Infrastruktur untuk Kemandirian Pangan

Jum'at, 26 Januari 2018 - 08:09 WIB
Infrastruktur untuk...
Infrastruktur untuk Kemandirian Pangan
A A A
Prima Gandhi
Dosen di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB

PRIMUS manducare, deinde philopsophare. Makan du­lu baru berfilsafat ada­lah arti adagium Yunani di awal pa­ragraf tulisan ini. Bagi ma­nusia makan (pangan) me­ru­pa­kan hal yang tidak tergantikan un­tuk bertahan hidup. Dalam ber­bangsa dan bernegara pangan menjadi faktor penentu terja­ga­nya eksistensi persatuan dan kesatuan. Ini dibuktikan oleh Amerika, China, Jepang, Jer­man dan Belanda menjadi ne­gara maju karena sejak dulu hing­ga saat ini industri serta per­usahaan bisnisnya mengua­sai tataniaga pangan dan pro­duk pendukung pertanian (be­nih, pupuk sintetis, pestisida) dunia.

Pertumbuhan industri pa­ngan dunia diawali oleh ke­ter­se­diaan bahan baku, ilmu penge­ta­hu­an teknologi serta infra­struk­tur di negara asal. Karena se­belum mendunia sebuah in­dustri pangan pasti menguasai pasar dalam negerinya terlebih dahulu. Ada angin segar bagi pelaku industri pangan Indo­ne­sia ketika Presiden Joko Wi­do­do berjanji akan membangunan Infrastruktur Pertanian dan pendukungnya serta me­ng­alo­ka­sikan anggaran untuk riset per­tanian pada kampanye Pil­pres 2014 lalu. Namun hingga awal Januari 2018 “angin” ini be­lum terasa.

245 Proyek Strategis Na­sio­nal berupa infrastruktur dasar, irigasi, jembatan, jalan tol, ben­dungan dan pelabuhan jika ce­pat terealisasi akan mem­ban­tu pertumbuhan ekonomi pelaku industri pangan. Namun data realisasi pembangunan infra­struk­tur yang dirilis oleh Ko­mite Percepatan Pem­ba­ngung­an Infrastruktur baru mencapai 2% dari target. Hal ini sangat di­sayangkan mengingat pem­ba­ngun­an infrastruktur men­g­ambil porsi 18,6% dari total be­lanja di APBN.

Jika melihat fakta dan data hingga saat ini mungkin baru puluhan tahun kedepan pelaku industri pangan merasakan dampak kebijakan infra­struk­tur. Apalagi konsep pem­ba­ngun­an infrastruktur Jokowi lebih menitikberatkan kepada percepatan penduduk berpin­dah tempat bukan mendorong per­cepatan produk industri pangan sehingga biaya logistik lebih murah. Konsep pem­ba­ngun­an ini dianggap beberapa eko­nom kurang tepat.

Alangkah lebih baik apabila konsep infrastruktur yang diba­ngun bukan untuk meng­an­tar­kan orang lebih cepat, tapi men­dorong agar biaya logistik ba­rang industri pangan lebih mu­rah. Rel kereta dan jalan tol di­bangun tapi tidak bersatupadu dengan kawasan industri dan jalur distribusi pangan. Di sisi lain berbagai kawasan ekonomi khusus dicanangkan, namun nasib kawasan industri yang su­dah ada kurang mendapat per­hatian. Kenyataan ini meng­ha­silkan diskonektivitas pem­ba­ngunan.

Apabila tidak ada keter­pa­duan antara pembangunan in­frastruktur dengan jalur dis­tri­busi pangan maka penguasaan industri pangan dunia terhadap pasar pangan nasional tidak bisa dikurangi bahkan akan cen­derung mendominasi. Ketika ini terjadi maka negara kita ti­dak mandiri pangan. Selain faktor teknis seperti kerusakan infrastruktur pertanian dan konversi lahan, ada beberapa faktor yang menyebabkan ne­gara tidak mandiri pangan.

Pertama, besarnya laju pe­ningkatnya konsumsi pangan dalam negeri. Hal ini terjadi akibat laju pertambahan pen­du­duk dan naiknya angka keda­ta­ngan wisatawan asing tidak ber­ba­nding dengan laju pro­duk­ti­vi­tas pa­ngan. Sebagai con­toh, menurut survei ter­akhir ta­hun 2013, BPS men­ca­tat jumlah ru­mah tangga usa­ha per­tanian di In­do­­nesia seba­nyak 26,14 juta rumah tangga, me­nu­run sebesar 16,32 persen dari hasil Sensus Pertanian 2003 (31,23 juta rumah tangga) dan sebesar 14,25 juta rumah tang­ga merupakan rumah tangga petani gurem. Pe­nu­run­an ini berdampaknya kepada tu­run­nya produktifitas pangan lokal. Hal ini menyebabkan ke­naikan nilai impor sayuran di semester awal 2017 sebesar 44,14 persen month to month dibanding ta­hun 2016.

Kedua faktor iklim. Pe­ma­nas­an global, ketidakpastian cuaca dan keterlambatan adap­tasi mitigasi perubahan iklim memengaruhi terjadinya krisis pangan. Australia sebagai pro­du­sen gandum terbesar di dunia pernah mengalami krisis gan­dum karena produksi gan­dum­nya turun 40 % sebesar empat juta ton di tahun 2007 akibat ke­keringan (Arifin, 2008).

Ketiga instabilitas pangan. Penyebabnya adalah dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pen­da­pat­an konsumen sudah tahan pada guncangan pasar. Mayoritas ko­moditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi sa­ngat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Hal membuat in­flasi melambung dan sulit di­kendalikan serta membuat ne­gara tidak mandiri pangan.

Keempat, berkembangnya industri biofuel (fuels produced from plant, agriculture and fores­try) memicu percepatan krisis pa­ngan. Sebab, tanaman ba­han baku utama biofuel seperti ja­gung dan tebu sebagian be­sar di­bu­di­­da­yakan dengan sis­tem per­­tanian mono­kul­tur yang me­mer­lukan la­han luas. Ka­sus me­roket­nya harga kede­lai di pasar dunia awal tahun 2010 akibat Amerika Se­ri­kat meng­alihfung­si­kan lahan pertanian kedelai menjadi jagung untuk memproduksi etanol adalah fak­tanya.

Kelima, keberadaan kartel pa­ngan. Kartel yang dide­fi­ni­sikan sebagai kerja sama se­jumlah perusahaan yang ber­saing untuk mengoordinasi ke­giatannya sehingga dapat me­ngendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang juga jasa dalam rangka memperoleh ke­un­­tungan di atas tingkat ke­untungan yang wajar biasanya melingkupi masalah harga, pro­duksi, dan wilayah pemasaran.

Kartel mudah didefinisikan, namun tidak mudah dibuk­ti­kan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan diam-diam. Inilah yang membuat oto­ritas pengawas (KPPU) ke­su­litan mendapatkan bukti-bukti konkret untuk menyeret pelaku kartel. Yang pasti, praktik kartel membuat dua kerugian se­ka­li­gus. Pertama, kartel akan me­minikan, bahkan meniadakan, persaingan. Akibatnya, kon­sumen tidak memiliki alternatif pilihan. Kedua, kartel akan mem­buat negara tidak mandiri pangan. Sebabnya penguasaan produk pangan hanya dikuasai oleh segelintir industri pangan besar. Jika praktek kartel ini tidak bisa ditertibkan maka usa­ha pertanian keluarga (family farming) akan jadi korbannya.

Berdasarkan data dan fakta di atas, belum terlambat untuk kita berusaha mewujudkan ke­mandirian pangan. Momen pe­mulihan ekonomi global di ta­hun ini tidak boleh terlewat. Sya­ratnya adalah fokus men­si­nergikan antara pembangunan infrastruktur dan industri pa­ng­an. Jika mampu diwu­jud­kan maka pembangunan infra­struk­tur akan menjadi katalis kemandirian pangan.

Terakhir, memasuki tahun politik 2018 dan 2019 sektor pa­ngan dan pertanian akan men­jadi “komoditas” jualan oleh para elite partai politik. Ma­syarakat harus pandai-pan­dai dalam me­milih wakilnya sehingga ketika terpilih nanti mampu mem­per­kuat ke­man­di­rian pangan salah­satu con­toh­nya adalah memilih calon pe­mimpin yang mau men­si­­ner­gi­kan pembangunan dae­rah dan pertanian.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0639 seconds (0.1#10.140)