Imlek dan Jejak Hui di Tanah Jawa
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Perayaan Imlek identik dengan ketionghoaan. Baik bagi mereka yang menyakralkan maupun merayakan hanya sekadar euforia kultural. Agar Imlek makin kaya makna, tidak ada salahnya menyelidiki ketionghoaan dalam relasinya dengan muslim Hui di Tiongkok. Buku Muslim Chinese karya Dru C Gladney (1991) yang diterbitkan Universitas Harvard memaparkan ihwal ini.
Bermula dari Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan, dan Qinghai, Hui walau minoritas menyebar ke seluruh Tiongkok dan dunia termasuk Indonesia, tak terkecuali Jawa. Jika di Tiongkok sendiri Hui merupakan minoritas, tentu mencari jejak Hui di luar Tiongkok termasuk Indonesia akan lebih sulit.
Namun, beberapa benang merah informasi sejarah patut diselidiki lebih lanjut. Meski Hui sendiri tidak merayakan Imlek dan memilih Kuerbangjie (Hari Raya Kurban) dan Kaizhaijie (Ramadhan/Lebaran) sebagai hari paling raya (Enoch Jinsik Kim, 2013). Di Asia Tenggara, keturunan muslim Hui menghormati Imlek tak lebih sekadar peristiwa budaya demi menjembatani ketionghoannya.
Hampir 60% orang Hui bergerak dalam dunia pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan yang menjadi bekal mereka dalam menjadi pelaut, pemilik perkebunan dan pertanian.
Ma Dari Kedu?
Buku Gladney mencatat bahwa satu dari sepuluh orang Hui bermarga Ma. Siapa orang Hui bermarga Ma yang terekam oleh sejarah negeri ini? Orang akan menyebut dengan cepat Ma He atau Ma Sanbao atau lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho (Zheng He).
Jejak laksamana Ma sebagai utusan Kaisar Yongle Dinasti Ming Tiongkok termasuk tokoh muslim Hui yang dicatat oleh majalah Life sebagai salah satu orang terpenting dalam milenium terakhir. Jejak lawatan tujuh samudra dan peninggalan laksamana Ma tersebar di dunia dan Indonesia. Tradisi saat itu sangat mungkin bekerja primordial, Ma membawa Ma yang lain.
Dari jejak laksamana Ma, kita lantas mengenal Ma Huan, penulis Yingya Shenglan (1433), penerjemah dan asisten laksamana Ma yang melintasi Asia dan Indonesia. Dari sini kita melihat bahwa dua Ma menoreh jejak di Nusantara. Logikanya, bukan hanya dua Ma saja, ada Ma yang lain.
Beberapa kisah seperti babad Tanah Jawi yang masih menjadi perdebatan historis-patut diselidiki lebih lanjut mencatat beberapa jejak orang marga Ma. Salah satunya Ma Hongfu, utusan dari Yunnan Campa ke Majapahit dalam pemerintahan raja Wikrama Wardhana tahun 1424. Hal yang mengejutkan dari babad Kedu di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, muncul nama orang marga Ma yang lain.
Situs pemerintahan Kedu Temanggung (kedu.temanggungkab.go.id) menyebut nama Ma Kuw Kwan yang dihormati masyarakat sebagai Ki Ageng Makukuhan dan disebut pula sebagai Syeikh Maulana Taqwim atau Jaka Teguh. Situs tersebut mengatakan ada jejak ketionghoaan pada Ma Kuw Kwan, seorang murid dari Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga yang peninggalannya ada di Kedu.
Penulisan kata Kuw jarang ditemui, kita menduga kemungkinan lainnya Koe/Kho/Ko. Ma jelas marganya, sedangkan Kwan banyak ditemui pada nama orang Tionghoa.
Sebuah skripsi tentang Ki Ageng Makukuhan dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga menyimpulkan kemungkinan beliau keturunan Tionghoa bermarga Ma, dengan tetap membuka kemungkinan keturunan Arab dan Jawa. (Rohmat, 2008 ). Belum lengkapnya sejarah dan minimnya bukti yang terkuak membuat kita harus sabar menunggu benang merah Hui marga Ma ini.
Perdebatan atas kesahihan informasi dan data masih menyisakan tanda tanya. Namun, seperti penelisikan sejarah yang terus bergulir, kesimpulan tidak serta merta sebagai kepastian akhir dan tunggal, tapi tetap membuka kesempatan dan penelitian lanjutan. Walau begitu benang merah jejak Hui bermarga Ma di negeri ini menggelitik untuk diselidiki jasanya.
Apalagi jika kita melihat negeri jiran seperti Malaysia juga mencatat jejaknya. Salah satunya kisah Haji Ibrahim T.Y. Ma alias Ma Tian Ying dan Ali Alyunani (Tan Chee Beng, A Note on the Orang Yunnan in Terengganu, 1991 ).
Belum Terjawab
Marga Ma mempunyai arti kuda dan sering ditulis dalam penulisan dialek Hokian sebagai Be/Bhe yang juga berarti kuda. Jika marga Ma identik dengan marga Be, hanya penulisannya saja yang berbeda. Wilayah Kedu Temanggung dan Bagelen Purworejo menjadi unik karena di sini muncul nama Be Tjo Lok, Be Ing Sing, Be Ing Tjoan, dan Be Tin Sioe sebagai letnan Tionghoa.
Kedua wilayah ini masih satu keresidenan dahulunya. Di sisi lain, muncul nama kapten dan mayor Tionghoa Semarang-Solo yang terkenal Be Biauw Tjoan, Be Ing Tjioe, dan Be Kwat Koen. Orang-orang Be ini bergelut dalam konsesi perkebunan dan pertanian. Apakah Be ini masih ada jejak ke Ma di masa sebelumnya, sejarah yang kelak akan membuktikan.
Logika Ma akan membawa Ma yang lain mestinya suatu kelaziman dalam budaya perantauan saat itu. Tidak atau mungkin belum ditemukan kapitan Tionghoa di masa lalu bermarga Ma. Hanya Be dengan beberapa keturunannya yang mendapatkan gelar mayor, kapten, atau letnan Tionghoa.
Dari buku Orang-Orang Tionghoa di Java (1936) yang memuat 469 orang Tionghoa saat itu, juga tidak ditemukan orang bermarga Ma dan hanya satu atau dua bermarga Be/Bhe. Jika diasumsikan mereka mempunyai jejak sebagai orang Hui, masih banyak yang harus digali dan dipertanyakan dengan keberadaan mereka.
Khususnya jika dihubungkan dengan Cheng Ho dan Ma Kuw Kwan. Cheng Ho pernah mendarat di Pantura Jawa, tapi lebih sulit mencari mereka yang bermarga Ma di situ dibanding mereka yang bermarga Be/Bhe di wilayah pesisir dan pedalaman Jawa.
Untuk sementara kita harus berpuas dengan informasi yang terbatas dan menunggu kisah, babad, atau dokumen sejarah yang suatu saat bisa ditemukan dan menguak peran Hui di Indonesia. Sama halnya dengan pertanyaan tentang kiprah orang Hui di dunia internasional.
Hampir setiap orang, hari-hari ini mengenal nama Jack Ma dan Ma Huateng (Ponny Ma) dua orang terkaya Tiongkok pemilik Alibaba dan Tencent. Tidak ada informasi apakah Ma mereka mempunyai leluhur Hui atau tidak. Konon Ma juga dipakai sebagai marga orang Han, suku mayoritas Tiongkok. Apakah Ma dari Hui dan Ma dari Han mempunyai leluhur sama, mengingat marga selalu diturunkan dan dilestarikan, kita tidak tahu.
Namun, yang unik Jack Ma memilih nama Alibaba yang didapatkan saat dia sedang berada di coffee shop di New York dan menanyakan kepada orang-orang apakah mereka mengenal kisah Alibaba. Banyak yang menjawab mengenal kisah tersebut, dari situlah nama Alibaba dipakai Jack Ma. Kisah dari Negeri Seribu Satu Malam itu sangat populer di Tiongkok pada saat Jack Ma masih kecil.
Siapa yang membawa kisah klasik dari Persia ke Tiongkok? Mungkinkah itu jasa orang Hui karena mereka muslim sehingga lebih banyak mendapat kisah dan pengalaman dari Persia (Irak sekarang) yang merupakan bagian dari dunia Islam? Itukah sebabnya di bawah sadar Jack Ma memilih nama Alibaba dan kebetulan banyak orang mengenal kisah tersebut. Hanya Tuhan yang tahu. Bagaimanapun Hui telah mewarnai ketionghoaan di manapun berada, memberikan warna berbeda, unik, dan itu memperkaya kita sebagai bangsa.
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Perayaan Imlek identik dengan ketionghoaan. Baik bagi mereka yang menyakralkan maupun merayakan hanya sekadar euforia kultural. Agar Imlek makin kaya makna, tidak ada salahnya menyelidiki ketionghoaan dalam relasinya dengan muslim Hui di Tiongkok. Buku Muslim Chinese karya Dru C Gladney (1991) yang diterbitkan Universitas Harvard memaparkan ihwal ini.
Bermula dari Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan, dan Qinghai, Hui walau minoritas menyebar ke seluruh Tiongkok dan dunia termasuk Indonesia, tak terkecuali Jawa. Jika di Tiongkok sendiri Hui merupakan minoritas, tentu mencari jejak Hui di luar Tiongkok termasuk Indonesia akan lebih sulit.
Namun, beberapa benang merah informasi sejarah patut diselidiki lebih lanjut. Meski Hui sendiri tidak merayakan Imlek dan memilih Kuerbangjie (Hari Raya Kurban) dan Kaizhaijie (Ramadhan/Lebaran) sebagai hari paling raya (Enoch Jinsik Kim, 2013). Di Asia Tenggara, keturunan muslim Hui menghormati Imlek tak lebih sekadar peristiwa budaya demi menjembatani ketionghoannya.
Hampir 60% orang Hui bergerak dalam dunia pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan yang menjadi bekal mereka dalam menjadi pelaut, pemilik perkebunan dan pertanian.
Ma Dari Kedu?
Buku Gladney mencatat bahwa satu dari sepuluh orang Hui bermarga Ma. Siapa orang Hui bermarga Ma yang terekam oleh sejarah negeri ini? Orang akan menyebut dengan cepat Ma He atau Ma Sanbao atau lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho (Zheng He).
Jejak laksamana Ma sebagai utusan Kaisar Yongle Dinasti Ming Tiongkok termasuk tokoh muslim Hui yang dicatat oleh majalah Life sebagai salah satu orang terpenting dalam milenium terakhir. Jejak lawatan tujuh samudra dan peninggalan laksamana Ma tersebar di dunia dan Indonesia. Tradisi saat itu sangat mungkin bekerja primordial, Ma membawa Ma yang lain.
Dari jejak laksamana Ma, kita lantas mengenal Ma Huan, penulis Yingya Shenglan (1433), penerjemah dan asisten laksamana Ma yang melintasi Asia dan Indonesia. Dari sini kita melihat bahwa dua Ma menoreh jejak di Nusantara. Logikanya, bukan hanya dua Ma saja, ada Ma yang lain.
Beberapa kisah seperti babad Tanah Jawi yang masih menjadi perdebatan historis-patut diselidiki lebih lanjut mencatat beberapa jejak orang marga Ma. Salah satunya Ma Hongfu, utusan dari Yunnan Campa ke Majapahit dalam pemerintahan raja Wikrama Wardhana tahun 1424. Hal yang mengejutkan dari babad Kedu di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, muncul nama orang marga Ma yang lain.
Situs pemerintahan Kedu Temanggung (kedu.temanggungkab.go.id) menyebut nama Ma Kuw Kwan yang dihormati masyarakat sebagai Ki Ageng Makukuhan dan disebut pula sebagai Syeikh Maulana Taqwim atau Jaka Teguh. Situs tersebut mengatakan ada jejak ketionghoaan pada Ma Kuw Kwan, seorang murid dari Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga yang peninggalannya ada di Kedu.
Penulisan kata Kuw jarang ditemui, kita menduga kemungkinan lainnya Koe/Kho/Ko. Ma jelas marganya, sedangkan Kwan banyak ditemui pada nama orang Tionghoa.
Sebuah skripsi tentang Ki Ageng Makukuhan dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga menyimpulkan kemungkinan beliau keturunan Tionghoa bermarga Ma, dengan tetap membuka kemungkinan keturunan Arab dan Jawa. (Rohmat, 2008 ). Belum lengkapnya sejarah dan minimnya bukti yang terkuak membuat kita harus sabar menunggu benang merah Hui marga Ma ini.
Perdebatan atas kesahihan informasi dan data masih menyisakan tanda tanya. Namun, seperti penelisikan sejarah yang terus bergulir, kesimpulan tidak serta merta sebagai kepastian akhir dan tunggal, tapi tetap membuka kesempatan dan penelitian lanjutan. Walau begitu benang merah jejak Hui bermarga Ma di negeri ini menggelitik untuk diselidiki jasanya.
Apalagi jika kita melihat negeri jiran seperti Malaysia juga mencatat jejaknya. Salah satunya kisah Haji Ibrahim T.Y. Ma alias Ma Tian Ying dan Ali Alyunani (Tan Chee Beng, A Note on the Orang Yunnan in Terengganu, 1991 ).
Belum Terjawab
Marga Ma mempunyai arti kuda dan sering ditulis dalam penulisan dialek Hokian sebagai Be/Bhe yang juga berarti kuda. Jika marga Ma identik dengan marga Be, hanya penulisannya saja yang berbeda. Wilayah Kedu Temanggung dan Bagelen Purworejo menjadi unik karena di sini muncul nama Be Tjo Lok, Be Ing Sing, Be Ing Tjoan, dan Be Tin Sioe sebagai letnan Tionghoa.
Kedua wilayah ini masih satu keresidenan dahulunya. Di sisi lain, muncul nama kapten dan mayor Tionghoa Semarang-Solo yang terkenal Be Biauw Tjoan, Be Ing Tjioe, dan Be Kwat Koen. Orang-orang Be ini bergelut dalam konsesi perkebunan dan pertanian. Apakah Be ini masih ada jejak ke Ma di masa sebelumnya, sejarah yang kelak akan membuktikan.
Logika Ma akan membawa Ma yang lain mestinya suatu kelaziman dalam budaya perantauan saat itu. Tidak atau mungkin belum ditemukan kapitan Tionghoa di masa lalu bermarga Ma. Hanya Be dengan beberapa keturunannya yang mendapatkan gelar mayor, kapten, atau letnan Tionghoa.
Dari buku Orang-Orang Tionghoa di Java (1936) yang memuat 469 orang Tionghoa saat itu, juga tidak ditemukan orang bermarga Ma dan hanya satu atau dua bermarga Be/Bhe. Jika diasumsikan mereka mempunyai jejak sebagai orang Hui, masih banyak yang harus digali dan dipertanyakan dengan keberadaan mereka.
Khususnya jika dihubungkan dengan Cheng Ho dan Ma Kuw Kwan. Cheng Ho pernah mendarat di Pantura Jawa, tapi lebih sulit mencari mereka yang bermarga Ma di situ dibanding mereka yang bermarga Be/Bhe di wilayah pesisir dan pedalaman Jawa.
Untuk sementara kita harus berpuas dengan informasi yang terbatas dan menunggu kisah, babad, atau dokumen sejarah yang suatu saat bisa ditemukan dan menguak peran Hui di Indonesia. Sama halnya dengan pertanyaan tentang kiprah orang Hui di dunia internasional.
Hampir setiap orang, hari-hari ini mengenal nama Jack Ma dan Ma Huateng (Ponny Ma) dua orang terkaya Tiongkok pemilik Alibaba dan Tencent. Tidak ada informasi apakah Ma mereka mempunyai leluhur Hui atau tidak. Konon Ma juga dipakai sebagai marga orang Han, suku mayoritas Tiongkok. Apakah Ma dari Hui dan Ma dari Han mempunyai leluhur sama, mengingat marga selalu diturunkan dan dilestarikan, kita tidak tahu.
Namun, yang unik Jack Ma memilih nama Alibaba yang didapatkan saat dia sedang berada di coffee shop di New York dan menanyakan kepada orang-orang apakah mereka mengenal kisah Alibaba. Banyak yang menjawab mengenal kisah tersebut, dari situlah nama Alibaba dipakai Jack Ma. Kisah dari Negeri Seribu Satu Malam itu sangat populer di Tiongkok pada saat Jack Ma masih kecil.
Siapa yang membawa kisah klasik dari Persia ke Tiongkok? Mungkinkah itu jasa orang Hui karena mereka muslim sehingga lebih banyak mendapat kisah dan pengalaman dari Persia (Irak sekarang) yang merupakan bagian dari dunia Islam? Itukah sebabnya di bawah sadar Jack Ma memilih nama Alibaba dan kebetulan banyak orang mengenal kisah tersebut. Hanya Tuhan yang tahu. Bagaimanapun Hui telah mewarnai ketionghoaan di manapun berada, memberikan warna berbeda, unik, dan itu memperkaya kita sebagai bangsa.
(nag)