Saat Lelaki Melolong Minta Tolong

Kamis, 21 Desember 2017 - 09:35 WIB
Saat Lelaki Melolong...
Saat Lelaki Melolong Minta Tolong
A A A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne

"Namun, kadang ada pria tak berdaya, bertekuk lutut di sudut kerling wanita."

SEORANG istri dihabisi lalu dimutilasi suaminya di Karawang. Tak berhenti di situ, potongan tubuh si istri dibuang dan dibakar. Peristiwa sadis itu konon didahului perang mulut yang membuat suami sakit hati.

Belum lama, seorang perempuan kehilangan nyawa ditembak oleh seseorang yang diduga adalah suaminya sendiri. Sang suami diringkus polisi. Dalam waktu berdekatan, sebuah teks yang disebut-sebut sebagai transkrip cekcok lidah antara suami dan istri itu tersebar di publik. Perbendaharaan kata dari si istri penuh dengan serapah dan nama fauna. Sang suami tak melakukan perlawanan.

Setiap pelaku pembunuhan, siapa pun dia, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Sisi nyata, dalam sekian banyak persidangan pembunuhan dengan perempuan atau istri sebagai terdakwanya, terdakwa perempuan menggunakan battered woman/wife syndrome sebagai pembelaan diri.

Para terdakwa tersebut mengaku telah mengalami penghinaan, penistaan, dan penganiayaan lahiriah yang amat sangat buruk dari pasangan, sampai-sampai mereka tidak lagi mampu berpikir secara rasional. Dalam kondisi sedemikian terpuruk, ketika akal sehat jerih, tiba-tiba muncul dorongan nekat untuk keluar dari situasi pedih itu dengan cara menghabisi pasangan.

Hakim bisa menjatuhkan vonis tak bersalah atau meringankan hukuman atas diri terdakwa, apabila sang pengadil teryakinkan bahwa terdakwa betul-betul menderita battered woman /wife syndrome. Itu nasib mujur terdakwa perempuan! Macam mana seandainya yang terzalimi sedemikian rupa adalah laki-laki atau suami?

Bisa dikatakan, seluruh kasus kekerasan domestik yang masuk ke Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dilaporkan dengan suami atau ayah sebagai pelaku. Begitu juga kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh KDRT, pihak penggugat cerai sekaligus korban KDRT adalah istri. Meski demikian, pernyataan bahwa laki-laki menempati mayoritas mutlak atau bahkan hampir keseluruhannya merupakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tampaknya juga simpulan yang dilebih-lebihkan.

Boleh jadi banyak lelaki atau suami yang menjadi korban KDRT. Studi yang dilakukan kelompok pembela hak-hak lelaki Parity, misalnya, dari total kasus KDRT, menemukan 40% di antaranya ternyata adalah pertikaian domestik dengan lelaki atau suami sebagai korban kekerasan pasangannya. Berdasarkan Survey National tentang Kekerasan Pasangan yang dilakukan National Center for Injury Prevention and Control (2011), satu dari empat lelaki dewasa di Amerika Serikat mengalami kekerasan dari pasangan mereka.

Walau tak sampai separuh, angka-angka di atas tetap sungguh-sungguh melampaui perkiraan awam bahwa jauh lebih banyak perempuan atau istri yang menjadi ketur maupun sansak hidup pasangan mereka. Andai masih hidup, komposer Ismail Marzuki tak pelak perlu merevisi lirik lagu Sabda Alam seperti tertulis sebagai prelude karangan ini.

Meski persentasenya tidak bisa dipandang sebelah mata, suratan tangan sebagai kaum Adam membuat mereka merana. Kendati berkedudukan sebagai korban, para lelaki malang itu enggan melapor karena isi laporan mereka mengandung aib. Maksudnya, melapor malah membuka risiko lelaki korban KDRT mengalami secondary victimization , termasuk dirundung oleh penegak hukum maupun lembaga advokasi.

Studi Denise Hinse (2009) menemukan fakta tentang itu, yaitu ketika 302 suami yang diazab istri mereka menelepon nomor hotline , hanya 8% yang mengatakan sangat tertolong. Kebanyakan, 69% menyebut tak terbantu sama sekali. Menyakitkan hati, 16% mengaku diabaikan atau bahkan diolok-olok.

Bahkan, di institusi Polri pun pilihan nama Satuan Kekerasan Anak dan Wanita atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak sudah menjadi batu ganjalan bagi para Hercules yang sekarat terkena bisa mematikan Medusa.

UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengandung pandangan implisit bahwa perempuan hampir pasti diasumsikan menjadi individu yang terviktimisasi. Itu tercermin pada pasal 1 UU dimaksud, yakni, "Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan...."

Pun fasilitas rumah aman bagi para suami yang menjadi korban KDRT, untuk menemukannya laksana mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Anggaplah lelaki melakukan kekerasan fisik. Tapi, seberapa besar kemungkinan lelaki bangun tidur lalu—tak ada angin tak ada hujan—langsung menempeleng istri, kecuali jika si suami mabuk atau tidak waras. Sayangnya, kebanyakan masyarakat acap tidak cukup jauh berpikir bahwa kekerasan fisik lelaki bisa dilatarbelakangi oleh kekerasan verbal perempuan.

Nah, dalam kondisi seperti itu, bisakah terdakwa lelaki yang menghabisi pasangannya menggunakan battered man /husband syndrome sebagai pembelaan diri di persidangan? Semestinya bisa saja. Toh hukum katanya tidak diskriminatif. Toh ada kesetaraan antara Hawa dan Adam. Perempuan bisa tersakiti, lelaki juga bisa terzalimi.

Preseden untuk itu pun tersedia. Tahun 1993, dari yang semula dikenakan dakwaan melakukan pembunuhan berencana, Moosa Hanoukai dijatuhi hukuman hanya empat tahun penjara karena berhasil meyakinkan para juri bahwa ia 'sebatas' menganiaya, namun mengakibatkan istrinya meninggal dunia. Moosa, di persidangan, membela diri dengan membuktikan bahwa ia disiksa selama bertahun-tahun oleh istrinya.

Pada puncak kekalapannya, Moosa kehilangan kendali diri lalu memukul istrinya bertubi-tubi. Juri menarik simpulan dahsyat dengan tetap meyakini bahwa kekerasan Manijeh, istri Moosa, tergolong serius, betapa pun kekerasan yang ia lakukan terhadap Moosa tidak bersifat fisik, melainkan serangan verbal dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia (baca: suami).

Moosa memang bernasib mujur, walau ia tidak mampu menyamai rekor para istri yang duduk di kursi terdakwa dan berhasil mendapat vonis tidak bersalah dalam kasus KDRT. Persoalannya, siapakah kaum lanang yang cukup punya nyali untuk membela diri seperti Moosa Hanoukai?

Apalagi, ketika betapa pun istri yang menyerang suaminya lebih dahulu, penjelasan tentang penyebab kelakuan istri itu lagi dan lagi kembali ke titik awal: istri yang agresif adalah dalam rangka membela diri. Kasihan para lelaki!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7825 seconds (0.1#10.140)