Selamatkan Masa Depan Anak Korban Pornografi
A
A
A
Irna Minauli
Psikolog, Direktur Minauli Consulting, Medan
Belum lama ini kita dikejutkan dengan kasus video porno melibatkan tiga bocah laki-laki bersama dua perempuan dewasa yang diduga dilakukan di salah satu hotel di Bandung, Jawa Barat. Kasus video porno pada anak ini menunjukkan bahwa pornografi anak yang dilakukan para pelaku pembuat video kian mengkhawatirkan, yaitu sudah mendekati kejahatan level tertinggi.
Jika merujuk pada tingkatan yang disusun oleh COPINE (Combating Paedophile Information Networks in Europe center), Taylor dan Quayle (2008) menyusun 10 kategori yang memperlihatkan tingkatan dari pornografi anak mulai dari level paling rendah hingga paling berat. Secara hukum, kategorisasi tersebut kemudian dibagi ke dalam lima level berikut:
Level pertama, gambar-gambar yang memperlihatkan ketelanjangan atau pose erotis tanpa melibatkan aktivitas seksual. Level dua, aktivitas seksual di antara anak-anak atau anak yang melakukan masturbasi sendiri (solo masturbation) tidak melibatkan orang dewasa. Level tiga, aktivitas seksual non-penetrative antara orang (orang) dewasa dan anak-anak. Level empat, aktivitas seksual penetrative antara orang (orang) dewasa dengan anak-anak. Kemudian level lima, sadism atau bestiality (aktivitas seksual yang menimbulkan kesakitan dan melibatkan binatang).
Berdasarkan pembagian di atas, kasus video porno pada anak yang baru-baru ini terjadi menunjukkan tingkat kejahatan pembuat film sudah berada pada tingkatan cukup mengkhawatirkan, yaitu level 4. Tidak mustahil, jika dibiarkan, para pecandu hard core akan mencari korban lain untuk dijadikan pemeran pada level yang melibatkan sadisme dan penggunaan binatang.
Sebagaimana para pecandu narkoba, para pecandu pornografi juga akan mengalami tahap tolerance karena mereka membutuhkan adanya rangsangan atau stimulus lebih besar. Jika sebelumnya mereka mungkin puas dengan tontonan antara orang dewasa dengan orang dewasa, baik yang heteroseksual maupun homoseksual, selanjutnya mereka mungkin tertarik pada aktivitas seksual antara orang dewasa dengan anak-anak. Dengan demikian, pornografi anak ini barangkali bukan hanya konsumsi dari kaum pedofil saja, tapi kemungkinan juga para pecandu film-film porno.
Jika dilihat dari aspek psikologisnya, para penggemar film porno memiliki karakteristik mirip dengan mereka yang mengalami gangguan voyeurism, yaitu orang yang senang melihat aktivitas seksual orang lain untuk membangkitkan hasrat seksualnya. Kalau zaman dulu sebelum berkembangnya internet, kaum vouyerist melampiaskan hasrat seksualnya dengan mengintip aktivitas seksual yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, dengan mudahnya akses terhadap film-film porno di internet, mereka akan mencarinya di banyak situs porno.
Para pecandu film-film porno sering menurun kepekaan dan empatinya pada orang lain sehingga menganggap orang lain itu hanya sebagai objek seksual saja. Demikian pula pada anak-anak yang menjadi pemeran dalam kasus video porno sempat viral tersebut. Para pelaku pembuat video tidak memedulikan dampak buruk yang akan dialami anak-anak yang memainkan peran dalam video. Terlebih ketika mereka mempertimbangkan hanya keuntungan finansial yang akan diraih.
Anak-anak yang dilibatkan dalam pembuatan video biasanya belum memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan sehingga hal itu menjadi suatu bentuk pelanggaran berat. Anak yang dilibatkan adalah mereka yang belum mencapai usia balig atau prapubertas sehingga umumnya mereka juga belum memperlihatkan ketertarikan pada masalah seks.
Lazimnya mereka masih merasa malu ketika harus melihat atau melakukan aktivitas seksual. Ketika mereka harus melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan orang yang lebih dewasa, maka hal ini dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis, sosial, maupun kesehatan anak tersebut. Secara psikologis, mereka pada umumnya akan mengalami trauma serta perasaan malu berkepanjangan. Setiap kali video tersebut ditayangkan, maka rasa takut dan malu akan terus mengikutinya. Padahal dengan penyebaran video yang sangat pesat, sulit untuk membendung jumlah penonton video tersebut. Hal ini bisa menjadi mimpi buruk yang akan dipikul anak sepanjang hidupnya. Itu sebabnya, mereka sangat rentan mengalami depresi serta menurunnya harga diri.
Mereka pada umumnya beranggapan bahwa semua orang sudah mengetahui kasusnya sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya. Banyak di antara mereka kemudian menarik diri dari lingkungannya. Padahal di sisi lain, umumnya mereka masih berada di bangku sekolah. Itu sebabnya, hal yang dikhawatirkan akan mengikuti adalah mereka akan terancam putus sekolah.
Dari segi kesehatan, anak-anak ini juga memiliki risiko yang besar mengalami penyakit menular seksual. Terlebih ketika orang dewasa yang menjadi partner seks adalah orang yang memiliki risiko tinggi, misalnya para pelacur atau mereka yang sering berganti pasangan.
Para pelaku biasanya akan membujuk dengan memperlihatkan video-video porno sebelumnya sehingga anak akan terbiasa dan menganggap hal itu sebagai hal lumrah. Dengan iming-iming hadiah dan adanya tekanan membuat anak kemudian menerima perintah tersebut. Di lain sisi, ketika para pelaku yang terlibat adalah orang-orang dekat dengan anak, misalnya orang tuanya sendiri, maka hal ini bisa memperparah kondisi psikologis anak. Orang yang seharusnya menjadi pelindung, tapi mereka malah kemudian mengambil keuntungan dari penderitaan yang dirasakannya. Ketidakpercayaan dan perasaan dikhianati menjadi masalah yang mungkin harus dipikul anak dalam jangka panjang.
Jika tidak ditanggulangi, tidak mustahil anak-anak ini kemudian justru dijadikan prostitusi anak. Mereka berpotensi dijual kepada orang-orang dewasa lain, khususnya kaum paedofil. Kondisi ini tentu akan memperparah pemulihan psikologis anak. Pengalaman seksual mereka yang melampaui anak lain seusianya tentu berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. Ada peluang muncul perilaku seksual yang tidak sehat, seperti masturbasi berlebihan, bahkan tidak mustahil mereka akan mencari anak lain sebagai korban seksual lainnya.
Dengan banyaknya beban psikologis dan sosial yang harus ditanggung anak-anak yang menjadi korban pornografi anak, maka pemerintah federal di Amerika menghukum dengan mengharuskan para pelaku pembuat video membayar ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban. Selain hukuman pidana, tampaknya bentuk hukuman ini juga perlu diberlakukan di Indonesia agar pelaku tidak semena-mena dan hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Biaya yang harus ditanggung para pelaku antara lain mencakup enam hal, yakni pertama, layanan medis, baik untuk rawatan kesehatan maupun psikologis anak. Kedua, terapi atau rehabilitasi fisik dan pendidikan anak. Ketiga, biaya perawatan anak, penampungan sementara, dan transportasi. Keempat, mengganti hilangnya penghasilan. Kelima, membayar biaya pengacara dan pengadilan. Keenam, mengganti setiap kerugian yang diderita korban. Sebagai tambahan, para pelaku juga berkewajiban untuk menarik peredaran video porno tersebut, meski sepertinya ini sangat sulit dilakukan mengingat begitu cepatnya peredaran video itu di berbagai platform media sosial.
Psikolog, Direktur Minauli Consulting, Medan
Belum lama ini kita dikejutkan dengan kasus video porno melibatkan tiga bocah laki-laki bersama dua perempuan dewasa yang diduga dilakukan di salah satu hotel di Bandung, Jawa Barat. Kasus video porno pada anak ini menunjukkan bahwa pornografi anak yang dilakukan para pelaku pembuat video kian mengkhawatirkan, yaitu sudah mendekati kejahatan level tertinggi.
Jika merujuk pada tingkatan yang disusun oleh COPINE (Combating Paedophile Information Networks in Europe center), Taylor dan Quayle (2008) menyusun 10 kategori yang memperlihatkan tingkatan dari pornografi anak mulai dari level paling rendah hingga paling berat. Secara hukum, kategorisasi tersebut kemudian dibagi ke dalam lima level berikut:
Level pertama, gambar-gambar yang memperlihatkan ketelanjangan atau pose erotis tanpa melibatkan aktivitas seksual. Level dua, aktivitas seksual di antara anak-anak atau anak yang melakukan masturbasi sendiri (solo masturbation) tidak melibatkan orang dewasa. Level tiga, aktivitas seksual non-penetrative antara orang (orang) dewasa dan anak-anak. Level empat, aktivitas seksual penetrative antara orang (orang) dewasa dengan anak-anak. Kemudian level lima, sadism atau bestiality (aktivitas seksual yang menimbulkan kesakitan dan melibatkan binatang).
Berdasarkan pembagian di atas, kasus video porno pada anak yang baru-baru ini terjadi menunjukkan tingkat kejahatan pembuat film sudah berada pada tingkatan cukup mengkhawatirkan, yaitu level 4. Tidak mustahil, jika dibiarkan, para pecandu hard core akan mencari korban lain untuk dijadikan pemeran pada level yang melibatkan sadisme dan penggunaan binatang.
Sebagaimana para pecandu narkoba, para pecandu pornografi juga akan mengalami tahap tolerance karena mereka membutuhkan adanya rangsangan atau stimulus lebih besar. Jika sebelumnya mereka mungkin puas dengan tontonan antara orang dewasa dengan orang dewasa, baik yang heteroseksual maupun homoseksual, selanjutnya mereka mungkin tertarik pada aktivitas seksual antara orang dewasa dengan anak-anak. Dengan demikian, pornografi anak ini barangkali bukan hanya konsumsi dari kaum pedofil saja, tapi kemungkinan juga para pecandu film-film porno.
Jika dilihat dari aspek psikologisnya, para penggemar film porno memiliki karakteristik mirip dengan mereka yang mengalami gangguan voyeurism, yaitu orang yang senang melihat aktivitas seksual orang lain untuk membangkitkan hasrat seksualnya. Kalau zaman dulu sebelum berkembangnya internet, kaum vouyerist melampiaskan hasrat seksualnya dengan mengintip aktivitas seksual yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, dengan mudahnya akses terhadap film-film porno di internet, mereka akan mencarinya di banyak situs porno.
Para pecandu film-film porno sering menurun kepekaan dan empatinya pada orang lain sehingga menganggap orang lain itu hanya sebagai objek seksual saja. Demikian pula pada anak-anak yang menjadi pemeran dalam kasus video porno sempat viral tersebut. Para pelaku pembuat video tidak memedulikan dampak buruk yang akan dialami anak-anak yang memainkan peran dalam video. Terlebih ketika mereka mempertimbangkan hanya keuntungan finansial yang akan diraih.
Anak-anak yang dilibatkan dalam pembuatan video biasanya belum memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan sehingga hal itu menjadi suatu bentuk pelanggaran berat. Anak yang dilibatkan adalah mereka yang belum mencapai usia balig atau prapubertas sehingga umumnya mereka juga belum memperlihatkan ketertarikan pada masalah seks.
Lazimnya mereka masih merasa malu ketika harus melihat atau melakukan aktivitas seksual. Ketika mereka harus melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan orang yang lebih dewasa, maka hal ini dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis, sosial, maupun kesehatan anak tersebut. Secara psikologis, mereka pada umumnya akan mengalami trauma serta perasaan malu berkepanjangan. Setiap kali video tersebut ditayangkan, maka rasa takut dan malu akan terus mengikutinya. Padahal dengan penyebaran video yang sangat pesat, sulit untuk membendung jumlah penonton video tersebut. Hal ini bisa menjadi mimpi buruk yang akan dipikul anak sepanjang hidupnya. Itu sebabnya, mereka sangat rentan mengalami depresi serta menurunnya harga diri.
Mereka pada umumnya beranggapan bahwa semua orang sudah mengetahui kasusnya sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya. Banyak di antara mereka kemudian menarik diri dari lingkungannya. Padahal di sisi lain, umumnya mereka masih berada di bangku sekolah. Itu sebabnya, hal yang dikhawatirkan akan mengikuti adalah mereka akan terancam putus sekolah.
Dari segi kesehatan, anak-anak ini juga memiliki risiko yang besar mengalami penyakit menular seksual. Terlebih ketika orang dewasa yang menjadi partner seks adalah orang yang memiliki risiko tinggi, misalnya para pelacur atau mereka yang sering berganti pasangan.
Para pelaku biasanya akan membujuk dengan memperlihatkan video-video porno sebelumnya sehingga anak akan terbiasa dan menganggap hal itu sebagai hal lumrah. Dengan iming-iming hadiah dan adanya tekanan membuat anak kemudian menerima perintah tersebut. Di lain sisi, ketika para pelaku yang terlibat adalah orang-orang dekat dengan anak, misalnya orang tuanya sendiri, maka hal ini bisa memperparah kondisi psikologis anak. Orang yang seharusnya menjadi pelindung, tapi mereka malah kemudian mengambil keuntungan dari penderitaan yang dirasakannya. Ketidakpercayaan dan perasaan dikhianati menjadi masalah yang mungkin harus dipikul anak dalam jangka panjang.
Jika tidak ditanggulangi, tidak mustahil anak-anak ini kemudian justru dijadikan prostitusi anak. Mereka berpotensi dijual kepada orang-orang dewasa lain, khususnya kaum paedofil. Kondisi ini tentu akan memperparah pemulihan psikologis anak. Pengalaman seksual mereka yang melampaui anak lain seusianya tentu berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. Ada peluang muncul perilaku seksual yang tidak sehat, seperti masturbasi berlebihan, bahkan tidak mustahil mereka akan mencari anak lain sebagai korban seksual lainnya.
Dengan banyaknya beban psikologis dan sosial yang harus ditanggung anak-anak yang menjadi korban pornografi anak, maka pemerintah federal di Amerika menghukum dengan mengharuskan para pelaku pembuat video membayar ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban. Selain hukuman pidana, tampaknya bentuk hukuman ini juga perlu diberlakukan di Indonesia agar pelaku tidak semena-mena dan hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Biaya yang harus ditanggung para pelaku antara lain mencakup enam hal, yakni pertama, layanan medis, baik untuk rawatan kesehatan maupun psikologis anak. Kedua, terapi atau rehabilitasi fisik dan pendidikan anak. Ketiga, biaya perawatan anak, penampungan sementara, dan transportasi. Keempat, mengganti hilangnya penghasilan. Kelima, membayar biaya pengacara dan pengadilan. Keenam, mengganti setiap kerugian yang diderita korban. Sebagai tambahan, para pelaku juga berkewajiban untuk menarik peredaran video porno tersebut, meski sepertinya ini sangat sulit dilakukan mengingat begitu cepatnya peredaran video itu di berbagai platform media sosial.
(zik)