Tahun yang Tepat untuk Saling Berkolaborasi
A
A
A
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Indef
SEPANJANG 2017 pertumbuhan ekonomi digital terus melonjak. Angka yang diklaim pemerintah mencatatkan porsi ekonomi digital terhadap total ekonomi nasional sudah mencapai 7,3%. Itu artinya peran ekonomi digital saat ini hampir setara dengan kontribusi sektor pertambangan, yakni 7,9% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Indikator geliat ekonomi digital salah satunya tecermin dari tren belanja online yang berkembang pesat. Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 buktinya berhasil mematahkan rekor. Jumlah transaksi dalam tiga hari mencapai Rp4 triliun. Tahun lalu lembaga survei Nielsen mencatat transaksi Harbolnas sebesar Rp3,3 triliun. Itu artinya dalam satu tahun animo masyarakat belanja di toko online bisa naik Rp700 miliar di event yang sama.
Tidak mengheran Bank Indonesia (BI) mencatat total transaksi per tahun dari e-commerce tembus Rp75 triliun. Namun, perlu dicatat bahwa porsi e-commerce terhadap total ritel baru 1%. Tahapan adaptasi e-commerce di Indonesia masih early stage alias prematur. China dan Amerika Serikat (AS) masing-masing telah menembus 8% terhadap total ritel. Wajar apabila Harbolnas di China atau dikenal dengan Single Day, angkanya bisa mencapai Rp243 triliun dalam satu hari.
Selain porsi e-commerce di Indonesia masih kecil, fakta yang menarik dari bisnis e-commerce adalah tidak semua barang bisa dibeli secara online. Sebagian besar barang yang dibeli oleh masyarakat Indonesia merupakan kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan bawang merah.
Revolusi digital tidak bisa menggantikan belanja di pasar tradisional. Tidak semua barang shifting ke e-commerce.
Amazon, sebuah e-commerce ritel terbesar di dunia, pun menyadari era kolaborasi toko online konvensional merupakan solusi masa depan. Bukannya saling bersaing, Amazon mengakuisisi Wholefood, supermarket yang menjual kebutuhan pokok di AS. Kolaborasi ini menguntungkan konsumen dan produsen sekaligus. Pascaakuisisi harga barang Wholefood didiskon secara besar-besaran, bukannya melakukan PHK, kolaborasi online konvensional justru merekrut 6.000 pekerja baru.
Dalam konteks wacana perubahan teknologi di Indonesia, disrupsi sering dimaknai berkurangnya kue atau keuntungan perusahaan konvensional. Ekonomi digital bukan mendatangkan ketakutan, melainkan peluang kolaborasi. Tahun 2018 waktu yang tepat untuk saling berkolaborasi, buktinya grup Matahari meluncurkan Mataharimall.com. Barang di Mataharimall.com dan Matahari Departement Store sebenarnya sama saja, tapi pembeli yang dilayani menjadi lebih luas. Tadinya konsumen harus berjalan ke mal untuk beli baju, sekarang tinggal klik barang sampai di depan rumah.
Terkepung Barang Impor
Tantangan di tahun 2018 dalam pengembangan e-commerce adalah memutus ketergantungan barang impor. Saat ini, menurut klaim pemerintah, 95% barang yang dijual melalui e-commerce di berbagai platform adalah barang impor. Porsi produk UMKM masih di bawah 2%. Hal ini kemudian berkorelasi terhadap kenaikan impor barang konsumsi sebesar 15,19% dari Januari-November 2017 dibanding tahun sebelumnya. Apakah Indonesia akan menjadi negara jasa reseller produk impor atau produsen utama? Pertanyaan itu perlu segera dijawab.
Pemerintah tidak bisa menafikan bahwa serbuan impor mulai meningkat sejak masuknya modal-modal besar sekelas Alibaba dan Tencent ke Indonesia. Jika ritel modern ingin diatur agar barang UMKM bisa masuk ke dalam minimarket atau supermarket, harusnya pemerintah mulai memberlakukan peraturan mewajibkan minimum 20% barang di platform e-commerce yang dijual adalah produk UMKM. Sembari program pendam pingan UMKM dan berbagai insentif terus didorong agar UMKM tidak ketinggalan gerbong di era digital.
Peluang FinTech
Di saat e-commerce mulai berjamuran, saat ini pandangan regulator juga fokus pada isu financial technology alias FinTech. Per September 2017 total pinjaman yang disalurkan FinTech menembus Rp1,6 triliun. Jumlah FinTech terus berjamuran lebih dari 180 perusahaan yang tersebar dari kredit, sistem pembayaran dan crowdfunding. Kemunculan FinTech sayangnya tidak beriringan dengan regulasi yang memadai, sehingga muncul fenomena blokir top-up perusahaan FinTech yang merugikan konsumen.
Hal yang menarik di balik FinTech selalu muncul kehadiran bank konvensional. Perusahaan FinTech memang hampir bisa melakukan segala sesuatu dengan efisien, misalnya membuka rekening baru tanpa perlu ke bank, menyalurkan kredit via aplikasi smartphone, dan transfer uang antarnegara dalam hitungan detik. Tapi ada yang tidak bisa FinTech lakukan, yakni debt collection alias menagih kredit bermasalah. Di sini FinTech harus menggandeng pihak ketiga alias jasa keuangan formal seperti perbankan. Sekali lagi mau bicara soal e-commerce maupun FinTech tetap diperlukan kolaborasi dengan pelaku konvensional.
Benarkah ada PHK massal?
Soal tenaga kerja di era digital memang kadang membuat dahi berkerut. Job security atau keamanan bekerja memang jadi masalah serius di era perubahan teknologi. Sektor industri mulai memasuki revolusi keempat yang artinya mesin sudah menggantikan tenaga manusia. Di sektor perbankan, kemunculan FinTech pun akan mengancam tenaga kerja semacam teller dan akuntan. Namun, berdasarkan riset yang dilakukan McKinsey, kasus hilangnya pekerjaan akibat teknologi terkadang terlalu dibesar-besarkan.
Buktinya di Prancis sejak masuknya teknologi internet memang menciptakan PHK 500.000 pekerja. Namun, di sisi lain internet melahirkan 1,2 juta tenaga kerja baru. Ada surplus penyerapan tenaga kerja sebanyak 700.000 orang. Tugas Pemerintah saat ini dalam mempersiapkan transisi ekonomi digital agar tidak terjadi pengangguran massal adalah memperbaiki kualitas pendidikan.
Indonesia saat ini bukan hanya mengalami krisis programmer teknologi informasi (TI) akibat kelahiran ratusan startup baru, tapi juga profesi penunjang ekonomi digital lain. Salah satu perusahaan transportasi online beberapa saat lalu mencari peneliti ekonomi keperilakuan (behavioural economist). Padahal, jurusan perguruan tinggi yang menyediakan profesi behavioral economist masih sangat terbatas. Skill gap ini kalau dibiarkan justru menimbulkan ancaman bagi banjirnya tenaga kerja asing yang mengisi pos pekerjaan yang sedang dibutuhkan perusahaan digital. Atau jangan-jangan perusahaan Indonesia memilih untuk memindahkan kantor pusatnya ke luar negeri untuk mendapatkan pekerja yang lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Melihat kondisi tersebut, peta jalan ekonomi digital yang didesain pemerintah dalam Paket Kebijakan Ekonomi Ke-14 sebaiknya tidak hanya bicara soal perbaikan logistik, infrastruktur jaringan, dan perizinan, tapi lebih menyentuh masalah yang krusial yakni penguatan UMKM dan pendidikan. Karena itu, revolusi ekonomi digital tahun 2018 mendatang perlu disikapi dengan persiapan yang lebih matang agar Indonesia bukan sekedar menjadi pasar, tapi pemain utama dalam persaingan global.
Peneliti Indef
SEPANJANG 2017 pertumbuhan ekonomi digital terus melonjak. Angka yang diklaim pemerintah mencatatkan porsi ekonomi digital terhadap total ekonomi nasional sudah mencapai 7,3%. Itu artinya peran ekonomi digital saat ini hampir setara dengan kontribusi sektor pertambangan, yakni 7,9% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Indikator geliat ekonomi digital salah satunya tecermin dari tren belanja online yang berkembang pesat. Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 buktinya berhasil mematahkan rekor. Jumlah transaksi dalam tiga hari mencapai Rp4 triliun. Tahun lalu lembaga survei Nielsen mencatat transaksi Harbolnas sebesar Rp3,3 triliun. Itu artinya dalam satu tahun animo masyarakat belanja di toko online bisa naik Rp700 miliar di event yang sama.
Tidak mengheran Bank Indonesia (BI) mencatat total transaksi per tahun dari e-commerce tembus Rp75 triliun. Namun, perlu dicatat bahwa porsi e-commerce terhadap total ritel baru 1%. Tahapan adaptasi e-commerce di Indonesia masih early stage alias prematur. China dan Amerika Serikat (AS) masing-masing telah menembus 8% terhadap total ritel. Wajar apabila Harbolnas di China atau dikenal dengan Single Day, angkanya bisa mencapai Rp243 triliun dalam satu hari.
Selain porsi e-commerce di Indonesia masih kecil, fakta yang menarik dari bisnis e-commerce adalah tidak semua barang bisa dibeli secara online. Sebagian besar barang yang dibeli oleh masyarakat Indonesia merupakan kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan bawang merah.
Revolusi digital tidak bisa menggantikan belanja di pasar tradisional. Tidak semua barang shifting ke e-commerce.
Amazon, sebuah e-commerce ritel terbesar di dunia, pun menyadari era kolaborasi toko online konvensional merupakan solusi masa depan. Bukannya saling bersaing, Amazon mengakuisisi Wholefood, supermarket yang menjual kebutuhan pokok di AS. Kolaborasi ini menguntungkan konsumen dan produsen sekaligus. Pascaakuisisi harga barang Wholefood didiskon secara besar-besaran, bukannya melakukan PHK, kolaborasi online konvensional justru merekrut 6.000 pekerja baru.
Dalam konteks wacana perubahan teknologi di Indonesia, disrupsi sering dimaknai berkurangnya kue atau keuntungan perusahaan konvensional. Ekonomi digital bukan mendatangkan ketakutan, melainkan peluang kolaborasi. Tahun 2018 waktu yang tepat untuk saling berkolaborasi, buktinya grup Matahari meluncurkan Mataharimall.com. Barang di Mataharimall.com dan Matahari Departement Store sebenarnya sama saja, tapi pembeli yang dilayani menjadi lebih luas. Tadinya konsumen harus berjalan ke mal untuk beli baju, sekarang tinggal klik barang sampai di depan rumah.
Terkepung Barang Impor
Tantangan di tahun 2018 dalam pengembangan e-commerce adalah memutus ketergantungan barang impor. Saat ini, menurut klaim pemerintah, 95% barang yang dijual melalui e-commerce di berbagai platform adalah barang impor. Porsi produk UMKM masih di bawah 2%. Hal ini kemudian berkorelasi terhadap kenaikan impor barang konsumsi sebesar 15,19% dari Januari-November 2017 dibanding tahun sebelumnya. Apakah Indonesia akan menjadi negara jasa reseller produk impor atau produsen utama? Pertanyaan itu perlu segera dijawab.
Pemerintah tidak bisa menafikan bahwa serbuan impor mulai meningkat sejak masuknya modal-modal besar sekelas Alibaba dan Tencent ke Indonesia. Jika ritel modern ingin diatur agar barang UMKM bisa masuk ke dalam minimarket atau supermarket, harusnya pemerintah mulai memberlakukan peraturan mewajibkan minimum 20% barang di platform e-commerce yang dijual adalah produk UMKM. Sembari program pendam pingan UMKM dan berbagai insentif terus didorong agar UMKM tidak ketinggalan gerbong di era digital.
Peluang FinTech
Di saat e-commerce mulai berjamuran, saat ini pandangan regulator juga fokus pada isu financial technology alias FinTech. Per September 2017 total pinjaman yang disalurkan FinTech menembus Rp1,6 triliun. Jumlah FinTech terus berjamuran lebih dari 180 perusahaan yang tersebar dari kredit, sistem pembayaran dan crowdfunding. Kemunculan FinTech sayangnya tidak beriringan dengan regulasi yang memadai, sehingga muncul fenomena blokir top-up perusahaan FinTech yang merugikan konsumen.
Hal yang menarik di balik FinTech selalu muncul kehadiran bank konvensional. Perusahaan FinTech memang hampir bisa melakukan segala sesuatu dengan efisien, misalnya membuka rekening baru tanpa perlu ke bank, menyalurkan kredit via aplikasi smartphone, dan transfer uang antarnegara dalam hitungan detik. Tapi ada yang tidak bisa FinTech lakukan, yakni debt collection alias menagih kredit bermasalah. Di sini FinTech harus menggandeng pihak ketiga alias jasa keuangan formal seperti perbankan. Sekali lagi mau bicara soal e-commerce maupun FinTech tetap diperlukan kolaborasi dengan pelaku konvensional.
Benarkah ada PHK massal?
Soal tenaga kerja di era digital memang kadang membuat dahi berkerut. Job security atau keamanan bekerja memang jadi masalah serius di era perubahan teknologi. Sektor industri mulai memasuki revolusi keempat yang artinya mesin sudah menggantikan tenaga manusia. Di sektor perbankan, kemunculan FinTech pun akan mengancam tenaga kerja semacam teller dan akuntan. Namun, berdasarkan riset yang dilakukan McKinsey, kasus hilangnya pekerjaan akibat teknologi terkadang terlalu dibesar-besarkan.
Buktinya di Prancis sejak masuknya teknologi internet memang menciptakan PHK 500.000 pekerja. Namun, di sisi lain internet melahirkan 1,2 juta tenaga kerja baru. Ada surplus penyerapan tenaga kerja sebanyak 700.000 orang. Tugas Pemerintah saat ini dalam mempersiapkan transisi ekonomi digital agar tidak terjadi pengangguran massal adalah memperbaiki kualitas pendidikan.
Indonesia saat ini bukan hanya mengalami krisis programmer teknologi informasi (TI) akibat kelahiran ratusan startup baru, tapi juga profesi penunjang ekonomi digital lain. Salah satu perusahaan transportasi online beberapa saat lalu mencari peneliti ekonomi keperilakuan (behavioural economist). Padahal, jurusan perguruan tinggi yang menyediakan profesi behavioral economist masih sangat terbatas. Skill gap ini kalau dibiarkan justru menimbulkan ancaman bagi banjirnya tenaga kerja asing yang mengisi pos pekerjaan yang sedang dibutuhkan perusahaan digital. Atau jangan-jangan perusahaan Indonesia memilih untuk memindahkan kantor pusatnya ke luar negeri untuk mendapatkan pekerja yang lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Melihat kondisi tersebut, peta jalan ekonomi digital yang didesain pemerintah dalam Paket Kebijakan Ekonomi Ke-14 sebaiknya tidak hanya bicara soal perbaikan logistik, infrastruktur jaringan, dan perizinan, tapi lebih menyentuh masalah yang krusial yakni penguatan UMKM dan pendidikan. Karena itu, revolusi ekonomi digital tahun 2018 mendatang perlu disikapi dengan persiapan yang lebih matang agar Indonesia bukan sekedar menjadi pasar, tapi pemain utama dalam persaingan global.
(amm)