Setelah Muhibah Jokowi ke Kabul

Sabtu, 03 Februari 2018 - 09:00 WIB
Setelah Muhibah Jokowi ke Kabul
Setelah Muhibah Jokowi ke Kabul
A A A
Algooth Putranto
Pengajar Ilmu Komunikasi Atma Jaya

MUHIBAH Presiden Joko Widodo ke Ibu Kota Afghanistan, Kabul, pada pekan terakhir Januari 2018, harus diakui sebagai tindakan fenomenal karena dilakukan ketika sejumlah teror bom terjadi. Apalagi, dalam kunjungan itu Presiden Jokowi menolak menggunakan rompi antipeluru.

Makna muhibah tersebut jelas, selain membalas kunjungan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani Ahmadzai pada Juli 2017, kedatangan Presiden Jokowi ke Kabul, yang hanya beberapa saat diguncang teror bom, menegaskan bahwa posisi Indonesia sebagai sahabat bagi Afghanistan.

Kunjungan Jokowi ke Kabul terbilang penting karena membalas kunjungan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani ke Jakarta pada 2016. Selain itu, tentu saja sudah cukup lama Presiden Indonesia tidak melakukan muhibah ke negara tersebut setelah Soekarno pada 1961.

Kita tahu, Soekarno setelah sukses dengan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 kemudian terobsesi dengan proyek Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) yang dicita-citakan sebagai tandingan bagi PBB.

Meski demikian, menurut saya, kehadiran Jokowi ke Kabul idealnya tidak sekadar menjaga hubungan dan mengulang kedatangan Soekarno ketika Afghanistan masih berbentuk kerajaan. Aspek muhibah Jokowi justru serupa kehadiran Soeharto ke Sarajevo tahun 1995.

Mengapa? Kedatangan Jokowi serupa kehadiran Soeharto ke Ibu Kota Bosnia-Herzegovina yang tengah dikoyak konflik. Dalam kondisi tersebut, Soeharto menolak mengenakan rompi antipeluru. Pascakunjungan dilakukan, Soeharto melontarkan inisiatif membantu proses perdamaian di Bosnia.

Melihat kehadiran Jokowi dilakukan dalam momentum yang hampir serupa kehadiran Soeharto, tentu saja saya sangat berharap setelah muhibah Jokowi ke Kabul ada upaya untuk menghadirkan perdamaian bagi Afghanistan yang lama tercabik konflik.

Hanya, serupa Soeharto, niat mulia Jokowi bagi Afghanistan akan sangat berat diwujudkan, lagi-lagi jika berkaca pada upaya keras Indonesia menghadirkan perdamaian bagi wilayah Balkan yang tenggelam perang etnis-agama seusai referendum kemerdekaan Bosnia-Herzegovina tahun 1992.

Sebagai negara dengan prinsip luar negeri bebas aktif, Indonesia yang pernah berhasil mendamaikan sengkarut berdarah di Kamboja kemudian menyodorkan proposal untuk menyediakan diri sebagai tuan rumah atau fasilitator (bukan sebagai mediator) bagi perundingan damai yang dilakukan pihak-pihak yang bersengketa di Bosnia.

Sebagai fasilitator, Indonesia menyediakan Jakarta sebagai tuan rumah proses dialog di antara para petinggi sipil dan militer Republik Federal Yugoslavia, Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnis-Herzegovina, Serbia, dan Montenegro. Hasil pertemuan tersebut kemudian dirumuskan secara formal dalam forum internasional seperti Sidang Dewan Keamanan PBB maupun pertemuan lima anggota Kontak Grup (Jerman, Prancis, Inggris, Amerika, dan Rusia) maupun negara-negara lain yang peduli terhadap isu di Teluk Balkan.

Sayang, proposal Indonesia tidak ditanggapi oleh pihak-pihak yang berkonflik. Sekjen PBB saat itu, Boutros-Boutros Ghali, pun menilai inisiatif Presiden Soeharto kurang menarik. Pertama, Jakarta terlalu jauh. Kedua, kehadiran inisiatif Indonesia sudah terlambat. Sejarah memang mencatat konflik Balkan berakhir melalui perundingan di Pangkalan Udara Wright-Patterson di Dayton, Ohio, Amerika Serikat, pada November 1995 yang kemudian diteken para pihak di Paris pada 14 Desember 1995.

Mitra baru?

Berkaca pada kegagalan Soeharto mengambil peran bagi proses perdamaian di Balkan, kini pertanyaan penting muncul setelah muhibah Jokowi. Apa yang tengah direncanakan oleh Jakarta untuk menyatukan 40 kelompok dari tujuh suku di Afghanistan.

Kemudian siapa yang bertanggung jawab dalam proses di Afghanistan? Sekadar mengingatkan, dalam proses perdamaian Kamboja dikawal langsung oleh Menlu Mochtar Kusumatmaja, sementara inisiasi di Balkan ditangani diplomat senior Nana Sutresna Sastradidjadja.

Proses perdamaian Afghanistan di bawah Hamid Karzai setelah runtuhnya kekuasaan Taliban tahun 2001 melalui loya jir­ga (dewan kepala suku) pun kurang menunjukkan hasil yang maksimal dan stabil. Tidak sedikit pula keterlibatan negara-negara mediator, seperti Arab Saudi, Turki, Qatar, dan Pakistan. Di luar dua negara itu, jelas ada sejumlah negara yang berkepentingan dengan kestabilan Afghanistan, yaitu Iran, India, Rusia, China, Amerika Serikat, dan tentu saja negara-negara Asia Tengah seperti Kazakstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Iran dan Pakistan sebagai tetangga geografis sangat berkepentingan terhadap kelangsungan pasokan air di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu Helmand, Kabul, dan Amu Darya yang menimbulkan konflik dalam skala diplomasi hingga aksi saling tembak. Sementara India dan China membutuhkan stabilitas di Afghanistan yang menjadi titik tengah transportasi dan logistik sipil maupun militer mereka. Rusia? Bukan rahasia jika stabilitas Afghanistan sangat memegaruhi kepentingan Moskow terhadap sumber energi mereka di Tajikistan, Kirgistan, dan Ukraina.

Bahkan, tahun 2016, Moskow menegaskan keterlibatan mereka atas sejumlah proyek energi di Afghanistan. Sebut saja proyek PLTA Surubi dan Pule-Khumri maupun proyek jalur pipa gas Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan-India (TAPI) dan jaringan listrik Central Asia-South Asia (CASA-1000).

Bagaimana dengan Kazakstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan? Negara-negara Asia Tengah tersebut membutuhkan jaminan keamanan jalur gas alam mereka yang selama ini melalui daerah Afghanistan untuk pasar Pakistan, India, China, dan Rusia. Bagaimana dengan Amerika Serikat? Sudah pasti besar karena Afghanistan sangat dekat dengan Irak dan Iran. Karena teramat penting bahkan Amerika Serikat sampai meminta Arab dan Turki sebagai mediator dalam hal penempatan pasukan yang berakhir gagal di tangan Taliban, meski telah ditawari sejumlah provinsi di wilayah Timur Afghanistan.

Sementara Qatar dan Pakistan, kita tahu adalah rumah bagi sejumlah pemimpin Taliban. Tercatat dengan baik bagaimana upaya Karzai menemui pemimpin Taliban di Doha maupun di Islamabad. Lagi-lagi hasilnya tak optimal. Bahkan, kerap upaya dialog dengan faksi Taliban kembali ke titik nol karena aksi militer Amerika Serikat. Salah satunya eksekusi pemimpin Taliban Mullah Akhtar menggunakan drone pada 2016 yang dikecam keras Karzai.

Melihat secara sekilas banyaknya negara yang terlibat terhadap Afghanistan, tentu tak serta merta hasil dari kunjungan Presiden Jokowi langsung dapat menghasilkan konsep resolusi perdamaian yang tepat. Katakanlah, pos diplomatik Indonesia di Kabul kini dipercayakan kepada Arief Rahman yang merupakan mantan Pangdam Kodam Brawijaya dan Gubernur Akmil, saya melihat saat ini masih butuh waktu cukup lama untuk mempersiapkan strategi yang matang untuk menghadirkan proses perdamaian di Afghanistan.

Kalaupun belum mampu terlibat dalam upaya tersebut, setidaknya kehadiran Presiden Jokowi memberikan alternatif mitra baru bagi Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dalam usahanya mewujudkan kestabilan bagi negara tersebut. Minimal, dengan kedatangan Presiden Jokowi di tengah kondisi keamanan yang rawan menunjukkan Indonesia adalah teman yang dengan tulus bagi Afghanistan yang kini ­dikepung sejumlah negara yang membawa kepentingan masing-masing.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0127 seconds (0.1#10.140)