menyebut nama Ma Kuw Kwan yang dihormati ma­syarakat sebagai Ki Ageng Ma­kukuhan dan disebut pula se­bagai Syeikh Maulana Taqwim atau Jaka Teguh. Situs tersebut me­nga­takan ada jejak ke­tiong­hoa­an pada Ma Kuw Kwan, se­orang mu­rid dari Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga yang pe­ning­galannya ada di Kedu.

Pe­nulisan kata Kuw jarang di­te­mui, kita menduga kemung­kin­an lain­nya Koe/Kho/Ko. Ma je­las mar­ganya, sedangkan Kwan banyak ditemui pada nama orang Tionghoa.

Sebuah skripsi tentang Ki Ageng Makukuhan dari Uni­ver­sitas Islam Negeri Sunan Ka­li­jaga, Yogyakarta, juga me­nyim­pulkan kemungkinan beliau keturunan Tionghoa bermarga Ma, dengan tetap membuka ke­mungkinan keturunan Arab dan Jawa. (Rohmat, 2008 ). Be­lum lengkapnya sejarah dan minimnya bukti yang terkuak membuat kita harus sabar menunggu benang merah Hui marga Ma ini.

Perdebatan atas ke­sah­ih­an informasi dan data ma­sih menyisakan tanda ta­nya. Namun, seperti pe­nelisikan se­jarah yang terus bergulir, ke­sim­pul­an tidak serta merta se­ba­gai kepastian akhir dan tunggal, tapi tetap mem­buka kesem­pat­an dan penelitian lanjutan. Wa­lau begitu benang merah jejak Hui bermarga Ma di negeri ini menggelitik un­tuk diselidiki jasanya.

Apa­lagi jika kita me­li­hat negeri jiran seperti Ma­lay­­sia juga mencatat je­jak­nya. Salah satunya ki­sah Haji Ibrahim T.Y. Ma alias Ma Tian Ying dan Ali Alyunani (Tan Chee Beng, A Note on the Orang Yun­nan in Tereng­ganu, 1991 ).

Belum Terjawab

Marga Ma mempunyai arti kuda dan sering ditulis dalam pe­nulisan dialek Hokian se­ba­gai Be/Bhe yang juga berarti ku­da. Jika marga Ma identik de­ngan marga Be, hanya pe­nu­lisannya saja yang berbeda. Wilayah Kedu Temanggung dan Bagelen Purworejo menjadi unik karena di sini muncul na­ma Be Tjo Lok, Be Ing Sing, Be Ing Tjoan, dan Be Tin Sioe se­bagai letnan Tionghoa.

Kedua wilayah ini masih satu ke­re­si­denan dahulunya. Di sisi lain, muncul nama kapten dan ma­yor Tionghoa Semarang-Solo yang terkenal Be Biauw Tjoan, Be Ing Tjioe, dan Be Kwat Koen. Orang-orang Be ini bergelut dalam konsesi perkebunan dan pertanian. Apakah Be ini masih ada jejak ke Ma di masa sebe­lumnya, sejarah yang kelak akan membuktikan.

Logika Ma akan membawa Ma yang lain mestinya suatu ke­laziman dalam budaya per­an­tauan saat itu. Tidak atau mung­kin belum ditemukan kapitan Tionghoa di masa lalu bermarga Ma. Hanya Be dengan beberapa keturunannya yang men­da­pat­kan gelar mayor, kapten, atau letnan Tionghoa.

Dari buku Orang-Orang Tionghoa di Java (1936) yang memuat 469 orang Tionghoa saat itu, juga tidak ditemukan orang bermarga Ma dan hanya satu atau dua ber­marga Be/Bhe. Jika di­asum­sikan mereka mempunyai jejak sebagai orang Hui, masih ba­nyak yang harus digali dan diper­tanyakan dengan keber­adaan mereka.

Khususnya jika dihubungkan dengan Cheng Ho dan Ma Kuw Kwan. Cheng Ho pernah mendarat di Pantura Jawa, tapi lebih sulit mencari mereka yang bermarga Ma di situ dibanding mereka yang bermarga Be/Bhe di wilayah pe­sisir dan pedalaman Jawa.

Untuk sementara kita harus berpuas dengan informasi yang terbatas dan menunggu kisah, babad, atau dokumen sejarah yang suatu saat bisa ditemukan dan menguak peran Hui di Indonesia. Sama halnya dengan pertanyaan tentang kiprah orang Hui di dunia inter­na­sional.

Hampir setiap orang, hari-hari ini mengenal nama Jack Ma dan Ma Huateng (Pon­ny Ma) dua orang terkaya Tiongkok pemilik Alibaba dan Tencent. Tidak ada informasi apakah Ma mereka mempunyai leluhur Hui atau tidak. Konon Ma juga dipakai sebagai marga orang Han, suku mayoritas Tiongkok. Apakah Ma dari Hui dan Ma dari Han mempunyai leluhur sama, mengingat marga selalu diturunkan dan diles­tar­i­kan, kita tidak tahu.

Namun, yang unik Jack Ma memilih nama Alibaba yang di­dapatkan saat dia sedang ber­ada di coffee shop di New York dan menanyakan kepada orang-orang apakah mereka mengenal kisah Alibaba. Banyak yang men­jawab mengenal kisah ter­sebut, dari situlah nama Alibaba dipakai Jack Ma. Kisah dari Negeri Seribu Satu Malam itu sa­ngat populer di Tiongkok pada saat Jack Ma masih kecil.

Siapa yang membawa kisah klasik dari Persia ke Tiongkok? Mungkinkah itu jasa orang Hui karena mereka muslim se­hingga lebih banyak mendapat ki­sah dan pengalaman dari Per­sia (Irak sekarang) yang me­ru­pakan bagian dari dunia Islam? Itukah sebabnya di bawah sadar Jack Ma memilih nama Alibaba dan kebetulan banyak orang mengenal kisah tersebut. Ha­nya Tuhan yang tahu. Ba­gai­manapun Hui telah mewarnai ketionghoaan di manapun ber­ada, memberikan warna ber­beda, unik, dan itu mem­per­kaya kita sebagai bangsa.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4902 seconds (0.1#10.140)