Meneladani Tradisi Kesatria di Pilkada DKI Jakarta
A
A
A
Muhammad Ikbal
Ketua KPU Jakarta Selatan
Pada 27 Juni 2018, Indonesia akan mengadakan pilkada serentak gelombang ketiga setelah pilkada serentak sebelumnya pada 2015 dan 2017. Terdapat 171 daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Pilkada Serentak 2018 melibatkan lebih dari 160 juta pemilih yang berarti lebih dari 80% penduduk Indonesia. Dengan jumlah daerah yang besar itu tentu memiliki tingkat konflik sosial yang tinggi. Salah satu yang dapat memicu konflik sosial adalah ketidaksiapan pasangan calon menghadapi kekalahan.
Padahal sejatinya, sang pemenang bukan hanya milik pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Calon yang secara kesatria memberi jalan bagi pesaing yang menang dalam mewujudkan mandat rakyat juga dapat disebut sebagai pemenang.
Sebab di atas seluruh kontestan yang bertarung terdapat pemenang sejati, yaitu rakyat itu sendiri. Melalui mandat yang diterima melalui pilkada itulah rakyat menanti hasil kemenangannya yaitu daerah yang lebih baik dan maju dalam usaha memperbaiki kehidupan.
Dalam pilkada memang membutuhkan kesatria-kesatria yang mampu rendah hati dan berbesar hati. Bagi yang menang, sudah semestinya tetap rendah hati sehingga tidak menambah luka hati bagi yang kalah. Inilah sikap kesatria.
Sebaliknya, bagi yang kalah, dengan sikap ikhlas hati juga bisa menerima dengan lapang dada kemenangan pihak lawan. Hal ini juga sikap kesatria. Jika dua sikap kesatria ini berkumpul, maka jalan lebih mudah untuk membuktikan kemenangan rakyat dapat makin bisa dicapai.
Pembelajaran Pilkada DKI Jakarta
Soal sikap kesatria, seluruh calon kepala daerah yang bersaing di Pilkada Serentak 2018 perlu membaca catatan pada Pilkada DKI Jakarta yang telah menggelar pilkada tiga kali, yaitu pada 2007, 2012, dan 2017. Salah satu aktor yang banyak memberikan pembelajaran sikap kesatria adalah Fauzi Bowo pada 2012. Saat itu dia menjabat Gubernur DKI Jakarta petahana yang dikalahkan pendatang baru di dunia perpolitikan Jakarta: Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok).
Banyak orang menyebut pemenang Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu adalah pasangan Jokowi-Ahok. Padahal pemenang sebenarnya ada dua: Jokowi dan Fauzi Bowo. Jokowi menang karena berhasil meraih perolehan suara terbanyak sehingga ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Gubernur DKI terpilih, sedangkan Fauzi menang karena berhasil memberikan pembelajaran demokrasi yang memikat.
Sikap Fauzi yang simpatik dalam merespons hasil Pilkada DKI pada September 2012 itu mendapatkan apresiasi banyak kalangan, termasuk dari Jokowi yang saat itu baru dinyatakan sebagai gubernur terpilih.
Bahkan, Fauzi Bowo turut aktif mempersiapkan transisi pemerintahan. Meskipun kalah dan harus meninggalkan birokrasi pemerintahan daerah DKI Jakarta yang telah puluhan tahun dirintisnya, Fauzi tidak ngambek atau berusaha mengganjal pesaingnya yang akan menggantikannya.
Setelah Jokowi ditetapkan KPU DKI sebagai Gubernur DKI terpilih, Fauzi tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Dia justru menyiapkan transisi pemerintahan secara smooth dan mengondisikan jajaran SKPD sampai tingkat bawah untuk bersiap-siap menerima kepemimpinan baru di bawah Gubernur Jokowi. Fauzi juga meminta seluruh jajaran Pemprov DKI mendukung Jokowi dan tetap bekerja keras menghadirkan Jakarta yang lebih maju dan sejahtera.
Apa yang dilakukan Fauzi Bowo itu mirip dengan dilakukan Adang Daradjatun pada Pilkada DKI 2007. Kandidat Gubernur DKI yang berpasangan dengan Dani Anwar diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyampaikan ucapan selamat kepada Fauzi Bowo sesaat setelah sejumlah lembaga survei yang melakukan quick count mengunggulkan pasangan Fauzi-Prijanto. Meskipun hasil resmi KPU belum diumumkan, Adang dengan penuh kesatria mengakui kekalahannya dan meminta seluruh pendukungnya untuk mendukung gubernur terpilih, Fauzi Bowo.
Tradisi kesatria para calon itu berlanjut pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Silviana Murni yang menempati posisi ketiga perolehan suara pada putaran pertama langsung menunjukkan sikap kesatria mengakui kekalahan. Pengakuan kalah tersebut diucapkan sendiri oleh AHY dalam konferensi pers di Posko Pemenangan Agus-Sylvi di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat.
Agus juga mengucapkan selamat kepada pasangan calon nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) dan pasangan calon nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi). Begitu pun Basuki Ahok-Djarot menunjukkan sikap kesatria dengan mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi.
Al Gore yang mengakui kalah saat melawan George Bush Jr pada Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2000 dengan penuh kearifan berucap, "Kekalahan dan kemenangan adalah jalan untuk memuliakan jiwa kita." Kalimat tersebut menarik dan menginspirasi. Keberanian mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat atas kemenangan lawannya, tidak akan dilakukan politisi yang selalu berobsesi mengejar kursi dan komisi.
Meskipun menjelang pemungutan suara selalu dilakukan deklarasi damai yang menegaskan komitmennya siap menang dan siap kalah, siap terpilih dan siap tidak terpilih, tapi pada kenyataannya, kebanyakan politisi hanya siap menang dan terpilih. Mereka tidak siap kalah, apalagi mau mengakui kemenangan rival. Sikap itu hanya bisa dilakukan oleh seorang negarawan yang lebih mengedepankan kepentingan orang banyak daripada kepentingan diri dan kelompoknya.
Catatan pembelajaran demokrasi dari ketiga Pilkada DKI Jakarta ini patut menjadi contoh bagi pasangan calon di 171 daerah yang menggelar pilkada tahun ini. Seyogianya sikap kesatria Fauzi Bowo, AHY, dan Ahok menjadi teladan semua politisi di Indonesia, terutama para calon yang akan bertarung di pilkada.
Para politisi harus mempertontonkan demokrasi indah serta enak ditonton. Keberhasilan pemilu di Indonesia jangan dirusak oleh pihak yang kalah dengan menghujat kinerja KPU. Ketidakberdayaan KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang sempurna merupakan persoalan normatif dalam sebuah kerja sangat besar dan berat.
Selamat berkompetisi para kesatria di Pilkada Serentak 2018.
Ketua KPU Jakarta Selatan
Pada 27 Juni 2018, Indonesia akan mengadakan pilkada serentak gelombang ketiga setelah pilkada serentak sebelumnya pada 2015 dan 2017. Terdapat 171 daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Pilkada Serentak 2018 melibatkan lebih dari 160 juta pemilih yang berarti lebih dari 80% penduduk Indonesia. Dengan jumlah daerah yang besar itu tentu memiliki tingkat konflik sosial yang tinggi. Salah satu yang dapat memicu konflik sosial adalah ketidaksiapan pasangan calon menghadapi kekalahan.
Padahal sejatinya, sang pemenang bukan hanya milik pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Calon yang secara kesatria memberi jalan bagi pesaing yang menang dalam mewujudkan mandat rakyat juga dapat disebut sebagai pemenang.
Sebab di atas seluruh kontestan yang bertarung terdapat pemenang sejati, yaitu rakyat itu sendiri. Melalui mandat yang diterima melalui pilkada itulah rakyat menanti hasil kemenangannya yaitu daerah yang lebih baik dan maju dalam usaha memperbaiki kehidupan.
Dalam pilkada memang membutuhkan kesatria-kesatria yang mampu rendah hati dan berbesar hati. Bagi yang menang, sudah semestinya tetap rendah hati sehingga tidak menambah luka hati bagi yang kalah. Inilah sikap kesatria.
Sebaliknya, bagi yang kalah, dengan sikap ikhlas hati juga bisa menerima dengan lapang dada kemenangan pihak lawan. Hal ini juga sikap kesatria. Jika dua sikap kesatria ini berkumpul, maka jalan lebih mudah untuk membuktikan kemenangan rakyat dapat makin bisa dicapai.
Pembelajaran Pilkada DKI Jakarta
Soal sikap kesatria, seluruh calon kepala daerah yang bersaing di Pilkada Serentak 2018 perlu membaca catatan pada Pilkada DKI Jakarta yang telah menggelar pilkada tiga kali, yaitu pada 2007, 2012, dan 2017. Salah satu aktor yang banyak memberikan pembelajaran sikap kesatria adalah Fauzi Bowo pada 2012. Saat itu dia menjabat Gubernur DKI Jakarta petahana yang dikalahkan pendatang baru di dunia perpolitikan Jakarta: Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok).
Banyak orang menyebut pemenang Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu adalah pasangan Jokowi-Ahok. Padahal pemenang sebenarnya ada dua: Jokowi dan Fauzi Bowo. Jokowi menang karena berhasil meraih perolehan suara terbanyak sehingga ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Gubernur DKI terpilih, sedangkan Fauzi menang karena berhasil memberikan pembelajaran demokrasi yang memikat.
Sikap Fauzi yang simpatik dalam merespons hasil Pilkada DKI pada September 2012 itu mendapatkan apresiasi banyak kalangan, termasuk dari Jokowi yang saat itu baru dinyatakan sebagai gubernur terpilih.
Bahkan, Fauzi Bowo turut aktif mempersiapkan transisi pemerintahan. Meskipun kalah dan harus meninggalkan birokrasi pemerintahan daerah DKI Jakarta yang telah puluhan tahun dirintisnya, Fauzi tidak ngambek atau berusaha mengganjal pesaingnya yang akan menggantikannya.
Setelah Jokowi ditetapkan KPU DKI sebagai Gubernur DKI terpilih, Fauzi tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Dia justru menyiapkan transisi pemerintahan secara smooth dan mengondisikan jajaran SKPD sampai tingkat bawah untuk bersiap-siap menerima kepemimpinan baru di bawah Gubernur Jokowi. Fauzi juga meminta seluruh jajaran Pemprov DKI mendukung Jokowi dan tetap bekerja keras menghadirkan Jakarta yang lebih maju dan sejahtera.
Apa yang dilakukan Fauzi Bowo itu mirip dengan dilakukan Adang Daradjatun pada Pilkada DKI 2007. Kandidat Gubernur DKI yang berpasangan dengan Dani Anwar diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyampaikan ucapan selamat kepada Fauzi Bowo sesaat setelah sejumlah lembaga survei yang melakukan quick count mengunggulkan pasangan Fauzi-Prijanto. Meskipun hasil resmi KPU belum diumumkan, Adang dengan penuh kesatria mengakui kekalahannya dan meminta seluruh pendukungnya untuk mendukung gubernur terpilih, Fauzi Bowo.
Tradisi kesatria para calon itu berlanjut pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Silviana Murni yang menempati posisi ketiga perolehan suara pada putaran pertama langsung menunjukkan sikap kesatria mengakui kekalahan. Pengakuan kalah tersebut diucapkan sendiri oleh AHY dalam konferensi pers di Posko Pemenangan Agus-Sylvi di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat.
Agus juga mengucapkan selamat kepada pasangan calon nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) dan pasangan calon nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi). Begitu pun Basuki Ahok-Djarot menunjukkan sikap kesatria dengan mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi.
Al Gore yang mengakui kalah saat melawan George Bush Jr pada Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2000 dengan penuh kearifan berucap, "Kekalahan dan kemenangan adalah jalan untuk memuliakan jiwa kita." Kalimat tersebut menarik dan menginspirasi. Keberanian mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat atas kemenangan lawannya, tidak akan dilakukan politisi yang selalu berobsesi mengejar kursi dan komisi.
Meskipun menjelang pemungutan suara selalu dilakukan deklarasi damai yang menegaskan komitmennya siap menang dan siap kalah, siap terpilih dan siap tidak terpilih, tapi pada kenyataannya, kebanyakan politisi hanya siap menang dan terpilih. Mereka tidak siap kalah, apalagi mau mengakui kemenangan rival. Sikap itu hanya bisa dilakukan oleh seorang negarawan yang lebih mengedepankan kepentingan orang banyak daripada kepentingan diri dan kelompoknya.
Catatan pembelajaran demokrasi dari ketiga Pilkada DKI Jakarta ini patut menjadi contoh bagi pasangan calon di 171 daerah yang menggelar pilkada tahun ini. Seyogianya sikap kesatria Fauzi Bowo, AHY, dan Ahok menjadi teladan semua politisi di Indonesia, terutama para calon yang akan bertarung di pilkada.
Para politisi harus mempertontonkan demokrasi indah serta enak ditonton. Keberhasilan pemilu di Indonesia jangan dirusak oleh pihak yang kalah dengan menghujat kinerja KPU. Ketidakberdayaan KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang sempurna merupakan persoalan normatif dalam sebuah kerja sangat besar dan berat.
Selamat berkompetisi para kesatria di Pilkada Serentak 2018.
(maf)