Nyali Gubernur di Pulau Reklamasi
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)
NYALI Gubernur DKI Jakarta dalam menghentikan proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta kembali diuji. Tak hanya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang menolak permohonan pencabutan Hak Guna Bangunan (HGB) pulau hasil reklamasi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman juga ngotot agar proyek properti reklamasi bisa dilanjutkan.
Silang pendapat antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pemerintah pusat berkenaan dengan proyek properti reklamasi sudah diperkirakan bakal terjadi. Inilah sesungguhnya efek Pilkada DKI Jakarta. Kekalahan incumbent berimbas pada terganggunya kepentingan pemerintah daerah dan pengembang di pulau palsu. Tak mengherankan apabila pemerintah pusat keukeuh mempertahankan mega proyek properti tersebut.
Dengan dalih ”pencabutan HGB Pulau C, Pulau D, dan Pulau G bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan munculnya ketidakpercayaan investor”, Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk berkomunikasi dengan Gubernur DKI Jakarta. Menariknya, pandangan berbeda justru disampaikan sang gubernur.
Pada banyak kesempatan, Gubernur DKI Jakarta menyampaikan, ”proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta merupakan pelanggaran konstitusi dan merugikan masyarakat Jakarta”. Betapa tidak, mayoritas warga Jakarta kehilangan akses terhadap pantainya. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan pembudi daya ikan.
Tak berlebihan apabila Gubernur DKI Jakarta memohon pencabutan atas sertifikat HGB Pulau 2A atau Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare untuk perusahaan properti skala besar PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan PT Agung Sedayu Group) pada 24 Agustus 2017. Selain menyalahi akal sehat, proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak investasi perikanan rakyat yang telah berlangsung turun-temurun. Lantas, bagaimana mengatasinya?
Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Khattab (634-644 Masehi) pernah menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash (583-664 Masehi) karena menyerobot tanah warganya, meski telah memberikan ganti rugi. Khalifah Umar berpesan, ”Apa pun pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat Anda akan bernasib seperti tulang unta (yang dikirimkannya kepada Gubernur Mesir) ini. Oleh karena itu, bertindak adillah seperti huruf Alif yang tertulis di atasnya.” Teguran keras yang disampaikan Khalifah Umar membuat Gubernur Mesir menyadari kekeliruannya dan mengembalikan hak warganya.
Kisah di atas menunjukkan bahwa kepemilikan publik atas sumber daya alam, tak terkecuali di Teluk Jakarta, tidak bisa direduksi semata-mata dengan memberikan ganti rugi. Kenapa demikian? Karena pemberian kompensasi berakibat pada hilangnya hak-hak masyarakat pesisir yang bersifat turun-temurun. Padahal pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, ditariknya draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (Raperda RTRKS) dan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dari Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2018 atas kesepakatan bersama dengan DPRD DKI Jakarta pada 22 November 2017, serta permohonan pembatalan seluruh HGB yang diberikan kepada pihak ketiga atas seluruh pulau hasil reklamasi, antara lain Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, sebagaimana tertuang di dalam surat bernomor 2373/-1.794.2 yang dikirimkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia pada 29 Desember 2017 merupakan upaya serius Gubernur DKI Jakarta untuk menghadirkan kepastian hukum dan iklim investasi yang transparan dan akuntabel.
Jamak diketahui bahwa proses penerbitan HGB pulau reklamasi yang didahului dengan Hak Pengelolaan dan perjanjian kerja sama terkait penggunaan tanah antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Kapuk Naga Indah melangkahi mandat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni minusnya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di samping itu, penerbitan HGB juga melanggar Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pertama, Pasal 5 ayat (2) yang mengatur pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk program strategis negara, kepentingan umum, permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat, dan pariwisata. Pertanyaannya, apakah proyek properti reklamasi termasuk program strategis negara sehingga pemerintah pusat terkesan ngotot sekali?
Kedua, Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah harus sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir. Faktanya, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan perkataan lain, proyek properti reklamasi adalah produk ketidakpastian hukum yang menabrak banyak aturan dan kewarasan publik. Tak mengherankan bila belakangan konsumen menuntut pengembalian down payment yang telah dibayarkan kepada pengembang.
Mengacu pada argumentasi di atas, sudah semestinya pemerintah pusat mendukung upaya yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta untuk memajukan kepentingan warga dalam pengelolaan Teluk Jakarta dan membahagiakan masyarakat pesisir yang tinggal di sekitarnya. Terlebih ikhtiar ini sejalan dengan visi Presiden Soekarno.
Seperti diungkapkan Bung Karno di dalam pidato bertajuk ”Jalannya Revolusi Kita” saat menghadiri perayaan HUT Republik Indonesia, ”Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk tani. Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah”. Pun demikian makna lautan sebagaimana dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Dia menyatukan dan menyejahterakan nelayan, bukan menceraiberaikannya dengan timbunan pasir dan bebatuan
Jika sungguh-sungguh ingin membalikkan punggung yang selama ini membelakangi lautan, samudra, dan teluk, sudah seyogianya Presiden Joko Widodo memperkuat nyali Gubernur DKI Jakarta di pulau hasil reklamasi. Bukan sebaliknya, Tuan Presiden!
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)
NYALI Gubernur DKI Jakarta dalam menghentikan proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta kembali diuji. Tak hanya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang menolak permohonan pencabutan Hak Guna Bangunan (HGB) pulau hasil reklamasi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman juga ngotot agar proyek properti reklamasi bisa dilanjutkan.
Silang pendapat antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pemerintah pusat berkenaan dengan proyek properti reklamasi sudah diperkirakan bakal terjadi. Inilah sesungguhnya efek Pilkada DKI Jakarta. Kekalahan incumbent berimbas pada terganggunya kepentingan pemerintah daerah dan pengembang di pulau palsu. Tak mengherankan apabila pemerintah pusat keukeuh mempertahankan mega proyek properti tersebut.
Dengan dalih ”pencabutan HGB Pulau C, Pulau D, dan Pulau G bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan munculnya ketidakpercayaan investor”, Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk berkomunikasi dengan Gubernur DKI Jakarta. Menariknya, pandangan berbeda justru disampaikan sang gubernur.
Pada banyak kesempatan, Gubernur DKI Jakarta menyampaikan, ”proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta merupakan pelanggaran konstitusi dan merugikan masyarakat Jakarta”. Betapa tidak, mayoritas warga Jakarta kehilangan akses terhadap pantainya. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan pembudi daya ikan.
Tak berlebihan apabila Gubernur DKI Jakarta memohon pencabutan atas sertifikat HGB Pulau 2A atau Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare untuk perusahaan properti skala besar PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan PT Agung Sedayu Group) pada 24 Agustus 2017. Selain menyalahi akal sehat, proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak investasi perikanan rakyat yang telah berlangsung turun-temurun. Lantas, bagaimana mengatasinya?
Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Khattab (634-644 Masehi) pernah menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash (583-664 Masehi) karena menyerobot tanah warganya, meski telah memberikan ganti rugi. Khalifah Umar berpesan, ”Apa pun pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat Anda akan bernasib seperti tulang unta (yang dikirimkannya kepada Gubernur Mesir) ini. Oleh karena itu, bertindak adillah seperti huruf Alif yang tertulis di atasnya.” Teguran keras yang disampaikan Khalifah Umar membuat Gubernur Mesir menyadari kekeliruannya dan mengembalikan hak warganya.
Kisah di atas menunjukkan bahwa kepemilikan publik atas sumber daya alam, tak terkecuali di Teluk Jakarta, tidak bisa direduksi semata-mata dengan memberikan ganti rugi. Kenapa demikian? Karena pemberian kompensasi berakibat pada hilangnya hak-hak masyarakat pesisir yang bersifat turun-temurun. Padahal pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, ditariknya draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (Raperda RTRKS) dan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dari Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2018 atas kesepakatan bersama dengan DPRD DKI Jakarta pada 22 November 2017, serta permohonan pembatalan seluruh HGB yang diberikan kepada pihak ketiga atas seluruh pulau hasil reklamasi, antara lain Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, sebagaimana tertuang di dalam surat bernomor 2373/-1.794.2 yang dikirimkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia pada 29 Desember 2017 merupakan upaya serius Gubernur DKI Jakarta untuk menghadirkan kepastian hukum dan iklim investasi yang transparan dan akuntabel.
Jamak diketahui bahwa proses penerbitan HGB pulau reklamasi yang didahului dengan Hak Pengelolaan dan perjanjian kerja sama terkait penggunaan tanah antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Kapuk Naga Indah melangkahi mandat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni minusnya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di samping itu, penerbitan HGB juga melanggar Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pertama, Pasal 5 ayat (2) yang mengatur pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk program strategis negara, kepentingan umum, permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat, dan pariwisata. Pertanyaannya, apakah proyek properti reklamasi termasuk program strategis negara sehingga pemerintah pusat terkesan ngotot sekali?
Kedua, Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah harus sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir. Faktanya, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan perkataan lain, proyek properti reklamasi adalah produk ketidakpastian hukum yang menabrak banyak aturan dan kewarasan publik. Tak mengherankan bila belakangan konsumen menuntut pengembalian down payment yang telah dibayarkan kepada pengembang.
Mengacu pada argumentasi di atas, sudah semestinya pemerintah pusat mendukung upaya yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta untuk memajukan kepentingan warga dalam pengelolaan Teluk Jakarta dan membahagiakan masyarakat pesisir yang tinggal di sekitarnya. Terlebih ikhtiar ini sejalan dengan visi Presiden Soekarno.
Seperti diungkapkan Bung Karno di dalam pidato bertajuk ”Jalannya Revolusi Kita” saat menghadiri perayaan HUT Republik Indonesia, ”Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk tani. Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah”. Pun demikian makna lautan sebagaimana dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Dia menyatukan dan menyejahterakan nelayan, bukan menceraiberaikannya dengan timbunan pasir dan bebatuan
Jika sungguh-sungguh ingin membalikkan punggung yang selama ini membelakangi lautan, samudra, dan teluk, sudah seyogianya Presiden Joko Widodo memperkuat nyali Gubernur DKI Jakarta di pulau hasil reklamasi. Bukan sebaliknya, Tuan Presiden!
(thm)