Gejolak Internal Iran

Rabu, 10 Januari 2018 - 08:04 WIB
Gejolak Internal Iran
Gejolak Internal Iran
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

ALIH-alih tumbuh menjadi gerakan politik yang besar, aksi unjuk rasa di Iran mendapat tantangan berat sebelum berkembang. Minggu-minggu terakhir tahun 2017 di Iran telah muncul serangkaian aksi protes massa antipemerintah dengan jumlah peserta yang besar seperti yang terjadi pada 2009, namun ditutup dengan aksi massa tandingan propemerintah dengan jumlah yang lebih besar pula. Beberapa tokoh politik termasuk mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad bahkan ikut ditangkap dan dikenakan tahanan rumah.

Aksi unjuk rasa tersebut akhirnya dapat dikendalikan oleh pemerintah yang berkuasa. Kita lihat bahwa di minggu-minggu ke depan akan menjadi pertaruhan bagi aksi massa antipemerintah. Apakah mereka akan melanjutkan aksi politik itu walau dengan risiko dibalas dengan aksi tekanan yang makin keras dari pemerintah, atau akan meredup dengan sendirinya karena kurang kuatnya dorongan?

Berikut beberapa pertanda yang muncul. Pertama adalah persaingan ideologis di dalam gerakan aksi unjuk rasa. Protes aksi unjuk rasa meliputi banyak hal; mulai protes kenaikan harga barang hingga perubahan rezim autokrasi.

Keberagaman tuntutan tersebut awalnya adalah modal besar untuk menggalang partisipasi massa yang lebih besar, tetapi pada akhirnya berpotensi memecah gerakan aksi massa ketika harus berhadapan dengan pemerintah. Aksi tersebut telah menelan kematian 22 orang termasuk 2 polisi sejak 28 Desember.

Human Rights News Agency telah melaporkan bahwa di penjara Evin di Teheran saja, pihak berwenang mendaftarkan setidaknya 423 tahanan antara 31 Desember 2017 dan 1 Januari 2018. Ratusan tahanan lainnya diyakini ditahan dalam kondisi padat di bagian “karantina” penjara Evin, yang hanya memiliki kapasitas sekitar 180 orang.

Protes terhadap situasi ekonomi awalnya adalah pemicu yang mendorong terjadi aksi massa dan umumnya dilakukan kelompok anak muda dalam struktur demografi Iran yang tidak mendapatkan pekerjaan dan para kelas pekerja yang mendapatkan upah yang rendah. Kelompok pekerja itu sendiri sebetulnya adalah kelompok yang selama ini melakukan protes terkait kebijakan ekonomi di Iran, terutama terkait upah rendah pada saat kelas menengah belum merasakan dampak tersebut secara langsung atau bila merasakan tidak berani bersuara lantang.

Di sisi lain, secara politis, atmosfer politik di Iran adalah konservatif, yaitu dalam arti mayoritas penduduk di Iran setuju dengan sistem politik teokratik yang berlangsung. Kelompok reformis biasanya yang menjadi oposan dan baru menggapai kekuasaan setelah Ahmadinejad kalah dalam pemilu.

Kelas menengah yang sering melakukan demonstrasi biasanya juga adalah kelas menengah dari kalangan reformis tersebut. Hal ini sudah menjadi tradisi pasca-Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979.

Basis ideologi reformis biasanya yang menjadi dasar gerakan protes yang terjadi di Iran. Hal ini terjadi misalnya pada 2009 lalu, di mana aksi protes menentang hasil pemilu yang dituduh penuh kecurangan sehingga memenangkan Mahmoud Ahmadinejad sebagai PM Iran yang didukung kelompok konservatif. Gerakan ini disebut dengan Green Movement.

Masyarakat yang berideologi reformis ini yang awalnya memulai aksi pada Desember 2017 di Mashhad, kota terbesar kedua setelah Teheran. Namun demikian, ketika aksi juga bermunculan di Kota Qom, Kota Isfahan, dan beberapa kota lain di mana basis kelompok konservatif adalah yang terbesar, tuntutan sudah mulai diarahkan terhadap protes dan tuntutan perubahan rezim terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini yang dipimpin Hassan Rouhani.

Kompetisi untuk saling mengklaim gerakan ini bisa jadi membingungkan kita. Apakah gerakan tersebut didominasi kelompok reformis atau kelompok konservatif.

Basis ideologis kelompok reformis adalah menuntut berkurangnya peran Velayat-e Faqih atau Wali Fakih dalam politik di Iran yang saat ini berkuasa dalam sistem politik ekonomi dan politik. Pimpinan puncak dari lembaga ini adalah Ayatollah Ali Khamenei yang juga berperan sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran menggantikan Ali Khomeini yang wafat 28 tahun lalu.

Banyak bantuan finansial yang dialokasikan kepada lembaga-lembaga keagamaan atau kelompok-kelompok yang direstui oleh Wali Fakih ini. Hal ini yang memicu protes masyarakat.

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa kelompok konservatif, terutama yang diwakili oleh tampilnya Mahmoud Ahmadinejad, adalah kelompok yang justru mendukung Velayat-e Faqih. Secara praktis, ideologis mereka bertentangan dengan kelompok reformis.

Kelompok konservatif ini bahkan sangat berkepentingan dengan lembaga Wali Faqih ini, karena Ayatollah Ali Khamenei yang telah berusia 78 tahun akan berakhir masa kekuasaannya seiring dengan usianya yang menua dan fisiknya yang tidak lagi prima. Kekuasaannya tentu akan beralih kepada mereka yang dihormati dalam soal agama Islam serta pengalaman dalam pemerintahan.

Salah satu figur yang dianggap dapat mempersatukan dan menjadi pengganti adalah Mohammad Reza Mahdavi Kani. Namun sayangnya, dia wafat pada 2014 yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian.

Beberapa nama lain yang disebut adalah Saeed Jalili, Mahmoud Hashemi Shahroudi, Mohammad Taqi Mesbah-Yazdi, dan Ayatollah Abbas Vaez Tabas. Dua cucu dari pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Ali Khamenei adalah Mojtaba Khamenei dan Hassan Khomeini juga menjadi kandidat terkuat. Nama terakhir yang juga ramai diperbincangkan adalah Ibrahim Raisi yang pernah menjadi kandidat presiden tahun 2013, namun kalah oleh Hasan Rouhani.

Oleh sebab itu, titik persinggungan antara kelompok reformis dan konservatif menyasar pada suksesi atau penggantian pemimpin Wali Faqih ini. Oleh sebab itu, pernyataan politik pemerintah berkuasa kepada demonstran juga berbeda-beda.

Pemerintah secara diplomatis bersikap “lunak” dengan mempersilakan aksi unjuk rasa untuk dilakukan. Hal ini karena pemerintah memahami bahwa mereka yang berunjuk rasa adalah bagian dari masyarakat yang juga memenangkan pemerintahan reformis saat ini di Iran. Di sisi lain, mereka bersikap keras terhadap kelompok oposisi yang berasal dari kelompok konservatif.

Kita masih akan melihat beberapa aksi unjuk rasa di beberapa hari mendatang. Pemerintah yang berkuasa juga berhasil memobilisasi massa pendukung mereka untuk turun ke jalan dengan jumlah yang tidak kalah banyak. Hal ini tentu semakin menguatkan legitimasi pemerintah terutama di mata dunia internasional.

Selain itu pemerintah juga memiliki strategi untuk melobi kaum reformis untuk menghentikan aksi unjuk rasa mereka. Pemerintahan mencoba meyakinkan para demonstran kelompok reformis bahwa apabila aksi itu terus berlanjut akan membuat kelompok garis keras atau konservatif menjadi tambah kuat; dan bila itu terjadi, perekonomian dan politik Iran akan jauh dari cita-cita kelompok reformis itu sendiri.

Saya tidak tahu apakah para kelompok reformis akan mengikuti imbauan itu atau tidak. Apabila ada kekuatan-kekuatan luar yang ikut bermain dalam politik dalam negeri di Iran, bisa jadi protes itu terus berlanjut dan itu dapat semakin memperkeruh instabilitas yang sudah terjadi di Timur Tengah.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7329 seconds (0.1#10.140)