Pulihkan Citra DPR dengan Kinerja

Selasa, 23 Januari 2018 - 08:29 WIB
Pulihkan Citra DPR dengan...
Pulihkan Citra DPR dengan Kinerja
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI

DPR saat ini dihadapkan pada fakta tentang buruknya persepsi masyarakat terhadap lembaga karena beberapa alasan. DPR bahkan sudah dipersepsikan sebagai institusi paling korup. Dan mengacu pada hasil kerja legislasi, DPR juga dinilai tidak produktif karena nyaris tidak pernah mencapai target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Anggota DPR pun dinilai malas karena tingkat kehadiran yang rendah pada rapat-rapat alat kelengkapan dewan (AKD).

Mengubah persepsi negatif publik tentang DPR tersebut tidak bisa hanya dilakukan dengan kerja strategi pencitraan. Perbaikan citra DPR akan berproses melalui peningkatan kinerja dan kualitas produk, membangun suasana dialogis dengan pemerintah dan masyarakat, serta responsif terhadap persoalan bangsa dan negara.

Kerja perbaikan citra dengan peningkatan kinerja itu harus dimulai dengan menyamakan persepsi di antara semua unsur atau kekuatan politik di DPR. Semua fraksi di DPR harus menerima kenyataan atau menggarisbawahi fakta tentang buruknya persepsi masyarakat sebagaimana disebutkan.

Persepsi negatif terhadap DPR sudah lama terbentuk. Namun, selama itu pula nyaris tidak pernah ada upaya maksimal untuk mengubahnya. DPR memperlihatkan gelagat tidak peduli dengan persepsi negatif itu, sehingga DPR pun dinilai tidak punya sensitivitas untuk menjaga marwahnya sendiri.

Kecenderungan negatif seperti itu terpelihara karena DPR tidak berupaya membangun komunikasi yang baik dan efektif dengan publik. Menyikapi kecaman atau kritik, sering kali reaksi bukannya atas nama institusi, melainkan cenderung personal dan partisan mewakili posisi dan sikap partai. DPR seperti tidak punya juru bicara yang sigap merespons ketika institusi menjadi target cercaan publik.

Sudah barang tentu DPR tidak boleh lagi dibiarkan dalam posisi seperti itu. Per institusi, DPR harus segera memperlihatkan semangat perubahan, sejalan dengan perubahan persepsi publik terhadap pemerintah yang terus membaik. Untuk itu, semua elemen di DPR harus didorong untuk peduli dan prihatin pada kenyataan tentang persepsi negatif publik itu.

Jangan lagi meremehkan atau menggampangkan masalah ini. DPR harus sensitif menyikapi kritik atau kecaman publik. Jangan lagi kritik, masukan bahkan kecaman masyarakat hanya dianggap angin lalu. Publik berharap DPR responsif dan konstruktif, dalam arti tidak emosional dengan sekadar melancarkan perang kata-kata atau pernyataan, tetapi menyentuh dan mengunyah setiap persoalan untuk menemukan solusi terbaik.

Karakter kepemimpinan DPR yang kolektif kolegial harus diperkuat untuk tujuan kontributif dan produktif bagi kepentingan negara dan rakyat, tanpa sedikit pun menghilangkan fungsi pengawasan. Namun, karena salah satu fokus terpenting saat ini adalah perbaikan citra, kepemimpinan kolektif itu perlu menyamakan dan mengambil sikap bersama untuk merespons masalah.

Pertemuan reguler dengan para pimpinan fraksi menjadi kebutuhan tak terelakkan. Pertemuan reguler itu tentu saja dimanfaatkan untuk mengidentifikasi beban kerja DPR, menetapkan target dan prioritas, serta mendata masalah-masalah yang dihadapi DPR. Semangat dan kesepakatan untuk memperbaiki citra institusi patut diprioritaskan.

Tidak berarti pilihan perbaikan citra itu harus mengurangi arus kritik DPR kepada mitra kerja atau eksekutif. Kewajiban setiap anggota DPR adalah berbicara mengkritik mitra kerjanya dari kamar eksekutif. Kewajiban yang satu ini harus terus dilaksanakan.

Tentu yang sangat dibutuhkan adalah kritik yang konstruktif karena setiap anggota DPR diasumsikan tahu apa yang dikerjakan para mitra. Pada dasarnya, para mitra kerja DPR (kementerian dan lembaga atau K/L) memang butuh kritik dan masukan. Maka, sungguh tidak elok kalau parlemen sebagai mitra eksekutif bersikap minimalis dan malas mengkritik pemerintah.

Kinerja dan Kualitas

Jangan pernah berasumsi bahwa perbaikan citra DPR hanya diwujudkan melalui strategi pencitraan. Masyarakat tidak bisa dikelabui dengan strategi pencitraan. Adalah pepesan kosong jika kerja pencitraan tidak dilengkapi dengan kerja nyata atau produktivitas. Tidak ada pilihan lain bahwa perbaikan citra DPR akan berproses melalui peningkatan kinerja, kualitas produk, membangun suasana dialogis dengan pemerintah dan masyarakat, serta responsif terhadap persoalan bangsa dan negara.

Seperti diketahui, DPR dan pemerintah pada November 2017 sudah memutuskan 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Prolegnas 2018 prioritas. DPR mengajukan 31 RUU, pemerintah mengajukan 16 RUU, dan DPD mengusulkan 3 RUU. Beban kerja legislasi ini tampaknya tidak ringan, mengingat 2018 adalah tahun politik.

Ambisi semua partai politik (parpol) untuk meraih kemenangan pada Pilkada 2018 praktis menghadirkan konsekuensi logis bagi semua anggota DPR. Sebagai kader andalan, sebagian anggota DPR harus menanggapi panggilan tugas dari partainya untuk kerja pemenangan.

Bahkan, dilema itu akan berlanjut sepanjang paruh kedua 2018. Sebab selepas Pilkada 2018, anggota DPR akan melanjutkan konsolidasi menyongsong tahun politik 2019 untuk agenda pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).

Maka itu, pimpinan DPR dan para ketua fraksi perlu duduk bersama untuk membahas pengelolaan beban kerja ini. Apakah jumlah RUU prioritas dalam Prolegnas 2018 perlu dipertahankan atau disederhanakan lagi agar tampak lebih realistis? Penyelesaian beban kerja ini tak bisa dipisahkan dari faktor kehadiran anggota dewan.

Karena itu, pimpinan DPR dan para ketua fraksi juga perlu menyepakati ketentuan mengenai wajib hadir anggota fraksi pada rapat-rapat AKD. Setiap fraksi akan diminta mengatur kegiatan anggota pada tahun politik ini agar kerja legislasi tidak terganggu.

Selain target dalam Prolegnas 2018, kualitas UU yang dihasilkan pun tidak boleh luput dari perhatian pimpinan DPR. Selama ini, sudah menjadi catatan publik bahwa banyak produk UU dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2012 misalnya, MK membatalkan 29 UU. Pembatalan oleh MK itu menjadi bukti buruknya kualitas kerja DPR dan pemerintah sebagai perumus UU.

Materi yang paling banyak dimohonkan untuk diuji adalah aspek keadilan dan aspek kepastian hukum. Sudah muncul kesan bahwa kualitas UU yang dihasilkan pemerintah dan DPR terus menurun. Beberapa produk UU yang dibatalkan MK antara lain UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian dan UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Hingga tahun lalu, kecenderungannya belum membaik sebagaimana yang dicatat oleh Setara Institute berikut ini; sepanjang periode Agustus 2016–Agustus 2017, MK telah mengeluarkan 121 putusan terkait uji 258 pasal dari 62 produk UU.

Meliputi 26 putusan kabul, 38 putusan laporan ditolak, 41 putusan laporan tidak dapat diterima, 5 putusan laporan gugur, dan 11 laporan ditarik kembali. UU Nomor 10/2016 dan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tercatat sebagai UU yang paling banyak diuji, dengan 17 kali permohonan pengujian.

Agar kualitas UU semakin baik, DPR mau tak mau harus lebih fokus dan mawas diri. Selain itu, kecenderungan DPR yang ambisius untuk menyelesaikan puluhan RUU dalam satu tahun kerja harus diakhiri. Demi kualitas UU, DPR memang harus realistis.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8104 seconds (0.1#10.140)