Menegaskan Kembali Moderasi Islam Ala HMI
A
A
A
Idris Pua Bhuku
Ketua PB HMI 2016-2018 dan Kandidat Ketua Umum PB HMI 2018-2020
DALAM sambutannya pada pembukaan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-30 di Universitas Pattimura Ambon, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan arti penting moderasi Islam sebagai modal bagi pembangunan nasional. Karakter kepribadian umat muslim yang moderat, akan menciptakan suasana sosial yang aman dan damai, sehingga hal itu memungkinkan berbagai aktivitas lainnya seperti politik dan ekonomi akan berjalan dengan baik, persaingan politik sehat, dan laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Pesan Jokowi tersebut tentu dinilai tepat untuk disampaikan, mengingat akhir-akhir ini situasi sosial keagamaan kita sedang diteror oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan suasana yang mencekam dan menakutkan, seperti halnya penganiayaan dan persekusi terhadap tokoh agama serta perusakan rumah-rumah ibadah. Situasi menjadi kian tak menentu, berbagai spekulasi bermunculan, antar kelompok satu sama lain saling curiga.
Keadaan seperti ini tentu dapat merugikan bagi pembangunan nasional, mengingat, tidak mungkin negara dapat mengerjakan pembangunan dalam kondisi masyarakat yang tidak kondusif dan kacau. Terlebih, fokus utama pembangunan pemerintahan Jokowi ini adalah infrastruktur. Artinya, kondusifitas kehidupan masyarakat merupakan keniscayaan yang harus tercipta sebagai salah satu faktor utama keberhasilan untuk melakukan pembangunan nasional yang merata.
Dari itu, penting sekiranya bagi Jokowi – dalam kesempatan memberikan sambutan pada pembukaan kongres tersebut -- untuk mengingatkan kembali kepada kader HMI se-Nusantara untuk memegang teguh prinsip dasar Islam yang inklusif, moderat, dan toleran demi menopang program Pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
HMI dan Moderasi Islam
HMI sangat menyadari bahwa Islam hadir di tengah-tengah kehidupan manusia bertujuan untuk menjadi rahmat kasih sayang untuk semua makhluk, kapanpun dan dimanapun (rahmatan lil `alamin). Darinya, Islam harus selalu berdiri tegak sebagai penengah (moderat) dari ekstrem-ektrem paham keagamaan yang ada di dunia ini.
Moderasi Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat yang beragam adalah suatu keniscayaan yang harus kita amalkan secara nyata. Dalam Qur`an surat al-Baqarah ayat 143 ditegaskan, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi bagi manusia.” Darinya, Islam harus bersifat inklusif (terbuka) dan membuka ruang atas ragam perbedaan yang ada.
Justru keliru, jika ada orang yang mengatasnamakan umat muslim, namun dalam aktivitas keberagamaannya bersifat ekslusif, ekstrem, radikal, serta tidak memberikan rasa damai bagi manusia lainnya, baik yang seiman ataupun berbeda. Orang yang benar-benar sudah tertanam kuat di dalam hatinya cahaya Iman dan Islam, maka aktivitas kehidupannya akan selalu damai dan memberikan rasa kedamaian bagi orang lain.
HMI adalah salah satu organisasi kemahasiswaan yang sejak awal kelahirannya (5 Februari 1947) hingga saat ini masih konsisten dan konsekuen dalam menyebarkan paham agama Islam yang inklusif, moderat dan toleran. Citra inilah yang HMI amalkan dan dipertahankan dalam usaha untuk mewujudkan cita HMI; terbinanya kepribadian insan cita dan terwujudnya tatanan masyarakat madani.
Prof. Agussalim Sitompul (2002:369) melukiskan enam corak pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan HMI. Pertama, subtantif, yaitu apa yang selama ini menjadi wacana HMI adalah hal-hal yang prinsipil, bukan teknis; Kedua, proaktif, yaitu HMI selalu berinisiatif untuk memberikan kontribusi pemikiran untuk pembangunan dan kemajuan umat dan bangsa. HMI tidak reaktif atas suatu kejadian; Ketiga, inklusif, yaitu memiliki pikiran yang terbuka dalam menghadapi ragam perbedaan yang ada.
Keempat, integratif, yaitu pemikiran HMI menyatu dan terintegrasi dengan kondisi sosial politik dan kultur masyarakat Indonesia yang majemuk; Kelima, modernis, yaitu seuatu pemikiran yang selalu ingin merombak (memperbaharui) berbagai pemikiran yang telah usang dan tidak lagi relevan dengan konteks jaman yang sedang dihadapi; dan keenam, ilmiah, yaitu pemikiran HMI selalu dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Setidaknya, corak pemikiran semacam itulah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa HMI menjadi organisasi besar dan memiliki usia yang relatif lama –yaitu hanya selisih 18 bulan dengan kemerdekaan Indonesia— serta dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan umat dan bangsa.
Tantangan Saat Ini
Minimal ada dua tantangan bagi HMI saat ini. Secara internal, HMI menghadapi sebuah kenyataan bahwa di dunia kampus sedang marak menjerat mahasiswa paham inklusivisme dan radikalisme. HMI berkewajiban untuk menjadi problem solver atas permasalahan itu. HMI harus kembali menjadikan mahasiswa sebagai prioritas utama dalam mendakwahkan pahaman Islam yang inklusif, moderat dan toleran.
Secara eksternal, HMI harus tetap menjadi pihak yang selalu kritis terhadap pemerintah dalam mengawal setiap kebijakan-kebijakannya. Jika ditemukan adanya kekeliruan dan ketidakadilan di dalam kebijakan pemerintah tersebut, maka HMI harus tegas dan berani mengajukan nota keberatan serta memberikan masukan pemikiran atas keliruan dari kebijakan itu.
Jika HMI abstain memberikan peran dan fungsinya atas dua tantangan tersebut, maka cita HMI untuk mewujudkan kualitas ‘insan cita’ (insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam) dan ‘masyarakat madani’ (masyarakat adil makmur yang diridhai Allah) hanya utopis belaka.
Ketua PB HMI 2016-2018 dan Kandidat Ketua Umum PB HMI 2018-2020
DALAM sambutannya pada pembukaan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-30 di Universitas Pattimura Ambon, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan arti penting moderasi Islam sebagai modal bagi pembangunan nasional. Karakter kepribadian umat muslim yang moderat, akan menciptakan suasana sosial yang aman dan damai, sehingga hal itu memungkinkan berbagai aktivitas lainnya seperti politik dan ekonomi akan berjalan dengan baik, persaingan politik sehat, dan laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Pesan Jokowi tersebut tentu dinilai tepat untuk disampaikan, mengingat akhir-akhir ini situasi sosial keagamaan kita sedang diteror oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan suasana yang mencekam dan menakutkan, seperti halnya penganiayaan dan persekusi terhadap tokoh agama serta perusakan rumah-rumah ibadah. Situasi menjadi kian tak menentu, berbagai spekulasi bermunculan, antar kelompok satu sama lain saling curiga.
Keadaan seperti ini tentu dapat merugikan bagi pembangunan nasional, mengingat, tidak mungkin negara dapat mengerjakan pembangunan dalam kondisi masyarakat yang tidak kondusif dan kacau. Terlebih, fokus utama pembangunan pemerintahan Jokowi ini adalah infrastruktur. Artinya, kondusifitas kehidupan masyarakat merupakan keniscayaan yang harus tercipta sebagai salah satu faktor utama keberhasilan untuk melakukan pembangunan nasional yang merata.
Dari itu, penting sekiranya bagi Jokowi – dalam kesempatan memberikan sambutan pada pembukaan kongres tersebut -- untuk mengingatkan kembali kepada kader HMI se-Nusantara untuk memegang teguh prinsip dasar Islam yang inklusif, moderat, dan toleran demi menopang program Pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
HMI dan Moderasi Islam
HMI sangat menyadari bahwa Islam hadir di tengah-tengah kehidupan manusia bertujuan untuk menjadi rahmat kasih sayang untuk semua makhluk, kapanpun dan dimanapun (rahmatan lil `alamin). Darinya, Islam harus selalu berdiri tegak sebagai penengah (moderat) dari ekstrem-ektrem paham keagamaan yang ada di dunia ini.
Moderasi Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat yang beragam adalah suatu keniscayaan yang harus kita amalkan secara nyata. Dalam Qur`an surat al-Baqarah ayat 143 ditegaskan, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi bagi manusia.” Darinya, Islam harus bersifat inklusif (terbuka) dan membuka ruang atas ragam perbedaan yang ada.
Justru keliru, jika ada orang yang mengatasnamakan umat muslim, namun dalam aktivitas keberagamaannya bersifat ekslusif, ekstrem, radikal, serta tidak memberikan rasa damai bagi manusia lainnya, baik yang seiman ataupun berbeda. Orang yang benar-benar sudah tertanam kuat di dalam hatinya cahaya Iman dan Islam, maka aktivitas kehidupannya akan selalu damai dan memberikan rasa kedamaian bagi orang lain.
HMI adalah salah satu organisasi kemahasiswaan yang sejak awal kelahirannya (5 Februari 1947) hingga saat ini masih konsisten dan konsekuen dalam menyebarkan paham agama Islam yang inklusif, moderat dan toleran. Citra inilah yang HMI amalkan dan dipertahankan dalam usaha untuk mewujudkan cita HMI; terbinanya kepribadian insan cita dan terwujudnya tatanan masyarakat madani.
Prof. Agussalim Sitompul (2002:369) melukiskan enam corak pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan HMI. Pertama, subtantif, yaitu apa yang selama ini menjadi wacana HMI adalah hal-hal yang prinsipil, bukan teknis; Kedua, proaktif, yaitu HMI selalu berinisiatif untuk memberikan kontribusi pemikiran untuk pembangunan dan kemajuan umat dan bangsa. HMI tidak reaktif atas suatu kejadian; Ketiga, inklusif, yaitu memiliki pikiran yang terbuka dalam menghadapi ragam perbedaan yang ada.
Keempat, integratif, yaitu pemikiran HMI menyatu dan terintegrasi dengan kondisi sosial politik dan kultur masyarakat Indonesia yang majemuk; Kelima, modernis, yaitu seuatu pemikiran yang selalu ingin merombak (memperbaharui) berbagai pemikiran yang telah usang dan tidak lagi relevan dengan konteks jaman yang sedang dihadapi; dan keenam, ilmiah, yaitu pemikiran HMI selalu dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Setidaknya, corak pemikiran semacam itulah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa HMI menjadi organisasi besar dan memiliki usia yang relatif lama –yaitu hanya selisih 18 bulan dengan kemerdekaan Indonesia— serta dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan umat dan bangsa.
Tantangan Saat Ini
Minimal ada dua tantangan bagi HMI saat ini. Secara internal, HMI menghadapi sebuah kenyataan bahwa di dunia kampus sedang marak menjerat mahasiswa paham inklusivisme dan radikalisme. HMI berkewajiban untuk menjadi problem solver atas permasalahan itu. HMI harus kembali menjadikan mahasiswa sebagai prioritas utama dalam mendakwahkan pahaman Islam yang inklusif, moderat dan toleran.
Secara eksternal, HMI harus tetap menjadi pihak yang selalu kritis terhadap pemerintah dalam mengawal setiap kebijakan-kebijakannya. Jika ditemukan adanya kekeliruan dan ketidakadilan di dalam kebijakan pemerintah tersebut, maka HMI harus tegas dan berani mengajukan nota keberatan serta memberikan masukan pemikiran atas keliruan dari kebijakan itu.
Jika HMI abstain memberikan peran dan fungsinya atas dua tantangan tersebut, maka cita HMI untuk mewujudkan kualitas ‘insan cita’ (insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam) dan ‘masyarakat madani’ (masyarakat adil makmur yang diridhai Allah) hanya utopis belaka.
(pur)