Infrastruktur untuk Kemandirian Pangan
A
A
A
Prima Gandhi
Dosen di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB
PRIMUS manducare, deinde philopsophare. Makan dulu baru berfilsafat adalah arti adagium Yunani di awal paragraf tulisan ini. Bagi manusia makan (pangan) merupakan hal yang tidak tergantikan untuk bertahan hidup. Dalam berbangsa dan bernegara pangan menjadi faktor penentu terjaganya eksistensi persatuan dan kesatuan. Ini dibuktikan oleh Amerika, China, Jepang, Jerman dan Belanda menjadi negara maju karena sejak dulu hingga saat ini industri serta perusahaan bisnisnya menguasai tataniaga pangan dan produk pendukung pertanian (benih, pupuk sintetis, pestisida) dunia.
Pertumbuhan industri pangan dunia diawali oleh ketersediaan bahan baku, ilmu pengetahuan teknologi serta infrastruktur di negara asal. Karena sebelum mendunia sebuah industri pangan pasti menguasai pasar dalam negerinya terlebih dahulu. Ada angin segar bagi pelaku industri pangan Indonesia ketika Presiden Joko Widodo berjanji akan membangunan Infrastruktur Pertanian dan pendukungnya serta mengalokasikan anggaran untuk riset pertanian pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Namun hingga awal Januari 2018 “angin” ini belum terasa.
245 Proyek Strategis Nasional berupa infrastruktur dasar, irigasi, jembatan, jalan tol, bendungan dan pelabuhan jika cepat terealisasi akan membantu pertumbuhan ekonomi pelaku industri pangan. Namun data realisasi pembangunan infrastruktur yang dirilis oleh Komite Percepatan Pembangungan Infrastruktur baru mencapai 2% dari target. Hal ini sangat disayangkan mengingat pembangunan infrastruktur mengambil porsi 18,6% dari total belanja di APBN.
Jika melihat fakta dan data hingga saat ini mungkin baru puluhan tahun kedepan pelaku industri pangan merasakan dampak kebijakan infrastruktur. Apalagi konsep pembangunan infrastruktur Jokowi lebih menitikberatkan kepada percepatan penduduk berpindah tempat bukan mendorong percepatan produk industri pangan sehingga biaya logistik lebih murah. Konsep pembangunan ini dianggap beberapa ekonom kurang tepat.
Alangkah lebih baik apabila konsep infrastruktur yang dibangun bukan untuk mengantarkan orang lebih cepat, tapi mendorong agar biaya logistik barang industri pangan lebih murah. Rel kereta dan jalan tol dibangun tapi tidak bersatupadu dengan kawasan industri dan jalur distribusi pangan. Di sisi lain berbagai kawasan ekonomi khusus dicanangkan, namun nasib kawasan industri yang sudah ada kurang mendapat perhatian. Kenyataan ini menghasilkan diskonektivitas pembangunan.
Apabila tidak ada keterpaduan antara pembangunan infrastruktur dengan jalur distribusi pangan maka penguasaan industri pangan dunia terhadap pasar pangan nasional tidak bisa dikurangi bahkan akan cenderung mendominasi. Ketika ini terjadi maka negara kita tidak mandiri pangan. Selain faktor teknis seperti kerusakan infrastruktur pertanian dan konversi lahan, ada beberapa faktor yang menyebabkan negara tidak mandiri pangan.
Pertama, besarnya laju peningkatnya konsumsi pangan dalam negeri. Hal ini terjadi akibat laju pertambahan penduduk dan naiknya angka kedatangan wisatawan asing tidak berbanding dengan laju produktivitas pangan. Sebagai contoh, menurut survei terakhir tahun 2013, BPS mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia sebanyak 26,14 juta rumah tangga, menurun sebesar 16,32 persen dari hasil Sensus Pertanian 2003 (31,23 juta rumah tangga) dan sebesar 14,25 juta rumah tangga merupakan rumah tangga petani gurem. Penurunan ini berdampaknya kepada turunnya produktifitas pangan lokal. Hal ini menyebabkan kenaikan nilai impor sayuran di semester awal 2017 sebesar 44,14 persen month to month dibanding tahun 2016.
Kedua faktor iklim. Pemanasan global, ketidakpastian cuaca dan keterlambatan adaptasi mitigasi perubahan iklim memengaruhi terjadinya krisis pangan. Australia sebagai produsen gandum terbesar di dunia pernah mengalami krisis gandum karena produksi gandumnya turun 40 % sebesar empat juta ton di tahun 2007 akibat kekeringan (Arifin, 2008).
Ketiga instabilitas pangan. Penyebabnya adalah dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah tahan pada guncangan pasar. Mayoritas komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi sangat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Hal membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan serta membuat negara tidak mandiri pangan.
Keempat, berkembangnya industri biofuel (fuels produced from plant, agriculture and forestry) memicu percepatan krisis pangan. Sebab, tanaman bahan baku utama biofuel seperti jagung dan tebu sebagian besar dibudidayakan dengan sistem pertanian monokultur yang memerlukan lahan luas. Kasus meroketnya harga kedelai di pasar dunia awal tahun 2010 akibat Amerika Serikat mengalihfungsikan lahan pertanian kedelai menjadi jagung untuk memproduksi etanol adalah faktanya.
Kelima, keberadaan kartel pangan. Kartel yang didefinisikan sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang juga jasa dalam rangka memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar biasanya melingkupi masalah harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Kartel mudah didefinisikan, namun tidak mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas (KPPU) kesulitan mendapatkan bukti-bukti konkret untuk menyeret pelaku kartel. Yang pasti, praktik kartel membuat dua kerugian sekaligus. Pertama, kartel akan meminikan, bahkan meniadakan, persaingan. Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif pilihan. Kedua, kartel akan membuat negara tidak mandiri pangan. Sebabnya penguasaan produk pangan hanya dikuasai oleh segelintir industri pangan besar. Jika praktek kartel ini tidak bisa ditertibkan maka usaha pertanian keluarga (family farming) akan jadi korbannya.
Berdasarkan data dan fakta di atas, belum terlambat untuk kita berusaha mewujudkan kemandirian pangan. Momen pemulihan ekonomi global di tahun ini tidak boleh terlewat. Syaratnya adalah fokus mensinergikan antara pembangunan infrastruktur dan industri pangan. Jika mampu diwujudkan maka pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis kemandirian pangan.
Terakhir, memasuki tahun politik 2018 dan 2019 sektor pangan dan pertanian akan menjadi “komoditas” jualan oleh para elite partai politik. Masyarakat harus pandai-pandai dalam memilih wakilnya sehingga ketika terpilih nanti mampu memperkuat kemandirian pangan salahsatu contohnya adalah memilih calon pemimpin yang mau mensinergikan pembangunan daerah dan pertanian.
Dosen di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB
PRIMUS manducare, deinde philopsophare. Makan dulu baru berfilsafat adalah arti adagium Yunani di awal paragraf tulisan ini. Bagi manusia makan (pangan) merupakan hal yang tidak tergantikan untuk bertahan hidup. Dalam berbangsa dan bernegara pangan menjadi faktor penentu terjaganya eksistensi persatuan dan kesatuan. Ini dibuktikan oleh Amerika, China, Jepang, Jerman dan Belanda menjadi negara maju karena sejak dulu hingga saat ini industri serta perusahaan bisnisnya menguasai tataniaga pangan dan produk pendukung pertanian (benih, pupuk sintetis, pestisida) dunia.
Pertumbuhan industri pangan dunia diawali oleh ketersediaan bahan baku, ilmu pengetahuan teknologi serta infrastruktur di negara asal. Karena sebelum mendunia sebuah industri pangan pasti menguasai pasar dalam negerinya terlebih dahulu. Ada angin segar bagi pelaku industri pangan Indonesia ketika Presiden Joko Widodo berjanji akan membangunan Infrastruktur Pertanian dan pendukungnya serta mengalokasikan anggaran untuk riset pertanian pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Namun hingga awal Januari 2018 “angin” ini belum terasa.
245 Proyek Strategis Nasional berupa infrastruktur dasar, irigasi, jembatan, jalan tol, bendungan dan pelabuhan jika cepat terealisasi akan membantu pertumbuhan ekonomi pelaku industri pangan. Namun data realisasi pembangunan infrastruktur yang dirilis oleh Komite Percepatan Pembangungan Infrastruktur baru mencapai 2% dari target. Hal ini sangat disayangkan mengingat pembangunan infrastruktur mengambil porsi 18,6% dari total belanja di APBN.
Jika melihat fakta dan data hingga saat ini mungkin baru puluhan tahun kedepan pelaku industri pangan merasakan dampak kebijakan infrastruktur. Apalagi konsep pembangunan infrastruktur Jokowi lebih menitikberatkan kepada percepatan penduduk berpindah tempat bukan mendorong percepatan produk industri pangan sehingga biaya logistik lebih murah. Konsep pembangunan ini dianggap beberapa ekonom kurang tepat.
Alangkah lebih baik apabila konsep infrastruktur yang dibangun bukan untuk mengantarkan orang lebih cepat, tapi mendorong agar biaya logistik barang industri pangan lebih murah. Rel kereta dan jalan tol dibangun tapi tidak bersatupadu dengan kawasan industri dan jalur distribusi pangan. Di sisi lain berbagai kawasan ekonomi khusus dicanangkan, namun nasib kawasan industri yang sudah ada kurang mendapat perhatian. Kenyataan ini menghasilkan diskonektivitas pembangunan.
Apabila tidak ada keterpaduan antara pembangunan infrastruktur dengan jalur distribusi pangan maka penguasaan industri pangan dunia terhadap pasar pangan nasional tidak bisa dikurangi bahkan akan cenderung mendominasi. Ketika ini terjadi maka negara kita tidak mandiri pangan. Selain faktor teknis seperti kerusakan infrastruktur pertanian dan konversi lahan, ada beberapa faktor yang menyebabkan negara tidak mandiri pangan.
Pertama, besarnya laju peningkatnya konsumsi pangan dalam negeri. Hal ini terjadi akibat laju pertambahan penduduk dan naiknya angka kedatangan wisatawan asing tidak berbanding dengan laju produktivitas pangan. Sebagai contoh, menurut survei terakhir tahun 2013, BPS mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia sebanyak 26,14 juta rumah tangga, menurun sebesar 16,32 persen dari hasil Sensus Pertanian 2003 (31,23 juta rumah tangga) dan sebesar 14,25 juta rumah tangga merupakan rumah tangga petani gurem. Penurunan ini berdampaknya kepada turunnya produktifitas pangan lokal. Hal ini menyebabkan kenaikan nilai impor sayuran di semester awal 2017 sebesar 44,14 persen month to month dibanding tahun 2016.
Kedua faktor iklim. Pemanasan global, ketidakpastian cuaca dan keterlambatan adaptasi mitigasi perubahan iklim memengaruhi terjadinya krisis pangan. Australia sebagai produsen gandum terbesar di dunia pernah mengalami krisis gandum karena produksi gandumnya turun 40 % sebesar empat juta ton di tahun 2007 akibat kekeringan (Arifin, 2008).
Ketiga instabilitas pangan. Penyebabnya adalah dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah tahan pada guncangan pasar. Mayoritas komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi sangat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Hal membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan serta membuat negara tidak mandiri pangan.
Keempat, berkembangnya industri biofuel (fuels produced from plant, agriculture and forestry) memicu percepatan krisis pangan. Sebab, tanaman bahan baku utama biofuel seperti jagung dan tebu sebagian besar dibudidayakan dengan sistem pertanian monokultur yang memerlukan lahan luas. Kasus meroketnya harga kedelai di pasar dunia awal tahun 2010 akibat Amerika Serikat mengalihfungsikan lahan pertanian kedelai menjadi jagung untuk memproduksi etanol adalah faktanya.
Kelima, keberadaan kartel pangan. Kartel yang didefinisikan sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang juga jasa dalam rangka memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar biasanya melingkupi masalah harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Kartel mudah didefinisikan, namun tidak mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas (KPPU) kesulitan mendapatkan bukti-bukti konkret untuk menyeret pelaku kartel. Yang pasti, praktik kartel membuat dua kerugian sekaligus. Pertama, kartel akan meminikan, bahkan meniadakan, persaingan. Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif pilihan. Kedua, kartel akan membuat negara tidak mandiri pangan. Sebabnya penguasaan produk pangan hanya dikuasai oleh segelintir industri pangan besar. Jika praktek kartel ini tidak bisa ditertibkan maka usaha pertanian keluarga (family farming) akan jadi korbannya.
Berdasarkan data dan fakta di atas, belum terlambat untuk kita berusaha mewujudkan kemandirian pangan. Momen pemulihan ekonomi global di tahun ini tidak boleh terlewat. Syaratnya adalah fokus mensinergikan antara pembangunan infrastruktur dan industri pangan. Jika mampu diwujudkan maka pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis kemandirian pangan.
Terakhir, memasuki tahun politik 2018 dan 2019 sektor pangan dan pertanian akan menjadi “komoditas” jualan oleh para elite partai politik. Masyarakat harus pandai-pandai dalam memilih wakilnya sehingga ketika terpilih nanti mampu memperkuat kemandirian pangan salahsatu contohnya adalah memilih calon pemimpin yang mau mensinergikan pembangunan daerah dan pertanian.
(kri)