Negara Wajib Merespons Ekses LGBT
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI
Negara memang harus segera merespons gaya hidup komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang kian marak dan terbuka dengan segala eksesnya. Respons negara melalui peraturan perundang-undangan sangat diperlukan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat yang resisten terhadap kecenderungan itu. Namun, dalam menyikapi keberadaan komunitas LGBT harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Penegasan sikap negara bersifat mendesak karena gaya hidup komunitas LGBT tidak hanya menggambarkan hal-hal tidak lazim, tetapi juga sudah menghadirkan rentetan ekses yang sangat mengerikan. Selain rangkaian kasus pesta seks dan perkawinan sejenis, ekses gaya hidup LGBT bahkan sudah menghadirkan kasus pembunuhan berantai, menyebarkan virus HIV AIDS, serta membidik dan menjaring anak-anak di bawah umur untuk dijadikan anggota komunitas. Jika mengacu pada sejumlah data historis tentang ekses itu, muncul kesan bahwa negara sesungguhnya sangat terlambat melahirkan peraturan perundang-undangan yang berfokus pada pengendalian gaya hidup komunitas LGBT.
Akibatnya, masyarakat melihat dan merasakan bahwa komunitas LGBT kini tidak hanya leluasa mengekspresikan gaya hidupnya, tetapi leluasa pula melakukan sejumlah tindakan yang terindikasi pidana. Ekses atau horor dari komunitas ini pun sudah terlihat sejak lama. Pada 2012 dan 2008, terungkap dua kasus pembunuhan berantai yang dilakukan dua orang gay. Pembunuhan berantai itu dilakukan oleh Very Idham Henyansah alias Ryan, 34, saat ditangkap pada Juli 2008), dan Mujianto alias Menthok alias Genthong, 24. Ryan membunuh 11 orang pasangan sejenisnya karena cemburu. Pun karena cemburu, Mujianto meracuni 15 teman pasangan sejenisnya sejak 2011, dan empat di antaranya tewas.
Pembunuhan oleh Ryan menyita perhatian karena ditemukannya tujuh potongan tubuh manusia di Jalan Kebagusan Raya, Jakarta Selatan, yang dibuang di tempat berbeda. Belakangan diketahui mayat korban mutilasi tersebut bernama Heri Santoso. Pembunuhan karena alasan cemburu pasangan sejenis terus berlanjut. Pada November 2017, Badrun, 43, membunuh pasangan sejenisnya, Iman Maulana, 19. Mayatnya dibuang di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Badrun cemburu karena Iman menjalin cinta dengan seorang wanita. Di Bogor, hubungan cinta sejenis antara Solihin, 32, dengan Deni, 26, pun berujung tragis. Solihin tewas di tangan Deni pada Mei 2016. Di Indramayu, polisi menangkap Rahman karena diduga membunuh pasangan sejenisnya, Mukana, 48, pada September 2017. Tidak hanya horor akibat aksi pembunuhan, beberapa desa pun sudah terguncang oleh adanya perkawinan sejenis. Pada Juli 2017, warga Jember dihebohkan oleh pernikahan pasangan sejenis, Muhammad Fadholi, 21, warga Dusun Plalangan, Desa Glagahwero, Kecamatan Panti dan Ayu Puji Astutik, 23, warga Dusun Krasak, Desa Pancakarya, Kecamatan Ajung. Belakangan diketahui bahwa Ayu ternyata laki-laki.
Di Sulawesi Selatan, warga Dusun Erelebu, Kelurahan Ekatiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba, juga dihebohkan oleh perkawinan pasangan sejenis. Kedua mempelai sama-sama berkelamin perempuan. Pernikahan antara Rahmat Yani alias Rahmayani, 28, dengan kekasihnya, Safira Nurul Husna, 20, terjadi pada Minggu 17 September 2017. Sementara di Purworejo, Jawa Tengah, polisi setempat menetapkan seorang perempuan berinisial NAA, 27, sebagai tersangka kasus pemalsuan identitas. Identitas palsu itu akan digunakan pelaku untuk bisa menikah dengan pasangan sejenis. NAA berniat menikahi W, 27, warga Desa Sidoleren, Gebang, Purworejo.
Pada September 2015, Bali pun dihebohkan dengan kasus pernikahan dua pria pada sebuah hotel di Ubud. Sementara Jakarta dibuat heboh oleh penggerebekan pesta seks kaum gay di dua lokasi pada Mei dan Oktober 2017 di Kelapa Gading dan di Harmoni. Sedikitnya 141 pria diamankan Petugas Polres Metro Jakarta Utara dari Ruko Kokan Permata, Kelapa Gading Barat. Dari lokasi T 1 Sauna di Harmoni, Polres Metro Jakarta Pusat menangkap 51 pria saat pesta berlangsung. Pada April 2017, warga Surabaya pun dikejutkan penggerebekan pesta gay di sebuah hotel.
Dari 14 pria yang ditangkap, lima di antaranya positif mengidap HIV. Bahkan, warga Aceh pun terkejut ketika pasangan gay (liwath) berinisial MH, 20, dan MT, 24, harus menjalani 80 kali hukuman cambuk di depan umum pada Mei 2017 di Kota Banda Aceh. Itulah gambaran tentang rangkaian ekses dan horor akibat perilaku tak terkendali komunitas LGBT. Sudah waktunya negara meningkatkan kepeduliannya.
Aspek Pemidanaan
Karena sulit menemukan pasangan, kelompok-kelompok LGBT tak jarang membidik dan menjebak remaja serta anak-anak di bawah umur. Kecenderungan inilah yang patut diwaspadai negara. Dalam penggerebekan kasus pesta seks kelompok gay di Cianjur pada 13 Januari 2018, polisi mengamankan seorang pelajar yang mengaku dipaksa mengikuti kegiatan menyimpang itu, setelah sebelumnya dicekoki minuman keras.
Dalam catatan akhir 2017, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) melaporkan bahwa persoalan LGBT atau kekerasan seksual sudah menjadi permasalahan nomor dua bagi anak. Sepanjang 2017, ada 28 kasus anak korban kekerasan; 17 kasus kekerasan seksual, 9 kasus kekerasan fisik, dan 2 kasus kekerasan psikis. LPAI mengingatkan, ketidaksenonohan seksual sesama jenis terhadap anak memiliki kadar keburukan yang luar biasa, yaitu penyesatan orientasi seksual anak.
Perilaku heteroseksual anak dirusak dengan menjebak anak-anak mengadopsi perilaku homoseksual. Terdapat sejumlah fakta yang mendukung laporan LPAI itu. Pada pekan pertama Desember 2017, misalnya, Polda Kalbar menyergap kelompok LGBT di Pontianak. Kelompok yang beranggotakan ribuan orang itu tidak hanya menyebarkan virus HIV AIDS, tetapi juga menjaring anak-anak di bawah umur. Satu dari empat orang yang disergap polisi berstatus pelajar SMA. Masih Desember 2017, warga Jabodetabek dikejutkan kasus kekerasan seksual terhadap puluhan anak di Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang. Pelakunya, guru honorer Wawan Sutiono alias Babeh, 49. Jumlah korban penyimpangan seks si guru tercatat 41 anak berusia 6-15 tahun.
Selain memaksa dan menjebak pelajar serta anak-anak di bawah umur, kelompok-kelompok gay juga agresif mempromosikan gaya hidup mereka. Penetrasi mereka pada kehidupan remaja dan anak-anak sangat dimungkinkan karena adanya jaringan media sosial. Kelompok gay di Pontianak, bisa menjaring ribuan anggota dengan media sosial. Tim siber kepolisian setempat menemukan akun media sosial yang menampilkan dan membagikan foto, serta ajakan kepada masyarakat untuk mengikuti gaya hidup mereka.
Kecenderungan ini tentu saja bukan hanya terjadi di Pontianak, melainkan juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Maka itu, desakan kepada negara untuk mewaspadai kecenderungan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Pada 2012, Kementerian Kesehatan mengeluarkan data yang menyebutkan ada 1.095.970 pria penyuka seks sesama jenis. Pertumbuhan jumlah pria tipe ini diduga cukup pesat, karena tahun lalu sudah muncul perkiraan bahwa populasi kaum gay sudah mencapai 3% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 7 juta orang. Kalau jumlah ini aktif mempromosikan gaya hidup mereka, tentu saja akan sangat mengkhawatirkan.
Karena itu, negara harus segera bersikap dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berfokus pada pengendalian gaya dan cara hidup komunitas LGBT. Kita mendesak negara bersikap tegas. Untuk mengendalikan dan menghentikan pengaruh gaya hidup LGBT, DPR sedang mengagendakan penambahan materi atau perluasan pemidanaan perilaku LGBT dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Komunitas LGBT tak perlu khawatir berlebihan, karena penambahan materi pemidanaan itu tetap berpijak pada prinsip HAM. Artinya, mereka yang terkategori sebagai LGBT atau seseorang dengan orientasi seksual berbeda tidak serta-merta bisa langsung dipidana, jika tidak mempertontonkannya di ruang publik, sebab LGBT maupun perbedaan orientasi seksual pada prinsipnya bisa disembuhkan. Faktor lain yang patut diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh komunitas LGBT adalah menguatnya resistensi masyarakat terhadap perilaku ini.
Masyarakat kebanyakan sudah sangat khawatir sebagaimana tecermin dari rangkaian ekses dan horor yang sudah disebutkan di atas. Jangan sampai masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap komunitas LGBT. Maka itu, penambahan materi pemidanaan hendaknya ditanggapi sebagai upaya negara mengendalikan dan bahkan jika memungkinkan sebagai upaya menghentikan gaya hidup dan perilaku LGBT di ruang publik.
Ketua DPR RI
Negara memang harus segera merespons gaya hidup komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang kian marak dan terbuka dengan segala eksesnya. Respons negara melalui peraturan perundang-undangan sangat diperlukan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat yang resisten terhadap kecenderungan itu. Namun, dalam menyikapi keberadaan komunitas LGBT harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Penegasan sikap negara bersifat mendesak karena gaya hidup komunitas LGBT tidak hanya menggambarkan hal-hal tidak lazim, tetapi juga sudah menghadirkan rentetan ekses yang sangat mengerikan. Selain rangkaian kasus pesta seks dan perkawinan sejenis, ekses gaya hidup LGBT bahkan sudah menghadirkan kasus pembunuhan berantai, menyebarkan virus HIV AIDS, serta membidik dan menjaring anak-anak di bawah umur untuk dijadikan anggota komunitas. Jika mengacu pada sejumlah data historis tentang ekses itu, muncul kesan bahwa negara sesungguhnya sangat terlambat melahirkan peraturan perundang-undangan yang berfokus pada pengendalian gaya hidup komunitas LGBT.
Akibatnya, masyarakat melihat dan merasakan bahwa komunitas LGBT kini tidak hanya leluasa mengekspresikan gaya hidupnya, tetapi leluasa pula melakukan sejumlah tindakan yang terindikasi pidana. Ekses atau horor dari komunitas ini pun sudah terlihat sejak lama. Pada 2012 dan 2008, terungkap dua kasus pembunuhan berantai yang dilakukan dua orang gay. Pembunuhan berantai itu dilakukan oleh Very Idham Henyansah alias Ryan, 34, saat ditangkap pada Juli 2008), dan Mujianto alias Menthok alias Genthong, 24. Ryan membunuh 11 orang pasangan sejenisnya karena cemburu. Pun karena cemburu, Mujianto meracuni 15 teman pasangan sejenisnya sejak 2011, dan empat di antaranya tewas.
Pembunuhan oleh Ryan menyita perhatian karena ditemukannya tujuh potongan tubuh manusia di Jalan Kebagusan Raya, Jakarta Selatan, yang dibuang di tempat berbeda. Belakangan diketahui mayat korban mutilasi tersebut bernama Heri Santoso. Pembunuhan karena alasan cemburu pasangan sejenis terus berlanjut. Pada November 2017, Badrun, 43, membunuh pasangan sejenisnya, Iman Maulana, 19. Mayatnya dibuang di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Badrun cemburu karena Iman menjalin cinta dengan seorang wanita. Di Bogor, hubungan cinta sejenis antara Solihin, 32, dengan Deni, 26, pun berujung tragis. Solihin tewas di tangan Deni pada Mei 2016. Di Indramayu, polisi menangkap Rahman karena diduga membunuh pasangan sejenisnya, Mukana, 48, pada September 2017. Tidak hanya horor akibat aksi pembunuhan, beberapa desa pun sudah terguncang oleh adanya perkawinan sejenis. Pada Juli 2017, warga Jember dihebohkan oleh pernikahan pasangan sejenis, Muhammad Fadholi, 21, warga Dusun Plalangan, Desa Glagahwero, Kecamatan Panti dan Ayu Puji Astutik, 23, warga Dusun Krasak, Desa Pancakarya, Kecamatan Ajung. Belakangan diketahui bahwa Ayu ternyata laki-laki.
Di Sulawesi Selatan, warga Dusun Erelebu, Kelurahan Ekatiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba, juga dihebohkan oleh perkawinan pasangan sejenis. Kedua mempelai sama-sama berkelamin perempuan. Pernikahan antara Rahmat Yani alias Rahmayani, 28, dengan kekasihnya, Safira Nurul Husna, 20, terjadi pada Minggu 17 September 2017. Sementara di Purworejo, Jawa Tengah, polisi setempat menetapkan seorang perempuan berinisial NAA, 27, sebagai tersangka kasus pemalsuan identitas. Identitas palsu itu akan digunakan pelaku untuk bisa menikah dengan pasangan sejenis. NAA berniat menikahi W, 27, warga Desa Sidoleren, Gebang, Purworejo.
Pada September 2015, Bali pun dihebohkan dengan kasus pernikahan dua pria pada sebuah hotel di Ubud. Sementara Jakarta dibuat heboh oleh penggerebekan pesta seks kaum gay di dua lokasi pada Mei dan Oktober 2017 di Kelapa Gading dan di Harmoni. Sedikitnya 141 pria diamankan Petugas Polres Metro Jakarta Utara dari Ruko Kokan Permata, Kelapa Gading Barat. Dari lokasi T 1 Sauna di Harmoni, Polres Metro Jakarta Pusat menangkap 51 pria saat pesta berlangsung. Pada April 2017, warga Surabaya pun dikejutkan penggerebekan pesta gay di sebuah hotel.
Dari 14 pria yang ditangkap, lima di antaranya positif mengidap HIV. Bahkan, warga Aceh pun terkejut ketika pasangan gay (liwath) berinisial MH, 20, dan MT, 24, harus menjalani 80 kali hukuman cambuk di depan umum pada Mei 2017 di Kota Banda Aceh. Itulah gambaran tentang rangkaian ekses dan horor akibat perilaku tak terkendali komunitas LGBT. Sudah waktunya negara meningkatkan kepeduliannya.
Aspek Pemidanaan
Karena sulit menemukan pasangan, kelompok-kelompok LGBT tak jarang membidik dan menjebak remaja serta anak-anak di bawah umur. Kecenderungan inilah yang patut diwaspadai negara. Dalam penggerebekan kasus pesta seks kelompok gay di Cianjur pada 13 Januari 2018, polisi mengamankan seorang pelajar yang mengaku dipaksa mengikuti kegiatan menyimpang itu, setelah sebelumnya dicekoki minuman keras.
Dalam catatan akhir 2017, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) melaporkan bahwa persoalan LGBT atau kekerasan seksual sudah menjadi permasalahan nomor dua bagi anak. Sepanjang 2017, ada 28 kasus anak korban kekerasan; 17 kasus kekerasan seksual, 9 kasus kekerasan fisik, dan 2 kasus kekerasan psikis. LPAI mengingatkan, ketidaksenonohan seksual sesama jenis terhadap anak memiliki kadar keburukan yang luar biasa, yaitu penyesatan orientasi seksual anak.
Perilaku heteroseksual anak dirusak dengan menjebak anak-anak mengadopsi perilaku homoseksual. Terdapat sejumlah fakta yang mendukung laporan LPAI itu. Pada pekan pertama Desember 2017, misalnya, Polda Kalbar menyergap kelompok LGBT di Pontianak. Kelompok yang beranggotakan ribuan orang itu tidak hanya menyebarkan virus HIV AIDS, tetapi juga menjaring anak-anak di bawah umur. Satu dari empat orang yang disergap polisi berstatus pelajar SMA. Masih Desember 2017, warga Jabodetabek dikejutkan kasus kekerasan seksual terhadap puluhan anak di Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang. Pelakunya, guru honorer Wawan Sutiono alias Babeh, 49. Jumlah korban penyimpangan seks si guru tercatat 41 anak berusia 6-15 tahun.
Selain memaksa dan menjebak pelajar serta anak-anak di bawah umur, kelompok-kelompok gay juga agresif mempromosikan gaya hidup mereka. Penetrasi mereka pada kehidupan remaja dan anak-anak sangat dimungkinkan karena adanya jaringan media sosial. Kelompok gay di Pontianak, bisa menjaring ribuan anggota dengan media sosial. Tim siber kepolisian setempat menemukan akun media sosial yang menampilkan dan membagikan foto, serta ajakan kepada masyarakat untuk mengikuti gaya hidup mereka.
Kecenderungan ini tentu saja bukan hanya terjadi di Pontianak, melainkan juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Maka itu, desakan kepada negara untuk mewaspadai kecenderungan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Pada 2012, Kementerian Kesehatan mengeluarkan data yang menyebutkan ada 1.095.970 pria penyuka seks sesama jenis. Pertumbuhan jumlah pria tipe ini diduga cukup pesat, karena tahun lalu sudah muncul perkiraan bahwa populasi kaum gay sudah mencapai 3% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 7 juta orang. Kalau jumlah ini aktif mempromosikan gaya hidup mereka, tentu saja akan sangat mengkhawatirkan.
Karena itu, negara harus segera bersikap dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berfokus pada pengendalian gaya dan cara hidup komunitas LGBT. Kita mendesak negara bersikap tegas. Untuk mengendalikan dan menghentikan pengaruh gaya hidup LGBT, DPR sedang mengagendakan penambahan materi atau perluasan pemidanaan perilaku LGBT dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Komunitas LGBT tak perlu khawatir berlebihan, karena penambahan materi pemidanaan itu tetap berpijak pada prinsip HAM. Artinya, mereka yang terkategori sebagai LGBT atau seseorang dengan orientasi seksual berbeda tidak serta-merta bisa langsung dipidana, jika tidak mempertontonkannya di ruang publik, sebab LGBT maupun perbedaan orientasi seksual pada prinsipnya bisa disembuhkan. Faktor lain yang patut diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh komunitas LGBT adalah menguatnya resistensi masyarakat terhadap perilaku ini.
Masyarakat kebanyakan sudah sangat khawatir sebagaimana tecermin dari rangkaian ekses dan horor yang sudah disebutkan di atas. Jangan sampai masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap komunitas LGBT. Maka itu, penambahan materi pemidanaan hendaknya ditanggapi sebagai upaya negara mengendalikan dan bahkan jika memungkinkan sebagai upaya menghentikan gaya hidup dan perilaku LGBT di ruang publik.
(zik)