Pekerja Politik dan Politisi Berkarakter

Selasa, 02 Januari 2018 - 08:36 WIB
Pekerja Politik dan Politisi Berkarakter
Pekerja Politik dan Politisi Berkarakter
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur

PANGGUNG politik nasional selalu diwarnai munculnya politisi yang selalu berganti-ganti partai. Tengoklah figur-figur ternama yang mendaftarkan partai politik (parpol) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagian dari mereka sejatinya merupakan pemain lama dengan baju parpol baru. Alasan mereka berganti parpol pun sangat beragam. Disebabkan perbedaan idealisme, seorang politikus keluar dari parpol yang telah membesarkan namanya.

Di samping itu, ada juga alasan yang bersifat pragmatis. Misalnya karena merasa tidak ada kesempatan untuk tampil sebagai calon anggota legislatif (caleg) atau calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai kader yang telah berpeluh keringat membesarkan partai, tentu wajar jika dia ingin memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sebagai pekerja politik, dia tidak ingin menghabiskan waktu untuk terus berjuang. Dia juga ingin menikmati kekuasaan. Tetapi kesempatan yang didambakan tidak pernah datang.

Partai selalu memberi kesempatan pada mereka yang lebih populer dan bergizi alias beruang. Dampaknya, seorang aktivis partai tidak kerasan di parpol lama. Dia pindah ke partai baru yang lebih menjanjikan kekuasaan. Begitu mudahnya seseorang berganti partai menunjukkan bahwa idealisme dalam berpartai telah tergerus tajam. Sebagian aktivis politik begitu mudah mendirikan partai baru untuk kepentingan jangka pendek. Apalagi, psikologi masyarakat selalu menempatkan partai baru sebagai simbol perubahan.

Fenomena pindah partai menunjukkan kegagalan elit partai melakukan pendidikan politik. Padahal anggaran pendidikan politik telah dijamin negara. Kegagalan partai melakukan pendidikan politik disebabkan sistem pengaderan belum berjalan ideal. Proses pencalonan caleg dalam pemilu sering kali juga tidak mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, komitmen, dan loyalitas. Kondisi yang sama juga terjadi saat rekrutmen pasangan calon (paslon) dalam pilkada.

Rekrutmen caleg dan paslon dalam pilkada lebih sering mengandalkan popularitas. Penentuan caleg dan paslon dalam pilkada juga didasarkan pada kepemilikan modal finansialnya. Calon-calon yang bergizi lebih diutamakan daripada kader. Proses politik ini mengakibatkan banyak kader partai terpental. Sistem rekrutmen caleg dan paslon dalam pilkada yang mengandalkan popularitas dan uang pasti mengakibatkan ketidaknyamanan kader partai yang tidak beruang.

Realitas pindah partai juga menunjukkan kebenaran doktrin yang menyatakan bahwa politik adalah who gets what, when, and how. Pernyataan ini menjelaskan bahwa politik itu berkaitan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Dalam politik juga dikenal hukum bahwa tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan di antara aktivis politik menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu biasa. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.

Dampaknya, fenomena perpecahan begitu lumrah terjadi dalam partai politik. Kultur “memecah” dan “berpecah” dalam partai seakan menjadi pemandangan umum. Maka tidak mengherankan jika banyak aktivis partai yang karena perbedaan pendapat dan “pendapatan” dengan mudah menyatakan keluar dari partai lama dan mendirikan partai baru. Dengan partai baru, mereka berharap eksistensinya sebagai aktivis politik dihargai. Mereka pun bebas memberikan dukungan pada calon dalam pilkada sepanjang menjanjikan pembagian (sharing) kekuasaan.

Pada konteks itulah, lahir budaya kontrak politik yang selalu diakhiri dengan pembayaran “mahar” pada parpol pengusung dan parpol pendukung. Mahar politik menjadi persoalan serius bagi calon potensial, namun tidak memiliki modal finansial. Fenomena mahar politik menjadikan proses-proses politik di negeri tercinta semakin mahal. Mereka yang tidak memiliki modal finansial besar harus menerima kenyataan tersingkir dari persaingan. Para pekerja politik ini pun mencari cara agar tetap eksis di dunia politik.
Salah satu cara yang dilakukan adalah mendirikan atau bergabung dengan partai baru.

Kenyataan bahwa orang begitu mudah pindah partai atau mendirikan partai baru mengindikasikan bahwa mereka merupakan pekerja politik tulen, termasuk pekerja politik adalah mereka yang terlibat dalam tim sukses calon legislatif atau eksekutif. Mereka berpandangan bahwa politik merupakan sarana efektif mewujudkan segala sesuatu dengan lebih mudah. Dampaknya, sebagian aktivis politik terpesona dengan godaan kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Mereka meraih semua itu secara instan melalui jalur politik.

Yang terjadi kemudian, kini sangat sulit menemukan aktivis partai politik yang berkarakter. Politisi berkarakter adalah mereka yang konsisten berjuang dengan idealisme jelas. Politisi berkarakter juga senantiasa merawat kata dan perbuatan. Mereka selalu bekerja dengan penuh kesungguhan untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap fundamental. Aktivis partai yang berkarakter juga selalu menjaga moralitas dalam berpolitik. Mereka tidak mudah tergoda bujuk rayu kekuasaan dan kepentingan politik pragmatis-jangka pendek.

Sayangnya masih banyak aktivis partai yang mampu berpidato lantang saat kampanye dengan mengumbar janji-janji politik. Tetapi tatkala kursi legislatif dan eksekutif sukses diraih, janji-janji politik tidak pernah diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Mereka kemudian larut dalam tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan politik. Sementara itu, perbaikan nasib rakyat sebagaimana yang dijanjikan saat kampanye seakan menguap begitu saja.

Berbagai kasus korupsi, suap-menyuap, asusila, dan tindak pidana lain yang melibatkan oknum politisi menunjukkan bahwa idealisme berpolitik terus tergerus. Panggung politik nasional pun lebih banyak dihiasi pekerja politik daripada politisi berkarakter. Semoga di tengah budaya politik transaksional, koruptif, dan kolutif masih ada politisi-politisi berkarakter!
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4573 seconds (0.1#10.140)