Nasib Parpol Pascaputusan MK
A
A
A
Erfandi
Praktisi Hukum Peradi, Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusai
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi terhadap Pasal 173 dan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali hangat diperbincangkan para akademisi hukum. Selain karena menyangkut eksistensi partai politik (parpol) di tahun 2019, juga menarik dikaji dari perspektif penafsiran hukum. Pasal 173 UU Pemilu lebih menarik bagi penulis karena putusan MK mengenai frase "verifikasi" masih cenderung debatable dan sifatnya masih umum dalam kacamata hukum.
Putusan MK soal verifikasi ini menimbulkan pro dan kontra. Terlebih Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan verifikasi administratif terhadap parpol yang akan ikut dalam kontestasi Pilkada 2018 ataupun Pemilu 2019. Tentu pro dan kontra ini bisa dilihat dari posita pemohon uji materi UU Pemilu yang menempatkan dirinya sebagai pihak dirugikan akibat kehadiran Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3). Pemohon menganggap Pasal 173 tersebut diskriminatif terhadap kehadiran parpol baru yang diwajibkan untuk diverifikasi faktual, sedangkan untuk parpol lama cukup dilakukan verifikasi administratif melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU.
Selain dianggap diskriminatif, Pasal 173 dalam posita pemohon dianggap memiliki makna standar ganda sekaligus bertentangan dengan asas hukum ubi lex non distinguit, nec nos non distinguere debemus, yaitu hukum tidak membedakan. Oleh karenanya, kita tidak boleh membeda-bedakan termasuk dalam hal memperlakukan parpol baru dengan parpol lama yang sudah lolos ke parlemen. Perlakuan ini dianggap tidak adil jika parpol yang sudah lolos verifikasi pada Pemilu 2014 menjadi otomatis lolos ke Pemilu 2019. Hal ini disebabkan dalam periode 5 tahun menuju pemilu berikutnya, banyak perubahan yang bisa terjadi, baik terkait kepengurusan, kantor, maupun jumlah keanggotaan, sebagaimana saat parpol tersebut diverifikasi pada saat itu. Belum lagi fakta bahwa sejumlah parpol saat ini mengalami dualisme kepengurusan sehingga perlu dipastikan kubu mana yang sah.
Namun demikian, tak sedikit yang memiliki penafsiran lain terhadap putusan MK tersebut. Dalam pertimbangan putusan MK tidak menyebutkan secara rigid terkait pemaknaan verifikasi, apakah verifikasi yang dimaksud cukup verifikasi melalui Sipol yang sudah dilakukan KPU ataukah harus dilakukan verifikasi kembali terhadap seluruh struktur dan pengurus parpol di seluruh provinsi kabupaten/kota sebagaimana telah dilakukan pada Pemilu 2014. Jika pemaknaan verifikasi dimaknai sebagai verifikasi faktual seperti yang disyaratkan dalam UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2012, maka sejatinya parpol yang telah masuk ke parlemen telah melalui semua proses tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, putusan MK dalam hal verifikasi ini tidak lagi bersifat prospektif ke depan, seperti prinsip dasar putusan MK kebanyakan, melainkan putusan ini bersifat retroaktif kembali pada UU lama yang sudah dilalui.
Selain itu, jika kita kaji secara saksama frase "telah ditetapkan" sebagaimana yang diatur dalam Pasal 173 ayat (1) menurut hukum administrasi negara merupakan tindakan administratif dari beberapa rangkaian proses dan tindakan yang sudah dilakukan parpol. Artinya, penetapan dilakukan KPU pada dasarnya merupakan tindakan terakhir dari proses yang sudah dilalui parpol yang masuk ke parlemen. Konstruksi ini linier dengan pemahaman dalam Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan bahwa "Partai Politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU". Artinya, penetapan KPU merupakan hasil dari rangkaian verifikasi yang sudah ditetapkan KPU termasuk salah satunya adalah verifikasi melalui Sipol.
Pemaknaan verifikasi yang diputuskan MK sebenarnya masih debatable sehingga untuk menghindarinya perlu dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan "Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya". Artinya, pemaknaan verifikasi tersebut secara konstitusional sudah dilakukan partai yang sudah masuk ke parlemen, bukan oleh partai baru.
Solusi Hukum
Esensi lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR di dalamnya juga termasuk parpol yang telah ditetapkan dan lulus verifikasi KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Hal ini berarti partai-partai yang memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolok ukur kepercayaan rakyat sangat penting untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, prinsip bahwa seluruh parpol yang mengikuti pemilu mutlak diverifikasi, baik terhadap parpol lama maupun parpol baru.
Namun, bentuk verifikasi yang dilakukan tentu berbeda. Perbedaan itu bukanlah sebagai bentuk perlakuan diskriminatif terhadap peserta pemilu, tetapi lebih pada pemenuhan keadilan, efisiensi, dan efektivitas proses verifikasi sebagaimana parpol di parlemen sudah melakukannya pada 2014. Karena jika dilihat secara yuridis, pemaknaan diskriminasi berdasarkan putusan MK Nomor 19/PUU/-VIII/2010, yaitu perlakuan yang berbeda terhadap suatu hal karena pembedaan tersebut dapat menimbulkan hak dan kedudukan berbeda. Dengan kata lain, jika parpol lama yang sudah masuk parlemen dan telah diverifikasi pada 2014 diperlakukan sama dengan parpol baru yang belum pernah diverifikasi senyatanya adalah diskriminasi terhadap parpol lama.
Selain pemaknaan diskriminasi, verifikasi secara detail seperti yang sudah dilakukan pada 2014 lalu juga akan menghabiskan anggaran negara dan mengganggu waktu pelaksanaanpemilihan, karena esensinya tolok ukur dan standar verifikasi yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sama dengan verifikasi yang telah dilaksanakan pada 2014 lalu. Tidak hanya itu, pemaknaan verifikasi yang dikembalikan pada KPU melalui Sipol ini untuk menghindari menjamurnya parpol musiman yang muncul hanya saat menjelang pemilu saja.
Wajib Dilaksanakan
Dengan demikian, putusan MK yang sifatnya final dan mengikat ini harus segera dilaksanakan, mengingat dalam Pasal 17 ayat (2) UU Pemilu mengatur batas maksimal penetapan parpol 14 bulan sebelum pemungutan suara. Ini artinya, secara gramatikal aturan dalam KPU sudah menegaskan pelaksanaan pemilu oleh KPU tidak boleh molor dengan alasan adanya pembatalan Pasal 173 oleh MK. Pemerintah, termasuk di dalamnya KPU, harus segera mencari solusi hukum untuk melaksanakan putusan MK tersebut.
Pascaputusan MK terkait verifikasi ini agar tidak terjadi kekosongan hukum terhadap legitimasi keberadaan parpol di Indonesia dan demi tidak mengganggu proses penetapan peserta pemilu, maka bisa dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh presiden. Ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum terhadap keberadaan parpol sebagai peserta pemilu yang hingga kini belum ada penetapan oleh KPU.
Keberadaan perppu mengenai verifikasi parpol ini penting. Selain untuk mengisi kekosongan hukum, juga agar tidak ada gangguan pada pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019. Selain penerbitan perppu tentang verifikasi parpol oleh presiden, solusi lainnya yang juga bisa dilakukan, yaitu dengan cara merevisi UU Pemilu di DPR. Namun, hal ini sangat sulit direalisasikan mengingat penetapan RUU Prolegnas Prioritas 2018 sudah ditetapkan dan revisi UU Pemilu tidak masuk di dalamnya.
Langkah yang arif sebagai solusi dari akibat hukum ditimbulkan oleh putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 adalah mengembalikan pemaknaan verifikasi tersebut kepada KPU sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menyelenggarakan pemilu. Dengan demikian, pemaknaan frase verifikasi parpol dalam putusan MK tidak akan menghambat partai politik, baik yang lama maupun baru yang ingin menjadi peserta pemilu.
Praktisi Hukum Peradi, Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusai
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi terhadap Pasal 173 dan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali hangat diperbincangkan para akademisi hukum. Selain karena menyangkut eksistensi partai politik (parpol) di tahun 2019, juga menarik dikaji dari perspektif penafsiran hukum. Pasal 173 UU Pemilu lebih menarik bagi penulis karena putusan MK mengenai frase "verifikasi" masih cenderung debatable dan sifatnya masih umum dalam kacamata hukum.
Putusan MK soal verifikasi ini menimbulkan pro dan kontra. Terlebih Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan verifikasi administratif terhadap parpol yang akan ikut dalam kontestasi Pilkada 2018 ataupun Pemilu 2019. Tentu pro dan kontra ini bisa dilihat dari posita pemohon uji materi UU Pemilu yang menempatkan dirinya sebagai pihak dirugikan akibat kehadiran Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3). Pemohon menganggap Pasal 173 tersebut diskriminatif terhadap kehadiran parpol baru yang diwajibkan untuk diverifikasi faktual, sedangkan untuk parpol lama cukup dilakukan verifikasi administratif melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU.
Selain dianggap diskriminatif, Pasal 173 dalam posita pemohon dianggap memiliki makna standar ganda sekaligus bertentangan dengan asas hukum ubi lex non distinguit, nec nos non distinguere debemus, yaitu hukum tidak membedakan. Oleh karenanya, kita tidak boleh membeda-bedakan termasuk dalam hal memperlakukan parpol baru dengan parpol lama yang sudah lolos ke parlemen. Perlakuan ini dianggap tidak adil jika parpol yang sudah lolos verifikasi pada Pemilu 2014 menjadi otomatis lolos ke Pemilu 2019. Hal ini disebabkan dalam periode 5 tahun menuju pemilu berikutnya, banyak perubahan yang bisa terjadi, baik terkait kepengurusan, kantor, maupun jumlah keanggotaan, sebagaimana saat parpol tersebut diverifikasi pada saat itu. Belum lagi fakta bahwa sejumlah parpol saat ini mengalami dualisme kepengurusan sehingga perlu dipastikan kubu mana yang sah.
Namun demikian, tak sedikit yang memiliki penafsiran lain terhadap putusan MK tersebut. Dalam pertimbangan putusan MK tidak menyebutkan secara rigid terkait pemaknaan verifikasi, apakah verifikasi yang dimaksud cukup verifikasi melalui Sipol yang sudah dilakukan KPU ataukah harus dilakukan verifikasi kembali terhadap seluruh struktur dan pengurus parpol di seluruh provinsi kabupaten/kota sebagaimana telah dilakukan pada Pemilu 2014. Jika pemaknaan verifikasi dimaknai sebagai verifikasi faktual seperti yang disyaratkan dalam UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2012, maka sejatinya parpol yang telah masuk ke parlemen telah melalui semua proses tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, putusan MK dalam hal verifikasi ini tidak lagi bersifat prospektif ke depan, seperti prinsip dasar putusan MK kebanyakan, melainkan putusan ini bersifat retroaktif kembali pada UU lama yang sudah dilalui.
Selain itu, jika kita kaji secara saksama frase "telah ditetapkan" sebagaimana yang diatur dalam Pasal 173 ayat (1) menurut hukum administrasi negara merupakan tindakan administratif dari beberapa rangkaian proses dan tindakan yang sudah dilakukan parpol. Artinya, penetapan dilakukan KPU pada dasarnya merupakan tindakan terakhir dari proses yang sudah dilalui parpol yang masuk ke parlemen. Konstruksi ini linier dengan pemahaman dalam Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan bahwa "Partai Politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU". Artinya, penetapan KPU merupakan hasil dari rangkaian verifikasi yang sudah ditetapkan KPU termasuk salah satunya adalah verifikasi melalui Sipol.
Pemaknaan verifikasi yang diputuskan MK sebenarnya masih debatable sehingga untuk menghindarinya perlu dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan "Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya". Artinya, pemaknaan verifikasi tersebut secara konstitusional sudah dilakukan partai yang sudah masuk ke parlemen, bukan oleh partai baru.
Solusi Hukum
Esensi lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR di dalamnya juga termasuk parpol yang telah ditetapkan dan lulus verifikasi KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Hal ini berarti partai-partai yang memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolok ukur kepercayaan rakyat sangat penting untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, prinsip bahwa seluruh parpol yang mengikuti pemilu mutlak diverifikasi, baik terhadap parpol lama maupun parpol baru.
Namun, bentuk verifikasi yang dilakukan tentu berbeda. Perbedaan itu bukanlah sebagai bentuk perlakuan diskriminatif terhadap peserta pemilu, tetapi lebih pada pemenuhan keadilan, efisiensi, dan efektivitas proses verifikasi sebagaimana parpol di parlemen sudah melakukannya pada 2014. Karena jika dilihat secara yuridis, pemaknaan diskriminasi berdasarkan putusan MK Nomor 19/PUU/-VIII/2010, yaitu perlakuan yang berbeda terhadap suatu hal karena pembedaan tersebut dapat menimbulkan hak dan kedudukan berbeda. Dengan kata lain, jika parpol lama yang sudah masuk parlemen dan telah diverifikasi pada 2014 diperlakukan sama dengan parpol baru yang belum pernah diverifikasi senyatanya adalah diskriminasi terhadap parpol lama.
Selain pemaknaan diskriminasi, verifikasi secara detail seperti yang sudah dilakukan pada 2014 lalu juga akan menghabiskan anggaran negara dan mengganggu waktu pelaksanaanpemilihan, karena esensinya tolok ukur dan standar verifikasi yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sama dengan verifikasi yang telah dilaksanakan pada 2014 lalu. Tidak hanya itu, pemaknaan verifikasi yang dikembalikan pada KPU melalui Sipol ini untuk menghindari menjamurnya parpol musiman yang muncul hanya saat menjelang pemilu saja.
Wajib Dilaksanakan
Dengan demikian, putusan MK yang sifatnya final dan mengikat ini harus segera dilaksanakan, mengingat dalam Pasal 17 ayat (2) UU Pemilu mengatur batas maksimal penetapan parpol 14 bulan sebelum pemungutan suara. Ini artinya, secara gramatikal aturan dalam KPU sudah menegaskan pelaksanaan pemilu oleh KPU tidak boleh molor dengan alasan adanya pembatalan Pasal 173 oleh MK. Pemerintah, termasuk di dalamnya KPU, harus segera mencari solusi hukum untuk melaksanakan putusan MK tersebut.
Pascaputusan MK terkait verifikasi ini agar tidak terjadi kekosongan hukum terhadap legitimasi keberadaan parpol di Indonesia dan demi tidak mengganggu proses penetapan peserta pemilu, maka bisa dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh presiden. Ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum terhadap keberadaan parpol sebagai peserta pemilu yang hingga kini belum ada penetapan oleh KPU.
Keberadaan perppu mengenai verifikasi parpol ini penting. Selain untuk mengisi kekosongan hukum, juga agar tidak ada gangguan pada pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019. Selain penerbitan perppu tentang verifikasi parpol oleh presiden, solusi lainnya yang juga bisa dilakukan, yaitu dengan cara merevisi UU Pemilu di DPR. Namun, hal ini sangat sulit direalisasikan mengingat penetapan RUU Prolegnas Prioritas 2018 sudah ditetapkan dan revisi UU Pemilu tidak masuk di dalamnya.
Langkah yang arif sebagai solusi dari akibat hukum ditimbulkan oleh putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 adalah mengembalikan pemaknaan verifikasi tersebut kepada KPU sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menyelenggarakan pemilu. Dengan demikian, pemaknaan frase verifikasi parpol dalam putusan MK tidak akan menghambat partai politik, baik yang lama maupun baru yang ingin menjadi peserta pemilu.
(zik)