Pers di Pusaran Tahun Politik
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif the Political Literacy Institut
dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Momentum puncak Hari Pers Nasional (HPN) Ke-32 digelar di Kota Padang, Sumatera Barat. Tentu bukan semata seremonial yang diharapkan, melainkan ada refleksi kritis atas peran dan fungsi pers saat ini dan ke depan. Terlebih pers memiliki posisi sangat strategis di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik di musim kontestasi elektoral.
Tahun ini ada pilkada serentak di 171 daerah dan 5 daerah di antaranya merupakan lumbung suara nasional atau battleground menentukan. Kelima daerah tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Selain itu panggung politik nasional kita pun mulai gegap gempita dengan ragam strategi penguasaan opini publik terkait dengan kontestasi elektoral di tahun 2019.
Locus Publicus
Jika melihat kondisi faktualnya saat ini, dan meminjam tipologi dari Ralph L Lowenstein dalam tulisan lawasnya, Press Freedom as Barom e ter of Political Democracy (1976), secara umum posisi pers kita berada di moderately developed system. Ada tiga indikator utamanya. Pertama, media independen dan tak terikat dengan pemerintah.
Di era keterbukaan seperti saat ini, pemerintah sebagai kekuatan eksternal media tak lagi bisa semena-mena menguasai secara hegemonik politik redaksi. Pers sesungguhnya mitra sejajar pemerintah. Hal ini berbeda dengan akhir era Orde Lama dan era Orde Baru, terutama sejak 1970, yang sangat dikendalikan oleh structured style Soekarno dan controlling style Soeharto. Pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, sang kepala negara cenderung memosisikan pers sebagai the extension of power dari era demokrasi terpimpin.
Kemudian di fase awal Orde Baru, pers berbulan madu dengan pemerintah. Pilihan relasi kuasanya menjadi partner of power. Bulan madu tak bertahan lama karena sejak 1967 pers kembali kritis. Akhir kemesraan terjadi pada 1969 dan terus mengalami titik kulminasi dalam hubungan antogonistis hingga tahun 1973.
Wajah pers sebagai counter power misalnya terjadi saat meletusnya peristiwa Malari 1974. Fase kekuasaan hegemonik yang populer dengan istilah koorporatisme Orde Baru membuat pers ”dipaksa” bermain peran semu sebagai partner of government hingga jelang peristiwa Reformasi 1998. Katup kebebasan terbuka di 1998 dan pers pun kembali memosisikan diri secara beragam.
Pers memasuki fase liberalisasi dengan masuknya para pemodal besar dalam bisnis media yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Posisi daya tawar kuasa (bargaining power) pers banyak dipengaruhi oleh logika hukum pasar di mana kapital dan lingkungan kompetitif bisnis media ”memaksa” mereka mencari formula tepat agar bisa bertahan.
Kedua, struktur sosial kemasyarakatan semakin dinamis dan kompetitif. Tak hanya figur/ elite yang kekuatannya lebih tersebar, partai politik, kelompok penekan, kelompok kepentingan, termasuk pemusatan bisnis-bisnis media membuat kerja pers kerap dihadapkan pada dilema.
Di satu sisi Jurgen Habermas mengidealkan prinsip dasar kerja media sebagai ruang publik (public sphere), locus publicus, baik fisik maupun nonfisik yang diperuntukkan kepada warga (Habermas, 1989). Tapi di sisi lain, media kerap dihadapkan pada logika kumulasi ekonomi khas capitalist venture. Douglas Kellner dalam tulisannya Television and The Crisis of Democracy (1990) menyatakan tingkah laku industri media akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion.
Ketiga, pendidikan masyarakat semakin maju. Masyarakat kita terus mengalami perubahan seiring dengan semakin banyaknya medium pengetahuan. Hari ini ada yang masih bergantung kuat pada media, ada yang sudah menjaga jarak, bahkan ada juga yang resisten dan tak lagi percaya media massa. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat masyarakat semakin kritis.
Keempat, ciri dari tipologi ini adalah saluran yang tersedia banyak. Warga memiliki multikanal informasi yang digunakannya setiap saat sehingga kredibilitas kerja pers pun tak semata bersaing dengan sesama pers di platform media berbeda, misalnya online, broadcasting, tetapi bersaing juga dengan media sosial yang setiap saat bisa diproduksi, direproduksi dan didistribusikan sesama warga dengan cepat meski kerap tak akurat.
Peran di Tahun Politik
Bacaan tadi menjadi penting untuk memosisikan peran pers saat ini. Jangka pendeknya, ada dua perhelatan penting dalam proses konsolidasi demokrasi kita di Indonesia, yakni Pilkada Serentak 2018 dan pemilu legislatif (pileg) serta pemilu presiden (pilpres) yang untuk pertama kalinya digelar secara bersamaan waktunya.
Pers memiliki empat kekuatan yang sekaligus bisa menjadi kelemahan secara bersamaan di tahun politik ini. Pertama, kekuatan dalam proses konstruksi realitas (penyiapan, penyebaran, pembentukan serta konfirmasi konstruksi). Setiap saat pers dapat menjadi saluran sekaligus aktor politik menentukan, terutama dalam menaikkan dan menurunkan tensi diskursus publik.
Seluruh kandidat yang terlibat dalam perebutan kuasa di daerah maupun politisi yang berebut menjadi anggota DPR serta jabatan RI-1 dan R-2 akan memiliki kepentingan pada institusi media.
Gebner dalam bukunya Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), menyebut konsep resonansi. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Ketika realitas media mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi pun berlaku.
Tapi kekuatan ini bisa menjadi kelemahan sekaligus saat tidak ada garis demarkasi yang jelas dan tegas antara kerja jurnalistik yang menuntut standar tinggi integritas dan imparsialitas dengan bisnis media yang menjadi ”tukang pemenangan” para kandidat.
Kedua, pers memiliki kekuatan dalam memersuasi perubahan.
Melalui pemeringkatan isu yang dibuatnya setiap saat, media kerap memengaruhi pemeringkatan isu yang dianggap penting oleh khalayak. Oleh karenanya media sesungguhnya bisa memersuasi khalayak untuk tak terjebak pada retrogresi politik atau pemburukan kualitas demokrasi.
Misalnya mengampanyekan perlunya partisipasi anak muda, adu gagasan dan program, serta turut menggerakkan warga agar berpartisipasi dalam gerakan bersama mengawasi proses dan hasil pilkada, pileg maupun pilpres. Tapi pers juga di saat bersamaan sangat mungkin pro-status quo. Menjadi alat politik incumbent (petahana), menguatkan politik dinasti yang aksesnya dikuasai dari hulu ke hilir oleh segelintir orang.
Di banyak pilkada, kita bisa melihat, banyak pers lokal yang sepenuhnya dikontrol kekuatan oligarkis dan media menjadi corong persuasi untuk memenangkan kelompok status quo ini. Fungsi media yang seharusnya selain menyampaikan informasi, juga ada fungsi pengawasan sosial (social surveillance).
Ketiga, pers memiliki kekuatan dalam peneguhan budaya dan merekatkan titik temu politik kebangsaan. Melalui pemberitaan, editorial, perbincangan yang dibuat dan difasilitasi media, sesungguhnya pers bisa berkontribusi pada suasana kondusif di tengah polarisasi dukungan saat terjadi perebutan kekuasaan.
Tapi di saat bersamaan, media juga bisa menjadi pemicu konflik. Mereka mengipas-ngipasi konflik, terlebih dengan isu berdaya ledak tinggi seperti SARA. Media bisa menjangkau hingga ruang-ruang keluarga, berpotensi memperluas dan memperdalam area perbedaan, terlebih kalau media massa bersangkutan tak lagi mengindahkan aturan, etika, dan keadaban politik.
Keempat, media adalah sumber informasi yang karena karakteristik melembaganya punya aturan hukum dan perundang-undangan, standar prilaku, kode etik sehingga seharusnya informasi bersifat kredibel, faktual, serta verifikatif. Tapi media juga berpotensi menjadi penyebar hoax dan ragam kepalsuan lainnya jika yang bersangkutan diarahkan oleh kepentingan pragmatis ekonomi dan politik sesaat.
Selamat Hari Pers Nasional, semoga pers Indonesia tetap menjaga marwahnya sebagai pencerah di tahun politik dan tidak menurunkan derajat menjadi sekadar 'tukang pemenangan'.
Direktur Eksekutif the Political Literacy Institut
dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Momentum puncak Hari Pers Nasional (HPN) Ke-32 digelar di Kota Padang, Sumatera Barat. Tentu bukan semata seremonial yang diharapkan, melainkan ada refleksi kritis atas peran dan fungsi pers saat ini dan ke depan. Terlebih pers memiliki posisi sangat strategis di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik di musim kontestasi elektoral.
Tahun ini ada pilkada serentak di 171 daerah dan 5 daerah di antaranya merupakan lumbung suara nasional atau battleground menentukan. Kelima daerah tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Selain itu panggung politik nasional kita pun mulai gegap gempita dengan ragam strategi penguasaan opini publik terkait dengan kontestasi elektoral di tahun 2019.
Locus Publicus
Jika melihat kondisi faktualnya saat ini, dan meminjam tipologi dari Ralph L Lowenstein dalam tulisan lawasnya, Press Freedom as Barom e ter of Political Democracy (1976), secara umum posisi pers kita berada di moderately developed system. Ada tiga indikator utamanya. Pertama, media independen dan tak terikat dengan pemerintah.
Di era keterbukaan seperti saat ini, pemerintah sebagai kekuatan eksternal media tak lagi bisa semena-mena menguasai secara hegemonik politik redaksi. Pers sesungguhnya mitra sejajar pemerintah. Hal ini berbeda dengan akhir era Orde Lama dan era Orde Baru, terutama sejak 1970, yang sangat dikendalikan oleh structured style Soekarno dan controlling style Soeharto. Pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, sang kepala negara cenderung memosisikan pers sebagai the extension of power dari era demokrasi terpimpin.
Kemudian di fase awal Orde Baru, pers berbulan madu dengan pemerintah. Pilihan relasi kuasanya menjadi partner of power. Bulan madu tak bertahan lama karena sejak 1967 pers kembali kritis. Akhir kemesraan terjadi pada 1969 dan terus mengalami titik kulminasi dalam hubungan antogonistis hingga tahun 1973.
Wajah pers sebagai counter power misalnya terjadi saat meletusnya peristiwa Malari 1974. Fase kekuasaan hegemonik yang populer dengan istilah koorporatisme Orde Baru membuat pers ”dipaksa” bermain peran semu sebagai partner of government hingga jelang peristiwa Reformasi 1998. Katup kebebasan terbuka di 1998 dan pers pun kembali memosisikan diri secara beragam.
Pers memasuki fase liberalisasi dengan masuknya para pemodal besar dalam bisnis media yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Posisi daya tawar kuasa (bargaining power) pers banyak dipengaruhi oleh logika hukum pasar di mana kapital dan lingkungan kompetitif bisnis media ”memaksa” mereka mencari formula tepat agar bisa bertahan.
Kedua, struktur sosial kemasyarakatan semakin dinamis dan kompetitif. Tak hanya figur/ elite yang kekuatannya lebih tersebar, partai politik, kelompok penekan, kelompok kepentingan, termasuk pemusatan bisnis-bisnis media membuat kerja pers kerap dihadapkan pada dilema.
Di satu sisi Jurgen Habermas mengidealkan prinsip dasar kerja media sebagai ruang publik (public sphere), locus publicus, baik fisik maupun nonfisik yang diperuntukkan kepada warga (Habermas, 1989). Tapi di sisi lain, media kerap dihadapkan pada logika kumulasi ekonomi khas capitalist venture. Douglas Kellner dalam tulisannya Television and The Crisis of Democracy (1990) menyatakan tingkah laku industri media akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion.
Ketiga, pendidikan masyarakat semakin maju. Masyarakat kita terus mengalami perubahan seiring dengan semakin banyaknya medium pengetahuan. Hari ini ada yang masih bergantung kuat pada media, ada yang sudah menjaga jarak, bahkan ada juga yang resisten dan tak lagi percaya media massa. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat masyarakat semakin kritis.
Keempat, ciri dari tipologi ini adalah saluran yang tersedia banyak. Warga memiliki multikanal informasi yang digunakannya setiap saat sehingga kredibilitas kerja pers pun tak semata bersaing dengan sesama pers di platform media berbeda, misalnya online, broadcasting, tetapi bersaing juga dengan media sosial yang setiap saat bisa diproduksi, direproduksi dan didistribusikan sesama warga dengan cepat meski kerap tak akurat.
Peran di Tahun Politik
Bacaan tadi menjadi penting untuk memosisikan peran pers saat ini. Jangka pendeknya, ada dua perhelatan penting dalam proses konsolidasi demokrasi kita di Indonesia, yakni Pilkada Serentak 2018 dan pemilu legislatif (pileg) serta pemilu presiden (pilpres) yang untuk pertama kalinya digelar secara bersamaan waktunya.
Pers memiliki empat kekuatan yang sekaligus bisa menjadi kelemahan secara bersamaan di tahun politik ini. Pertama, kekuatan dalam proses konstruksi realitas (penyiapan, penyebaran, pembentukan serta konfirmasi konstruksi). Setiap saat pers dapat menjadi saluran sekaligus aktor politik menentukan, terutama dalam menaikkan dan menurunkan tensi diskursus publik.
Seluruh kandidat yang terlibat dalam perebutan kuasa di daerah maupun politisi yang berebut menjadi anggota DPR serta jabatan RI-1 dan R-2 akan memiliki kepentingan pada institusi media.
Gebner dalam bukunya Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), menyebut konsep resonansi. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Ketika realitas media mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi pun berlaku.
Tapi kekuatan ini bisa menjadi kelemahan sekaligus saat tidak ada garis demarkasi yang jelas dan tegas antara kerja jurnalistik yang menuntut standar tinggi integritas dan imparsialitas dengan bisnis media yang menjadi ”tukang pemenangan” para kandidat.
Kedua, pers memiliki kekuatan dalam memersuasi perubahan.
Melalui pemeringkatan isu yang dibuatnya setiap saat, media kerap memengaruhi pemeringkatan isu yang dianggap penting oleh khalayak. Oleh karenanya media sesungguhnya bisa memersuasi khalayak untuk tak terjebak pada retrogresi politik atau pemburukan kualitas demokrasi.
Misalnya mengampanyekan perlunya partisipasi anak muda, adu gagasan dan program, serta turut menggerakkan warga agar berpartisipasi dalam gerakan bersama mengawasi proses dan hasil pilkada, pileg maupun pilpres. Tapi pers juga di saat bersamaan sangat mungkin pro-status quo. Menjadi alat politik incumbent (petahana), menguatkan politik dinasti yang aksesnya dikuasai dari hulu ke hilir oleh segelintir orang.
Di banyak pilkada, kita bisa melihat, banyak pers lokal yang sepenuhnya dikontrol kekuatan oligarkis dan media menjadi corong persuasi untuk memenangkan kelompok status quo ini. Fungsi media yang seharusnya selain menyampaikan informasi, juga ada fungsi pengawasan sosial (social surveillance).
Ketiga, pers memiliki kekuatan dalam peneguhan budaya dan merekatkan titik temu politik kebangsaan. Melalui pemberitaan, editorial, perbincangan yang dibuat dan difasilitasi media, sesungguhnya pers bisa berkontribusi pada suasana kondusif di tengah polarisasi dukungan saat terjadi perebutan kekuasaan.
Tapi di saat bersamaan, media juga bisa menjadi pemicu konflik. Mereka mengipas-ngipasi konflik, terlebih dengan isu berdaya ledak tinggi seperti SARA. Media bisa menjangkau hingga ruang-ruang keluarga, berpotensi memperluas dan memperdalam area perbedaan, terlebih kalau media massa bersangkutan tak lagi mengindahkan aturan, etika, dan keadaban politik.
Keempat, media adalah sumber informasi yang karena karakteristik melembaganya punya aturan hukum dan perundang-undangan, standar prilaku, kode etik sehingga seharusnya informasi bersifat kredibel, faktual, serta verifikatif. Tapi media juga berpotensi menjadi penyebar hoax dan ragam kepalsuan lainnya jika yang bersangkutan diarahkan oleh kepentingan pragmatis ekonomi dan politik sesaat.
Selamat Hari Pers Nasional, semoga pers Indonesia tetap menjaga marwahnya sebagai pencerah di tahun politik dan tidak menurunkan derajat menjadi sekadar 'tukang pemenangan'.
(nag)