Stunting dan Warisan Kemiskinan
A
A
A
M Aliem
Statistisi pada Badan Pusat Statistik (BPS) Gowa, Sulawesi Selatan
PERINGATAN Hari Gizi Nasional (HGN) 2018 mengangkat isu stunting dengan tema “Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi”. Adapun subtemanya adalah “Mewujudkan Kemandirian Keluarga dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) untuk Pencegahan Stunting”.
Angka stunting di Tanah Air masih tinggi. Ini diduga disebabkan persoalan kemiskinan yang masih melanda jutaan rakyat Indonesia, sebagaimana yang juga diduga kuat melatarbelakangi tragedi gizi buruk dan kejadian luar biasa (KLB) campak di Kabupaten Asmat, Papua. Keluarga yang miskin akan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, khususnya makanan bergizi.
Stunting dapat mengganggu perkembangan otak anak. Pendidikan anak yang mengalami stunting akan terganggu dan tentu saja memengaruhi masa depannya. Hasil pemantauan status gizi (PSG) pada 2016 menunjukkan prevalensi balita pendek (stunting ) 29,0%, balita gizi kurang 17,8%, dan balita kurus 11,1%.
Sementara ibu hamil dengan risiko kurang energi kronis (KEK) sebesar 16,2%. Dengan kondisi seperti itu, masalah kecukupan gizi sangat penting dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Disadari bersama, sangat penting menciptakan aset pembangunan nasional berupa sumber daya manusia (SDM) yang sehat karena itu akan menjadi investasi berharga dalam rangka bersaing di dunia global.
Untuk itu, langkah awal yang wajib dilakukan adalah melakukan aksi berkesinambungan dalam memperbaiki gizi masyarakat. Ini sejalan dengan target kedua pada Sustainable Development Goals (SDGs) 2016-2030, yakni menghapuskan kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi pada 2030.
Salah satu agenda prioritas pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan Nawacita adalah peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. SDM yang berkualitas wajib memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, dan kesehatan yang prima sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan. Kecukupan asupan gizi menjadi salah satu penentu terciptanya SDM yang berkualitas.
Angka kemiskinan terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya perbaikan kinerja pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12%), berkurang 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 sebesar 27,77 juta orang.
Penduduk miskin di perkotaan sebanyak 10,27 juta orang, sedangkan di perdesaan sebanyak 16,31 juta orang pada September 2017. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk miskin lebih banyak tinggal di daerah perdesaan, di mana mayoritas pekerjaan masyarakat adalah di bidang pertanian.
BPS mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan begitu, diperoleh persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan yang terdiri atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkal per kapita per hari. Sementara garis kemiskinan bukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Pada September 2017, komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan adalah beras. Peringkat kedua ditempati rokok keretek filter sebesar 9,98% di perkotaan dan 10,70% di perdesaan. Sementara komoditas bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Rokok menjadi komoditas yang cukup penting bagi penduduk miskin. Pengeluaran untuk rokok lumayan besar. Presiden Joko Widodo pernah berpesan pada rapat kerja kesehatan nasional 28 Februari 2017, agar masyarakat menghentikan kebiasaan merokok. Makna pesan Presiden adalah jangan sampai uang dipakai untuk membeli rokok dan bukan untuk menambah gizi anaknya.
BPS juga menerbitkan publikasi mengenai konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia dan provinsi pada 2017. Secara nasional, konsumsi kalori penduduk Indonesia mencapai 2.152,64 kkal dan protein sebanyak 62,20 gram. Angka ini berada di atas standar kecukupan nasional sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 tahun 2013, yaitu 2.150 kkal untuk kalori dan protein sebesar 57 gram.
Dari data itu, terdapat 18 provinsi dengan konsumsi kalori di bawah standar, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan semua provinsi di Maluku dan Papua. Maluku Utara menjadi provinsi dengan rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari paling kecil, yaitu 1.783,27 kkal.
Sementara itu, terdapat tujuh provinsi yang belum memenuhi standar kecukupan protein, yaitu Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, Maluku Utara, dan terendah di Papua (46,03 gram).
Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi ini, pemerintah meluncurkan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Bantuan ini tidak hanya makanan karbohidrat, juga protein seperti telur. Untuk mengatasi stunting, pemerintah juga melakukan program perbaikan gizi, sanitasi dan MCK, serta membuat Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dengan harapan perilaku hidup sehat masyarakat dapat tercapai.
Upaya pemerintah tentu tak boleh berhenti di situ. Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, diharapkan ada penambahan program padat karya yang menyentuh warga miskin di perdesaan. Kemudian, perlu menentukan harga beli produk pertanian yang lebih menguntungkan petani karena disadari penduduk kemiskinan sebagian besar ada di desa.
Angka stunting juga bisa diturunkan dengan program gizi nasional, penyediaan jaringan kesehatan di daerah miskin, dan mendorong pendampingan nutrisi, baik oleh pemerintah maupun komunitas masyarakat. Dibutuhkan kegiatan penyuluhan tentang pencegahan stunting, seperti pentingnya pemberian ASI kepada balita, makanan bergizi, dan perilaku hidup sehat lainnya. Lebih khusus lagi, pemberian nutrisi kepada ibu hamil dan menyusui (dua tahun kehidupan pertama) serta anaknya sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi keduanya.
Program dapat berjalan sukses jika tercipta kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Tak kalah penting, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk pemenuhan gizi keluarganya. Dengan begitu, lingkaran setan kemiskinan dapat diputus.
Statistisi pada Badan Pusat Statistik (BPS) Gowa, Sulawesi Selatan
PERINGATAN Hari Gizi Nasional (HGN) 2018 mengangkat isu stunting dengan tema “Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi”. Adapun subtemanya adalah “Mewujudkan Kemandirian Keluarga dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) untuk Pencegahan Stunting”.
Angka stunting di Tanah Air masih tinggi. Ini diduga disebabkan persoalan kemiskinan yang masih melanda jutaan rakyat Indonesia, sebagaimana yang juga diduga kuat melatarbelakangi tragedi gizi buruk dan kejadian luar biasa (KLB) campak di Kabupaten Asmat, Papua. Keluarga yang miskin akan kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, khususnya makanan bergizi.
Stunting dapat mengganggu perkembangan otak anak. Pendidikan anak yang mengalami stunting akan terganggu dan tentu saja memengaruhi masa depannya. Hasil pemantauan status gizi (PSG) pada 2016 menunjukkan prevalensi balita pendek (stunting ) 29,0%, balita gizi kurang 17,8%, dan balita kurus 11,1%.
Sementara ibu hamil dengan risiko kurang energi kronis (KEK) sebesar 16,2%. Dengan kondisi seperti itu, masalah kecukupan gizi sangat penting dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Disadari bersama, sangat penting menciptakan aset pembangunan nasional berupa sumber daya manusia (SDM) yang sehat karena itu akan menjadi investasi berharga dalam rangka bersaing di dunia global.
Untuk itu, langkah awal yang wajib dilakukan adalah melakukan aksi berkesinambungan dalam memperbaiki gizi masyarakat. Ini sejalan dengan target kedua pada Sustainable Development Goals (SDGs) 2016-2030, yakni menghapuskan kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi pada 2030.
Salah satu agenda prioritas pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan Nawacita adalah peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. SDM yang berkualitas wajib memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, dan kesehatan yang prima sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan. Kecukupan asupan gizi menjadi salah satu penentu terciptanya SDM yang berkualitas.
Angka kemiskinan terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya perbaikan kinerja pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12%), berkurang 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 sebesar 27,77 juta orang.
Penduduk miskin di perkotaan sebanyak 10,27 juta orang, sedangkan di perdesaan sebanyak 16,31 juta orang pada September 2017. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk miskin lebih banyak tinggal di daerah perdesaan, di mana mayoritas pekerjaan masyarakat adalah di bidang pertanian.
BPS mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan begitu, diperoleh persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan yang terdiri atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkal per kapita per hari. Sementara garis kemiskinan bukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Pada September 2017, komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan adalah beras. Peringkat kedua ditempati rokok keretek filter sebesar 9,98% di perkotaan dan 10,70% di perdesaan. Sementara komoditas bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Rokok menjadi komoditas yang cukup penting bagi penduduk miskin. Pengeluaran untuk rokok lumayan besar. Presiden Joko Widodo pernah berpesan pada rapat kerja kesehatan nasional 28 Februari 2017, agar masyarakat menghentikan kebiasaan merokok. Makna pesan Presiden adalah jangan sampai uang dipakai untuk membeli rokok dan bukan untuk menambah gizi anaknya.
BPS juga menerbitkan publikasi mengenai konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia dan provinsi pada 2017. Secara nasional, konsumsi kalori penduduk Indonesia mencapai 2.152,64 kkal dan protein sebanyak 62,20 gram. Angka ini berada di atas standar kecukupan nasional sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 tahun 2013, yaitu 2.150 kkal untuk kalori dan protein sebesar 57 gram.
Dari data itu, terdapat 18 provinsi dengan konsumsi kalori di bawah standar, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan semua provinsi di Maluku dan Papua. Maluku Utara menjadi provinsi dengan rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari paling kecil, yaitu 1.783,27 kkal.
Sementara itu, terdapat tujuh provinsi yang belum memenuhi standar kecukupan protein, yaitu Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, Maluku Utara, dan terendah di Papua (46,03 gram).
Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi ini, pemerintah meluncurkan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Bantuan ini tidak hanya makanan karbohidrat, juga protein seperti telur. Untuk mengatasi stunting, pemerintah juga melakukan program perbaikan gizi, sanitasi dan MCK, serta membuat Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dengan harapan perilaku hidup sehat masyarakat dapat tercapai.
Upaya pemerintah tentu tak boleh berhenti di situ. Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, diharapkan ada penambahan program padat karya yang menyentuh warga miskin di perdesaan. Kemudian, perlu menentukan harga beli produk pertanian yang lebih menguntungkan petani karena disadari penduduk kemiskinan sebagian besar ada di desa.
Angka stunting juga bisa diturunkan dengan program gizi nasional, penyediaan jaringan kesehatan di daerah miskin, dan mendorong pendampingan nutrisi, baik oleh pemerintah maupun komunitas masyarakat. Dibutuhkan kegiatan penyuluhan tentang pencegahan stunting, seperti pentingnya pemberian ASI kepada balita, makanan bergizi, dan perilaku hidup sehat lainnya. Lebih khusus lagi, pemberian nutrisi kepada ibu hamil dan menyusui (dua tahun kehidupan pertama) serta anaknya sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi keduanya.
Program dapat berjalan sukses jika tercipta kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Tak kalah penting, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk pemenuhan gizi keluarganya. Dengan begitu, lingkaran setan kemiskinan dapat diputus.
(whb)