Lapas yang Overkapasitas

Kamis, 21 Desember 2017 - 08:01 WIB
Lapas yang Overkapasitas
Lapas yang Overkapasitas
A A A
ADA yang menarik dari refleksi akhir tahun di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satunya adalah soal overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia yang sudah sangat memprihatinkan.

Data dari Kemenkumham menyebutkan setiap bulan ada 2.000 narapidana baru. Berarti setahun ada sekitar 24.000 orang penghuni lapas baru. Padahal, pemerintah hanya mampu menyediakan tempat untuk 5.000 tahanan per tahun. Yang menarik, dari jumlah tahanan yang ada, 50% penghuninya adalah para napi kasus narkoba.

Masalah lapas ini harus segera dicarikan solusi yang komprehensif, karena hal ini telah menimbulkan dampak-dampak negatif yang membahayakan. Pertama , overkapasitas lapas sering kali memicu kerusuhan. Terbaru adalah kerusuhan di Lapas Sialang Bungkuk, Pekan Baru, Riau, Jumat (5/5/2017) yang menyebabkan sekitar 200 tahanan kabur.

Dalam kasus Riau ini, kerusuhan juga dipicu oleh kekecewaan mereka terhadap kepala keamanan di lapas tersebut. Intinya adalah jumlah napi yang berlebihan akan sulit dikendalikan, apalagi jumlah sipir yang jumlahnya juga sangat terbatas.

Kedua, jumlah napi yang overkapasitas juga menyebabkan sulitnya pengawasan. Akibatnya, banyak ditemukan napi yang leluasa berjualan narkoba di dalam lapas. Banyak sekali contoh kasus betapa lapas sampai saat ini masih menjadi salah satu surga bagi bandar narkoba untuk mengendalikan operasinya. Sangat ironis.

Ketiga, lapas yang seharusnya dijadikan tempat pembinaan akhirnya tidak bisa maksimal mendidik para napi karena kelebihan jumlah tersebut. Para sipir tak akan bisa optimal untuk membina mereka, sehingga sering kali kita lihat penjara tidak membuat para napi jera. Mereka menjadi residivis yang bahkan lebih profesional dan kejam dari sebelumnya.

Melihat hal-hal di atas, masalah overkapasitas lapas ini harus segera dicarikan solusinya secara permanen. Kita memang tak bisa hanya mengandalkan Kemenkumham untuk mengatasi masalah ini. Seluruh stakeholder harus terlibat. Penyelesaiannya harus lintas sektoral karena masalahnya sudah begitu kompleks dan rumit.

Ada sejumlah opsi-opsi solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah lapas ini. Salah satunya (pertama ) adalah pembangunan lapas-lapas baru. Cara ini memang cukup jitu dalam menjawab permasalahan di atas. Namun, pemerintah pasti terbentur dengan alasan klasik, yakni soal dana, karena memang dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangun banyak lapas baru.

Apalagi, trennya jumlah tahanan dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang mana napi yang bebas tidak sebanding dengan tahanan yang masuk penjara. Saat ini saja jumlah napi sekitar 220.000 orang. Sebagai perbandingan, tahun 2005 jumlah napi masih sekitar 97.000-an.

Kedua, cara lain bisa dilakukan dengan memindahkan napi yang penuh sesak ke lapas yang masih belum terlalu penuh. Ketiga, pemerintah harus mengubah bentuk hukuman terutama terhadap napi kasus narkoba yang jumlahnya membeludak. Pemerintah bisa secara selektif mengubah hukuman penjara napi narkoba dengan rehabilitasi.

Namun, cara ini harus dilakukan secara sangat hati-hati. Jangan sampai cara ini malah dijadikan modus para bandar narkoba untuk bebas dari jeratan hukum, karena taruhannya adalah rusaknya generasi bangsa. Kemudian, terpidana mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap harus segera dilakukan eksekusi. Selain untuk menjamin kepastian hukum, cara ini juga untuk mengurangi beban lapas.

Yang tak kalah penting adalah penambahan petugas sipir. Selama ini jumlah sipir sangat kurang. Misalnya ada lapas yang berpenghuni 3.500 napi hanya dijaga 17 sipir. Kita menyambut baik Kemenkumham yang segera menambah sekitar 14.000 sipir baru untuk menjaga lapas.

Jumlah sipir sangat diperlukan untuk bisa menjadikan lapas benar-benar lembaga pemasyarakatan dan pembinaan, sehingga lulusan lapas bisa benar-benar sadar dan memiliki keterampilan dan bisa menjalani hidup secara baik dan mandiri saat kembali ke masyarakat.

Yang tak kalah penting untuk jangka panjang adalah pemerintah harus terus mengoptimalkan pendidikan agama sejak dini di rumah, sekolah, maupun kantor tempat bekerja. Pendidikan agama sejak dini akan mampu melahirkan generasi yang unggul dan berbudi pekerti luhur. Yang secara otomatis akan menekan angka kriminalitas sehingga bisa mengurangi orang masuk penjara.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7195 seconds (0.1#10.140)