Kredit UMKM Lambat, Apa Masalahnya?

Senin, 29 Januari 2018 - 09:31 WIB
Kredit UMKM Lambat, Apa Masalahnya?
Kredit UMKM Lambat, Apa Masalahnya?
A A A
Remon Samora
Analis Bank Indonesia

MENARIK menyimak per­nya­taan Presiden Jo­ko­wi dalam acara per­te­muan tahunan industri jasa ke­uangan 2018 beberapa hari lalu. Pada kesempatan tersebut, Presiden menyampaikan hara­pan­nya agar perbankan lebih proaktif dalam menyalurkan kredit, terutama kredit UMKM. Meskipun di atas kertas kinerja perbankan terlihat baik, Pre­si­den kembali menekankan agar penyalurannya juga harus se­makin inklusif. Dengan dis­tri­bu­si yang merata hingga ke ma­syarakat kelas bawah, kredit perbankan diharapkan mampu me­n­­dongkrak pertumbuhan eko­­nomi sembari mengen­tas­kan masyarakat dari ke­miskinan.

Sepanjang 2017 kredit per­bank­an, khususnya kredit UMKM, masih menunjukkan per­tumbuhan positif mes­ki­pun dengan beberapa catatan khu­­sus. Mengutip data Sta­tistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, kredit UMKM per No­vember 2017 tercatat se­be­sar Rp871 triliun atau tum­buh 8,34% (yoy). Dari sisi ting­kat pe­netrasi, rasio pemberian kredit UMKM terhadap total kredit perbankan baru me­nyen­tuh level 12,15%. Rasio ter­sebut ma­sih lebih rendah daripada target yang dite­tap­kan Bank Indo­nesia (BI). Dalam Per­atur­an BI Nomor 17/12/ PBI/2015, rasio pemberian kre­dit UMKM diwajibkan minimal 15% pada tahun 2017 dan naik menjadi minimal 20% pada 2018.

Keinginan Presiden agar per­bankan menggenjot kredit UMKM tentu dapat dimak­lumi. Namun di sisi lain, perlu disa­da­ri pula bahwa esensi dari bisnis perbankan adalah jasa ke­per­ca­yaan. Imbasnya, pe­r­bank­an wa­jib menyalurkan kre­ditnya de­ngan menge­de­pan­kan prinsip kehati-hatian. Isunya ialah kredit UMKM me­nunjukkan ada­nya penurunan kualitas kre­dit dalam beberapa tahun ter­akhir. Rasio NPL kredit UMKM sebesar 4,33% atau lebih tinggi bila di­ban­dingkan dengan akhir tahun 2015 dan 2016 yang men­capai 4,03% dan 3,96%. Mes­kipun belum melewati ba­tas aman se­besar 5%, sa­ngatlah wajar jika perbankan ak­hirnya lebih me­milih ber­fo­kus me­nya­lurkan kredit yang berisiko lebih ren­dah demi me­n­ga­man­kan ki­nerja keuangan­nya.

Pemerintah tentu tidak ting­gal diam menyaksikan per­ma­­salahan kredit UMKM. Me­nya­dari bahwa pelaku usaha UMKM masih terbebani suku bunga bank yang tinggi, pe­merintah berinisiatif me­nu­run­kan suku bunga Kredit Usa­ha Rakyat (KUR). Pemerintah tercatat telah tiga kali m­e­nurunkan suku bunga KUR, yaitu 12% pada Juli 2015, 9% pada Januari 2016, dan 7% pada Januari 2018.

Isu Non - Suku Bunga
Namun permasalahan suku bunga bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi per­min­taan dan penawaran kredit UMKM. Secara teori, ada lima variabel yang memengaruhi penyaluran kredit bank atau yang dikenal dengan istilah 5C, yaitu capacity, capital, collateral, character dan condition of eco­no­mics. Dari aspek teknis, seti­dak­nya terdapat tiga isu fun­da­men­tal selain suku bunga yang harus diselesaikan.

Pertama, penilaian kelayak­an bisnis usaha. Isu yang selalu mencuat ke permukaan ialah banyak pengusaha UMKM yang feasible, but unbankable. Artinya bisnis UMKM ter­sebut sebe­nar­nya me­ng­untungkan se­hingga layak men­da­patkan kre­dit bank (feasible), tetapi ti­dak ada dokumen ter­tulis sebagai pen­dukung (un­ban­ka­ble). Se­ba­gai kon­se­kuensi dari pe­ne­rapan prinsip keha­ti-hatian, per­bank­an wajib meyakini bah­wa usaha calon debitornya tersebut tidak bermasalah dari sisi likuiditas, solvabilitas, dan pro­fitabilitas.

Pada titik ini, ada dua me­tode yang bia­­sa dilakukan per­bankan. Perbankan dapat me­minta la­por­an keuangan/pem­bu­ku­­an usaha atau meng­ana­­lisis mutasi transaksi dari re­ke­ning tabungan calon de­bi­tor­nya. Sayangnya banyak pelaku UMKM informal yang tidak mampu memenuhi kedua pers­yar­atan tersebut. Seluruh tran­saksi jual beli dilakukan secara tunai, tidak pernah dido­ku­men­­tasikan secara memadai dan hasil usahanya tidak dise­tor­kan secara rutin ke rekening bank.

Menjawab tantangan ter­se­but, sangatlah tepat kebijakan pemerintah yang terus meng­ge­liatkan Gerakan Nasional Non­tunai dalam berbagai kebi­ja­kannya. Dengan sistem non­tunai, masyarakat yang sebe­lum­nya tidak memiliki reke­ning tabungan bank mau tidak mau dipaksa untuk mulai mem­buka diri terhadap layanan per­bank­an. Dari sisi permintaan, pelaku UMKM mulai teredu­kasi mengenai arti penting pem­bukuan usaha, sementara dari sisi penawaran, perbankan juga memiliki basis data untuk me­nawarkan produk yang se­suai dengan profil pelaku UMKM.

Kedua, eksistensi Perusa­ha­an Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Hasil survei BI me­nun­jukkan salah satu kendala pen­da­naan UMKM ialah masalah in­formasi asimetris antara pem­beri dana dan penerima da­­na. Tidak mengherankan jika akhirnya perbankan mem­per­­sya­ratkan adanya agun­an/ja­min­an sebagai upaya mi­tigasi risiko. Namun di sisi lain UMKM umumnya me­miliki ke­terbatasan agunan, baik jumlah agunan yang belum mencukupi maupun le­galitas agunan yang ti­dak memenuhi. Un­tuk itu di­perlukan so­lu­si yang dapat men­­jadi substitusi agunan.

Salah satu langkah yang da­pat ditempuh ialah penjaminan dari per­usahaan penja­mi­n­an kre­dit. Di ting­kat nasional, su­dah ada beberapa perusahaan penjaminan kredit, di an­ta­ra­nya Perum Jam­krindo, PT As­krin­­do, dan PT Pen­ja­minan Kre­­dit Pe­ng­usaha In­do­ne­sia (PKPI). Na­mun me­ng­­ingat jum­lah UMKM yang terus bertumbuh dan tersebar hing­ga pelo­sok daerah, pen­di­rian PPKD tiap pemerintah daerah menjadi opsi kebijakan yang patut di­pertimbangkan. Dengan ha­dir­nya PPKD, kredit UMKM di ba­wah Rp20 juta tidak lagi harus menyertakan agunan. Hingga ta­hun 2017 PPKD sudah ter­ben­tuk di 18 provinsi, se­dang­­kan sisanya sebanyak 16 pro­vinsi ma­sih da­lam proses.

Ketiga, keikutsertaan orga­ni­s­asi kemasyarakatan dalam pro­gram pemberdayaan UMKM. Pe­ngembangan UMKM seyo­gi­an­ya turut melibatkan par­ti­si­pasi elemen-elemen di luar pe­merintah dan perbankan. Salah satu kisah sukses yang dapat menjadi inspirasi ialah sinergi antara lembaga keagamaan dan perbankan dalam pember­da­ya­an UMKM di Kota Manado. Ke­us­kupan Manado, Gereja Ma­sehi Injil di Minahasa (GMIM), dan sejumlah masjid di Manado tercatat telah menjalin kerja sama dengan Bank Pem­ba­ngun­an Daerah dan Bank Syariah.

Lembaga keagamaan ter­se­but akan berperan sebagai pen­damping, melakukan pe­la­tihan dan membantu seleksi umat yang berhak men­da­pat­kan kre­dit KUR dari per­bankan. Selain itu, lem­ba­ga ke­agamaan juga akan menjadi penjamin kredit KUR yang di­peroleh umat. Ar­tinya lembaga ke­agamaan ikut me­nang­gung po­tensi gagal bayar. De­ngan ada­nya sinergi tersebut, risiko in­for­masi asi­metris yang di­­hadapi per­bank­an pun ikut berkurang.

Selain ketiga isu funda­men­tal di atas, pemerintah juga da­pat menebarkan ber­ba­gai pro­gram stimulus dari sisi makro (condition of economics). Penye­der­­hanaan pengurusan lega­li­tas UMKM, insentif bagi per­bank­an yang menyalurkan kre­dit UMKM, dan kemudahan pe­n­dirian perusahaan pen­ja­minan kredit oleh swasta men­jadi se­ba­gian contoh pro­gram stimu­lus yang dapat di­be­rikan. Ketika seluruh kebi­jakan di­fokuskan pada variabel 5C, niscaya ha­rap­an Presiden Jo­ko­wi dapat ter­wujud.

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4466 seconds (0.1#10.140)