Jokowi, Golkar, dan Pilpres 2019
A
A
A
Lili Romli
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
TANDA-tanda Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal melenggang dengan aman dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sudah bisa dibaca sejak sejumlah partai mengumumkan pencalonannya tahun lalu. Deklarasi dukungan ke Jokowi antara lain dilakukan oleh Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Golkar, PPP. Bahkan, partai baru yang belum menjadi peserta pemilu, yakni Partai Perindo juga menyatakan dukungan kepada Jokowi.
Jika mengacu pada dukungan yang besar dari partai-partai yang mendeklarasikan Jokowi untuk periode kedua, jalan ke tangga pencapresan akan mulus. Apalagi, setelah beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pembatalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum menjadi amunisi kuat bagi Jokowi.
Ini karena bila kita melihat peta kekuatan hasil Pemilu 2014, dari 10 partai politik (parpol) yang ada di DPR, tak ada satu pun yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Meski begitu, dengan deklarasi yang dilakukan oleh-oleh partai-partai di atas, kandidat presiden bisa jadi akan head to head.
Meski begitu, Jokowi tampaknya merasa perlu untuk memastikan bahwa “sabuk pengaman”-nya dalam pilpres tahun depan itu benar-benar aman. Sebab, bukan mustahil dukungan yang jauh-jauh hari sudah diberikan itu, dalam menit-menit terakhir dicabut kembali.
Tampaknya “sabuk pengaman” yang penting untuk dipastikan tetap kukuh adalah Partai Golkar. Jokowi pun melakukannya dengan memanfaatkan reshuffle kabinet, menyusul pencalonan salah satu anggota kabinetnya, Khofifah Indar Parawansa, sebagai calon gubernur Jawa Timur.
Kursi Menteri Sosial yang ditinggalkan Khofifah diberikan kepada Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang akhir tahun lalu secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum (ketum) Partai Golkar, menggantikan Setya Novanto yang menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi tetap dipertahankan dalam posisinya.
Asumsi awal bahwa tugas kementerian bakal terganggu oleh jabatan rangkap sebagai ketua umum partai kini tidak berlaku lagi, mengingat tahun politik sudah berada di depan pintu. Tanpa menduduki kursi di kabinet, posisi Airlangga pada partai berlambang beringin itu memang mudah digoyang.
Berbeda dengan ketum-ketum sebelumnya, seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, bahkan Aburizal Bakrie boleh dikatakan Airlangga Hartarto kurang mengakar. Dia lebih bertumpu pada beberapa elite di kepengurusan pimpinan pusat. Mereka itulah yang tempo hari bergerilya ke pimpinan daerah untuk mempercepat penyingkiran Setya Novanto dan pengangkatan dirinya. Tentu saja semua itu atas restu Istana, baik yang di Merdeka Utara maupun Merdeka Selatan.
Karena itu, tambahan menteri untuk Partai Golkar dan tidak dicopotnya Airlangga Hartarto dari anggota kabinet harus dibaca dalam konteks untuk mengikat Partai Golkar agar tetap istikamah dengan apa yang telah dideklarasikannya yaitu mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang belum mengeluarkan pernyataan resmi mendukung Jokowi. Namun, itu lebih merupakan soal waktu saja. Dengan dukungan dua partai besar, yaitu PDI-P dan Partai Golkar, maka Jokowi akan semakin aman melenggang sebagai calon presiden untuk periode keduanya.
Dua Kemungkinan
Sebagai parpol besar, Partai Golkar tentu menginginkan kadernya sendiri ikut dalam kontestasi Pilpres 2019. Apalagi, dalam Pilpres 2014 partai ini memberi dukungan kepada kandidat yang bukan berasal dari kadernya sendiri. Pada Pilpres 2019 Partai Golkar pun “mengorbankan diri” untuk tidak mencalonkan kadernya. Sekarang mereka tampaknya berpikir tidak ada kandidat yang cukup kuat dari Partai Golkar untuk berhadapan dengan petahana. Setelah membaca beberapa hasil survei, mereka pun mengarahkan dukungannya kepada Jokowi. Keuntungan mendukung Jokowi ini sudah dirasakan oleh Partai Golkar dengan diberikannya satu tambahan kursi menteri dan dipertahankannya sang Ketua Umum Airlangga Hartarto, dalam Kabinet Kerja.
Jika politik dimaknai sebagai “seni bermain”, permainan politik Partai Golkar menjelang tahun politik 2019 boleh dikatakan “canggih”, kalaulah bukan “cantik”. Meski sebelumnya tidak mendukung Jokowi, sekarang Partai Golkar merupakan unsur dominan dalam pencapresan kembali Jokowi. Sementara itu, partai-partai awal pendukung Jokowi sepertinya mulai ditinggalkan. Ada yang menyebutkan, kepiawaian Partai Golkar dalam “mendekati” Jokowi tidak lepas dari peran senior mereka yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Ada dua kemungkinan yang bisa dibaca dari fenomena mesranya Jokowi dengan Beringin. Pertama, tentu saja untuk menjaga Partai Golkar agar tidak menyeberang ke pihak lawan yang nyata adalah calon yang bakal diusung oleh Partai Gerindra dan PKS. Kedua, untuk menaikkan daya tawar Partai Golkar ke PDI-P yang sampai sekarang belum mengeluarkan deklarasi mendukung Jokowi secara resmi. Bukan mustahil, kelak partai ini akan mengajukan kadernya untuk posisi wakil presiden.
Hubungan Jokowi dan Golkar tersebut menguntungkan kedua pihak. Kendati demikian, yang lebih diuntungkan dari hubungan itu adalah Partai Golkar. Meskipun dulu tidak mendukung Jokowi dan sekarang tidak memiliki calon sendiri, Partai Golkar tetap mendapat keuntungan. Partai Golkar sengaja “mengorbankan diri” sebagai parpol kedua terbesar asal tetap berada dalam kekuasaan yang memang sudah menjadi habitat partai ini.
Realitas politik sebagaimana terlihat kekuatan di DPR dan prediksi hasil lembaga survei memperlihatkan bahwa di Indonesia kini terdapat tiga kelompok politik besar, yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Gerindra. Dalam konteks itu, bagi Jokowi tidak cukup didukung oleh PDIP saja sebagai partai besar, tapi perlu juga dukungan dari Partai Golkar. Dengan diikat seperti ini bukan hanya untuk tujuan jangka pendek saat ini di DPR, yang mana Ketua DPR Bambang Soesatyo juga berasal dari Partai Golkar, melainkan untuk memuluskan dan mendukung setiap kebijakan yang diambil di parlemen.
Dalam jangka panjang, yakni Pilpres 2019, bisa jadi Jokowi mengikat Beringin melalui “politik balas budi” agar partai itu tidak mbalelo di kemudian hari. Ini penting dilakukan agar kompetisi Pilpres 2019 head to head. Karena jika tidak, kasus Pilkada DKI Jakarta bisa terulang dalam Pilpres 2019, yakni munculnya calon alternatif, selain Jokowi dan Prabowo.
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
TANDA-tanda Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal melenggang dengan aman dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sudah bisa dibaca sejak sejumlah partai mengumumkan pencalonannya tahun lalu. Deklarasi dukungan ke Jokowi antara lain dilakukan oleh Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Golkar, PPP. Bahkan, partai baru yang belum menjadi peserta pemilu, yakni Partai Perindo juga menyatakan dukungan kepada Jokowi.
Jika mengacu pada dukungan yang besar dari partai-partai yang mendeklarasikan Jokowi untuk periode kedua, jalan ke tangga pencapresan akan mulus. Apalagi, setelah beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pembatalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum menjadi amunisi kuat bagi Jokowi.
Ini karena bila kita melihat peta kekuatan hasil Pemilu 2014, dari 10 partai politik (parpol) yang ada di DPR, tak ada satu pun yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Meski begitu, dengan deklarasi yang dilakukan oleh-oleh partai-partai di atas, kandidat presiden bisa jadi akan head to head.
Meski begitu, Jokowi tampaknya merasa perlu untuk memastikan bahwa “sabuk pengaman”-nya dalam pilpres tahun depan itu benar-benar aman. Sebab, bukan mustahil dukungan yang jauh-jauh hari sudah diberikan itu, dalam menit-menit terakhir dicabut kembali.
Tampaknya “sabuk pengaman” yang penting untuk dipastikan tetap kukuh adalah Partai Golkar. Jokowi pun melakukannya dengan memanfaatkan reshuffle kabinet, menyusul pencalonan salah satu anggota kabinetnya, Khofifah Indar Parawansa, sebagai calon gubernur Jawa Timur.
Kursi Menteri Sosial yang ditinggalkan Khofifah diberikan kepada Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang akhir tahun lalu secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum (ketum) Partai Golkar, menggantikan Setya Novanto yang menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi tetap dipertahankan dalam posisinya.
Asumsi awal bahwa tugas kementerian bakal terganggu oleh jabatan rangkap sebagai ketua umum partai kini tidak berlaku lagi, mengingat tahun politik sudah berada di depan pintu. Tanpa menduduki kursi di kabinet, posisi Airlangga pada partai berlambang beringin itu memang mudah digoyang.
Berbeda dengan ketum-ketum sebelumnya, seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, bahkan Aburizal Bakrie boleh dikatakan Airlangga Hartarto kurang mengakar. Dia lebih bertumpu pada beberapa elite di kepengurusan pimpinan pusat. Mereka itulah yang tempo hari bergerilya ke pimpinan daerah untuk mempercepat penyingkiran Setya Novanto dan pengangkatan dirinya. Tentu saja semua itu atas restu Istana, baik yang di Merdeka Utara maupun Merdeka Selatan.
Karena itu, tambahan menteri untuk Partai Golkar dan tidak dicopotnya Airlangga Hartarto dari anggota kabinet harus dibaca dalam konteks untuk mengikat Partai Golkar agar tetap istikamah dengan apa yang telah dideklarasikannya yaitu mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang belum mengeluarkan pernyataan resmi mendukung Jokowi. Namun, itu lebih merupakan soal waktu saja. Dengan dukungan dua partai besar, yaitu PDI-P dan Partai Golkar, maka Jokowi akan semakin aman melenggang sebagai calon presiden untuk periode keduanya.
Dua Kemungkinan
Sebagai parpol besar, Partai Golkar tentu menginginkan kadernya sendiri ikut dalam kontestasi Pilpres 2019. Apalagi, dalam Pilpres 2014 partai ini memberi dukungan kepada kandidat yang bukan berasal dari kadernya sendiri. Pada Pilpres 2019 Partai Golkar pun “mengorbankan diri” untuk tidak mencalonkan kadernya. Sekarang mereka tampaknya berpikir tidak ada kandidat yang cukup kuat dari Partai Golkar untuk berhadapan dengan petahana. Setelah membaca beberapa hasil survei, mereka pun mengarahkan dukungannya kepada Jokowi. Keuntungan mendukung Jokowi ini sudah dirasakan oleh Partai Golkar dengan diberikannya satu tambahan kursi menteri dan dipertahankannya sang Ketua Umum Airlangga Hartarto, dalam Kabinet Kerja.
Jika politik dimaknai sebagai “seni bermain”, permainan politik Partai Golkar menjelang tahun politik 2019 boleh dikatakan “canggih”, kalaulah bukan “cantik”. Meski sebelumnya tidak mendukung Jokowi, sekarang Partai Golkar merupakan unsur dominan dalam pencapresan kembali Jokowi. Sementara itu, partai-partai awal pendukung Jokowi sepertinya mulai ditinggalkan. Ada yang menyebutkan, kepiawaian Partai Golkar dalam “mendekati” Jokowi tidak lepas dari peran senior mereka yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Ada dua kemungkinan yang bisa dibaca dari fenomena mesranya Jokowi dengan Beringin. Pertama, tentu saja untuk menjaga Partai Golkar agar tidak menyeberang ke pihak lawan yang nyata adalah calon yang bakal diusung oleh Partai Gerindra dan PKS. Kedua, untuk menaikkan daya tawar Partai Golkar ke PDI-P yang sampai sekarang belum mengeluarkan deklarasi mendukung Jokowi secara resmi. Bukan mustahil, kelak partai ini akan mengajukan kadernya untuk posisi wakil presiden.
Hubungan Jokowi dan Golkar tersebut menguntungkan kedua pihak. Kendati demikian, yang lebih diuntungkan dari hubungan itu adalah Partai Golkar. Meskipun dulu tidak mendukung Jokowi dan sekarang tidak memiliki calon sendiri, Partai Golkar tetap mendapat keuntungan. Partai Golkar sengaja “mengorbankan diri” sebagai parpol kedua terbesar asal tetap berada dalam kekuasaan yang memang sudah menjadi habitat partai ini.
Realitas politik sebagaimana terlihat kekuatan di DPR dan prediksi hasil lembaga survei memperlihatkan bahwa di Indonesia kini terdapat tiga kelompok politik besar, yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Gerindra. Dalam konteks itu, bagi Jokowi tidak cukup didukung oleh PDIP saja sebagai partai besar, tapi perlu juga dukungan dari Partai Golkar. Dengan diikat seperti ini bukan hanya untuk tujuan jangka pendek saat ini di DPR, yang mana Ketua DPR Bambang Soesatyo juga berasal dari Partai Golkar, melainkan untuk memuluskan dan mendukung setiap kebijakan yang diambil di parlemen.
Dalam jangka panjang, yakni Pilpres 2019, bisa jadi Jokowi mengikat Beringin melalui “politik balas budi” agar partai itu tidak mbalelo di kemudian hari. Ini penting dilakukan agar kompetisi Pilpres 2019 head to head. Karena jika tidak, kasus Pilkada DKI Jakarta bisa terulang dalam Pilpres 2019, yakni munculnya calon alternatif, selain Jokowi dan Prabowo.
(mhd)