Nyali Gubernur di Pulau Reklamasi

Kamis, 08 Februari 2018 - 08:01 WIB
Nyali Gubernur di Pulau...
Nyali Gubernur di Pulau Reklamasi
A A A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)

NYALI Gubernur DKI Jakarta dalam meng­henti­kan proyek pro­perti reklamasi di Teluk Jakarta kembali diuji. Tak hanya Men­teri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang menolak permohonan pencabut­an Hak Guna Bangun­an (HGB) pulau hasil reklamasi, Menteri Koordinator Bidang Ke­mari­tim­an juga ngotot agar proyek pro­perti reklamasi bisa dilanjutkan.

Silang pendapat antara Pe­merintah Provinsi DKI Ja­karta dengan pemerintah pusat ber­kenaan dengan proyek properti reklamasi sudah diperkirakan bakal terjadi. Inilah sesung­guh­nya efek Pilkada DKI Jakarta. Kekalahan incumbent berimbas pada terganggunya kepenting­an pemerintah daerah dan pe­ngembang di pulau palsu. Tak mengherankan apabila peme­rintah pusat keukeuh mem­per­tahankan mega proyek properti tersebut.

Dengan dalih ”pencabutan HGB Pulau C, Pulau D, dan Pulau G bisa menimbulkan ketidak­pastian hukum dan munculnya ketidakpercayaan investor”, Pre­siden Joko Widodo me­nugas­kan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk berkomunikasi dengan Guber­nur DKI Jakarta. Menariknya, pandangan berbeda justru di­sampaikan sang gubernur.

Pada banyak kesempatan, Gubernur DKI Jakarta me­nyam­paikan, ”proyek properti rek­lamasi di Teluk Jakarta me­ru­pa­kan pelanggaran kon­sti­tusi dan merugikan masyarakat Jakar­ta”. Betapa tidak, mayo­ritas warga Jakarta kehilangan akses ter­hadap pantainya. Ter­lebih bagi masyarakat pesisir yang bermata pencaharian se­bagai nelayan dan pembudi daya ikan.

Tak berlebihan apabila Gu­bernur DKI Jakarta me­mohon pencabutan atas sertifikat HGB Pulau 2A atau Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi atau se­tara 312 hektare untuk per­usahaan properti skala besar PT Kapuk Naga Indah (anak per­usahaan PT Agung Sedayu Group) pada 24 Agustus 2017. Selain menyalahi akal sehat, proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta juga menim­bul­kan ketidakpastian hukum dan merusak investasi perikanan rakyat yang telah berlangsung turun-temurun. Lantas, bagai­mana mengatasinya?

Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Khattab (634-644 Masehi) pernah menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash (583-664 Masehi) karena menyerobot tanah warganya, meski telah memberikan ganti rugi. Khalifah Umar berpesan, ”Apa pun pangkat dan ke­kuasa­anmu, suatu saat Anda akan bernasib seperti tulang unta (yang dikirimkannya kepada Gubernur Mesir) ini. Oleh karena itu, bertindak adillah seperti huruf Alif yang tertulis di atasnya.” Teguran keras yang disampaikan Khalifah Umar membuat Gubernur Mesir menyadari kekeliruannya dan mengembalikan hak warganya.

Kisah di atas menunjukkan bahwa kepemilikan publik atas sumber daya alam, tak ter­kecuali di Teluk Jakarta, tidak bisa direduksi semata-mata dengan memberikan ganti rugi. Kenapa demikian? Karena pem­berian kompensasi berakibat pada hilangnya hak-hak masya­rakat pesisir yang bersifat turun-temurun. Padahal peme­rintah berkewajiban untuk me­majukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, ditariknya draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (Raperda RTRKS) dan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dari Pro­gram Legislasi Daerah (Proleg­da) 2018 atas kesepakatan bersama dengan DPRD DKI Jakarta pada 22 November 2017, serta per­mohonan pembatalan seluruh HGB yang diberikan kepada pihak ketiga atas seluruh pulau hasil reklamasi, antara lain Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, sebagai­mana tertuang di dalam surat bernomor 2373/-1.794.2 yang di­kirimkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Per­tanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia pada 29 Desember 2017 me­rupakan upaya serius Guber­nur DKI Jakarta untuk meng­hadirkan kepastian hukum dan iklim investasi yang transparan dan akuntabel.

Jamak diketahui bahwa pro­ses penerbitan HGB pulau rek­la­masi yang didahului dengan Hak Pengelolaan dan perjanjian kerja sama terkait penggunaan tanah antara Pemprov DKI Jakarta de­ngan PT Kapuk Naga Indah me­lang­kahi mandat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Per­ubah­­an atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelola­an Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni minus­nya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Di samping itu, penerbitan HGB juga melanggar Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pertama, Pasal 5 ayat (2) yang mengatur pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat di­berikan untuk program stra­tegis negara, kepentingan umum, permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat, dan pariwisata. Pertanyaannya, apakah proyek properti rekla­masi termasuk program strate­g­is negara sehingga pemerintah pusat terkesan ngotot sekali?

Kedua, Pasal 6 ayat (2) me­ne­gaskan bahwa pemberian hak atas tanah harus sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir. Faktanya, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Da­erah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan perkataan lain, proyek properti reklamasi adalah produk ketidakpastian hukum yang menabrak banyak aturan dan kewarasan publik. Tak mengherankan bila belakang­a­n konsumen menuntut pengembalian down payment yang telah dibayarkan kepada pengembang.

Mengacu pada argumentasi di atas, sudah semestinya pe­me­rintah pusat mendukung upaya yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta untuk memajukan ke­pentingan warga dalam penge­lolaan Teluk Jakarta dan membahagiakan masyarakat pesisir yang tinggal di sekitarnya. Ter­lebih ikhtiar ini sejalan dengan visi Presiden Soekarno.

Seperti diungkapkan Bung Karno di dalam pidato bertajuk ”Jalannya Revolusi Kita” saat menghadiri perayaan HUT Republik Indonesia, ”Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk tani. Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah”. Pun demikian makna lautan se­bagai­mana dideklarasikan oleh Per­dana Menteri Djuanda Karta­widjaja. Dia menyatukan dan menyejahterakan nelayan, bu­kan menceraiberaikannya de­ngan timbunan pasir dan bebatuan

Jika sungguh-sungguh ingin membalikkan punggung yang selama ini membelakangi laut­an, samudra, dan teluk, sudah seyogianya Presiden Joko Widodo memperkuat nyali Gubernur DKI Jakarta di pulau hasil reklamasi. Bukan sebalik­nya, Tuan Presiden!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1111 seconds (0.1#10.140)