Menyoal Netralitas Institusi Keamanan
A
A
A
Muradi
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung
Secara tegas, Huntington dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1981) mengingatkan politisi sipil untuk tidak membuka ruang sedikit pun bagi militer untuk terlibat dalam masalah politik. Argumentasi Huntington sederhana, yakni karena kultur militer yang cenderung agresif akan mengalahkan kepiawaian politisi sipil dengan pendekatan kekerasan. Argumentasi ini setidaknya bertahan, saat posisi militer dalam posisi yang agresif dan tidak dalam skema kontrol sipil objektif, yang mana oleh Huntington dianggap sebagai posisi ideal hubungan sipil-militer di suatu negara. Pertanyaan yang kemudian mengemuka apakah dalam skema kontestasi politik di tingkat lokal hal tersebut masih terjadi?
Setidaknya jika membaca perdebatan terkait dengan adanya rencana penunjukan penjabat sementara gubernur pada Pilkada 2018 dari unsur kepolisian dan militer, memperkuat argumentasi tersebut.
Argumentasi lain terkait hubungan sipil dan militer ini dikemukakan oleh SE Finer dalam bukunya The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (1988). Dia menunjuk kekhawatiran sipil yang berlebihan berkaitan dengan relasi antara sipil dan militer dalam politik. Kekhawatiran tersebut mengarah kepada sikap inferioritas sipil berkaitan dengan posisi tawar politik. Terkait sikap inferior sipil ini, tidak heran apabila kemudian institusi militer dan polisi dalam sejumlah survei menempati urutan teratas yang dianggap publik lebih baik dibandingkan institusi sipil semisal parlemen.
Hal ini juga tentu menegaskan argumentasi dari Finer bahwa kendala inferioritas sipil menjadi bagian yang tidak cukup baik bagi relasi antara sipil dan aktor keamanan. Ini terjadi karena permasalahan justru ada pada sikap politik sipil yang tidak menunjukkan sikap percaya diri dalam membangun relasi hubungan dengan aktor keamanan, baik militer maupun kepolisian.
Masalah netralitas institusi keamanan dalam praktik demokrasi di banyak negara, termasuk di Indonesia bukan isu baru lagi. Kekhawatiran yang muncul mengarah pada persepsi publik yang mencampuradukkan peran TNI atau Polri sebagai penjabat sementara gubernur dengan praktik politik sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 39 dan UU Nomor 2/2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28.
Situasi tersebut juga pada akhirnya beririsan dengan kepentingan praktis sejumlah kandidat dan partai politik (parpol) yang bisa jadi akan sangat dirugikan jika penjabat gubernur berasal dari personel institusi keamanan, baik Polri maupun TNI. Kerugian parpol yang kemungkinan muncul dan menguat adalah terkait dengan makin terbatasnya ruang gerak untuk melakukan praktik-praktik politik yang tidak segaris dengan demokrasi. Salah satu praktik yang tidak segaris dengan demokrasi adalah politik uang, penggunaan isu SARA, serta upaya melakukan tindakan pembiaran dan pengondisian pemenangan untuk calon tertentu dari basis dukungan dari oknum ASN dan atau oknum militer dan atau kepolisian.
Pada Pilkada 2017 lalu, dua perwira tinggi dari TNI dan Polri ditugaskan di Aceh dan Sulawesi Barat untuk meredam langkah dan praktik politik yang mengancam demokrasi. Keberadaan keduanya juga menjadi simbol dari kehadiran negara dalam memastikan praktik demokrasi berjalan baik di tingkat lokal. Pada konteks ini, posisi Penjabat Gubernur merepresentasikan kehadiran negara dengan tetap menjaga netralitas.
Hal terpenting lainnya adalah bahwa tata kelola pemerintahan, dalam hal ini pelayan kepada publik harus tetap berjalan dengan prima dan efektif. Perilaku dukung mendukung yang menjadi fenomena dalam pelaksanaan pilkada sejak pertama kali digulirkan pada 2004 adalah bagian yang harus menjadi perhatian dari para pejabat kepala daerah. Pada konteks inilah keberadaan pejabat kepala daerah, khususnya pejabat gubernur dari unsur TNI dan atau Polri menjadi pembeda dan dipastikan akan berlaku adil. Hal ini disebabkan ketiadaan kepentingan politik yang berkaitan dengan jabatan dan akses kekuasaan yang diharapkan membuat posisi pejabat kepala daerah dari unsur TNI atau Polri relatif lebih bisa dijaga dan terukur.
Berkaca pada uraian tersebut di atas, asumsi dasar dari Huntington dan Finer berkaitan dengan tidak boleh meluangkan kesempatan dalam ruang sipil untuk institusi militer dan kepolisian karena dianggap memiliki karakter dan budaya yang lebih mampu beradaptasi dengan kepentingan publik harus dilihat dalam kaca mata zamannya.
Yang mana ketika keduanya menulis suasana perang dingin dan agresivitas institusi keamanan sangat tinggi. Hal ini perlu ditegaskan mengingat penolakan atas penempatan perwira Polri dan TNI berbasis pada persepsi yang menegaskan bahwa institusi sipil relatif tidak berdaya, karena itu tidak boleh dikasih ruang, karena akan memberikan kesempatan untuk mengontrol kekuasaan politik.
Asumsi politik tersebut dalam hemat saya lebih pada kekhawatiran yang berlebihan karena posisi dari jabatan yang dimaksud berbatas waktu dan di bawah otoritas sipil, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Karena pada konteks keindonesiaan, pola hubungan sipil dan militer lebih pada penekanan upaya yang terintegrasi, di mana dalam fase tertentu keterlibatan institusi keamanan dalam politik adalah politik kenegaraan. Selain itu, semata-mata untuk menguatkan eksistensi negara yang mana irisannya salah satunya penempatan pejabat gubernur dari institusi keamanan, baik dari TNI maupun Polri.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung
Secara tegas, Huntington dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1981) mengingatkan politisi sipil untuk tidak membuka ruang sedikit pun bagi militer untuk terlibat dalam masalah politik. Argumentasi Huntington sederhana, yakni karena kultur militer yang cenderung agresif akan mengalahkan kepiawaian politisi sipil dengan pendekatan kekerasan. Argumentasi ini setidaknya bertahan, saat posisi militer dalam posisi yang agresif dan tidak dalam skema kontrol sipil objektif, yang mana oleh Huntington dianggap sebagai posisi ideal hubungan sipil-militer di suatu negara. Pertanyaan yang kemudian mengemuka apakah dalam skema kontestasi politik di tingkat lokal hal tersebut masih terjadi?
Setidaknya jika membaca perdebatan terkait dengan adanya rencana penunjukan penjabat sementara gubernur pada Pilkada 2018 dari unsur kepolisian dan militer, memperkuat argumentasi tersebut.
Argumentasi lain terkait hubungan sipil dan militer ini dikemukakan oleh SE Finer dalam bukunya The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (1988). Dia menunjuk kekhawatiran sipil yang berlebihan berkaitan dengan relasi antara sipil dan militer dalam politik. Kekhawatiran tersebut mengarah kepada sikap inferioritas sipil berkaitan dengan posisi tawar politik. Terkait sikap inferior sipil ini, tidak heran apabila kemudian institusi militer dan polisi dalam sejumlah survei menempati urutan teratas yang dianggap publik lebih baik dibandingkan institusi sipil semisal parlemen.
Hal ini juga tentu menegaskan argumentasi dari Finer bahwa kendala inferioritas sipil menjadi bagian yang tidak cukup baik bagi relasi antara sipil dan aktor keamanan. Ini terjadi karena permasalahan justru ada pada sikap politik sipil yang tidak menunjukkan sikap percaya diri dalam membangun relasi hubungan dengan aktor keamanan, baik militer maupun kepolisian.
Masalah netralitas institusi keamanan dalam praktik demokrasi di banyak negara, termasuk di Indonesia bukan isu baru lagi. Kekhawatiran yang muncul mengarah pada persepsi publik yang mencampuradukkan peran TNI atau Polri sebagai penjabat sementara gubernur dengan praktik politik sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 39 dan UU Nomor 2/2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28.
Situasi tersebut juga pada akhirnya beririsan dengan kepentingan praktis sejumlah kandidat dan partai politik (parpol) yang bisa jadi akan sangat dirugikan jika penjabat gubernur berasal dari personel institusi keamanan, baik Polri maupun TNI. Kerugian parpol yang kemungkinan muncul dan menguat adalah terkait dengan makin terbatasnya ruang gerak untuk melakukan praktik-praktik politik yang tidak segaris dengan demokrasi. Salah satu praktik yang tidak segaris dengan demokrasi adalah politik uang, penggunaan isu SARA, serta upaya melakukan tindakan pembiaran dan pengondisian pemenangan untuk calon tertentu dari basis dukungan dari oknum ASN dan atau oknum militer dan atau kepolisian.
Pada Pilkada 2017 lalu, dua perwira tinggi dari TNI dan Polri ditugaskan di Aceh dan Sulawesi Barat untuk meredam langkah dan praktik politik yang mengancam demokrasi. Keberadaan keduanya juga menjadi simbol dari kehadiran negara dalam memastikan praktik demokrasi berjalan baik di tingkat lokal. Pada konteks ini, posisi Penjabat Gubernur merepresentasikan kehadiran negara dengan tetap menjaga netralitas.
Hal terpenting lainnya adalah bahwa tata kelola pemerintahan, dalam hal ini pelayan kepada publik harus tetap berjalan dengan prima dan efektif. Perilaku dukung mendukung yang menjadi fenomena dalam pelaksanaan pilkada sejak pertama kali digulirkan pada 2004 adalah bagian yang harus menjadi perhatian dari para pejabat kepala daerah. Pada konteks inilah keberadaan pejabat kepala daerah, khususnya pejabat gubernur dari unsur TNI dan atau Polri menjadi pembeda dan dipastikan akan berlaku adil. Hal ini disebabkan ketiadaan kepentingan politik yang berkaitan dengan jabatan dan akses kekuasaan yang diharapkan membuat posisi pejabat kepala daerah dari unsur TNI atau Polri relatif lebih bisa dijaga dan terukur.
Berkaca pada uraian tersebut di atas, asumsi dasar dari Huntington dan Finer berkaitan dengan tidak boleh meluangkan kesempatan dalam ruang sipil untuk institusi militer dan kepolisian karena dianggap memiliki karakter dan budaya yang lebih mampu beradaptasi dengan kepentingan publik harus dilihat dalam kaca mata zamannya.
Yang mana ketika keduanya menulis suasana perang dingin dan agresivitas institusi keamanan sangat tinggi. Hal ini perlu ditegaskan mengingat penolakan atas penempatan perwira Polri dan TNI berbasis pada persepsi yang menegaskan bahwa institusi sipil relatif tidak berdaya, karena itu tidak boleh dikasih ruang, karena akan memberikan kesempatan untuk mengontrol kekuasaan politik.
Asumsi politik tersebut dalam hemat saya lebih pada kekhawatiran yang berlebihan karena posisi dari jabatan yang dimaksud berbatas waktu dan di bawah otoritas sipil, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Karena pada konteks keindonesiaan, pola hubungan sipil dan militer lebih pada penekanan upaya yang terintegrasi, di mana dalam fase tertentu keterlibatan institusi keamanan dalam politik adalah politik kenegaraan. Selain itu, semata-mata untuk menguatkan eksistensi negara yang mana irisannya salah satunya penempatan pejabat gubernur dari institusi keamanan, baik dari TNI maupun Polri.
(zik)