Menyoal Netralitas Institusi Keamanan

Selasa, 06 Februari 2018 - 09:03 WIB
Menyoal Netralitas Institusi Keamanan
Menyoal Netralitas Institusi Keamanan
A A A
Muradi
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung

Secara tegas, Huntington dalam bukunya The Sol­dier and the State: The Theo­ry and Politics of Civil-Mili­ta­ry Relations (1981) meng­ingat­kan politisi sipil untuk ti­dak membuka ruang sedikit pun bagi militer untuk terlibat da­lam masalah politik. Ar­gu­men­tasi Huntington seder­hana, yakni karena kultur mi­li­ter yang cenderung agresif akan mengalahkan kepiawaian po­li­ti­si sipil dengan pen­de­katan ke­ke­rasan. Argumentasi ini seti­dak­nya bertahan, saat posisi mi­li­ter dalam posisi yang agresif dan tidak dalam skema kontrol sipil objektif, yang mana oleh Huntington di­anggap sebagai posisi ideal hu­bungan sipil-militer di suatu ne­gara. Per­ta­nya­an yang ke­mudian menge­mu­ka apakah dalam skema kontestasi politik di tingkat lokal hal tersebut masih terjadi?

Setidaknya jika membaca per­debatan terkait dengan ada­nya rencana pe­nun­juk­an pen­ja­bat sementara gubernur pada Pil­kada 2018 dari unsur ke­po­lisian dan militer, memperkuat ar­gu­mentasi tersebut.

Argumentasi lain terkait hu­bungan sipil dan militer ini di­kemukakan oleh SE Finer dalam bukunya The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (1988). Dia m­e­nunjuk kekha­wa­tiran sipil yang berlebihan ber­kaitan dengan relasi antara sipil dan militer da­lam politik. Ke­khawatiran ter­sebut meng­arah kepada sikap inferioritas sipil berkaitan de­ngan posisi tawar politik. Ter­kait sikap in­ferior sipil ini, tidak heran apa­bila kemudian ins­ti­tusi militer dan polisi dalam se­jumlah sur­vei menempati urut­an teratas yang dianggap publik lebih baik di­bandingkan insti­tu­si sipil se­misal parlemen.

Hal ini juga tentu me­ne­gas­kan ar­gu­mentasi da­ri Finer bahwa ken­­dala infe­rioritas sipil men­ja­di bagian yang tidak cukup baik ba­gi relasi an­tara sipil dan aktor keaman­an. Ini ter­jadi karena per­ma­sa­la­han justru ada pada sikap politik sipil yang tidak me­nun­juk­kan sikap per­caya diri da­lam mem­ba­ngun re­lasi hu­bu­ngan dengan aktor ke­amanan, baik mil­iter mau­­­­pun ke­pol­i­sian.

Masalah ne­tra­litas ins­titusi ke­amanan dalam praktik de­mo­krasi di banyak negara, ter­ma­suk di Indonesia bukan isu baru lagi. Kekhawatiran yang mun­cul mengarah pada per­sepsi pu­blik yang men­cam­pur­aduk­kan pe­ran TNI atau Polri se­bagai pen­jabat se­mentara gu­bernur de­ngan praktik politik sebaga­i­mana yang diatur da­lam UU Nomor 34/2004 ten­tang TNI, khu­susnya Pasal 39 dan UU Nomor 2/2002 tentang Pol­ri, khu­sus­nya Pasal 28.

Situasi tersebut juga pada akhirnya beririsan dengan ke­pen­tingan praktis sejumlah kan­didat dan partai politik (par­pol) yang bisa jadi akan sangat di­rugikan jika penjabat gu­ber­nur berasal dari personel ins­ti­tusi keamanan, baik Polri mau­pun TNI. Kerugian parpol yang kemungkinan muncul dan me­nguat adalah terkait de­ngan ma­kin terbatasnya ruang gerak un­tuk melakukan praktik-prak­tik politik yang tidak segaris dengan demo­krasi. Salah satu praktik yang tidak se­ga­ris de­ngan de­mo­krasi adalah politik uang, penggunaan isu SARA, serta upa­ya mela­ku­kan tin­da­kan pem­biaran dan pe­ngon­di­si­an pe­me­na­ngan untuk ca­lon ter­tentu dari basis dukungan dari ok­num ASN dan atau ok­num militer dan atau ke­po­lisian.

Pada Pilkada 2017 lalu, dua per­wira tinggi dari TNI dan Polri ditugaskan di Aceh dan Sulawesi Barat untuk meredam langkah dan praktik politik yang mengancam demokrasi. Ke­beradaan keduanya juga men­jadi simbol dari kehadiran ne­gara dalam memastikan prak­tik demokrasi berjalan baik di tingkat lokal. Pada konteks ini, posisi Penjabat Gubernur merepresentasikan kehadiran negara dengan tetap menjaga netralitas.

Hal terpenting lainnya ada­lah bahwa tata kelola pe­me­rin­tahan, dalam hal ini pelayan ke­pa­da publik harus tetap ber­jalan dengan prima dan efektif. Perilaku dukung mendukung yang menjadi fenomena dalam pelaksanaan pilkada sejak per­tama kali digulirkan pada 2004 adalah bagian yang harus men­jadi perhatian dari para pejabat kepala daerah. Pada konteks inilah keberadaan pejabat k­e­pala daerah, khususnya peja­bat gubernur dari unsur TNI dan atau Polri menjadi pem­beda dan dipastikan akan ber­laku adil. Hal ini dise­bab­­kan ketiadaan kepentingan politik yang ber­kaitan dengan jabatan dan ak­ses kekuasaan yang di­ha­rapkan membuat posisi pejabat kepala daerah dari unsur TNI atau Polri relatif lebih bisa dijaga dan terukur.

Berkaca pada uraian ter­se­but di atas, asumsi dasar dari Hun­­tington dan Finer ber­kait­an dengan tidak boleh me­luang­kan kesempatan dalam ruang sipil untuk institusi mi­liter dan kepolisian karena di­anggap me­miliki karakter dan budaya yang lebih mampu ber­adaptasi de­ngan kepentingan publik harus dilihat dalam kaca mata za­man­nya.

Yang mana ketika ke­dua­nya menulis suasana perang di­ngin dan agresivitas institusi ke­amanan sangat tinggi. Hal ini perlu ditegaskan mengingat pe­nolakan atas penempatan per­wira Polri dan TNI berbasis pada persepsi yang mene­gas­kan bah­wa institusi sipil relatif tidak ber­daya, karena itu tidak boleh di­kasih ruang, karena akan memberikan kesem­pat­an un­tuk mengontrol ke­kua­saan po­litik.

Asumsi politik tersebut da­lam hemat saya lebih pada ke­khawatiran yang berlebihan karena posisi dari jabatan yang dimaksud berbatas waktu dan di bawah otoritas sipil, dalam hal ini Kementerian Dalam Ne­geri. Karena pada konteks keindonesiaan, pola hubu­ng­an sipil dan militer lebih pada pe­nekanan upaya yang ter­in­te­grasi, di mana dalam fase ter­tentu keterlibatan institusi ke­amanan dalam politik adalah politik kenegaraan. Selain itu, se­mata-mata untuk me­nguat­kan eksistensi negara yang ma­na irisannya salah satunya penempatan pejabat gubernur dari institusi keamanan, baik dari TNI maupun Polri.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4211 seconds (0.1#10.140)