Pengkritik Bisa Dipidana, Bukti DPR Tak Ingin Dikontrol Publik
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR DPR DPD DPRD (MD3) telah disahkan melalui Rapat Paripurna DPR yang digelar pada Senin 12 Februari 2018.
Melalui revisi UU tersebut, DPR memiliki tiga kewenangan baru, yaitu dapat melakukan pemanggilan paksa, mempunyai hak imunitas, dapat melakukan langkah hukum terhadap orang yang dianggap menghina DPR. (Baca juga: Kekuasaan DPR Bertambah, Negara Diyakini Aka Masuk Zaman Gelap )
Direktur Paramater Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai, penambahan kewenangan DPR itu sebagai langkah mundur demokrasi.
Menurut dia, sesuatu yang wajar jika selama ini DPR menjadi objek kritik karena lembaga tersebut merupakan institusi publik yang memproduksi dan menjalankan kebijakan.
"Wajar kalau jadi objek kritik masyarakat. Tambahan kewenangan DPR bentuk sikap otoriter yang tak mau dikontrol publik," ujar Adi kepada SINDOnews, Selasa (13/2/2018).
Adi menganggap tambahan kewenangan dalam UU MD3 menjadikan DPR sebagai institusi superbodi yang tidak tersentuh (untouchable), baik oleh rakyat maupun oleh penegak hukum.
Menurut dia, tambahan kewenangan DPR merupakan dampak buruk akibat minimnya kekuatan oposisi di Senayan.
Alhasil, sambung Adi, semua kebijakan kontroversial yang banyak merugikan publik berjalan mulus. Kondisi ini dinilai Adi sebagai sebuah ironi demokrasi yang tidak baik untuk pembangunan demokrasi ke depan
Menurut dia, semestinya penambahan kewenangan DPR menyangkut hal substansi terutama yang berkaitan peningkatan kinerja seperti penyelesaiain target penyusunan undang-undang dan penghematan anggaran negara.
Bukan malah sebaliknya memproteksi diri sebagai lembaga super power tak terbatas. "DPR ini terkesan ingin membuat 'negara' dalam negara yang memiliki kewenangam sendiri yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun," ucapnya.
Melalui revisi UU tersebut, DPR memiliki tiga kewenangan baru, yaitu dapat melakukan pemanggilan paksa, mempunyai hak imunitas, dapat melakukan langkah hukum terhadap orang yang dianggap menghina DPR. (Baca juga: Kekuasaan DPR Bertambah, Negara Diyakini Aka Masuk Zaman Gelap )
Direktur Paramater Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai, penambahan kewenangan DPR itu sebagai langkah mundur demokrasi.
Menurut dia, sesuatu yang wajar jika selama ini DPR menjadi objek kritik karena lembaga tersebut merupakan institusi publik yang memproduksi dan menjalankan kebijakan.
"Wajar kalau jadi objek kritik masyarakat. Tambahan kewenangan DPR bentuk sikap otoriter yang tak mau dikontrol publik," ujar Adi kepada SINDOnews, Selasa (13/2/2018).
Adi menganggap tambahan kewenangan dalam UU MD3 menjadikan DPR sebagai institusi superbodi yang tidak tersentuh (untouchable), baik oleh rakyat maupun oleh penegak hukum.
Menurut dia, tambahan kewenangan DPR merupakan dampak buruk akibat minimnya kekuatan oposisi di Senayan.
Alhasil, sambung Adi, semua kebijakan kontroversial yang banyak merugikan publik berjalan mulus. Kondisi ini dinilai Adi sebagai sebuah ironi demokrasi yang tidak baik untuk pembangunan demokrasi ke depan
Menurut dia, semestinya penambahan kewenangan DPR menyangkut hal substansi terutama yang berkaitan peningkatan kinerja seperti penyelesaiain target penyusunan undang-undang dan penghematan anggaran negara.
Bukan malah sebaliknya memproteksi diri sebagai lembaga super power tak terbatas. "DPR ini terkesan ingin membuat 'negara' dalam negara yang memiliki kewenangam sendiri yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun," ucapnya.
(dam)